Pemilihan Bahasa dan Sikap Bahasa dalam Komunikasi Politik oleh Partai Politik Lokal di Pemerintahan Aceh

(1)

PEMILIHAN BAHASA DAN SIKAP BAHASA

DALAM KOMUNIKASI POLITIK OLEH

PARTAI POLITIK LOKAL DI

PEMERINTAHAN ACEH

DISERTASI

RIDWAN HANAFIAH

088107018

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2011


(2)

PEMILIHAN BAHASA DAN SIKAP BAHASA

DALAM KOMUNIKASI POLITIK OLEH

PARTAI POLITIK LOKAL DI

PEMERINTAHAN ACEH

DISERTASI

Untuk Memperoleh Gelar Doktor dalam Ilmu Linguistik pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

dengan Wibawa Rektor Universitas Sumatera Utara

Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM & H., M.Sc. (CTM), Sp.A. (K) Dipertahankan pada Tanggal 5 November 2011

di Medan, Sumatera Utara

RIDWAN HANAFIAH

088107018

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2011


(3)

PEMILIHAN BAHASA DAN SIKAP BAHASA

DALAM KOMUNIKASI POLITIK OLEH

PARTAI POLITIK LOKAL DI

PEMERINTAHAN ACEH

DISERTASI

Untuk Memperoleh Gelar Doktor dalam Ilmu Linguistik

pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Telah

Dipertahankan di Hadapan Panitia Ujian Terbuka

Pada Hari : Sabtu

Tanggal

: 5 November 2011

Pukul

: 10.00 WIB

Oleh

RIDWAN HANAFIAH

NIM: 088107018


(4)

Diuji pada Ujian Disertasi Tertutup Tanggal: 26 September 2011

PANITIA PENGUJI DISERTASI

Ketua : Prof. Bahren Umar Siregar, Ph.D. Universitas Atmajaya Jakarta

Anggota : Prof. Dr. Robert Sibarani, M.S. USU MEDAN Dr. Eddy Setia, M.Ed. TESP USU MEDAN Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D. USU MEDAN Prof. Dr. Busmin Gurning, M.Pd. UNIMED MEDAN

Prof. Subhilhar, M.A., Ph.D. USU MEDAN Dr. T. Syarfina, M.Hum. BALAI BAHASA

MEDAN

Dengan Surat Keputusan

Rektor Universitas Sumatera Utara

Nomor : 2422/UN.5.1.R/SK/SSA/2011 Tanggal : 19 September 2011


(5)

Diuji pada Ujian Disertasi Terbuka (Promosi) Tanggal : 5 November 2011

PANITIA PENGUJI DISERTASI

Pemimpin Sidang : Prof.Dr.dr.Syahril Pasaribu, DTM&H,M.Sc (CTM), Sp.A.(K) (Rektor USU)

Ketua : Prof. Bahren Umar Siregar, Ph.D. Univ. Atmajaya Jakarta Anggota : Prof. Dr. Robert Sibarani, M.S. USU MEDAN

Dr. Eddy Setia, M.Ed. TESP USU MEDAN Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D. USU MEDAN Prof. Dr. Busmin Gurning, M.Pd. UNIMEDMEDAN Prof. Subhilhar, M.A., Ph.D. USU MEDAN Dr. T. Syarfina, M.Hum. BALAI BAHASA

MEDAN

Dengan Surat Keputusan

Rektor Universitas Sumatera Utara

Nomor : 2551 /UN5.l.R/SK/SSA/2011 Tanggal : 5 Oktober 2011


(6)

PERNYATAAN

Judul Disertasi

PEMILIHAN BAHASA DAN SIKAP BAHASA DALAM KOMUNIKASI

POLITIK OLEH PARTAI POLITIK LOKAL DI PEMERINTAHAN ACEH

Dengan ini penulis menyatakan bahwa disertasi ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Doktor Linguistik pada Program Studi Linguistik Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara adalah benar merupakan hasil karya penulis sendiri.

Ada pun pengutipan-pengutipan yang penulis lakukan pada bagian-bagian tertentu dari hasil karya orang lain dalam penulisan disertasi ini, telah penulis cantumkan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah.

Apabila dikemudian hari ternyata ditemukan seluruh atau sebagian disertasi ini bukan hasil karya penulis sendiri atau adanya plagiat dalam bagian-bagian tertentu, penulis bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang penulis sandang dan sanksi-sanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Medan, Oktober 2011 Penulis,


(7)

Disertasi ini saya persembahkan untuk keluarga, Universitas

Sumatera Utara, masyarakat dan Pemerintahan Aceh, Bangsa dan

Negara Republik Indonesia

Orang tua tercinta dan tersayang

H. Hanafiah Harun

Djuariah Sulaiman

Mertua tercinta

Alm H. M.Thalib Siregar dan Almh. Nurijah Harahap

Istri yang kusayangi Hj. Tetty Sartika Siregar

Anak-anak dan menantuku tercinta

Fazhlah Putri, S.H. dan Drs. Zulkify Nurdin

Winna Hartini S.Sos., MSP dan Drs. Fadzlan Maksum Harahap

Irfan Ananda

Cucuku yang kusayangi Muhammad Hani Musyaffa & Hanazra

Syifa Nabila


(8)

ABSTRAK

PEMILIHAN BAHASA DAN SIKAP BAHASA DALAM KOMUNIKASI POLITIK OLEH PARTAI POLITIK LOKAL DI PEMERINTAHAN ACEH, Ridwan Hanafiah, Program S3, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan

Disertasi ini berjudul “Pemilihan Bahasa dan Sikap Bahasa dalam Komunikasi Politik oleh Partai Politik Lokal di Pemerintahan Aceh.” Disertasi ini berdasarkan temuan hasil riset lapangan yang dilakukan di Kabupaten Bireuen dan Kota Langsa. Penelitian ini difokuskan pada pemilihan bahasa dan sikap bahasa oleh partai politik lokal dalam komunikasi politik di Pemerintahan Aceh, dan bagaimana pemilihan bahasa dan sikap bahasa dalam hubungannya dengan kohesi sosial dalam komunikasi politik pengurus partai politik lokal di Pemerintahan Aceh.

Populasi sampel penelitian adalah pengurus partai lokal di Pemerintahan Aceh yang mempunyai wakilnya di DPRK Kota Langsa dan Kabupaten Bireuen. Dari 6 (enam) partai lokal yang ada, hanya 3 (tiga) partai lokal saja yang menjadi sampel populasi, yaitu Partai Aceh (PA), Partai Bersatu Atjeh (PBA), dan Partai Suara Independen Rakyat Aceh (SIRA), masing-masing 15 orang dari populasi partai lokal di Kabupaten Bireuen dan Kota Langsa.

Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori sosiolinguistik dan teori komunikasi politik. Teori sosiolinguistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori Bernard Spolsky (2008), yaitu untuk melihat bagaimana pemilihan bahasa dalam komunikasi politik oleh partai politik lokal di Pemerintahan Aceh dan teori komunikasi politik digunakan untuk melihat suatu proses komunikasi dalam aktivitas politik partai politik lokal. Hipotesis penelitian ini adalah hipotesis nol, yaitu tidak ada hubungan antara pemilihan bahasa dan sikap bahasa dengan kohesi sosial.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemilihan bahasa oleh partai politik lokal dalam komunikasi politik di Pemerintahan Aceh memilih bahasa Aceh (BA) (47,36%) dalam rapat internal partai, dalam kampanye politik, dalam interaksi sesama pengurus partai, dalam komunikasi dengan masyarakat umum, dalam membahas strategi politik, dalam hal membahas pembangunan dan pemberdayaan partai, serta dalam komunikasi di DPRK dengan sesama pengurus partai politik lokal, baik dengan partai lokal yang sama ataupun dengan pengurus partai politik lokal yang berbeda. Partai politik lokal yang memilih menggunakan BA/BI (campur kode) dengan posisi BA yang dominan dengan persentase 52,63 % yaitu dalam aktivitas membahas strategi pemberdayaan partai, dalam membahas pemilihan presiden dan wakil presiden RI periode 2009-2014, dalam pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota periode 2011-2016, serta dalam membahas APBD dan dengar pendapat dengan pemerintah.

Alasan pemilihan bahasa oleh partai politik lokal dalam komunikasi politik kebanyakan atau dominan disebabkan karena bangga dan senang (73,60%);


(9)

selanjutnya yang memilih karena disebabkan oleh kebiasaan dan fasih dalam berkomunikasi (15,78%); yang memilih karena puas hati (5,52%); dan, memilih bahasa karena merasa akrab memilih BA dan BA/BI (5,10%). Di dalam sikap bahasa, pengurus partai politik lokal memiliki sikap sangat setuju terhadap BA sebagai identitas suku/etnik, sebagai identitas partai politik lokal, sebagai alat penyampaian gagasan politik, dan sebagai alat komunikasi masyarakat adalah 66,66%. Sikap bahasa partai politik lokal sangat setuju BA dan BI sama kedudukannya dalam partai, BI sebagai identitas bangsa Indonesia, BA dan BI merupakan alat komunikasi politik di Aceh, dan partai politik lokal bersikap setuju BA dapat menyampaikan pesan politik di Aceh, dan BI sebagai alat pemersatu bangsa Indonesia adalah 33,33%. Dari aspek kohesi sosial, masyarakat yang menyatakan senang adalah 50% dan yang menyatakan sangat senang 50% dalam memilih BA dan BA/BI dengan BA yang dominan.

Hasil nilai koefisiensi pemilihan bahasa adalah -0,676 dan nilai alasan pemilihan bahasa adalah -0,664, nilai sikap bahasa adalah 0,460. Nilai koefiensi pemilihan bahasa, alasan pemilihan bahasa mendekati -1, dan nilai sikap bahasa mendekati 0, sehingga dapat disimpulkan bahwa kedua variabel tersebut memiliki korelasi koefiensi yang moderat. Dilihat dari rumusan signifikansi, nilai pemilihan bahasa dan alasan pemilihan bahasa dihubungkan dengan nilai kohesi sosial adalah 0,000 sedangkan nilai signifikansi antara sikap bahasa dengan kohesi sosial adalah 0,010.

Dilihat dari perbandingan nilai t-hitung dengan nilai t-tabel adalah t-hitung adalah 2,05 dan nilai tabel adalah 1,70. Hal ini dapat kita artikan bahwa nilai t-hitung > t-tabel ( t-t-hitung 2,05 > t-tabel 1,70 ). Hasil ini dapat menunjukkan bahwa ada hubungan antara pemilihan bahasa, alasan pemilihan bahasa dengan kohesi sosial karena nilai t-hitung lebih besar daripada nilai t-tabel. Maka dengan demikian, penelitian ini menolak hipotesis nol (H0), dan menerima hipotesis alternatif (Ha) pada taraf � = 0,05 atau 95 %.

Kata Kunci: bahasa Aceh, bahasa Indonesia, partai politik lokal, komunikasi politik,


(10)

ABSTRACT

The Language choice and Language Attitude in Political Communication by Local Political Parties in Aceh Administration, Doctoral Program, Postgraduate University of Sumatera Utara

The title of this dissertation is “The Language Choice and Language Attitude of Language in the Political Communication by the Local Political Parties in Aceh Administration.” This dissertation is based on the finding of field reseach conducted in Bireuen District and City of Langsa. This study focused on language choice and language attitude by local political parties in political communication in The Aceh Administration and how language choice and language attitude are related to social cohesion in the political communication among the local political parties in Aceh Administration.

The population of the samples for this study was the officials of local political parties who represent their parties in the Legislative Assembly of the City of Langsa and Bireuen District. Of the six local political parties, only three parties, namely Partai Aceh (PA), Partai Bersatu Atjeh (PBA), and Partai Suara Independent Rakyat Aceh (SIRA), which were employed as the sample population. The samples population is 15 samples from the City of Langsa Legislative Assembly and 15 from Bireuen District Legislative Assembly.

This study employed the theory of sociolinguistics and theory of political communication. The theory of sociolinguistics by Bernard Spolsky (2008) to look at the application of language in the political communication of the officials of local political parties in Aceh Administration while the theory of the political communication was used to look at the process of communication with its implication or consequence on political activity through the choice and attitude of Aceh Administration. The hypothesis of this study, there is no influence of the language and language attitude in the social cohesion.

