204
terhadap pencurian, rasa aman tercipta karena masyarakatnya pantang mencuri seperti yang diajarkan kepercayaan dan agama mereka. Bentuk bangunan kandang berupa
panggang pepe atau kampung dengan alas dari tanah, lantai atau kayu cemara dengan permukaan sedikit miring agar air kencing dapat mengalir. Pakan ternak terutama
untuk sapi, babi, kuda adalah rumput astruli yang ditanam masyarakat di batas terasiring. Untuk pakan ternak kambing diantaranya adalah jenis kaliandra dan jenis
lamtoro yang ditanam sebagai pagar atau ditepi jalan, tanah komplangan serta dimanfaatkan sebagai tanaman konservasi untuk mencegah tanah longsor.
6.5 Simpulan
Pengetahuan keanekaragaman jenis hewan di lingkungan masyarakat Tengger berjumlah 120 jenis yang terdiri dari hewan peliharaan dan liar. Hewan peliharaan
yang dimanfaatkan masyarakat Tengger terdiri dari Aves 8 jenis, Mamalia 10 jenis, sedang jenis ikan danau 3 jenis, dan jenis ikan berasal dari luar Tengger
adalah ikan kering 3 jenis, Decapoda 2 jenis. Pengetahuan masyarakat Tengger terhadap binatang liar di sekitar mereka meliputi, Mamalia 32 jenis, Reptilia 9
jenis, Aves 64 jenis, Diptera 2 jenis, Arachnidae 1 jenis,
Grylotaipidae
1 jenis, Hypnoptera 1 jenis.
Pengetahuan tentang keanekaragaman jenis hewan di lingkungan maupun jenis hewan di hutan sangat baik, karena masyarakat Tengger selalu berkomunikasi dengan
alam sekitar. Perburuan terhadap binatang liar tidak ada, hal ini sangat mendukung konservasi keanekaragaman hayati.
Masyarakat suku Tengger memanfaatkan hewan untuk mendukung kebutuhan ekonomi, kebutuhan protein hewani, menjaga keamanan dan bahan ritual adat
meliputi ayam, babi, sapi, kambing, domba, bebek, sedangkan kuda mendukung jasa transportasi dan pariwisata. Peran jenis hewan tertentu mengandung nilai makna
kepercayaan suatu kejadian maupun indikasi aturan musim pranoto mongso. Dalam mendukung perekonomian keluarga dan ritual adat jenis penting meliputi ternak sapi,
babi, kambing dan ayam dan berdampak positif dalam pengolahan lahan pertanian untuk dipergunakan sebagai pupuk kandang.
205
7. PEMBAHASAN UMUM
7.1 Sosial Budaya, Adaptasi dan Pengelolaan Lingkungan Masyarakat Tengger
Sikap dan pandangan hidup masyarakat Tengger tercermin di dalam agama, kepercayaan, dan pranata sosial yang mengatur hubungan antara manusia dengan
Sang Hyang Widhi, manusia dengan manusia, manusia dengan sumber hayati dan alam lingkungan. Pedoman kepribadian tersebut didasari kepercayaan Kawruh Budha
prasojo, prayogo, pranoto, prasetya dan prayitno, Panca Sradha Percaya Sang Hyang Widhi Wasa, Percaya Atman, Percaya Karmapala, Percaya Purnabawa dan
percaya Moksa, hubungan antar manusia bersikap Panca Setia Setyo Budoyo, Setyo Semoyo, Seryo Wacana, Setyo Laksana dan Setyo Mitro. Menurut Sukari et al.
2004 dan Nurudin et al. 2004 masyarakat Tengger mempunyai sikap waras sehat, wareg kenyang wastro sandang dan widya ilmu dan teknologi dan welas
asih pepitu cinta kasih tujuh Gambar 5. Keberhasilan dalam mempertahankan, nilai sosial budaya dan kepribadian di masyarakat tidak terlepas dari peran orang tua,
pemimpin adat maupun pemerintahan setempat. Kehidupan masyarakat Tengger di kawasan Bromo Tengger Semeru sudah
berlangsung lama diperkirakan setelah keruntuhan kerajaan Majapahit. Mereka telah mampu mengadaptasikan kehidupan sosial ekonomi, budaya serta lingkungan
beratus-ratus tahun yang lalu secara turun temurun. Interaksi dan hubungan yang serasi tersebut sudah berlangsung lama hingga pada saat ini. Hubungan timbal balik
antara sistem sosial masyarakat Tengger dengan lingkungan biofisik ekosistem menyebabkan mereka mampu mengelola sumber daya alam yang ada. Pengetahuan
dalam pengelolaan sumber hayati dan lingkungannya sesuai kaidah ekologi sustainable seperti pembagian satuan-satuan lansekap, struktur sistem
pemerintahan, pranata sosial dan lembaga adat, pengetahuan konservasi tradisional dan pengetahuan tradisional berkaitan dengan petanian. Berbagai aspek sosial seperti
jumlah penduduk, teknologi lokal, kearifan lokal, sistem kepercayaan, mitos, seni budaya, sistem kelembagaan dan struktur sosial. Kelembagaan tradisional ternyata
206
mempunyai nuansa kesetaraan dengan tugas dan fungsinya dalam mengatur pengelolaan sumber daya alam Purwanto 2004. Sedang aspek lingkungan bio-fisik
