Indeks Kepentingan Budaya ICS

182

6.1 Pendahuluan

6.1.1 Latar Belakang

Keanekaragaman hayati Indonesia baik hewan, tumbuhan maupun mikroba cukup tinggi di dunia, meliputi 10 jenis tumbuhan, 12 binatang menyusuhi, 16 reptilia dan amfibia, 17 burung, 25 ikan dan 15 serangga BAPPENAS 1993 dalam Primack et al. 1998. Masyarakat suku Tengger mendiami wilayah Bromo Tengger Semeru ratusan tahun yang lalu, menempati kawasan Tengger di empat Kabupaten yaitu Malang, Pasuruan Probolinggo dan Lumajang. Mereka telah melakukan strategi adaptasi di lingkungan secara turun-temurun serta telah melakukan percampuran antara budaya lokal dengan budaya Majapahit sehingga mempunyai keunikan tersendiri dalam tatanan kehidupannya Stibe Uhlenbeck 1921; DKDJPH PABKSD IV 1984. Sebagian wilayah masyarakat Tengger berbatasan dengan TNBTS dan Perhutani yang merupakan daerah penyangga kawasan konversvasi. Kawasan ini menjadi penting untuk dikembangkan sebagai buffer lingkungan ekologis melalui peningkatan kehidupan sosial ekonomi dan kualitas hidupnya melalui pengembangan berkelanjutan. Daerah penyangga diharapkan mampu menjadi penyangga kehidupan kawasan konservasi dan dapat melindungi kawasan konservasi dari gangguan yang berasal dari luar. Menurut UNESCO United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization melalui program Man and the Biosfer MAB, zona penyangga kawasan cagar biosfer memiliki peran melindungi area inti kawasan konservasi dan mampu menjadi zona pendukung pengembangan area transisi yang berada di sekitarnya dalam rangka pembangunan berkelanjutan. Daerah penyangga berfungsi menjembatani penyebaran satwa serta aliran gen antara kawasan konservasi yang dilindungi dan wilayah transisi. Menurut DKDJPH PABTNBTS 1999 dan Primack et al. 1998 daerah penyangga Taman Nasional Bromo Tengger Semeru adalah wilayah berada di luar kawasan konservasi baik sebagai kawasan konservasi, kawasan hutan, tanah negara, 183 bebas maupun tanah yang dibebani hak dan mampu menjaga keutuhan wilayah konservasi yang pada dasarnya merupakan kawasan diluar daerah konservasi. Etnozoologi merupakan bagian dari bidang etnobiologi yang mempelajari tentang pemanfaatan dan pengelolaan keanekaragaman jenis hewan yang erat kaitannya dengan budaya masyarakat suatu kelompok, etnik ataupun suku bangsa. Dalam sejarah perkembangan manusia, tumbuhan dan hewan telah memainkan peranan penting dalam mengembangkan, mengadaptasikan untuk keperluan pemenuhan bahan pangan, sandang, papan, ritual dan keperluan lainnya. Keanekaragman jenis satwa liar yang tercatat di kawasan TNBTS hingga tahun 1997 diketahui ada 113 jenis fauna terdiri atas: 22 jenis mamalia, 85 jenis burung, dan 6 jenis reptilia DKDJPH PABTNBTS 1997. Sekarang masing-masing jenis tersebut diketahui mengalami penyusutan jumlah jenisnya Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan pendidikan, penelitian, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi Primack et al. 1989. DKDJPH PABTNBTS 1997 dan Basuni 2003 mengemukakan bahwa Taman Nasional adalah salah satu bentuk kawasan konservasi yang pengelolaannya diarahkan dalam pemenuhan fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman flora dan fauna serta pemanfaatan sumber alam hayati dan ekosistemnya secara berkelanjutan. Penetapan untuk wilayah konservasi diprioritaskan pada kekhasan komunitas hayati endemik, keterancaman jenis pada kepunahan serta nilai kegunaan nyata dan potensi bagi manusia serta nilai konservasi alami. Pengetahuan tentang pengelolaan, pemanfaatan, kelestarian fauna di lingkungan masyarakat Tengger dapat memberikan kesempatan sangat berharga dalam memahami lansekap lahan desa dan hutan. Informasi ini merupakan sumber penting berkaitan dengan keanekaragaman genetik satwa, ekosistem, sejarah lansekap, erosi pemanfatan akibat perubahan budaya serta kemajuan informasi menuju kebutuhan praktis Rambo 1983; Mackinnon 1993; Sheil 2004. Penelitian pengetahuan, pemanfaatan, pengelolaan terhadap keanekaragaman jenis hewan sangat 184 perlu dilakukan terutama yang terfokus dan terintegrasi dengan lingkungan masyarakat Tengger sebagai daerah penyangga wilayah konservasi.

6.1.2 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk dapat mengungkap berbagai macam cara pemanfaatan sumber daya alam hayati hewan yang mereka kenali berdasarkan tingkat pengetahuan dan teknologi yang mereka miliki dalam upaya mempertahankan dan mengembangkan diri di lingkungannya. Mengungkap dan mempelajari peran sumber daya hayati hewan dalam kehidupan masyarakat Tengger di lingkungannya.