The result of this study is that the language chosen by the local political parties in their political communication in Aceh Administration such as in their internal party meetings, political campaign, internal interaction among the parties’ officials, communicating with community members in general, discussing political strategy, in discussing about the development and empowerment of their parties, and in communicating with the members of the same or different local political parties in the Legislative Assembly, is Acehnese (47.36%). The local political parties that chose to used BA (Acehnese) and BI (Indonesian) (code mixing) with a dominant position of BA (52.63%) when they were discussing the strategy to empower the local parties, the 2009-2014 Indonesian president and vice president election, in political communication discussing about the Governor and Vice Governor election, Head of District and Deputy Head of District election, the 2011-2016 City Mayor and Deputy City Mayor election, discussing about District and City Budget, and during the hearing session with government.


(11)

The choice of language done by the officials of local political parties in political communication is mostly or dominantly based on their being proud and happy to use that language (73.60 %), their habit and fluency to communicate in that language (15.78 %), and their satisfaction (5.52%) and their being closely (5.10 %) by choice BA and BA/BI.In terms of language attitude, the officials of local political parties do agree that Acehnese functions as the ethnic identity, the identity of local political parties, as a medium to express their political ideas, as a medium of inter-community communication (66.66%). The local political parties also agree that Acehnese can spread and deliver their political messages in Aceh, Indonesian as the unifying forces of the people of Indonesia, and feel comfort using Acehnese instead of Indonesian during the party meeting (33.33%). The social cohesion is (50 %) comfortable and strongly comfortable (50 %) by choicing BA and BA/BI with BA at dominant position.

Based on coeficiency, the result of language choice is 0,676 and the reason of language choice is -0,664, whereas language attitude is 0,460. Coeficiency of language choice and reason of language choice is close to -1, and coeficiency of language attitude is close to 0. So, it means that the two variables have moderate correlation. And based on significancy point, the result of language choice and reason of language choice related to social cohesion is 0,000, whereas language attitude is 0,010,

Viewed from the comparison value at t-count with value of t table, t-count is 2,05 and t-table value is 1,70. It can get that the value of t-count and t table (t count 2,05 > t table 1,70). This result showed that there is a significant relation between acclamation language use, cause of acclamation language use by social cohesion t-count since value greater than t table value, and thus, this research refuse hypothesis nol (H0), and received of the alternative hypotheses (Ha) at � 0,05 or 95%.

Keywords: Acehnese, Indonesian, Local Political Party, Political Communication,


(12)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur bagi Allah Subhanahu Wata’ala yang telah memberi kemudahan dan kemurahan kepada penulis sebagai peneliti, sehingga dapat menyelesaikan disertasi ini dengan baik.

Disertasi ini berjudul “Pemilihan Bahasa dan Sikap Bahasa dalam Komunikasi Politik oleh Partai Politik Lokal di Pemerintahan Aceh.” Disertasi ini membicarakan pemilihan bahasa dan sikap bahasa oleh pengurus parlok dalam menciptakan kohesi sosial dalam komunikasi politik oleh partai lokal di pemerintahan Aceh. Data yang diperlukan dalam penelitian ini diperoleh dengan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Oleh karena itu, peneliti menggunakan kuesioner dan melakukan wawancara terhadap pengurus parlok di dua lokasi, yaitu Kota Langsa dan Kabupaten Bireuen.

Penyelesaian disertasi ini telah diusahakan keilmiahannya oleh penulis sebagai peneliti dengan bantuan materi data yang merupakan data empirik dari berbagai pihak. Kelemahan atau kesalahannya tetap menjadi tanggung jawab penulis. Untuk itu, penulis menerima kritik dan saran untuk lebih menyempurnakan disertasi ini.

Medan, Oktober 2011


(13)

UCAPAN TERIMA KASIH

Dalam menempuh perkuliahan dan penyelesaikan disertasi ini, penulis mendapat bantuan dari berbagai pihak, baik moril maupun material. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih dan menyampaikan penghargaan yang tinggi kepada pihak-pihak berikut ini.

1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM & H., M.Sc. (CTM), Sp.A. (K) sebagai Rektor, dan para Pembantu Rektor Universitas Sumatera Utara Medan.

2. Prof. Dr. Ir. A. Rahim Matondang, MSIE sebagai Direktur Sekolah Pascasarjana USU serta Direktur I dan II beserta Staf Akademik dan Administrasinya.

3. Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D. dan Dr. Nurlela, M.Hum. sebagai Ketua dan Sekretaris Program Studi Doktor Linguistik USU beserta Dosen dan Staf Administrasinya.

4. Prof. Bahren Umar Siregar, Ph.D. sebagai Promotor serta Prof. Dr. Robert Sibarani, M.S. dan Dr. Eddy Setia, M.Ed. TESP selaku Co. Promotor yang telah mengarahkan pola pikir penulis serta membimbing penulis dengan penuh kecermatan dan kedisiplinan.

5. Dr. Syahron Lubis, M.A. sebagai Dekan Fakultas Ilmu Budaya, dan Pembantu Dekan I, II, dan III (Dr. M. Husnan Lubis, M.A., Drs. Samsul Tarigan, dan Drs. Yuddi Adrian Muliadi, M.A.) dan Dr. Muhizar Mukhtar, M.S. sebagai Ketua Departemen Sastra Inggris, beserta teman seprofesi penulis di Departemen Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara, Medan.


(14)

6. Orang tua penulis, Ayahanda H. Hanafiah Harun dan Ibunda Djuairiah Sulaiman yang dengan tulus memberikan dukungan semangat dan doa dengan penuh kasih sayang tanpa ada hentinya.

7. Keluarga penulis, istri tercinta Hj. Tetty Sartika Siregar dengan perhatian dan kasih sayang, ketiga anak penulis yaitu Fazlah Putri, S.H., Winna Hartini, S.Sos., MSP dan Irfan Ananda yang selalu memberikan dukungan dan doa dengan penuh kasih sayang yang merupakan suatu motivasi positif dalam menyelesaikan kuliah dan disertasi.

8. Keluarga besar penulis, yaitu Ibrahim Hanafiah, A.Md., Drs. Azhar Hanafiah, Chadijah Hanafiah, dan Dra. Khuzaimah Hanafiah.

9. Sahabat-sahabat penulis, Abangda H. Syamsul Arifin, S.E., Abangda Zaidan B.S., Abangnda dr. H. T. Syaifuddin S., saudaraku H. Yuslin Siregar, Abangda Manahan Lubis dan saudaraku H. T. Sulaiman yang telah banyak memberikan dukungan selama ini.

10.Saudaraku Amir Purba, M.A., Ph.D., saudaraku Drs. H. Humaizi, M.A., saudaraku Dr. Nasruddin M.N., M.Eng. Sc, Dr. Irawati Khahar, M.Pd, dan Saudaraku Syaiful Hidayat, S.S. yang telah banyak memberikan dukungan dalam mendiskusikan masalah bahasa dan komunikasi politik.

11.Sahabat mahasiswa Program Doktor Linguistik, Sekolah Pascasarjana USU Angkatan ke-5 Tahun 2008.


(15)

12.Prof. H.T. Amin Ridwan, Ph.D. (Alm.) dan ibu, abangda H.T. Razman Aziz (Alm) dan Kakanda Dra. Siti Amnah Razman, M.A. yang telah memberikan semangat untuk belajar, dan kepada semua pihak yang telah membantu dan berpartisipasi untuk penulis selama perkuliahan dan penyelesaian disertasi ini. Semoga Allah SWT melimpahkan kemuliaan, memberikan kemurahan rezeki dan kesehatan kepada kita semua. Amin.

Medan, Oktober 2011


(16)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRACT ... i

ABSTRAK ... iii

KATA PENGANTAR ... v

UCAPAN TERIMA KASIH ... vi

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR GAMBAR ... xx

DAFTAR SINGKATAN ... xxi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1Latar Belakang ... 1

1.2Pemerintahan Aceh ... 13

1.3Pemerintahan Kota Langsa ... 21

1.4Pemerintahan Kabupaten Bireuen ... 23

1.5Rumusan Masalah ... 24

1.6Tujuan Penelitian ... 25

1.7Manfaat Penelitian ... 26

BAB II KERANGKA TEORETIS DAN KAJIAN PUSTAKA ... 29

2.1Deskripsi Teoretis ... 29

2.1.1 Konsep Kedwibahasaan/Bilingualisme ... 32

2.1.2 Konsep dan Variabel Penelitian ... 34

2.1.2.1 Pemilihan Bahasa ... 36

2.1.2.2 Sikap Bahasa ... 38

2.1.2.3Kohesi Sosial ... 42

2.1.3 Teori Komunikasi ... 45

2.1.4 Komunikasi Lisan ... 48


(17)

2.1.6 Partai Politik Lokal ... 51

2.2Hasil Penelitian Terdahulu ... 54

2.3Kerangka Konseptual ... 58

2.4Hipotesis ... 64

BAB III METODE PENELITIAN ... 65

3.1Metode Penelitian ... 65

3.1.1 Metode Kuantitatif ... 67

3.1.2 Metode Kualitatif ... 69

3.2Populasi dan Sampel ... 70

3.3Lokasi dan Waktu Penelitian ... 71

3.4Teknik Pengumpulan Data ... 73

3.4.1 Hasil Uji Coba Kuesioner ... 74

3.4.1.1Uji Validitas ... 76

3.4.1.2Uji Reabilitas ... 79

3.4.2 Instrumen Final ... 81

3.5Teknik Analisis Data ... 83

3.6Pemeriksaan dan Pengecekan Keabsahan Data ... 86

BAB IV PAPARAN DATA DAN ANALISIS DATA... 88

4.1Data dan Analisis Data Kuantitatif ... 88

4.1.1 Deskripsi Identitas Responden ... 88

4.1.2 Distribusi Data Responden ... 92

4.2Data dan Analisis Statistik ... 98

4.2.1 Data dan Analisis Persentase Frekuensi ... 98

4.2.2 Data dan Analisis Deskriptif ... 141

4.3Uji Persyaratan Analisis… ... 145

4.4Uji Hipotesis ... 147

4.4.1 Hubungan Variabel Pemilihan Bahasa dengan Variabel Terikat ... 147


(18)

4.4.3 Hubungan Kedua Variabel Beban dengan Variabel Terikat 150

4.5Deskripsi Data Kualitatif ... 152

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 154

5.1 Hasil Penelitian... ... 154

5.1.1 Variabel Bebas Pemilihan Bahasa ... 155

5.1.2 Variabel Bebas Sikap Bahasa ... 156

5.1.3 Variabel Terikat Kohesi Sosial ... 158

5.1.4 Korelasi Variabel Pemilihan Bahasa dengan Variabel Terikat ... 159

5.1.5 Korelasi Variabel Sikap Bahasa dengan Variabel Terikat ... 162

5.1.6 Korelasi Pemilihan Bahasa dan Sikap Bahasa dengan Kohesi Sosial ... 163

5.2 Pembahasan ... 164

5.2.1 Pembahasan Pemilihan Bahasa dan Alasannya ... 170

5.2.1.1 Pemilihan Bahasa dalam Rapat Internal Partai ... 170

5.2.1.2 Pemilihan Bahasa dalam Kampaye Politik pada Pemilu Tahun 2009 ... 171

5.2.1.3 Pemilihan Bahasa di Luar Rapat Resmi dengan Sesama Anggota Partai ... 172

5.2.1.4 Pemilihan Bahasa dalam Interaksi dengan Masyarakat Umum ... 173

5.2.1.5 Pemilihan Bahasa dalam Interaksi Politik Sesama Parlok yang Berbeda ... 174

5.2.1.6 Pemilihan Bahasa dalam Membahas Strategi dan Program Parlok ... 175

5.2.1.7 Pemilihan Bahasa dalam Membahas Pembangunan dan Pemberdayaan Parlok dalam Masyarakat ... 176

5.2.1.8 Pemilihan Bahasa dalam Membahas Pemilihan Presiden/Wakil Presiden 2009-2014 ... 177


(19)

