Kesehatan Kondisi Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan 1. Sosial Budaya dan Kehidupan Beragama

26 memperoleh 1 emas, 6 perak, 5 perunggu; tahun 2007 meperoleh 6 emas, 3 perak, 3 perunggu.

f. Kesehatan

I ndikator utama yang dipergunakan untuk melihat kemajuan pembangunan bidang kesehatan di Jawa Tengah meliputi 3 hal, yaitu 1 Angka Kematian Bayi AKB, 2 Angka Kematian I bu AKI , dan 3 Usia Harapan Hidup UHH. Selama kurun waktu 2003-2006 terjadi penurunan walaupun pada tahun 2004 sempat naik. Pada tahun 2003 per 1000 kelahiran tercatat sebesar 31 AKB, pada tahun 2006 berkurang menjadi 25 AKB per 1000 kelahiran, dan pada tahun 2007 telah turun drastis menjadi 10,89 AKB per 1000 kelahiran. Pada tahun 2003 tercatat 116 AKI per 100.000 kelahiran hidup, dan pada tahun 2007 menurun menjadi 101,36. Selama kurun waktu tahun 2003-2006 terus menunjukkan peningkatan UHH. Pada tahun 2003 UHH mencapai 67,3 tahun, dan pada tahun 2007 UHH telah meningkat menjadi 71,1 tahun. Persentase status gizi anak balita dari tahun ke tahun cukup fluktuatif, sebagai hasil dari belum mantapnya kemampuan keluarga dalam menyediakan makanan bergizi seimbang. Sasaran persentase gizi buruk pada balita ditetapkan dibawah satu persen. Pada tahun 2008 persentase gizi buruk pada balita adalah 1,08 ; dan diharapkan pada tahun 2013 dapat diturunkan menjadi 0,82 . Upaya penurunan angka gizi buruk dilakukan secara lebih intensif melalui kegiatan revitalisasi posyandu, rujukan kasus, dan pendampingan kasus gizi buruk. sejalan dengan hal tersebut secara sinergis dilaksanakan pula upaya pemasaran sosial Keluarga sadar Gizi Kadarzi, sebagai indikator hasil-hasil upaya penanggulangan masalah gizi secara keseluruhan. Dalam hal penyakit menular, kasus demam berdarah Dengue DBD yang terjadi pada tahun 2007 di Jawa Tengah tercatat 20.565 kasus dengan I ncidence Rate I R sebesar 6,25 per 10.000 penduduk dan tersebar pada 874 desa endemis. Jumlah kematian karena DB tahun 2007 sebesar 329 orang dengan kasus tertinggi di Kabupaten Jepara. Untuk kasus malaria, pada tahun 2005 tercatat 2.590 kasus dan tersebar pada 28 desa endemis dengan Anual Parasit I ndex API 0,08 per 1000 penduduk. Kondisi ini menurun pada tahun 2007 dimana jumlah kasus malaria menjadi 1.799 yang tersebar di 13 kabupaten. 27 Penderita HI V AI DS di Jawa Tengah pada tahun 2007 tercatat sebanyak 1.184 orang, terdiri atas HI V sebanyak 921 orang dan AI DS sebanyak 263 orang. Kondisi ini meningkat pada bulan Desember tahun 2007; kasus HI V AI DS mencapai 1.477 orang dengan kasus 1.112 HI V dan 335 AI DS. Selain itu di Jawa Tengah juga telah muncul penyakit menular tertentu yang potensial menimbulkan Kejadian Luar Biasa KLB, yaitu Flu Burung Avian I nfluenza AI . Sampai dengan tahun 2007 tercatat kasus positif Flu Burung sebanyak 9 kasus. Peningkatan prevalensi penyakit menular juga diikuti dengan peningkatan prevalensi penyakit tidak menular antara lain yaitu jantung koroner 0,81 per 1000 penduduk, kencing manis atau diabetes 224.324 penderita yang tidak tergantung insulin dan 18.499 tergantung insulin data tahun 2007 dan penderita neoplasma 2.022 kasus kanker hati, 855 kanker paru, 10.475 kanker payudara, 7.065 kanker serviks data tahun 2007. Pada kasus penyakit TBC paru, pada tahun 2005 penderita penyakit TBC paru tercatat sebesar 17.524 orang dengan angka CDR case detection rate sebesar 50,92 , angka tersebut masih dibawah target, yaitu sebesar 70 , namun tingkat kesembuhan penderita TBC paru sudah sangat baik, yaitu mencapai 86,1 ; berarti sudah melampaui angka target nasional sebesar 85 . Kondisi tersebut menurun pada tahun 2007 dimana jumlah kasus TBC paru menjadi 16.485 orang, dengan CDR 47,42 dan angka kesembuhan 85 . Perkembangan jumlah Puskesmas dari tahun ke tahun terus menunjukkan peningkatan, pada tahun 2002 jumlah Puskesmas sebanyak 845 unit dan mampu meningkat menjadi 854 unit pada tahun 2007. Keberadaan Puskesmas tersebut juga didukung dengan Puskesmas Rawat I nap yang sampai dengan tahun 2007 tercatat sebanyak 254 unit dan Puskesmas Pembantu yang jumlahnya mencapai 1.824 unit. Puskesmas pendukung lainnya adalah Puskesmas Keliling yang jumlahnya mencapai 890 unit 2007. Selain itu, mulai tahun 2004 telah dikembangkan Poliklinik Kesehatan Desa PKD sampai dengan 2008 yang jumlahnya telah mencapai 4.439 unit. Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan melalui PKD antara lain adalah penyuluhan dan konseling kesehatan masyarakat, pembinaan kader masyarakat dan forum komunikasi pembangunan kesehatan di desa, dan pelayanan kesehatan dasar termasuk kefarmasian sederhana. Kegiatan 28 lain yang dilakukan di PKD adalah deteksi dini dan penanggulangan pertama kasus gawat darurat. Perkembangan jumlah Rumah Sakit Umum RSU di Jawa Tengah sampai dengan tahun 2007, RSU milik pemerintah sebanyak 46 unit, RSU swasta 103 unit, RSU khusus milik pemerintah sebanyak 13 unit dan RSU khusus milik swasta 63 unit. Capaian persentase tersebut telah melebihi target I ndonesia Sehat 2010 sebesar 90 . Demikian pula untuk 5 Rumah Sakit Jiwa RSJ, kesemuanya telah memiliki kemampuan gawat darurat, sehingga target I ndonesia Sehat 2010 sebesar 90 terlampaui. Dalam era otonomi daerah, penyediaan obat publik dan perbekalan kesehatan untuk pelayanan kesehatan, utamanya menjadi tanggung jawab kabupaten kota. Sedangkan dana anggaran untuk pengadaan obat publik dan perbekalan kesehatan di kabupaten kota berasal dari berbagai sumber. Namun demikian, kemampuan kabupaten kota dalam penyediaan dana anggaran untuk pengadaan obat publik dan perbekalan ternyata berbeda-beda, masih banyak kabupaten kota yang belum sepenuhya mampu menyediakan dana anggaran untuk pengadaan obat. Kondisi ini umumnya hanya memenuhi sekitar 60 - 80 total kebutuhan nyata kabupaten kota. Untuk memenuhi kebutuhan kabupaten kota yang masih kekurangan dalam rangka menjamin keberlangsungan pelayanan kesehatan yang optimal, maka Provinsi Jawa Tengah menyediakan Obat Buffer Stok Provinsi yang besarnya sekitar 10 - 20 , sedangkan kekurangan lainnya akan dipenuhi melalui dana anggaran pusat. Nilai Obat Buffer Stok Provinsi pada tahun 2006 adalah Rp 8.000.000.000,-12,86 ; tahun 2007 nilainya Rp. 5.500.000.000,- 9,7 dan tahun 2008 nilainya Rp. 7.000.000.000,- 12,00 . Jawa Tengah merupakan pusat industri obat tradisional di Indonesia yang telah menghasilkan berbagai macam produk obat tradisional. Hal ini merupakan potensi yang perlu dimanfaatkan secara optimal. Bahwa untuk pelayanan kesehatan di sarana pelayanan kesehatan formal, masyarakat perlu diberikan alternatif dalam penggunaan obat untuk proses pengobatannya, terutama dalam kondisi krisis multidimensi yang menyebabkan daya beli masyarakat menjadi menurun. Selama ini, masyarakat sering menggunakan obat modern dalam proses pengobatannya, yang harganya relatif mahal. Oleh sebab itu penyediaan obat tradisional untuk 29 pelayanan kesehatan diperlukan sebagai pelayanan komplementer alternatif dalam pengobatan yang terjangkau oleh masyarakat. Sebagai wujud implementasi hal tersebut, Provinsi Jawa Tengah berkomitmen menyediakan obat tradisional hasil produksi industri obat tradisional di Jawa Tengah di Puskesmas Kabupaten kota dalam bentuk obat tradisional dengan kategori herbal terstandar dan fitofarmaka. Nilai dana anggaran untuk penyediaan obat tradisional pada tahun 2007 adalah Rp. 2,1 Milyar dengan tingkat pemanfaatan 100 , sedangkan tahun 2008 nilainya Rp. 2,3 Milyar. Selain itu, sejak otonomi daerah, petugas pengelola obat kabupaten kota di Jawa Tengah mengalami perubahan pergantian, dimana sebelum otonomi daerah, semua kepala Instalasi Farmasi kabupaten kota dulu Gudang Farmasi Kabupaten kota = GFK adalah Apoteker dan semua petugas pengelola obat di Puskesmas adalah Asisten Apoteker atau petugas yang terlatih. Namun setelah otonomi daerah, tidak semua kepala I nstalasi Farmasi kabupaten kota berlatar belakang pendidikan Apoteker dan tidak semua petugas pengelola obat di Puskesmas adalah Asisten Apoteker atau petugas yang terlatih. Perubahan tersebut juga mengakibatkan pola pengelolaan obat publik dan