Variabel Bebas Pemilihan Bahasa

Berdasarkan hasil deskriptif statistik variabel sikap bahasa diketahui bahwa secara umum pemilihan bahasa dinilai dengan skor mendekati 3 atau cukup. Akan tetapi, untuk uraian pertanyaan nomor 20 dinilai paling rendah dengan skor 1,17. Sebaliknya, untuk uraian pertanyaan nomor 28 dinilai paling tinggi dengan skor 3,07. Berdasarkan hasil deskriptif statistik variabel kohesi sosial diketahui bahwa secara umum pemilihan bahasa dinilai dengan skor mendekati 3 atau cukup. Akan tetapi, untuk uraian pertanyaan nomor 33 dinilai paling rendah dengan skor 1,60. Sebaliknya, untuk uraian pertanyaan nomor 34 dinilai paling tinggi dengan skor 2,60.

5.1.1 Variabel Bebas Pemilihan Bahasa

Pertanyaan nomor 1 untuk pemilihan bahasa diberi apresiasi yang berbeda antara pengurus parlok di Kota Langsa dan Kabupaten Bireuen. Pengurus parlok bersikap alamiah dalam memberi argumentasi terhadap pemilihan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan BA sebagai bahasa daerahnya. Secara umum, pengurus parlok lebih banyak memilih BA karena kebiasaan dan fasih dalam berkomunikasi. Walaupun demikian, ada faktor lain, umpamanya karena bangga dan senang memilih BA yaitu pada domain membahas Kanun Perda kuesioner nomor 17 dengan persentase yang agak tinggi yaitu 40. Hal ini dianggap suatu kewajaran biasa karena Parlok baru pertama memiliki kesempatan secara resmi membahas Kanun Perda untuk keperluan masyarakat. Rasa puas hati dan merasa akrab memilih BA daripada dalam komunikasi politik untuk kepentingan rapat-rapat internal partai. Universitas Sumatera Utara Meskipun pernyataan nomor 1 mendapat apresiasi cukup baik, tetapi pernyataan ini berada pada posisi paling akhir dalam peringkat mean pemilihan bahasa. Setelah dilakukan crosstab, diketahui bahwa terdapat faktor yang menjadi penyebab kelemahan, seperti kedudukan dalam parlok dan asal suku orang tua. Perincian pembahasan ini dapat diuji pada tabel crosstabs lampiran 3 sebagai berikut: 1 Berdasarkan jabatan parlok diperoleh hasil crosstab yang menyatakan bahwa ketua dan pengurus parlok lebih banyak memilih BA berbanding BI dengan alasan karena kebiasaan dan fasih dalam komunikasi. Nilai hitung Chi square kedudukan dalam parlok responden untuk pertanyaan ini 2,640 Chi square tabel 7,815 dan signifikasi 0,450 0,05 sehingga Ho diterima. Akan tetapi, berdasarkan hasil symmetric measures diperoleh Approx. Significantcontingency coefficient sebesar 0,186 atau mendekati 0 yang berarti hubungan yang terjadi sangat lemah. 2 Berdasarkan orang tua ibu kandung responden diperoleh hasil crosstab yang menyatakan bahwa lebih banyak yang memiliki ibu kandung dari suku Aceh memilih BA karena kebiasaan dan fasih dalam komunikasi. Bahkan, yang bukan suku Aceh pun lebih banyak menggunakan BA daripada BI. Nilai Chi square hitung untuk ayah kandung 6,303 Chi square tabel 7,815 dan signifikasi 0,098 0,05 sehingga Ho diterima. Akan tetapi, berdasarkan hasil symmetric measures diperoleh Approx. Significantcontingency coefficient sebesar 0,417 atau mendekati 0 yang berarti hubungan yang terjadi sangat lemah. Universitas Sumatera Utara Pertanyaan nomor 1 pemilihan bahasa menanyakan alasan pemilihan BA dengan kalimat tanya: “Mengapa AbuTeungkuibusdri memilih menggunakan bahasa tersebut?” Pertanyaan ini memperoleh jawaban: karena kebiasaan dan fasih dalam komunikasi. Artinya, alasan pemilihan bahasa yang tidak bervariasi dan tingkat signifikansinya lemah dalam komunikasi politik pada rapat-rapat internal parlok. Hal ini bertentangan dengan koefisien korelasi seluruh pertanyaan pemilihan bahasa terhadap kohesi sosial di mana terdapat hubungan antara pemilihan bahasa dengan kohesi sosial. Pertentangan ini antara lain karena faktor kedudukan dalam parlok dan asal suku orang tua yang bersuku Aceh sehingga menumbuhkan kebiasaan mereka berbahasa Aceh sejak masa kecil.

5.1.2 Variabel Bebas Sikap Bahasa