5.2.1.9 Pemilihan Bahasa dalam Membahas Pemilihan

Anggota DPR-RI/DPD-RI Periode 2009-2014 ... 178 5.2.1.10 Pemilihan Bahasa dalam Membahas Pemilihan

Anggota DPRA/DPRK Periode 2009-2014 ... 179 5.2.1.11 Pemilihan Bahasa dalam Membahas Pemilihan

Gubernur/Wakil Gubernur, Walikota/Wakil Walikota, Bupati/Wali Bupati di Pemerintahan

Aceh Periode 2009-2014 ... 180 5.2.1.12 Pemilihan Bahasa dalam Membahas Isu-isu

Nasional NKRI ... 181 5.2.1.13 Pemilihan Bahasa secara Resmi Sesama Parlok

di DPRK ... 182 5.2.1.14 Pemilihan Bahasa secara Resmi di DPRK dengan

Sesama Parlok yang Berbeda ... 183 5.2.1.15 Pemilihan Bahasa dalam Lobi-lobi Politik di DPRK dengan Sesama Parlok yang Berbeda ... 184 5.2.1.16 Pemilihan Bahasa secara Tidak Resmi di DPRK

dengan Sesama Parlok yang Berbeda ... 185 5.2.1.17 Pemilihan Bahasa dalam Membahas Kanun (Perda) Secara Resmi di DPRK ... 186 5.2.1.18 Pemilihan Bahasa dalam Membahas APBD Secara Resmi di DPRK ... 188 5.2.1.19 Pemilihan Bahasa dalam Dengar Pendapat dengan Pemerintah secara Resmi di DPRK ... 189 5.2.2 Pembahasan Sikap Bahasa ... 190 5.2.2.1 Sikap Bahasa terhadap BA sebagai Identitas Suku ... 190 5.2.2.2 Sikap Bahasa terhadap BA sebagai Identitas Parlok .. 191 5.2.2.3 Sikap Bahasa terhadap BA dalam Penyampaian


(20)

5.2.2.4 Sikap Bahasa terhadap BA sebagai Alat Komunikasi Masyarakat ... 192 5.2.2.5 Sikap Bahasa terhadap BA dalam Menyampaikan

Pesan Politik ... 192 5.2.2.6 Sikap Bahasa terhadap BI sebagai Alat Komunikasi Masyarkat ... 193 5.2.2.7 Sikap Bahasa terhadap BI sebagai Alat Pemersatu

Masyarakat ... 193 5.2.2.8 Sikap Bahasa terhadap BI Mudah dalam

Menyampaikan Pesan Politik Parlok ... 194 5.2.2.9 Sikap Bahasa terhadap BI Mudah Dipahami

Berbanding BA dalam Rapat Parlok ... 194 5.2.2.10 Sikap Bahasa terhadap BA dan BI Sama

Kedudukannya dalam Parlok ... 195 5.2.2.11 Sikap Bahasa terhadap BI sebagai Identitas Bangsa

Indonesia ... 195 5.2.2.12 Sikap Bahasa terhadap BA dan BI Merupakan Alat

Komunikasi Parlok …………. ... 196 5.2.3 Pembahasan Kohesi Sosial ... 196

5.2.3.1 Kohesi Sosial Pemilihan BA dalam Komunikasi

Politik ... 196 5.2.3.2 Kohesi Sosial Pemilihan BI dalam Komunikasi

Politik ... 197 5.2.3.3 Kohesi Sosial dalam Komunikasi Politik BA/BI

Campur Kode dengan BA yang Dominan… ... 197 5.2.3.4 Kohesi Sosial dalam Komunikasi Politik dengan

Campur Kode dengan BI yang dominan ... 198 5.3 Bahasa dan Kepercayaan Masyarakat ... 198 5.4 Bahasa dalam Komunikasi Politik secara Kualitatif ... 200


(21)

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN ... 206

6.1 Simpulan ... 206

6.2 Saran ... 210

DAFTAR PUSTAKA ... 211

Lampiran 1: Tabulasi Data Responden ... 218

Lampiran 2: Deskriptif Statistik Pemilihan Bahasa ... 223

Lampiran 3: Data Uji Validitas dan Reabilitas ... 226

Lampiran 4: Data Statistik Frekuensi dan Deskriptif ... 233

Lampiran 5: Data Uji Normalitas ... 278

Lampiran 6: Lembaran Berita Surat Kabar ... 283

Lampiran 7: Tabel Uji Data Kuantitatif ... 290

Lampiran 8: Hasil Pemilu 2009 di Kota Langsa dan Kabupaten Bireuen ... 297

Lampiran 9: Kuesioner Hasil Penelitian ... 303


(22)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1.1: Jumlah Penduduk dan Sex Ratio Pemerintahan Aceh Hasil Sensus Penduduk Tahun 2010... ... 15 Tabel 1.2: Kepadatan Penduduk Pemerintahan Aceh Menurut Kabupaten/Kota (Jiwa/km²), Tahun 2004-2009... ... 17 Tabel 3.1: Uji Validitas Pemilihan Bahasa... ... 77 Tabel 3.2: Uji Validitas Sikap Bahasa ... 78 Tabel 3.3: Uji Validitas Kohesi Sosial ... 79 Tabel 3.4: Pedoman Tingkat Koefisien Korelasi Antarvariabel ... 86 Tabel 4.1: Nama Partai Responden ... 88 Tabel 4.2: Frekuensi Jabatan Responden dalam Partai ... 89 Tabel 4.3: Frekuensi Ayah Kandung ... 89 Tabel 4.4: Frekuensi Ibu Kandung ... 90 Tabel 4.5: Frekuensi Status Kawin ... 90 Tabel 4.6: FrekuensiSuku Istri ... 91 Tabel 4.7: Frekuensi Bahasa Percakapan ... 91 Tabel 4.8: Pemilihan Bahasa dalam Rapat Internal Partai ... 98 Tabel 4.9: Pemilihan Bahasa dalam Kampanye Politik pada Pemilu Tahun

2009 ... 99 Tabel 4.10: Pemilihan Bahasa dalam Interaksi dengan Sesama Anggota Partai di Luar Rapat Resmi... 100 Tabel 4.11: Pemilihan Bahasa dalam Interaksi dengan Masyarakat Umum

dalam Kapasitas sebagai Pengurus Partai ... 100 Tabel 4.12: Pemilihan Bahasa dalam Interaksi Politik dengan Anggota Parlok

Lain ... 101 Tabel 4.13: Pemilihan Bahasa dalam Interaksi Politik dalam Membahas


(23)

Tabel 4.14: Pemilihan Bahasa dalam Membahas Pembangunan/Pemberdayaan Partai dengan Masyarakat ... 102 Tabel 4.15: Pemilihan Bahasa dalam Membahas Pemilihan Presiden/Wakil

Presiden Periode 2009-2014 ... 103 Tabel 4.16: Pemilihan Bahasa Membahas Pemilihan Anggota DPR-RI/DPD-RI

Periode 2009-2014 ... 104 Tabel 4.17: Pemilihan Bahasa dalam Membahas Pemilihan Anggota DPRA/

DPRK Periode 2009-2014 ... 104 Tabel 4.18: Pemilihan Bahasa dalam Membahas Rencana Pemilihan Gubernur/

Wakil Gubernur, Walikota/Wakil Walikota, Bupati/Wakil Bupati

Periode 2009-2014 ... 105 Tabel 4.19: Pemilihan Bahasa dalam Membahas Isu-isu Nasional NKRI ... 106 Tabel 4.20: Pemilihan Bahasa dalam Komunikasi Resmi di DPRK dengan

Sesama Anggota Partai Lokal ... 106 Tabel 4.21: Pemilihan Bahasa dalam Komunikasi Resmi di DPRK Sesama

Parlok dengan Parlok yang Berbeda ... 107 Tabel 4.22: Pemilihan Bahasa dalam Lobi Politik dengan Parlok yang

Berbeda... . 108 Tabel 4.23: Pemilihan Bahasa dalam Komunikasi tidak Resmi di DPRK

Dengan Parlok yang Berbeda ... 108 Tabel 4.24: Pemilihan Bahasa dalam Membahas Perda secara Resmi

di DPRK ... 109 Tabel 4.25: Pemilihan Bahasa dalam Membahas APBD Secara Resmi

di DPRK ... 110 Tabel 4.26: Pemilihan Bahasa pada Dengar Pendapat dengan Pemerintah ... 110 Tabel 4.27: Alasan Pemilihan Bahasa dalam Rapat Internal Parlok ... 112 Tabel 4.28: Alasan Pemilihan Bahasa dalam Kampanye Politik pada Pemilu

Legislatif Tahun 2009 ... 113 Tabel 4.29: Alasan Pemilihan Bahasa dalam Interaksi Sesama Parlok di


(24)

Luar Rapat Resmi ... 114 Tabel 4.30: Alasan Pemilihan Bahasa dalam Interaksi dengan Masyarakat

Umum dalam Kapasitas Pengurus Parlok ... 115 Tabel 4.31: Alasan Pemilihan Bahasa dalam Interaksi Politik dengan Anggota

Parlok lain ... 116 Tabel 4.32: Alasan Pemilihan Bahasa dalam Membahas Stategi/Program

Parlok ... 117 Tabel 4.33: Alasan Pemilihan Bahasa dalam Membahas Pembangunan dan

Pemberdayaan Parlok ... 118 Tabel 4.34: Alasan Pemilihan Bahasa dalam Membahas Pemilihan Presiden/

Wakil Presiden Periode 2009-2014 ... 119 Tabel 4.35: Alasan Pemilihan Bahasa dalam Membahas Pemilihan Anggota

DPRRI/DPD RI ... 120 Tabel 4.36: Alasan Pemilihan Bahasa dalam Membahas Pemilihan Anggota

DPRA/DPRK Periode 2009-2014 ... 121 Tabel 4.37: Alasan Pemilihan Bahasa dalam Membahas Pemilihan Gubernur/

Wakil Gubernur, Walikota/Wakil Walikota, Bupati/Wakil Bupati Periode 2009-2014 ... 122 Tabel 4.38: Alasan Pemilihan Bahasa dalam Membahas Isu-isu Nasional

NKRI ... 123 Tabel 4.39: Alasan Pemilihan Bahasa dalam Interaksi Resmi di DPRK dengan

Sesama PARLOK ... 124 Tabel 4.40: Alasan Pemilihan Bahasa dalam Interaksi Resmi di DPRK dengan

Sesama PARLOK yang Berbeda ... 125 Tabel 4.41: Alasan Pemilihan Bahasa dalam Lobi-lobi Politik di DPRK dengan

Sesama Parlok yang Berbeda ... 126 Tabel 4.42 : Alasan pemilihan Bahasa dalam Komunikasi Tidak Resmi di

DPRK dengan Sesama Anggota Parlok yang Berbeda ... 127 Tabel 4.43: Alasan Pemilihan Bahasa dalam Membahas Kanun/Perda secara


(25)

Resmi di DPRK ... 128 Tabel 4.44: Alasan Pemilihan Bahasa RAPBD secara Resmi di DPRK ... 129 Tabel 4.45: Alasan Pemilihan Bahasa dalam Dengar Pendapat dengan

Pemerintah ... 130 Tabel 4.46: Sikap Bahasa sebagai Identitas Suku ... 131 Tabel 4.47: Sikap Bahasa sebagai Identitas Politik Parlok ... 131 Tabel 4.48: Sikap Bahasa dalam Menyampaikan Gagasan Politik Parlok ... 132 Tabel 4.49: Sikap Bahasa sebagai Alat Komunikasi Parlok dalam Masyarakat 133 Tabel 4.50: Sikap Bahasa dalam Menyampaikan Pesan Politik ... 133 Tabel 4.51: Sikap Bahasa (BI) sebagai Alat Komunikasi dalam Masyarakat .... 134 Tabel 4.52: Sikap Bahasa (BI) sebagai Alat Pemersatu Masyarakat ... 135 Tabel 4.53: Sikap Bahasa (BI) Mudah dalam Menyampaikan Pesan Politik

Parlok ... 135 Tabel 4.54: Sikap Bahasa (BI) Mudah Dipahami Daripada (BA) dalam Rapat

