Bahasa dan Kepercayaan Masyarakat

campur kode lebih banyak dalam komunikasi politik menimbulkan rasa senang bagi Parlok.

5.2.3.4 Kohesi Sosial dalam Komunikasi Politik dengan Campur Kode dengan BI yang Dominan

Berdasarkan pertanyaan 34 diperoleh jawaban bahwa responden dalam penelitian ini memilih jawaban yang bervariasi. Responden yang menyatakan sangat senang hanya 1 orang 3,3, dan yang menyatakan senang masing-masing sebanyak 12 orang 40, dan yang kurang senang sebanyak 17 orang 56,7. Dengan demikian, kohesi sosial dalam komunikasi politik dengan campur kode BABI dengan BI yang dominan dinyatakan tidak disetujui oleh responden. Artinya, meskipun terdapat responden yang merasa senang, tetapi secara dominan responden kurang senang apabila terjadi pemilihan BABI dengan BI yang dominan dalam komunikasi politik.

5.3 Bahasa dan Kepercayaan Masyarakat

Pemerolehan suara yang signifikan bagi PA menjadi harapan pengurus parlok dan masyarakat dalam konteks pemilihan BA. Syamaun Ibrahim Abu Nek sebagai Wakil Ketua Partai Aceh Kabupaten Bieruen menjelaskan kepada peneliti, “Bahasa Aceh adalah “pusaka keuneubah endatu, tajaga bahasa Aceh dengean ntangui bak mandum-mandumtempat”. Lebih jelasnya dilanjutkan dengan bahasa Indonesia, “Saya harap anggota DPRA dan DPRK dari unsur Partai Aceh ataupun dari Partai Lokal lainnya serta Partai Nasional yang ada di Aceh untuk memberikan perhatian Universitas Sumatera Utara yang sangat khusus pada penetapan bahasa Aceh menjadi bahasa resmi masyarakat Aceh. Bahasa Aceh adalah hak masyarakat Aceh.” 111 Sikap bahasa pengurus partai politik lokal dalam komunikasi politik di Pemerintahan Aceh bersamaan dengan sikap masyarakat Aceh. Bahkan, masyarakat menjadikan Gubernur Aceh yang memilih menggunakan bahasa Aceh dalam menjalankan tugasnya sebagai panutan masyarakat. Menurut Mansur Saidi, Ketua Majelis Adat Aceh di Bireuen, “Sebelumnya saya tidak pernah terpikir, bahwa apa yang dilakukan Gubernur dengan memilih menggunakan bahasa Aceh adalah langkah yang tepat untuk menunjukkan identitas daerah dan masyarakat Aceh.” 112 Secara lebih terperinci, kepercayaan masyarakat Aceh terhadap pemilihan bahasa Aceh dalam komunikasi politik di Pemerintahan Aceh, baik dalam memperjuangkan legalitas hukum maupun dalam pemilihan penggunaan bahasa sehari-hari, terlihat pada kutipan wawancara peneliti dengan Said Dahlawi, Keuchiek Gampong Pantelhong, Kecamatan Peusangan, Kabupaten Bireuen sebagai berikut: “Kami para Kepala Desa Keuchiek, red kalau melakukan hearing dengan DPRK Bireuen juga menggunakan bahasa Aceh, dan begitu juga dengan pemerintah baik tingkat Kecamatan maupun Kabupaten. Kebanggaan bagi masyarakat Aceh bila bahasa Aceh ditetapkan menjadi bahasa Nanggroe, selain peninggalan Endatu nenek moyang juga merupakan budaya yang harus kita pelihara dan lestarikan. Bukan berarti kalau kita sudah resmi menggunakan bahasa Aceh sebagai bahasa yang komunikatif lantas kita meninggalkan bahasa Indonesia,” tandasnya. 113 111 Ibid. 112 Ibid. 113 Ibid. Universitas Sumatera Utara Kepercayaan masyarakat dalam komunikasi politik terhadap anggota DPRK serta pejabat pemerintah merupakan hasil hubungan timbal-balik antara masyarakat dan pengurus parlok. Hal ini tidak dapat diabaikan karena mayoritas anggota DPRA di tingkat Pemerintahan Aceh dan DPRK Kota Langsa dan Kabupaten Bireuen, berasal dari PA. Dengan kata lain, BAbelum menjadi identitas parlok secara yuridis formal akan tetapi secara defakto BA sudah menjadi identitas parlok karena sudah mendapat dukungan menyeluruh oleh masyarakat Aceh dalam pemilihan bahasa. Pemilihan bahasa dan sikap bahasa yang menjadi alat komunikasi politik oleh parlok dapat membangun kohesi sosial dalam masyarakat di Pemerintahan Aceh, dan tentunya dengan pemilihan bahasa oleh parlok dalam berkomunikasi dengan masyarakat akhirnya masyarakat memberikan kepercaayaan kepada parlok, karena masyarakat menilai parloklah yang dapat memahami dan memperjuangkan keinginan masyarakat. Pada umumnya masyarakat mengatakan pada masa itu parlok adalah “Ureueng droeteuh, Ureueng Geutanyoe”.Parlok adalah Orang kita, maksudnya orang Aceh.

5.4 Bahasa dalam Komunikasi Politik secara Kualitatif