ekosistem berupa komponen fisik meliputi udara, tanah, air dan hayati meliputi tumbuhan budidaya dan tumbuhan liar, hewan ternak, peliharaan, hewan liar, dan
sebagainya. Masyarakat Tengger dengan berbagai aspek sosial budaya, populasi penduduk,
kearifan lokal, teknologi lokal, struktur sosial dan kelembagaan telah terbentuk secara alami sesuai kemampuan mereka. Tatanan sosial masyarakat terjaga dengan baik
sehingga tercipta suasana tenteram, damai dan jauh dari konflik. Menurut Nurudin et al. 2004 modal sosial social capital masyarakat Tengger meliputi konsep hidup
dan nilai budaya. Modal sosial seperti nilai-nilai adat dan aturan-aturan informal digunakan setiap individu dalam perilaku kehidupan sehari-harinya. Keadaan
masyarakat Tengger tradisional namun terbuka serta nampaknya mengalami dampak perubahan zaman yang begitu cepat, hal tersebut merupakan beban berat, karena
kondisi wilayah maupun pendidikan masyarakat. Namun masyarakat Tengger tetap tegar mempertahankan adat budaya, bahkan menerima tradisi yang bersifat lokal
dalam memperkaya khasanah seni budaya. Kesenian yang dilakukan pada saat acara perkawinan, maupun acara adat seperti tari tayup yang diiringi tari gamelan
merupakan tradisi turun temurun, dilakukan di rumah, di Balai Desa dan tempat Danyangan.
Peran kawasan keramat dari pandangan ekologi adalah memiliki nilai konservasi tinggi dan sebagai konservasi sumber air dan kondisi fisik lainnya seperti
perlindungan terhadap kondisi lahan. Sistem konservasi lokal masyarakat yang dikaitkan dengan pandangan religi dan kepercayaan lokal ternyata lebih dihormati
dibanding dengan sistem konservasi formal. Kawasan ini juga mempunyai peran ekologis diantaranya adalah sebagai habitat jenis yang terancam keberadaannya dan
jenis endemik. Konservasi yang didasarkan pada pengetahuan lokal berkaitan dengan religi lebih sustainable. Kawasan keramat terjaga dalam kurun waktu yang panjang,
maka suksesi biologi sumber daya hayati lebih lengkap yang dapat dijadikan sebagai kawasan public awareness demonstrasi bagi pendidikan lingkungan dalam rangka
207
pengelolaan sistem sumber daya hayati yang berkelanjutan. Tempat sakral mempunyai keterkaitan erat antara sumber daya alam sebagai wujud integrasi antara
budaya dan nilai alamiah dalam sistem pengelolaan sumber daya hayati. Kawasan keramat merupakan perlindungan terhadap pengetahuan lokal dan budaya masyarakat
yang mempunyai religi tradisional. Kawasan keramat juga mempunyai nilai kultural sebagai acuan dari budaya, agama dan merupakan identitas suatu kelompok
masyarakat. Kawasan keramat tidak hanya menguntungkan baik sosial, ekonomi dan ekologi, tapi berdampak pada kekayaan budaya dan sumber daya alam yang memiliki
kekhususan tersendiri dan dapat dijadikan obyek eko-turisme. Oleh sebab itu kawasan sakral mempunyai nilai religi yang harus dihargai, dihormati dan dilindungi sebagai
manifestasi yang mendasar dari suatu kepercayaan tradisional, spiritual dan nilai spesifik dari budaya lokal.
Beberapa kelemahan dari pada kawasan sakral atau keramat yaitu belum adanya pengakuan, kerahasiaan pengetahuan oleh masyarakat adat, tidak mengikuti
tata cara yang sistemik, memiliki ukuran yang relatif kecil, perubahan budaya manusia akibat pengaruh pendidikan, teknologi, modernisasi dan budaya lain.
Disamping itu juga pengelolaan sumber daya hayati hanya berorientasi kepentingan ekonomi dan analisis keilmiahan dari sudut pandangan ekologi barat. Tempat ritual
adat seperti gunung Bromo, Danyangan, Sanggar Pamujan, Makam, hutan larangan merupakan tempat sakral dan magis dan secara pandangan ekologis merupakan
tempat konservasi dalam mendukung pelestarian keanekaragaman hayati. Akibat pengaruh intervensi budaya lain yang dialami masyarakat Tengger
bagian luar, dengan masyarakat suku lain, sehingga mengalami tekanan yang mengakibatkan terjadi erosi budaya karena kuatnya pengaruh, perkawinan silang, dan
secara evolusi tidak dapat terbendung dari perubahan, hal ini situasinya berbeda dengan Tengger bagian dalam. Dampak arus informasi serta teknologi mempengaruhi
pola di semua aspek kehidupan masyarakat Tengger. Aspek sosial budaya lokal masyarakat berkaitan dengan populasi penduduk, teknologi lokal hingga peralatan
modern, sistem kepercayaan, sistem pertanian, kearifan lokal serta kelembagaan, adat budaya masih kuat bahkan sangat kokoh. Mitos Ajisaka, Roro Anteng Joko Seger,