Parlok ... 136 Tabel 4.55: Sikap Bahasa (BA dan BI) Sama Kedudukannya dalam Parlok ... 137 Tabel 4.56: Sikap Bahasa (BI) sebagai Identitas Bangsa Indonesia ... 137 Tabel 4.57: Sikap Bahasa (BA dan BI) sebagai Alat Komunikasi Politik ... 138 Tabel 4.58: Kohesi Sosial Pemilihan BA dalam Komunikasi Politik ... 139 Tabel 4.59: Kohesi Sosial Pemilihan BI dalam Komunikasi Politik ... 139 Tabel 4.60: Kohesi Sosial dalam Memilih BA/BI (Campur Kode) dengan BA

Dominan dalam Komunikasi Parlok ... 140 Tabel 4.61: Kohesi Sosial Memilih BA/BI (Campur Kode) dengan BI

Dominan dalam Komunikasi Politik ... 140 Tabel 4.62: Deskriptif Statistik Pemilihan Bahasa ... 142 Tabel 4.63: Deskriptif Statistik Alasan Pemilihan Bahasa ... 143 Tabel 4.64: Deskriptif Statistik Sikap Bahasa ... 144 Tabel 4.65: Deskriptif Statistik Kohesi Sosial ... 145 Tabel 4.66: Tests of Normality ... 146 Tabel 4.67: Korelasi Pemilihan Bahasa dengan Kohesi Sosial ... 147


(26)

Tabel 4.68: Korelasi Alasan Pemilihan Bahasa dengan Kohesi Sosial ... 149 Tabel 4.69: Korelasi Sikap Bahasa dengan Kohesi Sosial ... 150 Tabel 4.70: Korelasi Variabel Bebas dengan Variabel Terikat ... 151 Tabel 5.1: Korelasi Pemilihan Bahasa dengan Kohesi Sosial ... 159 Tabel 5.2: Korelasi Pemilihan Bahasa dengan Kohesi Sosial ... 161 Tabel 5.3: Korelasi Sikap Bahasa dengan Kohesi Sosial ... 162 Tabel 5.4: Korelasi Variabel Bebas dengan Variabel Terikat ... 163


(27)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 4.1: Histogram Variabel Bebas Pemilihan Bahasa... 93 Gambar 4.2: Histogram Variabel Alasan Pemilihan Bahasa ... 94 Gambar 4.3: Histogram Variabel Bebas Sikap Bahasa ... 96 Gambar 4.4: Histogram Variabel Terikat Kohesi Sosial ... 97


(28)

DAFTAR SINGKATAN

APBD Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah B-1 Bahasa Pertama

B-2 Bahasa Kedua

BA Bahasa Aceh

BA/BI Bahasa Aceh/Bahasa Indonesia dalam Campur Kode BI Bahasa Indonesia

DPD Dewan Perwakilan Daerah DRPD Dewan Perwakilan Rayat Daerah DPRA Dewan Perwakilan Rakyat Aceh

DPRK Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota GAM Gerakan Aceh Merdeka

Golkar Golongan Karya

Ho Lambang Hipotesis Nol Ha Lambang Hipotesis Alternatif KPU Komisi Pemilihan Umum

LIPI Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia MoU Memorandum of Understanding MPU Majelis Permusyawaratan Ulama NKRI Negara Kesatuan Republik Indonesia Parlok Partai Politik Lokal

Perda Peraturan Daerah Pemilu Pemilihan Umum

Polri Kepolisian Republik Indonesia PA Partai Aceh

PAAS Partai Aceh Aman Sejahtera PAN Partai Amanat Nasional


(29)

PBA Partai Bersatu Atjeh PBB Partai Bulan Bintang PDA Partai Daulat Atjeh

PDI-P Partai Demokrasi Indonesia Pembangunan PKS Partai Keadilan Sejahtera

PPP Partai Persatuan Pembangunan PRA Partai Rakyat Aceh

RI Republik Indonesia

SIRA Partai Suara Independen Rakyat Aceh SPSS Statistical Product and Service Solution.

TNI Tentara Nasional Indonesia

UU Undang-Undang

UUD Undang-Undang Dasar

X-1 Lambang Variabel Bebas Pertama X-2 Lambang Variabel Bebas Kedua Y Lambang Variabel Terikat


(30)

ABSTRAK

PEMILIHAN BAHASA DAN SIKAP BAHASA DALAM KOMUNIKASI POLITIK OLEH PARTAI POLITIK LOKAL DI PEMERINTAHAN ACEH, Ridwan Hanafiah, Program S3, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan

Disertasi ini berjudul “Pemilihan Bahasa dan Sikap Bahasa dalam Komunikasi Politik oleh Partai Politik Lokal di Pemerintahan Aceh.” Disertasi ini berdasarkan temuan hasil riset lapangan yang dilakukan di Kabupaten Bireuen dan Kota Langsa. Penelitian ini difokuskan pada pemilihan bahasa dan sikap bahasa oleh partai politik lokal dalam komunikasi politik di Pemerintahan Aceh, dan bagaimana pemilihan bahasa dan sikap bahasa dalam hubungannya dengan kohesi sosial dalam komunikasi politik pengurus partai politik lokal di Pemerintahan Aceh.

Populasi sampel penelitian adalah pengurus partai lokal di Pemerintahan Aceh yang mempunyai wakilnya di DPRK Kota Langsa dan Kabupaten Bireuen. Dari 6 (enam) partai lokal yang ada, hanya 3 (tiga) partai lokal saja yang menjadi sampel populasi, yaitu Partai Aceh (PA), Partai Bersatu Atjeh (PBA), dan Partai Suara Independen Rakyat Aceh (SIRA), masing-masing 15 orang dari populasi partai lokal di Kabupaten Bireuen dan Kota Langsa.

Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori sosiolinguistik dan teori komunikasi politik. Teori sosiolinguistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori Bernard Spolsky (2008), yaitu untuk melihat bagaimana pemilihan bahasa dalam komunikasi politik oleh partai politik lokal di Pemerintahan Aceh dan teori komunikasi politik digunakan untuk melihat suatu proses komunikasi dalam aktivitas politik partai politik lokal. Hipotesis penelitian ini adalah hipotesis nol, yaitu tidak ada hubungan antara pemilihan bahasa dan sikap bahasa dengan kohesi sosial.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemilihan bahasa oleh partai politik lokal dalam komunikasi politik di Pemerintahan Aceh memilih bahasa Aceh (BA) (47,36%) dalam rapat internal partai, dalam kampanye politik, dalam interaksi sesama pengurus partai, dalam komunikasi dengan masyarakat umum, dalam membahas strategi politik, dalam hal membahas pembangunan dan pemberdayaan partai, serta dalam komunikasi di DPRK dengan sesama pengurus partai politik lokal, baik dengan partai lokal yang sama ataupun dengan pengurus partai politik lokal yang berbeda. Partai politik lokal yang memilih menggunakan BA/BI (campur kode) dengan posisi BA yang dominan dengan persentase 52,63 % yaitu dalam aktivitas membahas strategi pemberdayaan partai, dalam membahas pemilihan presiden dan wakil presiden RI periode 2009-2014, dalam pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota periode 2011-2016, serta dalam membahas APBD dan dengar pendapat dengan pemerintah.

Alasan pemilihan bahasa oleh partai politik lokal dalam komunikasi politik kebanyakan atau dominan disebabkan karena bangga dan senang (73,60%);


(31)

selanjutnya yang memilih karena disebabkan oleh kebiasaan dan fasih dalam berkomunikasi (15,78%); yang memilih karena puas hati (5,52%); dan, memilih bahasa karena merasa akrab memilih BA dan BA/BI (5,10%). Di dalam sikap bahasa, pengurus partai politik lokal memiliki sikap sangat setuju terhadap BA sebagai identitas suku/etnik, sebagai identitas partai politik lokal, sebagai alat penyampaian gagasan politik, dan sebagai alat komunikasi masyarakat adalah 66,66%. Sikap bahasa partai politik lokal sangat setuju BA dan BI sama kedudukannya dalam partai, BI sebagai identitas bangsa Indonesia, BA dan BI merupakan alat komunikasi politik di Aceh, dan partai politik lokal bersikap setuju BA dapat menyampaikan pesan politik di Aceh, dan BI sebagai alat pemersatu bangsa Indonesia adalah 33,33%. Dari aspek kohesi sosial, masyarakat yang menyatakan senang adalah 50% dan yang menyatakan sangat senang 50% dalam memilih BA dan BA/BI dengan BA yang dominan.

Hasil nilai koefisiensi pemilihan bahasa adalah -0,676 dan nilai alasan pemilihan bahasa adalah -0,664, nilai sikap bahasa adalah 0,460. Nilai koefiensi pemilihan bahasa, alasan pemilihan bahasa mendekati -1, dan nilai sikap bahasa mendekati 0, sehingga dapat disimpulkan bahwa kedua variabel tersebut memiliki korelasi koefiensi yang moderat. Dilihat dari rumusan signifikansi, nilai pemilihan bahasa dan alasan pemilihan bahasa dihubungkan dengan nilai kohesi sosial adalah 0,000 sedangkan nilai signifikansi antara sikap bahasa dengan kohesi sosial adalah 0,010.

Dilihat dari perbandingan nilai t-hitung dengan nilai t-tabel adalah t-hitung adalah 2,05 dan nilai tabel adalah 1,70. Hal ini dapat kita artikan bahwa nilai t-hitung > t-tabel ( t-t-hitung 2,05 > t-tabel 1,70 ). Hasil ini dapat menunjukkan bahwa ada hubungan antara pemilihan bahasa, alasan pemilihan bahasa dengan kohesi sosial karena nilai t-hitung lebih besar daripada nilai t-tabel. Maka dengan demikian, penelitian ini menolak hipotesis nol (H0), dan menerima hipotesis alternatif (Ha) pada taraf � = 0,05 atau 95 %.

Kata Kunci: bahasa Aceh, bahasa Indonesia, partai politik lokal, komunikasi politik,


(32)

ABSTRACT

The Language choice and Language Attitude in Political Communication by Local Political Parties in Aceh Administration, Doctoral Program, Postgraduate University of Sumatera Utara

The title of this dissertation is “The Language Choice and Language Attitude of Language in the Political Communication by the Local Political Parties in Aceh Administration.” This dissertation is based on the finding of field reseach conducted in Bireuen District and City of Langsa. This study focused on language choice and language attitude by local political parties in political communication in The Aceh Administration and how language choice and language attitude are related to social cohesion in the political communication among the local political parties in Aceh Administration.

The population of the samples for this study was the officials of local political parties who represent their parties in the Legislative Assembly of the City of Langsa and Bireuen District. Of the six local political parties, only three parties, namely Partai Aceh (PA), Partai Bersatu Atjeh (PBA), and Partai Suara Independent Rakyat Aceh (SIRA), which were employed as the sample population. The samples population is 15 samples from the City of Langsa Legislative Assembly and 15 from Bireuen District Legislative Assembly.

This study employed the theory of sociolinguistics and theory of political communication. The theory of sociolinguistics by Bernard Spolsky (2008) to look at the application of language in the political communication of the officials of local political parties in Aceh Administration while the theory of the political communication was used to look at the process of communication with its implication or consequence on political activity through the choice and attitude of Aceh Administration. The hypothesis of this study, there is no influence of the language and language attitude in the social cohesion.

The result of this study is that the language chosen by the local political parties in their political communication in Aceh Administration such as in their internal party meetings, political campaign, internal interaction among the parties’ officials, communicating with community members in general, discussing political strategy, in discussing about the development and empowerment of their parties, and in communicating with the members of the same or different local political parties in the Legislative Assembly, is Acehnese (47.36%). The local political parties that chose to used BA (Acehnese) and BI (Indonesian) (code mixing) with a dominant position of BA (52.63%) when they were discussing the strategy to empower the local parties, the 2009-2014 Indonesian president and vice president election, in political communication discussing about the Governor and Vice Governor election, Head of District and Deputy Head of District election, the 2011-2016 City Mayor and Deputy City Mayor election, discussing about District and City Budget, and during the hearing session with government.


