b. Motif dengan corak dasar „Tampuk Manggis‟ dengan variasi petak inti
mempunyai bentuk belah ketupat. Motif ini berasa dari daerah melayu yaitu Riau dan memiliki makna filosofis:
Tampuk Manggis Petak Inti Bagaikan bunga baru mekar
Dalam mengaji luruskan hati Supaya tahu salah dan benar
Gambar 2: Corak Tampuk Manggis
Sumber: Malik, 2003: 123 c.
Motif geometris pada ragam hias pua iban terletak pada sepanjang sisi kain yang bersudut-sudut dan kaku.
Gambar 3: Kain tenun Pua Iban
Sumber: Achjadi, 2009: 161 d.
Motif pada Songket benang emas dari Kalimantan Barat bercorak mawar beriring yang menyerupai bunga magnolia dari China Achjadi, 2009: 57.
Gambar 4: Motif Mawar Beringin
Sumber: Achjadi, 2009: 57 e.
Corak dasar tumbuhan pada tenunan Melayu yaitu “Pucuk Rebung” dengan variasinya „Pucuk Tebung Sirih tunggal” yang memiliki makna filosofi
sebagai berikut: Bila memakai sirih tunggal
Celaka hilang jauh sial Dada lapang panjanglah akal
Sebarang kerja menjadi amal
Gambar 5: Motif pucuk rebung
Sumber: Malik, 2003: 71 f.
Corak dasar hewan pada tenunan Melayu yaitu hewan itik dengan corak dasar „Itik Pulang Petang‟ yang memiliki makna filosofi sebagai berikut:
Memakai itik bersabung dua Tanda berpadu kasih sayangnya
Tanda kekal tali darahnya Tanda berbudi berhati mulia
Gambar 6: Motif itik pulang petang
Sumber: Malik, 2003: 164 g.
Corak dasar hewan yaitu kupu-kupu pada tenunan kain songket Nusa Tenggara Barat. Motif kupu-kupu tersebut penerapannya sebagai pembatas
pada kain songket ini.
Gambar 7: Motif kupu-kupu
Sumber: Achjadi, 2009: 205 h.
Corak dasar manusia yang berasal dari Flores dan pulau-pulau disebelah timurnya.
Gambar 8: Motif manusia
Sumber: Achjadi, 2009: 215
Gambar 9: Motif manusia
Sumber: Achjadi, 2009: 215
4. Tinjauan tentang Tenun Lurik
Menurut Djoemena 2000:31 kata lurik secara bahasa diambil dari Bahasa Jawa kuno yaitu lorek yang berarti lajur atau garis, belang, dan dapat pula berarti
corak. Lurik adalah suatu kain hasil tenunan benang yang berasal dari daerah Jawa Tengah dengan motif dasar garis-garis atau kotak-kotak dengan warna-warna
suram yang pada umumnya diselingi aneka warna benang Ensiklopedi Nasional Indonesia 1997 dalam Hariyanto 2012: 1. Berdasarkan kedua sumber di atas
bahwa kata lurik adalah kain tenun di daerah Jawa Tengah yang bercorak garis- garis maupun kotak-kotak berwarna suram yang pada umumnya diselingi aneka
warna.
Ditinjau dari sejarahnya menurut Djoemena 2000: 4 Prasasti yang menunjukkan adanya kain tenun lurik pakan malang antara tahun 851- 882 M di
zaman kerajaan Hindu Mataram. Prasasti Raja Erlangga dari Jawa Timur tahun 1033 menyebutkan kain tuluh watu yang adalah nama salah satu kain lurik, pada
relief yang mencerminkan kehidupan masyarakat pada zamannya dapat dilihat telah adanya pemakaian kain tenun.
Lurik mempunyai kesederhanaan dalam tampilan maupun pembuatannya. namun sarat dengan berbagai makna Djeomena, 2000: 1. Prosesnya
menggunakan pola anyam datar atau polos. Struktur anyaman sasag anyaman dasar merupakan anyaman yang teknik jalinannya paling sederhana. Anyaman
sasag adalah jenis anyam yang dalam proses pembuatannya menggunakan cara mengangkat satu dan menumpangkan satu iratan pakan pada iratan lungsi secara
selang-seling, atau bisa juga sebaliknya angkat satu dan menumpangkan satu lungsi pada pakan Garha, 2001: 8. Dilihat dari sudut teknik menenun
pengerjaannya sangat sederhana, namun kejelian dalam permainan atau variasi perpaduan warna serta tata susunan antara garis-garis, kotak-kotak yang serasi,
dan seimbang, akan menghasilkan ciptaan atau corak-corak yang mempesona dan mengagumkan Djoemena, 2000: 33.
Di daerah Parahyangan Jawa Barat dan Madura kain lurik disebut pula dengan kain poleng, yang berarti belang-belang. Sekarang istilah poleng
digunakan untuk kain tenun bercorak kotak-kotak, khususnya berwarna hitam putih dianggap sebagai penolak berbagai bala dengan istilah bangun tulak dan
bersifat sakral. Kata lurik juga digunakan untuk tenunan yang berwarna polos atau
datar Djoemena, 2000: 31. Sebenarnya kain yang menyerupai kain lurik dengan istilah berbeda terdapat juga di daerah-daerah lain seperti Sumatra Barat, Sumatra
Utara, Jawa Barat, Bali, Buton, Lombok, dan lain-lain Djoemena, 2000: 8. Corak lurik secara garis besar dapat dibagi dalam 3 corak dasar, yaitu:
a. Corak Lajuran
Corak lajuran adalah corak di mana lajur atau garis-garisnya membujur searah benang lungsi.
Gambar 10: Corak Lajuran
Sumber: Djoemena, 2000: 41
b. Corak Pakan Malang
Corak pakan malang adalah corak di mana lajur atau garis-garisnya melintang searah benang pakan.
Gambar 11: Corak Pakan Malang
Sumber: Djoemena, 2000: 41
c. Corak Cacahan atau Kotak-kotak
Corak cacahan atau kotak-kotak adalah corak yang terjadi dari persilangan antara corak lajuran dan corak pakan malang.
Gambar 12: Corak Cacahan
Sumber: Djoemena, 2000: 42 Kain lurik tradisional di daerah Solo-Yogya dapat berbentuk, antara lain
Djoemena, 2000: 33: a.
Jarit atau kain panjang dengan ukuran kurang lebih 1 m x 2,5 m b.
Kain sarung, dengan ukuran kurang lebih 1m x 2 m c.
Kain ciut, adalah kain selendang dengan ukuran kurang lebih 0,5 m x 3 m dan kain kemben dengan ukuran kurang lebih 0,5 m x 2,5 m
d. Stagen ikat pinggang dengan ukurang kurang lebih 0,15m x 3,5 m.
e. bakal klambi bahan baju untuk kebaya wanita dan sruwal, baju peranakan,
surjan untuk pria, sedangkan lurik tidak umum dipakai sebagai ikat kepala. Corak sehelai kain lurik umumnya terbentuk atas pengulangan dari satu
satuan kelompok. Corak yang diciptakan dianggap sebuah karya agung yang diberi nama dan makna, dan dijadikan lambang yang mencerminkan unsur-unsur
kepercayaan, keagungan alam semesta ciptaan Yang Maha Kuasa, pemujaan para leluhur, falsafah, harapan, tauladan, peringatan, dan sebagainya. Disamping itu