Perbekalan Kesehatan Perbekes lainnya di kabupaten kota menjadi bervariasi sesuai kebutuhan masing-masing, baik mengenai struktur organisasi unit pengelola obat publik dan perbekes kabupaten kota, dana anggaran obat, tim perencanaan, rumus penyusunan kebutuhan obat dan lain-lainnya. Kondisi ini dapat menyebabkan pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan menjadi kurang optimal. Saat ini, unit pengelola obat publik dan perbekes kabupaten kota terdiri dari: 28 unit sebagai Unit Pelaksana Teknis UPT Dinas Kesehatan kabupaten kota dan 7 unit menjadi bagian dari struktural Dinkes kabupaten kota. Jumlah industri farmasi di Jawa Tengah adalah 25 buah, jumlah I ndustri Obat Tradisional I OT adalah 12 buah dan jumlah I ndustri Kecil Obat Tradisional I KOT adalah sekitar 250 buah. Adapun jumlah industri kosmetika adalah sekitar 50 buah, jumlah industri alat kesehatan adalah sekitar 25 buah dan jumlah industri Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga PKRT adalah sekitar 75 buah. Dari hasil pemeriksaan dan pengujian Balai Besar POM Semarang pada tahun 2005 didapatkan data 30 sebagai berikut: dari 21 industri farmasi yang diperiksa, semuanya belum menerapkan Cara Pembuatan Obat yang Baik CPOB sepenuhnya 100 ; dari 66 industri obat tradisional yang diperiksa, 63 industri belum menerapkan Cara Pembuatan Kosmetik yang Baik CPKB sepenuhnya 100 ; dari 2 industri PKRT yang diperiksa, semuanya belum menerapkan Cara Pembuatan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga yang Baik CPPKRTB sepenuhnya 100 ; dari 93 Pedagang Besar Farmasi PBF yang diperiksa, 90 PBF belum menerapkan cara distribusi obat yang baik sepenuhnya 96 ; masih ditemukan produk obat yang tidak memenuhi syarat TMS sebesar 1,3 ; masih ditemukan produk obat tradisional yang TMS sebesar 48 ; masih ditemukan produk makanan yang TMS sebesar 15,51 ; masih ditemukan produk kosmetik yang TMS sebesar 2,28 ; masih ditemukan produk PKRT yang TMS sebesar 3,45 . Sejalan dengan tuntutan masyarakat terhadap peningkatan kualitas pelayanan kesehatan mengakibatkan peningkatan pembiayaan kesehatan. Beberapa faktor yang mempengaruhi kenaikan biaya kesehatan antara lain : akibat penerapan teknologi canggih, pola pembayaran tunai langsung ke pemberi pelayanan kesehatan, pola penyakit kronik dan degeneratif serta inflasi. Kenaikan biaya pemeliharaan kesehatan itu semakin sulit untuk mampu dibiayai dengan kemampuan penyediaan dana pemerintah maupun masyarakat. Alokasi pembiayaan kesehatan di tiap-tiap Kabupaten Kota Jawa Tengah masih dibawah standar yang dianjurkan sebesar 15 dari total anggaran. Peningkatan biaya pelayanan kesehatan itu merupakan permasalahan bagi akses dan mutu pelayanan kesehatan masyarakat dan oleh karenanya harus dicari solusi untuk mengatasi masalah pembiayaan kesehatan ini. Pemerintah perlu mengalokasikan anggaran yang terarah untuk kegiatan public health seperti pemberantasan penyakit menular dan penyehatan lingkungan, promosi kesehatan serta pemeliharaan kesehatan penduduk miskin. Sedangkan pendanaan masyarakat harus diefisiensikan dengan pendanaan gotong-royong untuk berbagi risiko gangguan kesehatan, dalam bentuk jaminan kesehatan. Sehingga pengembangan program Pembiayaan Kesehatan merupakan salah satu program pokok yang perlu terus dikembangkan dan ditingkatkan. Dari sekitar 32 juta penduduk Provinsi Jawa Tengah, sebanyak 11.715.881 jiwa 36,7 masyarakat miskin telah dijamin kesehatannya oleh Program Jaminan 31 Kesehatan Masyarakat Jamkesmas sejak tahun 2008. Beberapa kabupaten kota telah mengembangkan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat JPKM Jaminan Kesehatan Tingkat Daerah Jamkesda. JPKM telah dikembangkan di Kabupaten Purbalingga secara mandiri dan di Kota Pekalongan melalui institusi pendidikan. Program Jamkesda dikembangkan pula di Kota Surakarta, yang kemudian diikuti oleh Kabupaten Jepara dan Kota Semarang. Pada pelaksanaanya pengembangan program JPKM Jamkesda ini sangat mendukung program Jamkesmas yang ditetapkan oleh pemerintah pusat.

g. Kesejahteraan Sosial