(33)

The choice of language done by the officials of local political parties in political communication is mostly or dominantly based on their being proud and happy to use that language (73.60 %), their habit and fluency to communicate in that language (15.78 %), and their satisfaction (5.52%) and their being closely (5.10 %) by choice BA and BA/BI.In terms of language attitude, the officials of local political parties do agree that Acehnese functions as the ethnic identity, the identity of local political parties, as a medium to express their political ideas, as a medium of inter-community communication (66.66%). The local political parties also agree that Acehnese can spread and deliver their political messages in Aceh, Indonesian as the unifying forces of the people of Indonesia, and feel comfort using Acehnese instead of Indonesian during the party meeting (33.33%). The social cohesion is (50 %) comfortable and strongly comfortable (50 %) by choicing BA and BA/BI with BA at dominant position.

Based on coeficiency, the result of language choice is 0,676 and the reason of language choice is -0,664, whereas language attitude is 0,460. Coeficiency of language choice and reason of language choice is close to -1, and coeficiency of language attitude is close to 0. So, it means that the two variables have moderate correlation. And based on significancy point, the result of language choice and reason of language choice related to social cohesion is 0,000, whereas language attitude is 0,010,

Viewed from the comparison value at t-count with value of t table, t-count is 2,05 and t-table value is 1,70. It can get that the value of t-count and t table (t count 2,05 > t table 1,70). This result showed that there is a significant relation between acclamation language use, cause of acclamation language use by social cohesion t-count since value greater than t table value, and thus, this research refuse hypothesis nol (H0), and received of the alternative hypotheses (Ha) at � 0,05 or 95%.

Keywords: Acehnese, Indonesian, Local Political Party, Political Communication,


(34)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Bahasa merupakan alat komunikasi dan alat interaksi yang dimiliki oleh manusia dan menjadi ciri khas diri manusia. Manusia yang normal selalu menggunakan bahasa dalam beraktivitas antarsesama manusia dalam kehidupan sehari-hari (homo longuens). Begitu besarnya arti bahasa dalam kehidupan manusia tetapi kita selalu melupakan untuk memikirkan peranan bahasa. Koentjaraningrat (1967) mengatakan bahwa bahasa merupakan unsur vital dalam kebudayaan.1 Suatu kebudayaan yang tinggi derajatnya didukung oleh suatu bahasa dengan kesusastraan yang tinggi, walaupun suatu bahasa pada dasarnya hanya berfungsi sebagai alat komunikasi praktis antarsesama penuturnya. Levi-Strauss (1963) juga mengatakan bahwa bahasa dan kebudayaan merupakan produk atau juga disebut hasil dari aktivitas manusia. Hubungan bahasa dan kebudayaan ini dapat menjelaskan berbagai fenomena dan sistem kekerabatan sebagai rangkaian hubungan simbolik.2

Dilihat dari fungsi bahasa sebagai alat komunikasi dan alat interaksi yang dimiliki oleh manusia, bahasa dapat dikaji berdasarkan teori bahasa, baik secara internal maupun secara eksternal atau bahasa dilihat secara interdisplin. Kajian

1

Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: Universitas, 1967).

2

Edith Kurzweil, Jaring Kuasa Strukturalisme: Dari Lévi-Strauss sampai Foucault (Terjemahan Nurhadi dari The Age of Structruralism, Lévi-Strauss to Foucault) (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2004), p 25.


(35)

internal merujuk pada struktur internal bahasa dalam arti linguistik, sedangkan kajian eksternal merupakan kajian yang melibatkan hal-hal atau faktor-faktor yang berada di luar bahasa yang melibatkan lebih dari disiplin ilmu yang dinamakan dengan kajian sosiolinguistik.

Nababan (1984) mengatakan sosiolinguistik merupakan studi atau pembahasan bahasa sehubungan dengan penutur bahasa sebagai anggota masyarakat yang mempelajari atau membahas aspek-aspek kemasyarakatan bahasa.3 Di dalam hal ini, Wijaya (2006) menyimpulkan pendapat berbagai ahli yang menyatakan ada tiga hubungan antara bahasa dengan struktur masyarakat penuturnya. Ketiga macam hubungan itu adalah: (i) hubungan struktur bahasa mempengaruhi masyarakat di mana struktur bahasa menentukan cara-cara yang dipakai penutur bahasa dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari; (ii) hubungan masyarakat mempengaruhi bahasa di mana budaya masyarakat tampak dalam struktur bahasa yang digunakannya; dan, (iii) hubungan itu dapat ada tetapi dapat tidak ada sama sekali antara bahasa dan budaya.4

Di dalam hubungan bahasa dan masyarakat, kebanyakan masyarakat bahasa di Indonesia menggunakan bahasa daerah atau bahasa etnik mereka sebagai bahasa pertamanya. Meskipun demikian, masyarakat Indonesia secara formal mendapat

Di dalam tiga konteks sosiolinguistik seperti di atas, penelitian ”Pemilihan Bahasa dalam Komunikasi Politik oleh Partai Politik Lokal di Pemerintahan Aceh” sangatlah perlu dilakukan.

3

P.W.A. Nababan, Sosiolingistik: Suatu Pengantar (Jakarta: Gramedia, 1984), p 2.

4

I Dewa Putu Wijaya dan Muhammad Rohmadi, Sosiolinguistik: Kajian Teori dan Analisis (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), p 8.


(36)

pendidikan bahasa Indonesia secara resmi di sekolah sejak dari sekolah dasar sampai ke perguruan tinggi, pendidikan bahasa Indonesia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kurikulum pendidikan nasional. Walaupun demikian, pendidikan bahasa daerah juga dipelihara dan dijaga oleh pemerintah melalui kurikulum unsur lokal menurut daerah masing-masing di semua provinsi di Indonesia. Dengan demikian, pada umumnya bahasa Indonesia merupakan bahasa kedua bagi masyarakat bahasa di Indonesia yang tinggal di pedesaan atau perkampungan di daerah-daerah terpencil di seluruh Indonesia dan yang menjadi bahasa pertama adalah bahasa daerah masing-masing.

Sebaliknya, bagi mereka yang lahir dan tinggal di perkotaan dan di kawasan industri menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama dan selanjutnya mempelajari bahasa daerah mereka sebagai bahasa kedua yang didorong oleh keinginan memiliki identitas etnik. Maka, dapat dimengerti jika dikatakan bahwa hal yang lumrah atau biasa bagi masyarakat Indonesia berkedudukan sebagai masyarakat bahasa yang bilingual.

Indonesia dikenal dengan kekayaan bahasa-bahasa daerah. Kedudukan bahasa daerah sebagai bahasa suku atau juga disebut bahasa etnik dipelihara oleh negara. Bahasa daerah itu ditentukan kedudukannya dalam penjelasan UUD 1945 Bab XV pasal 36 mengamanatkan bahwa, “Di daerah-daerah yang memiliki bahasa sendiri, yang dipelihara oleh rakyatnya dengan baik (misalnya bahasa Jawa, Sunda, Madura dan sebagainya), bahasa-bahasa itu akan dihormati dan dipelihara juga oleh negara.


(37)

Bahasa-bahasa itu pun merupakan sebagian dari kebudayaan Indonesia yang hidup.”5 Penyataan bahwa bahasa daerah yang dipelihara rakyatnya dengan baik-baik akan dihormati oleh negara berarti bahasa daerah tersebut secara sah mempunyai hak hidup untuk digunakan oleh rakyatnya. Sebaliknya, pernyataan bahwa bahasa daerah tersebut akan dipelihara juga oleh negara mengisyaratkan bahwa negara berkewajiban melestarikan bahasa daerah dengan mengupayakan pembinaan dan pengembangannya.6

Secara politik, bahasa daerah adalah bahasa yang dipakai sebagai bahasa perhubungan intradaerah atau intramasyarakat di samping bahasa Indonesia, selain itu juga dipakai sebagai sarana pendukung sastra serta budaya daerah atau masyarakat etnik di wilayah Republik Indonesia.

Dengan demikian, bahasa daerah pada masing-masing daerah berfungsi sebagai alat komunikasi para penutur bahasa daerah tersebut masing-masing, untuk memperkaya bahasa nasional dan sebagai pendukung nilai-nilai budaya nasional.

7

5

UUD 1945: Naskah Asli dan Perubahannya (Jakarta: Pustaka Pergaulan).

Pernyataan ini memberi isyarat bahwa bahasa daerah dan bahasa Indonesia digunakan dalam komunikasi masyarakat. Hal ini diperkuat oleh fungsi bahasa daerah sebagai (i) lambang kebanggaan daerah; (ii) lambang identitas daerah; dan, (iii) alat perhubungan di dalam keluarga dan masyarakat daerah. Di samping itu, dalam hubungannya dengan bahasa Indonesia, bahasa daerah berfungsi sebagai (i) pendukung bahasa nasional; (ii) bahasa pengantar

6

Hasan Alwi. ”Pelestarian Bahasa Daerah dalam Rangka Pembinaan Bahasa Indonesia.” Makalah Seminar Nasional VII Bahasa dan Sastra Indonesia, Medan, 7-9 Juli 1977, p 49.

7

Hasan Alwi dan Dendy Sugono (ed.), Politik Bahasa: Rumusan Seminar Politik Bahasa (Jakarta: Pusat Bahasa Depertemen Pendidikan Nasional, 2003), p 4.


(38)

di sekolah dasar di daerah tertentu pada tingkat permulaan untuk memperlancar pengajaran bahasa Indonesia dan mata pelajaran lain; dan, (iii) alat pengembangan serta pendukung kebudayaan daerah.8

Bahasa daerah, di satu sisi memberikan hak hidup dalam sistem pendidikan nasional tetapi di sisi lain menimbulkan kekhawatiran persepsi generasi muda terhadap bahasa daerahnya. Hal ini disebabkan bahasa daerah hanya digunakan di tingkat sekolah dasar di daerah tertentu pada tingkat permulaan untuk tujuan memperlancar pengajaran bahasa Indonesia, sehingga berkonotasi langsung terhadap ketidakperluan penggunaan bahasa daerah di tempat yang penduduknya lancar berbahasa Indonesia.

Dengan demikian, negara menjamin eksistensi bahasa daerah dan bahasa Indonesia sehingga masyarakat Indonesia memiliki peluang yang besar untuk menjadi bilingual atau multilingual.

Mahsun (2000) memandang persoalan pemilihan bahasa daerah di sekolah secara psikologis telah membentuk persepsi peserta didik akan kurang pentingnya bahasa dan kultur yang mereka miliki yang terekam dalam bahasa ibu mereka dan secara tidak langsung membentuk pola pikir negatif terhadap bahasa ibunya yang dapat mengurangi kebanggaan terhadap bahasa dan kultur etniknya.9

8

Mahsun, “Bahasa Daerah sebagai Sarana Peningkatan Pemahaman Kondisi Kebhinnekaan dalam Ketunggalan Masyarakat Indonesia: Ke Arah Pemikiran dalam Mereposisi Fungsi Bahasa Daerah,” dalam Hasan Alwi dan Dendy Sugono (ed.), Politik Bahasa (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2000), p 40.

Persepsi ini tidak boleh dibiarkan terus-menerus namun diperlukan reorientasi terhadap perundang-undangan sebagai landasan hak hidup bahasa daerah. Persepsi yang

9


(39)

merugikan perkembangan bahasa daerah ini menjadi daya tarik peneliti untuk menempatkan bahasa Aceh sebagai bagian integral bahasa daerah di Indonesia.

Pernyataan bahwa bahasa daerah itu dipelihara oleh rakyatnya dan dipelihara oleh negara berarti bahasa daerah itu memiliki peranan yang penting dalam sistem komunikasi etnik. Komunikasi dengan menggunakan bahasa daerah dilindungi oleh UUD 1945 dan tentunya dilindungi oleh negara. Negara memiliki kewajiban melindungi dan melestarikan bahasa daerah itu. Kondisi ini menempatkan bahasa dan politik sebagai satu kesatuan. Menurut Spolsky (2008), “Language is regularly used

in the exercise of political power.”10 Bahasa secara teratur menjalankan kekuasaan politik. Bahkan, Spolsky menyatakan bahwa, “There are more subtle uses of

language in politics. The use of a regional or a social dialect by a political leader is often a claim to a specialized ethnic identity.”11

10

Bernard Spolsky, Sociolinguistics (Oxford: Oxford University Press, 2008), p 58.

