demikian, sikap positif bahasa dapat melahirkan pemertahanan bahasa yang aktif, sehingga memberikan identitas etnik dalam konteks linguistik.
2.1.2.3 Kohesi Sosial
Secara linguistik, Halliday dan Hasan 1976 mengatakan ada sesuatu yang menciptakan suatu wacana the property of being a text, yaitu keadaan unsur-unsur
yang saling merujuk dan berkaitan secara semantik yang disebut kohesi. Kohesi diciptakan secara formal oleh alat bahasa yang disebut pemarkah kohesi cohesive
marker, misalnya kata ganti, kata tunjuk, kata sambung, dan kata yang diulang, baik secara gramatikal maupun leksikal. Dengan demikian, sebuah wacana menjadi padu
karena setiap bagian pembentuk wacana mengikat bagian yang lain secara wajar.
47
Secara lebih luas, kohesi sosial social cohesion dapat didefinisikan sebagai perekatan yang dibangun oleh suatu komunitas berdasarkan ikatan kefamilian, klan
dan geneologi dalam bingkai keetnikan. Kohesi sosial dapat terjadi secara intramasyarakat yang secara historis menempati satu wilayah dan menjaga tata adat
dan tata sosial yang sama; dan kohesi sosial antarmasyarakat yang terbentuk melalui pertemuan sosial lintas masyarakat karena adanya saling butuh hingga saling
membantu. Kohesi sosial intramasyarakat terbentuk melalui mekanisme kesadaran
47
Untung Yuwono. “Wacana,” Pesona bahasa: Langkah Awal Memahami Linguistik, dalam Kushartanti, Untung Yuwono, dan Multamia RMT Lauder, peny. Jakarta: Gramedia, 2006, p 96.
Universitas Sumatera Utara
kekerabatan sedangkan kohesi sosial antarmasyarakat didorong mekanisme pragmatis-ekonomis.
48
Di dalam konteks masyarakat Aceh, kohesi sosial yang muncul berkaitan erat dengan penyelesaian konflik pasca-MoU Helsinki merujuk pada pemahaman kohesi
secara lebih luas. Menurut Widjajanto 2004 dalam proses penyelesaian suatu konflik berdimensi kekerasan terdapat empat tahap penyelesaian konflik. Tahap
pertama, upaya militer mengendalikan dan menghentikan siklus kekerasan. Di dalam hal ini yang paling penting adalah bagaimana aksi kekerasan dapat segera direduksi
pada level paling minimal sehingga mampu meminimalisasi korban dan menjadi prasyarat proses penyelesaian yang lebih mengedepankan pendekatan politik. Tahap
kedua, penyelesaian politik political settlement dalam proses negosiasi antarpihak yang bertikai. Tahap ketiga, berusaha menemukan solusi konflik secara komprehensif
dengan menerapkan problem solving approach, yang terbaik bagi kedua pihak diaplikasikan secara empirik. Tahap keempat adalah peace-building yang meliputi
tahap transisi, rekonsiliasi, dan konsolidasi. Tahap ini merupakan tahapan terberat dan memakan waktu lama karena berorientasi struktural dan kultural. Hal terpenting
dalam tahap ini adalah pulihnya kepercayaan dan kohesi sosial masyarakat sehingga integrasi masyarakat secara harmonis dapat dicapai dan tidak menyisakan potensi
48
Kohesi Sosial, Perekat yang Selalu harus Dikelola. Makalah disampaikan pada kegiatan Diskusi Pengayaan Hasil-hasil Internalisasi 7 Tematik Asesmen Pokja PDA Maluku Utara, yang
diselenggarakan oleh UNDP di Kantor UNDP, 5 April 2005, p 1.
Universitas Sumatera Utara
kerawanan di masa mendatang.
49
Untuk itu, menurut Amien 2005, “Kohesi sosial diekspresikan dalam bentuk nilai-nilai bersama shared values, partisipasi aktif pada
kegiatan sosial budaya, saling percaya dan kelembagaan sosial berjalan baik.”
50
Kohesi sosial dalam konteks sosial masyarakat berhubungan erat dengan karakter masyarakat. Menurut Robert Melton dalam DeFleur dan Ball-Rokeach
1989, karakter masyarakat secara struktural fungsional dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Masyarakat pada dasarnya merupakan suatu sistem di mana bagian-bagian yang
ada di dalamnya saling berhubungan satu sama lainnya; sebagai suatu organisasi yang saling berkaitan, berkelanjutan, dan dengan aktivitas-aktivitas yang terpola.
2. Secara alamiah suatu masyarakat cenderung untuk menciptakan situasi
keseimbangan dinamis. Jika terjadi situasi yang tidak harmonis maka paksaan akan digunakan untuk menciptakan kembali solidaritas.
3. Seluruh aktivitas masyarakat yang terpola akan merupakan bagian dari usaha
untuk memelihara stabilitas sistem yang ada. 4.
Pada umumnya aktivitas-aktivitas yang berkelanjutan dan terpola merupakan faktor yang sangat diperlukan bagi eksistensi suatu sistem untuk tetap survive.
51
Di dalam konflik, faktor bahasa memegang peranan penting. Penggunaan bahasa yang sama menjadi faktor penentu dalam penyelesaian konflik. Untuk
49
Syamsul Hadi, dkk. Disentegrasi Pasca Orde Baru: Negara, Konflik Lokal, dan Dinamika Internasional Jakarta: CIRES dan Yayasan Obor Indonesia, 2007, pp 177-178.
50
A. Mappadjantji Amien. Kemandirian Lokal: Konsepsi Pembangunan, Organisasi, dan Pendidikan dari Perspektif Sains Baru Jakarta:Gramedia Pustaka Utama, 2005, p 263.
51
M.L. DeFleur dan S.J. Ball-Rokeach, Theories of Mass Communication. Fifth Edition, New York: Longman Inc., 1989, p 32.
Universitas Sumatera Utara
memilih bahasa yang berterima oleh semua komponen masyarakat harus mempertimbangkan kohesi sosial. Oleh karena itu, Spolsky 2008 memberi simpulan
adanya konflik pemilihan dan penggunaan bahasa dalam sikap bahasa masyarakat sebagaimana penjelasannya berikut ini:
Multilingual society inevitably face conflict over language choice. Some aspects of concern for language choice can be explained pracyically,
politically, or economically. The speakers of a language are in a stronger position when their language is used for national or international
communication, or for government, or for trade and commerce, or for education.But the role of language in establishing social identity adds an
additional, nonmaterial dimension to the conflict.
52
Pendapat Spolsky di atas memberi penjelasan bahwa masyarakat multilingual pasti menghadapi konflik atas pemilihan bahasa. Beberapa aspek perhatian untuk
pilihan bahasa antara lain aspek pemilihan bahasa, politik, dan ekonomi. Para penutur bahasa berada dalam posisi yang lebih kuat ketika bahasa mereka digunakan untuk
komunikasi nasional atau internasional, atau untuk pemerintah, perdagangan, dan pendidikan. Akan tetapi, peran bahasa dalam membangun identitas sosial menambah
dimensi, yakni dimensi nonmateri untuk konflik . Tambahan dimensi nonmateri ini
berindikasi kuat posisi penting bahasa dalam membangun kohesi sosial.
2.1.3 Teori Komunikasi