Bahasa digunakan secara halus dalam politik. Hal itu diperlihatkan dalam dialek sosial seorang pemimpin politik yang secara tegas memberikan klaim identitas etnis khusus kekuasaan politik. Salah satu bahasa daerah (etnik) yang digunakan dalam komunikasi politik di Indonesia adalah bahasa Aceh (selanjutnya disebut dengan BA). BA digunakan oleh masyarakat Aceh yang menetap di Pemerintahan Aceh, khususnya penduduk yang tinggal di Kota Langsa dan Kabupaten Bireuen. Kota Langsa merupakan kota yang berpenduduk heterogen yang terdiri dari suku Aceh, suku Jawa, suku Melayu, suku Minang, suku Karo, dan suku Mandailing. Kelompok masyarakat yang menjadi penduduk Kota

11


(40)

Langsa hidup membaur satu sama lainnya dalam aktivitas sehari-hari menurut profesi masing-masing. Di dalam pembauran ini mereka memilih menggunakan bahasa Indonesia (selanjutnya disebutkan dengan BI) dan bahasa campuran antara BI dengan bahasa daerah (alih kode/campur kode) sebagai bahasa komunikasi berinteraksi antara satu suku dengan suku lainnya dan dalam kehidupan bermasyarakat telah terjadi persentuhan sosial antara satu suku dengan suku lainnya. Sebaliknya, Kabupaten Bireuen memiliki profil yang berbeda dengan Kota Langsa, karena penduduk Kabupaten Bireuen adalah kabupaten lebih homogen jika kita bandingkan dengan penduduk Kota Langsa. Di dalam kehomogenan ini, peneliti berasumsi bahwa masyarakat Bireuen memiliki kecendrungan menggunakan BA sebagai bahasa ibu mereka.

Selain beberapa hal yang telah disebutkan terdahulu, ada suatu kondisi yang memosisikan BA menjadi penting dalam sistem komunikasi di Aceh, terutama dalam komunikasi politik. Hal ini terjadi sebelum adanya partai lokal di Aceh dan bahkan sebelum MoU Helsinki pada 15 Agustus 2005. Masyarakat Aceh pada saat itu menggunakan bahasa Indonesia dalam komunikasi sehari-hari, terutama dalam lingkungan pendidikan dan perkantoran. Bahkan, pengadilan umum dan pengadilan agama terpaksa menggunakan penerjemah BA ke dalam bentuk BI karena masyarakat Aceh yang berperkara tidak fasih atau tidak mau memilih menggunakan BI dalam komunikasinya. Hal ini menandakan bahwa BI menjadi bahasa resmi dalam komunikasi formal/resmi. Dengan kata lain, bahwa BA bukan sebagai bahasa resmi dalam sistem komunikasi di Aceh karena BI adalah bahasa komunikasi resmi


(41)

pemerintah dalam wilayah hukum NKRI. Faktor penting lain adalah kondisi kebahasaan ini disebabkan Aceh pada masa konflik antara Pemerintah RI dengan pihak GAM antara tahun 1980 hingga tahun 2004. Oleh karena itu, Aceh pada masa itu dikawal dan dijaga oleh anggota TNI dari Angkatan Darat dan Angkatan Laut dan anggota Polri yaitu Polisi dan Brimob yang ditugaskan untuk menjaga keamanan di Aceh. Di dalam aspek kebahasaan, konflik ini memunculkan pilihan bahasa yang dimengerti oleh kedua belah pihak yang bertikai. Akibatnya, masyarakat menguasai dua bahasa untuk menghindarkan kecurigaan dan tuduhan berpihak pada salah satu pihak yang berkonflik. Caranya, bila bertemu dengan TNI/Polri maka masyarakat Aceh berkomunikasi dalam BI sedangkan bila bertemu dengan GAM atau anggota masyarakat, maka masyarakat Aceh berkomunikasi dalam BA. Dari aspek budaya, Tim Peneliti LIPI menyimpulkan bahwa konflik di Aceh tersebut berdampak hilangnya identitas asli Aceh pada masa Orde Baru.12

Secara kemasyarakatan, anggota TNI dan POLRI boleh dikatakan kesulitan atau bahkan sama sekali tidak memahami bahasa Aceh atau bahasa-bahasa daerah Aceh. Jadi, bukan karena mereka tidak mau berbahasa Aceh sehingga tetap memilih menggunakan BI dalam berkomunikasi dengan masyarakat Aceh. Di samping anggota TNI dan Polri tidak memahami BA, pemilihan BI oleh mereka sebagai aparat negara dalam melaksanakan tugas negara di wilayah konflik. Dalam situasi dan kondisi ini, terpaksa masyarakat yang beradaptasi menggunakan BI dalam

12

J. Anto dan Pemilianna Pardede, Meretas Jurnalisme Damai di Aceh: Kisah Reintegrasi Damai dari


(42)

berkomunikasi dengan aparat pemerintah, terutama TNI dan Polri. Kondisi tersebut berlangsung dalam waktu yang sangat lama, yaitu antara 20 tahun sampai dengan 30 tahun atau dari tahun 1980 sampai dengan tahun 2005. Pada masa itu, mulai pada tingkat anak-anak, remaja, pemuda, dan orang tua pun sudah mulai memilih menggunakan BI yang kurang sempurna dari segi ucapan dan susunan kata dalam berkomunikasi. Kondisi kebahasaan seperti ini, semakin memperkuat kemampuan anak-anak, remaja, dan pemuda dalam pembelajaran BI di tingkat sekolah dasar dan sekolah menengah sehingga tingkat keterampilan berbahasa anak-anak, remaja, dan pemuda Aceh dalam menggunakan BI menjadi lebih baik. Akan tetapi, setelah penandatangan MoU Helsinki pada 15 Agustus 2005 dan setelah lahirnya partai politik lokal di Aceh pada Pemilu Legislatif 2009, maka muncullah suatu fenomena baru bagi masyarakat Aceh dalam berkomunikasi, yaitu memilih menggunakan BA hampir pada semua situasi dan kesempatan. Di dalam situasi ini juga peneliti berasumsi bahwa pemilihan BA lebih dominan daripada BI, atau BA dan BI dipilih secara campur kode atau alih kode dalam komunikasi politik oleh partai politik lokal (selanjutnya disebut dengan parlok) dalam aktivitas mereka, baik secara internal maupun eksternal.

Fenomena penggunaan bahasa dari BI ke BA menjadi realitas kebahasaan di Aceh. Asumsi peneliti bahwa masyarakat Aceh pasca-MoU Helsinki lebih mengutamakan memilih sistem komunikasi dalam BA dalam kehidupan sehari-hari dan menggantikan posisi BI dan BI/BA (campur kode) dengan posisi BI yang pernah dominan pada masa konflik di era Orde Baru. Dengan alasan di atas, penelitian ini


(43)

mencoba untuk menjelaskan pemilihan bahasa yang digunakan dan memberikan alasan mengapa parlok memilih menggunakan BA dalam berkomunikasi baik secra internal dan eksternal. Selain itu penelitian ini juga mendeskripsikan sikap bahasa serta kohesi sosial terhadap pemilihan BA oleh parlok dalam komunikasi lisan menggunakan bahasa Aceh (BA), bahasa Indonesia (BI), atau memilih menggunakan BA dan BI (code mixing) atau perpindahan kode (code switching) Apakah ada hubungan yang signifikan pemilihan bahasa, sikap bahasa dengan kohesi sosial dalam komunikasi politik parlok di Pemerintahan Aceh? Jawaban kedua pertanyaan ini dideskripsikan dengan pendekatan kuantitatif yang didukung oleh data kualitatif dari kondisi kebahasaan masyarakat Aceh, terutama masyarakat yang heterogen bertempat tinggal di Kota Langsa dan masyarakat yang homogen bertempat tinggal di Kabupaten Bireuen.

Sistem komunikasi politik yang menjadi fokus penelitian ini bersifat internal dan eksternal. Komunikasi politik secara internal dalam penelitian ini adalah pemilihan bahasa dalam komunikasi politik oleh parlok dalam aktivitas politik di lingkungan masing-masing parlok. Sedangkan secara eksternal adalah pemilihan bahasa yang dipakai oleh parlok dalam berkomunikasi dengan parlok lainnya. Parlok pada Pemilu Legislatif 2009 di Aceh adalah: (i) Partai Aceh Aman Sejahtera (PAAS); (ii) Partai Daulat Atjeh (PDA); (iii) Partai Suara Independen Rakyat Aceh (SIRA); (iv). Partai Rakyat Aceh (PRA); (v) Partai Bersatu Atjeh (PBA); dan, (6) Partai Aceh (PA).


(44)

Sebaliknya, yang dimaksudkan dengan informal adalah suatu komunikasi politik pada tataran tidak resmi, misalnya dalam komunikasi lisan secara santai, tidak resmi, pembicaraan komunikasi personal ataupun antara sesama pengurus partai dalam situasi tidak resmi, baik di lingkungan kantor partai maupun di tempat lainnya. Sedangkan yang dimaksud dengan situasi formal adalah suatu situasi komunikasi yang terjadi secara internal dan eksternal parlok dan juga dalam komunikasi politik antara satu parlok dengan parlok lainnya untuk keperluan organisasi partai. Hal tersebut dapat terjadi dalam pertemuan-pertemuan atau rapat resmi atau pertemuan resmi partai di DPRK (Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten /Kota).

Berdasarkan penjelasan kondisi di atas maka yang menjadi latar belakang dalam penelitian ini adalah adanya suatu kondisi bahwa sebelum era damai di Pemerintahan Aceh pada masa Orde Baru yaitu pada era 1980-an dan pada awal era reformasi tahun 1999 sampai dengan tahun 2004 kondisi pemilihan bahasa lebih memihak kepada BI dan BI/BA dalam bentuk tukar kode dan ganti kode (code

swiching and code mixing) dan bahkan dalam banyak situasi masyarakat Aceh pada

waktu itu dengan terpaksa harus memilih menggunakan BI walaupun dengan BI yang tidak fasih atau jauh dari kurang sempurna. Hal ini terjadi karena pada masa itu masyarakat Aceh diawasi atau dipantau dan dijaga oleh ABRI, Polisi, Brimob, karena daerah Aceh berada dalam situasi konflik. Anggota militer/TNI, Polisi dan Brimob dalam berkomunikasi dengan masyarakat hanya menggunakan BI dikarenakan mereka tidak mampu berbahasa Aceh dan sekaligus mereka menunjukkan identitas sebagai alat negara yang bertugas di daerah konflik. Bagi masyarakat yang tidak


(45)

memilih BI sebagai bahasa komunikasi, mereka (tentara, polisi, dan brimob) menganggap bahwa masyarakat tersebut tidak setia kepada NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Di dalam situasi demikian, masyarakat dengan terpaksa harus memilih menggunakan BI, khususnya dalam komunikasi mereka ataupun berkomunikasi sesama anggota masyarakat dihadapan para tentara, polisi, dan brimob. Hal ini berakibat sering terjadi kesalahpahaman serta berbeda pengertian dan pemahaman arti atau makna dalam pemilihan penggunaan BI di antara alat negara tersebut dengan masyarakat Aceh pada waktu itu. Akan tetapi, hal yang demikian tidak terjadi lagi setelah penandatanganan MoU perjanjian damai antara GAM (Gerakan Aceh Merdeka) dengan Pemerintah Republik Indonesia di Helsinki (Finlandia) pada tanggal 15 Agustus 2005. Pasca MoU tersebut mengurangi situasi konflik di Aceh, di mana masyarakat kembali bebas berkomunikasi dalam BA, walaupun BI juga masih digunakan secara campur kode atas keinginan masyarakat itu sendiri.

Di samping hal yang demikian, kelahiran parlok ada hubungannya dengan perjuangan masyarakat Aceh yang secara historis erat kaitannya dengan perjanjian Helsinki pada 15 Agustus 2005. Bahkan, pengurus parlok Partai Aceh (selanjutnya disebutkan PA) terdiri dari anggota-anggota yang terdaftar dalam GAM ditambah sebagian dari orang-orang pergerakan yang masa itu mendirikan parlok Suara Independen Rakyat Aceh (selanjutnya disebut SIRA) dan sebagian masyarakat yang memiliki nuansa politik mendirikan parlok lainnya dengan jumlah 6 (enam) parlok. Pada masa Orde Baru dan masa konflik di Aceh, parlok belum lahir. Partai nasional


(46)

yang berstatus kantor pusat partai atau DPP (Dewan Pimpinan Pusat) berada di Jakarta. Pada waktu itu, partai nasional memilih menggunakan BI dalam berkomunikasi dan menggunakan BA hanya sebagai pelengkap BI. Bahkan, juru kampanye pada masa itu didatangkan dari Dewan Pengurus Pusat atau juru kampanye dari tokoh-tokoh pendukung kampanye memilih lagu-lagu dalam BI bukan memilih menggunakan BA atau kesenian Aceh. Perubahan yang menarik untuk diteliti pasca lahirnya parlok di Aceh adalah indikasi parlok lebih cendrung memilih menggunakan bahasa daerah yaitu BA serta kesenian Aceh dalam berkomunikasi, baik sesama mereka ataupun dengan masyarakat umum. Selain itu, adanya gejala pemilihan BA lebih dominan berbanding BI di tingkat eksekutif Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota di Pemerintahan Aceh. Berdasarkan pengamatan peneliti sejak tahun 2006, ada suatu fenomana baru yang terjadi terhadap pemilihan bahasa dan sikap bahasa pasca lahirnya parlok di Pemerintahan Aceh dibandingkan dengan masa-masa kekuasaan partai nasional atau pada masa-masa terjadinya konflik antara GAM dengan Pemerintahan RI sebelum tahun 2005.

1.2Pemerintahan Aceh

Daerah Aceh yang terletak di bagian paling barat Republik Indonesia memiliki posisi strategis sebagai pintu masuk jalur perdagangan dan kebudayaan yang menghubungkan Timur dengan Barat. Secara geografis, Pemerintahan Aceh terletak antara 2º-6º Lintang Utara dan 95º-98º Lintang Selatan dengan ketinggian rata-rata di atas 125 meter di atas permukaan laut. Luas daerah Aceh 57.736,557 km²


(47)

dengan daerah melingkupi 119 pulau, 35 gunung, dan 73 sungai.13 Secara administratif, daerah Aceh mempunyai batas-batas sebelah utara berbatasan dengan Selat Malaka; sebelah Selatan berbatasan dengan Provinsi Sumatera Utara; sebelah Timur berbatasan dengan Selat Malaka; dan, sebelah Barat berbatasan dengan Samudera Indonesia.14

Aceh adalah daerah provinsi yang merupakan kesatuan masyarakat hukum yang bersifat istimewa dan diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang dipimpin oleh seorang Gubernur.15

Pemerintahan Aceh memiliki 13 suku sebagai penduduk asli, yaitu: lama menetap di Aceh. Masing-masing suku memiliki bahasa sesuai dengan nama sukunya. Populasi suku-suku bangsa ini, menurut sensus penduduk tahun 2010, antara lain menunjukkan suku Aceh menjadi penduduk mayoritas di Pemerintahan Aceh. Komposisi penduduk Aceh tersebut adal

13

Aceh dalam Angka: Aceh in Figures 2006 (Banda Aceh: Badan Pusat Statistik dan Badan

Perencanaan dan Pembangunan Daerah, 2006), pp 3-4.

14

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, Pasal 3.

15


(48)

Tabel 1.1: Jumlah Penduduk dan Sex Ratio Pemerintahan Aceh Hasil Sensus

Penduduk Tahun 2010

Kabupaten/Kota Regency/City Laki-laki/ Male Perempuan/ Female Jumlah/ Total Sex Rasio/ Sex ratio

1. Simeulue 41.245 39.034 80.279 105,66 2. Aceh Singkil 51.638 50.575 102.213 102,10 3. Aceh Selatan 99.616 102.387 202.003 97,29 4. Aceh Tenggara 89.305 89.547 178.852 99,73 5. Aceh Timur 179.682 179.598 359.280 100,05 6. Aceh Tengah 88.812 86.517 175.329 102,65 7. Aceh Barat 87.682 85.214 172.896 102,90 8. Aceh Besar 179.495 170.730 350.225 105,13 9. P i d i e 183.675 194.603 378.278 94,38 10. Bireuen 191.006 198.018 389.024 96,46 11. Aceh Utara 262.101 267.645 529.746 97,93 12. Aceh Barat Daya 62.633 63.358 125.991 98,86 13. Gayo Lues 39.468 40.124 79.592 98,37 14. Aceh Tamiang 126.724 124.268 250.992 101,98 15. Nagan Raya 70.039 68.631 138.670 102,05 16. Aceh Jaya 39.973 36.919 76.892 108,27 17. Bener Meriah 61.871 59.999 121.870 103,12 18. Pidie Jaya 64.958 67.900 132.858 95,67 19. Banda Aceh 115.296 108.913 224.209 105,86 20. Sabang 15.580 15.067 30.647 103,40 21. Langsa 73.930 74.974 148.904 98,61 22. Lhokseumawe 84.893 85.611 170.504 99,16 23. Subulussalam 33.956 33.360 67.316 101,79 Jumlah/ Total 2.243.578 2.242.992 4.486.570 100,03


(49)

Berdasarkan tabel 1.1 dapat diketahui bahwa kabupaten/kota yang paling banyak penduduknya adalah Kabupaten Aceh Utara. Akan tetapi, Kota Langsa dan Kabupaten Bieruen yang menjadi lokasi penelitian termasuk wilayah yang banyak penduduknya. Kota Langsa berpenduduk 148.904 jiwa menjadi peringkat ketiga kota terbanyak penduduknya di Pemerintahan Aceh dan Kabupaten Bieruen berpenduduk 389.024 jiwa menjadi peringkat kedua kabupaten terbanyak penduduknya di Pemerintahan Aceh.

Ditinjau dari tingkat kepadatan penduduk, Kota Banda Aceh menjadi kota terpadat di Pemerintahan Aceh. Tingkat kepadatan penduduk di Kota Banda Aceh adalah 3.459 jiwa/km². Kota Langsa menduduki posisi terpadat ketiga setelah Kota Lhokseumawe. Tingkat kepadatan penduduk di Kota Langsa adalah 535 jiwa/km². Akan tetapi, Kabupaten Bireuen tercatat sebagai kabupaten terpadat di Pemerintahan Aceh dengan tingkat kepadatan penduduk 189 jiwa/km². Dengan demikian, Kota Langsa dan Kabupaten Bireuen yang dijadikan lokasi penelitian ini adalah kota/kabupaten yang berpenduduk signifikan dari aspek kuantitas dalam Pemerintahan Aceh.


(1)

-mau kepada pak,,?..mari singgah sebebentar, kita minum kopi sedikit ya ? -mohon maaf saya, saya mau ketempat undanga kenduri sebenta..ada saudara kita

yang menikah ..

- ya..tidak masalah,kalau demikian…

- kalau ada waktu nanti sore kita ketemu sebentar, ada masalah yang ingin saya tanyakan.. saya tunggu di kadai kopi nanti sore,..ada masa;lah yang ingi saya tanyakan pada tengku..

- bagaimana masalah tentang ketua ( maksudnya masalah ketua fraksi di DPRK)

- bagaimana kita sepakati,..ini ada masalah sedikit da nada perbedaan pendapat dalam hal ketua..

Kita maunya harus dalam satu suara semuanya,..jangan terjadi beda pendapat yang dapat memecahkan kita,..itu penting…

Saya kira nanti setelah kami kerjakan sesuat , karena ada kesibukanb sedikit..setelah ini baru kita duduk bersama untuk kita musyawah,..bagaimana pendapat teungku ..?

- Hal yang demikian saya kira sangat baik - Ya…kalau demikian…

4. -Lam hubungan ngen masyarakat pengurouh peureteu lokal geu ngui bahasa aceh

-Dalam hubungan dengan masyarakat, pengurus partai lokal memilih menggunakan bahasa aceh dalam berkomunikasi.

-assalamualaikoem,….teungku piyoeh Pue haba teungku ?, Pat teungku langkah ?

-Hai teungku,..ulontua peureule meutupue bacut , pakiban peunutoeh peureuteu teuntang hai masalah kareutu anggota peureuteu?,..pu mandum geutayoe wajeub na kareutu anggota peureteu….dan pakiban tapeugeut urusan masalah nyan..,?..

- uronyou peureule lon pesampoe bak teungku , Geutanyou tengeuh tapreuh peunutoeh Bak Keutua pusat di Banda Aceh…., mengenai uleu sagoe peureuteu, bak mandum wiyah keucamatan,…dan uleu wilayah teungeuh geu keurija beusabouh pikeu ngeun mandum uleu KPA lang na bak sagoeu..

Peureuteu nyou peureuteu droe teuh mandum…kareuna lageunyan peunutouh pih na bak Geutanyoe mandum…Lam hai nyoe geutanyoe peureula saba siat… InsyaAllah ,…entruek wateu kana penutouh, kamoe peu sampoe bak Teungku dan mandum masyarakat…..

Kajeut menyeu meunan ..teurimeng gaseu that…

-Dalam hubungan dengan masyarakat partai lokal menggunakan bahasa aceh -Assalamualaikum warahmatullahi wa barakatuh,..singgah teungku..,darimana teungku ?

-Saya mengetahi sedikit..bagaimana kesimpulan partai tentang kartu anggota partai..


(2)

-Apakah semua kita wajib memiliki kartu anggota partai..?, dan bagaimana cara mengurusnya…?

-Perlu saya sampaikan kepada teungku bahwa kita juga sedang menunggu keputusan partai di tingkat pusat di banda Aceh..

-mengenai yang berhubungan dengan pimpinan paerati di tingkat kecamatan dan tingkat wilayah di tingkat Kabupaten dan Kota sedan dipikirkan bagaimana agar kita satu pandangan dan satu pendapat..dan hal ini turut dibantu oleh KPA di masing-masing tingkat.

- Partai ini adalah partai kita semua, tentunya keputusanpun pada kita semuanya.., akan tetapi kita harus bersabar sejenak.

- InsyaAllah jika sudah ada keputusa., kami akan sampaiakan pada teungku dan seluruh masyarakat.

5. - Lam hubungan hai politik seusama anggota peureute lokal geu pakeuk BA Ya..kalau demikian suatu yang sangat baik..dan terimakasih.

- Dalam hubungan dengan masalah Politik parlok menggunakan Bahasa Aceh. -adakjeut geutanyoe nyang peureuteu lokal tapeusabouh seumangat dan tapeusabouh ateu bak tacoek peunutouh..

- Insyaallah hana halangan,…yang penteung untuk rakyat beuna faedah..meunye hana faedah di teurimeung leu masyarakat nyan yang payah tapikeu ileu…bak kamou meubacut pieh hana halangan…

-Geutanyoe mandum bak uroenyoe sebagoe wakie asoeu nangroe, ulon tuan lakeu beu sabouh pikeu ngeun buet bak tapeugeut nanggroe.

-Kalau dapat kita dari Parlok kita satukan semangat dan kita satukan ide atau pemikiran dalam semua keputusan

-Insyaallah tidak ada halangan untuk itu,..yang penting ada manfaat untuk rakyat,..kalau tidak berfaedah untuk rakyat harus kita piker dulu..pada pihak kami sedikitpun tidak ada unsur keberatan…kami setuju.

-Kita semua pada hari ini sebagai wakil rakyat sebagai isi negeri aceh,..saya meminta kita harus satu persepsi dan sepaham dam membangun nanggroe Aceh.

6. -. Langkah puliteuk peureuteu Lokal lam musyawarat untuk peugeut peureteu geu pakeuk BA

-Laangkah politik Paarlok dalam bermusyawarah untuk membangun partai, menggunakan Bahasa Aceh.

-Geutanyoe mandum penguruh peureuteu wajeub tapeu udeup geunareuh pereuteu, menyeu geutanyoe hana tapikeu dan hana tapubut lageu kheun peureuteu, sang-sang geutanyou nyoe hana yuem bak masyarakat nanggroe , peureuteu pih treup bak treup hana lhe dingieng leu rakyat nanggroe.

- Karena nyan keuh geutanyoe mandum beuna lam pikeurang geutanyou bak tapeu udeup peureteu lokanya mileuk ureung nanggroe….pakiban cara pieh hai rakyat wajieb ta pikeu beusama- sama mandum geutanyoe….


(3)

- Meyoe lagenyan tapubut Lon tuan poikeu peureteu nyo ukeu leubeuh mesyeuhu lom…

-Kita semua pengurus parlok wajib kia bangun partai ini , apabila kita tidak berfikir untuk membangun partai sesei dengan keputusan partai, barangkali kita semua tidak ada nilai sedikitpun dimata masyarakat. Dan partaipun lama kelamaan tidak lagi diperdulikan oleh masyarakat.

-Oleh karena itulah kita semua harus berfikir untuk membngun partai ini karena ini adalah milik masyarakat, dan bagaimanpun juga nasib rakyab kita fikirkan bersama-sama oleh kita semua.

-Kalau yang demikian dapat kita kerjakan, saya kira partai lokal ini kedepan lebih hidup lagi.

8- Lam membicarakan masalah pemilihan Presiden ngeun waki presiden RI thon 2009-2014 peureteu lokal teutep pakeuk bahasa aceh

-Dalam membicarakan masalah presiden dan Wakil Presiden RI pada pemilu 2009 paratai lokal menggunakan bahasa aceh.

-Assalamualaikoem warahmatullahi wabarakatuh,…

Nyoe di geutanyoe katroek bak pemilu untuk tapileuh presiden ngen wakie presiden..

Di geutanyoe mandum lon tuan pikeu seupakat bahwa di geutanyoe untuk ta sukseskan pemilunyou.

Seubagai penguruoh peureteu geutanyoeu wajeub tapeutimang hai nyoe, kareuna geutanyoe ureung aceuh sebagai ureung nanggroe katarasa udeup lam situasi aman dan tereuteb..hanleu di musue budeu..artijieh madsyarakat geutanyoe yang dari jameun hana pereunah tenang..insy Allah bak ache-akhe nyoe, kareuna helsinky..geutanyoe ka dameu.

Yang sangat penteung haruh tabithe bak masyarakat utamajih bak anggota pereuteu untuk pakiban cara peumilu di nanggronyou beu sukses beuk na masalah yang hanageut.

Bah pieh lageu yan pulang pikeu siet bak geutanyoe mandum….yang lebeuh geut peumilihan presiden ngen wapres haruh berjalan degeng geut…nyan yang penting…

-Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

-Kita semua sekarang sudah tiba pada masa Pemilu, memilih Presiden dan Wakil Presiden

- bahwa kita semua sepakat dan wajib mensuksesekan pemilu kali ini

- Sebagai pengurus partai kita semuanya harus kita jaga, karena kita semua sekarang ini sedang merasakan rasa aman dan tertib. Tidak ada mendengar suara senjata, dari bdahulu kita jarang sekali hidup dalam situasi dengan rasa aman dan tertib. Insya Allah pada ahkir-akhir ini karena Helsinki kita sudah aman dan damai.. Yang paling penting kita harus menyampaikan pada masyarakat umum utamanya pada anggota partai untuk bagaiman caranya pemilu di Aceh harus


(4)

sukses, dan jangan ada masalah yang kurang baik, walaupun demikian terserah pada kita semua, akan tetapi sebaiknya pemilu Presiden dan wakil Presiden harus berjalan dengan baik.

9. Lam musyawarat untuk peumilihan anggota DPR RI, DPD.RI ngen anggota peureuteu lokal geu ngui BA.

- Dalam musywarah Partai dalam rangka pemilihan anggota DPR RI, DPD RI, dan anggota DPRA serta DPRK Parlok menggunakan bahasa Aceh.

- Lam hai peumilu bak kali nyoe, na padup-padup hai yang peurele that ta pikeu ..

Yang phon that masalah peumilihan anggota DPRA ngen anggota DPRK…yang beuna peurhatian geutanyoe mandum ..pakiban cara suara untuk peureteu geu tanyou beuk kureung lageu yang ka na gereuh peureteu….meunyoe geutanyou nyou taeim manteng ataupun taduk tenang manteung bak lon pikeu getanyou kalah di rumouh drouteuh…mandum rakyat harus geu tupuo pakibat seumagat peureuteu nyou untuk tabangun nanggro ngeun peumeurintah aceh…..lon kira untuk bireuen beuk sampaie hantrok lageu yang ka tagareuh lam rapat pereuteu…..

- Lam kampanyepiuh geu tanyou haruh ta peudeuh identitah peureteu geitanyou….dan pih masyarakat geutanyou ka careung lam bi suara…..yang peunting that ubeuna syiara masieung-maseng haruh na tanggung jaweub geutanyo mandum…..wateu kempayeu beu sangat bacuet…beuk lemeuh that….dan tapeudeuh druoteuh sebagou ureung Aceh…

- Nyang meu hubung ngen DPR RI ngen DPD.RI….ta seurahkan bak rakyat manteng…menyeu pih jeut yang tapailih yang ureng aceh yang na pikeu ke Aceh, beuk geupikeu untuk drougeuh manteung…..

Dalam hal pemilu pada kali ini, ada beberapa hal yang sangat perlu kita fikirkan. Yang pertama sekali adalah masalah pemilihan anggota DPRA dan anggota DPRK.. yang ada perhatian dari kita semua. Bagaimana caranya suara untuk partai kita (PA) jangan kurang seperti yang telah di gariskan oleh partai….kalau kita semua ini hanya diam saja dan hanya duduk saja dengan tenang saya kira kita akan kalah di rumah sendiri. Semua rakyat harus tau dan wajib mengetahui bagaiman semangat partai lokal untuk membangun aceh ..dan saya kira untuk kabupaten Bireuen jangan sampai terjadi kekurangan suara seperti yang telah kita tetapkan dalam rapat partai. - Dalam kampaye kita harus menunjukan identitas partai kita, dan masyarakat

sudah pintai dalam memilih dan memberikan suaranya mereka.yang sangat penting adalah seluruh keluarga masing-masing harus kita bertanggung jawab, dan dalam kampanye kita harus bersemangat, jangan lemah,..kita tunjukkan bahwa kita ini adalah orang Aceh.


(5)

- Yang berhubungan dengan suara untuk DPR RI , kita serahkan saja pada rakyat. Kalau bias kita pilih orang aceh yang mau perduli untuk aceh, jangan hanya mereka berfikir untuk kepentingan pribadinya saja.

10. Lam membahas isu-isu nasional ngen hai NKRI peureteu lokal memilih pakeuk BA.

- Dalam membahas isu-isu nasional dan NKRI ( Negara Kesatuan Republik Indonesia) partai Lokal menggunakan bahasa Aceh.

Lam kampanyeu, peureuteu teutap taat keupada UUD thon sireubeu seukureng reutoh peut plouh limeung dan hai nyou sabeu tabie theu bak ureung nanggroe…bahwa peureteu dan peumerintah aceh adalah teutap dalam wilayah republik Indonesia…dan peureteu lokal menjunjung tinggi bahasa Indonesia seubagai bahasa persatuan dan bahasa nasional,..tapi sebagai ureung nanggro bhs aceh tangui sebagoe identitas ureung Aceh dan hai nyoe di jamin leu UUD 1945…dan mandum uu yang na di Indonesia teutap berlakudi naggroe Aceh…dan masalah laen secara nasional haroh tapeurhatikan ..dan pih mandum program nasional haroos tadukung supaya program nasional pih lancar di aceh.

-Dalam Kampaye. Partai lokal tetap taat kepada UUD 1945 dan dalam hal ini kita selalu kita sampaikan kepada seluruh masyarakat aceh …bahwa partai dan pemerintah aceh adalah tetap dalam wilayah republik Indonesia dan partai lokal menjunjung tinggi bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan bahasa nasional. Akan tetapi sebagai orang aceh atau bangsa aceh, bahasa aceh dipakai sebagai bahasa identitas aceh atau orang aceh dan hal ini dilindungi oleh UUD 1945…dan seluruh undang-undang tetap berlaku di Aceh..dan seluruh hal-hal yang berkaitan atau berhubungan dengan Nasional harus kita perhatikan dan seluruh program nasional harus kita dukung, agar program nasional berjalan lancer di Aceh kususnya di pemerintah Kabupaten Bireuen.

11. lam bicara resmi ngen peureute lokal ( PA) di internal dan ngen peureuteu lokal laeun pu keuh untuk loby atawa bak tingkat keuputusan BA menjadi pihan bahasa yang di pakeuk.

-Dalam pembicaraan resmi dalam partai lokal (PA) secara internal dan dalam komunikasi dengan partai lokal lainnya , apakah dalam kepewrluan lobi partai di tingkat keputusan bahasa Aceh menjadi bahasa pilihan yang dipakai.

-kamou di Bireuen lam peureuteu lokal dalam mandum hai kamou teutap peugah haba ngeun bahasa Aceh..pu keuh urusan peureteu seca internal ataupih peugah hai ngen peureuteu lokal laeun…supaya pue nyang kamoe meukesud ceupat ta meuphoum…biasa jiuh lageu nyan..

Pokok jiuh urusan rakyat, nanggroe dan urusan laeun pih teutap bahas Aceh peunting bagi kamou peureute lokal…

Dan pih lam lheu hai meunye keun lam bahasa Aceh kureung paih bak tapeugah haba…


(6)

-Kami di Bireuen dalam partai lokal dalam semua hal kami tetap menggunakan bahasa aceh , apakah untuk urusan partai secara internal ataupun dalam komunikasi dengan partai lokal lainnya, agar apa yang kami maksudkan cepat dan mudah dipahami,…biasanya demikian….

- Hal yang penting untuk semua urusan rakyat, urusan aceh secara keseluruhan dan urusan lainnya bahasa aceh tetap penting bagi kami partai lokal ( PA)

- Dan juga banyak hal dalam komunikasi kalau bukan dalam bahasa aceh kurang cocok atau kurang serasi dalam berkomunikasi.

12.- Lam membahas peraturan daerah ( kanun), apbd dan dengue pendapat ngeng peumerintah..yang menjadi bahasa komunikasi nyan bahasa Aceh meujampu ngen bahasa Indonesia…

- Dalam membahas peraturan Daerah ( Kanun ), APBD dan acara denger pendapat dengan pihak pemerintah ,..yang menjadi bahasa komunikasi adalah bahasa aceh dan bercampur baur dengan bahasa Indonesia.

Pakeun lagenyan..kareuna Lam rapat umum..paripurna ataupun dengar pendapat yang ada di dalam gedung dprk belum tentu semuanya mengerti dan memahami BA..seperti misalnya pejabat kepolisian, TNI dan unsur lain-lainnya ,..jadi hana geut pas menye tameututou lam bahasa Aceh secara keseluruhan..lheu basa aceh atawa bahas indinesia ..hai nyan teu ikat ngan keadaan.

-Kenapa demikian,..karena dalam rapat umum ..paripurna ataupun dengar pendapat di gedung DPRK belum tentu semuanya dapat mengertyi dan dapat memahami bahasa aceh,..seperti misalnya pejabat Kepolisian, TNI dan unsur lainnya ,..jadi bagi kami rasanya tidak enak jika secara keseluruhan menggunakan bahasa aceh..maka oleh karena itu kami menggunakan bahasa aceh dan bahasa Indonesia,..masalah banyaknya bahasa aceh atau bahasa Indonesia sangat tergantung pada situasi dan kondisi.

Misalnya kata pembukaan : Assalamualaikom Warahmatullahi wabarakatuh,.. Misalnya dalam pembukaa : assalamualaikum warahmatullahi wabara katuh… Bapak-bapak , saudara sekalian yang kami hormati, syiara lon mandum..marilah kita bersyukur kpd Allah Yang Maha Kuasa dan Maha Pengasih dan Maha penyayang yang telah memberikat seumangat ngen kesehatan kepada kita semua…….

Bapak-bapak saudara sekalian yang kami hormati, saudara kami semuanya..Marilah kita bersyukur kepada allah Yang Maha Kuasa dan maha pengasih dan maha penyanyang yang telah melimpahkan semangat dan kesehatan kepada kita semua….