6.2 Bahan dan Metode

6.2.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan April 2010 hingga bulan Mei 2011 di Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang, Kecamatan Tutur, Kecamatan Tosari, Kecamatan Puspo Kabupaten Pasuruan; Kecamatan Sukapura, Kecamatan Sumber Kabupaten Probolinggo; Kecamatan Senduro Kabupaten Lumajang dan lahan komplangan Perhutani di lingkungan TNBTS yang berdekatan dengan wilayah desa Tengger.

6.2.1 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah sebagai berikut: komputer, kompas, GPS Geographical Position System, clinometer, peta lokasi, altimeter, soiltester, hygrometer, jangka sorong, parang, patok dari bambu atau kayu, gunting stek, cat untuk penomoran, peralatan jelajah lapangan, tali plastik, kantong plastik berbagai ukuran, amplop sample, label gantung, kamera, film, tropong dan alat-alat 185 tulis. Bahan kimia yang digunakan meliputi alkohol 70, formalin, FAA, kamper dan spiritus.

6.2.2 Metode Penelitian

Penelitian dilakukan pada bulan April 2010 hingga Mei 2011 di Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang, Kecamatan Senduro Kabupaten Lumajang, Kecamatan Sukapura dan Kecamatan Sumber Kabupaten Probolinggo, Kecamatan Tosari dan Kecamatan Tutur Kabupaten Pasuruan dan TNBTS serta komplangan Perhutani. Penelitian menggunakan metode survei exploratif yang meliputi inventarisasi jenis hewan di kandang, tegalan, rumah, lingkungan, bahan pangan dan ritual dan data berupa nama lokal dan ilmiah. Teknik pengumpulan informasi serta pendekatan bersifat partisipasif participatory ethnobotanical appraisal, PEA melalui wawancara langsung, semistruktural, terjadwal, observasi partisipasif dan ikut aktif dalam aktivitas harian. Survey ekploratif meliputi inventarisasi jenis hewan yang dimanfaatkan masyarakat Tengger meliputi bahan pangan, ritual, peliharaan serta pencatatan hewan liar baik di lingkungan, Perhutani komplangan maupun lahan berdekatan TNBTS. Identifikasi burung dilakukan dari suara, cara terbang, bulu dan warna, paruh, kaki burung, habitat dan pakan MacKinnon et al.1999.

6.3 Hasil

6.3.1 Pemanfaatan Jenis dan Kategori Pengelompokannya

Pandangan mayarakat Tengger terhadap fauna, seperti halnya manusia adalah ciptaan Sang Maha Agung. Oleh sebab itu mereka juga harus dijaga, dilindungi keberadaannya, apalagi binatang liar yang berada di hutan yang dilindungi undang- undang dan dikembangkannya. Konsep kepercayaan yang terkandung dalam lontar berisi cinta kasih Welas Asih Pepitu menunjukkan kandungan prinsip yang dalam, dimana didalamnya berupa cinta kasih pada fauna sato kewan, tumbuhan dan 186 lingkungannya. Kidungan serta cerita yang ditanamkan dari nenek moyang mereka ke generasi selanjutnya seperti cerita membunuh anak burung mempergunakan alat ketepil melambangkan kearifan lokal terhadap keberadaan fauna. Kepercayaan tersebut memberikan petunjuk adanya suatu bentuk kehidupan harmoni dengan alam lingkungannya. Namun demikian ada jenis hewan yang merugikan seperti ulat, wereng, tikus, babi hutan celeng, budeng karena sering mengganggu tanaman pertanian. Masyarakat Tengger merupakan salah suku bangsa di Indonesia yang mempunyai keunikan tersendiri dalam tatanan kehidupannya. Mereka mempunyai sistem pengetahuan yang baik terhadap sumber daya alam di lingkungannya. Masyarakatnya berusaha meningkatkan kehidupannya dengan berbagai keterbatasan kondisionalnya. Sistem pengelolan sumber daya alam dikelola secara lestari yang dipadukan dengan keadaan alam yang adaptif terintegrasi dengan strategi dan partisipasif. Budaya tempat tumang juga memberikan kontribusi untuk pembelajaran sangat efektif tidak hanya pada anak-anaknya, saudaranya namun antar generasi berikutnya. Hal ini dikuatkan kesepakatan sosial, pranata dan berkaitan hukum adat di lingkungannya dimana tanah dan lingkungannya termasuk keanekaragaman hewan mempunyai arti penting bagi kehidupan yang diciptakan Sang Hyang Widhi Wasa. Tata ruang pengembangan bidang peternakan sangat logis serta menarik. Masyarakat Tengger sudah memikirkan kesehatan lingkungan perumahan, dan pertimbangan keamanan serta kesehatan ternak yaitu membuat kandang ternak yang beralaskan kayu cemara dengan sistem miring. Pada umumya kandang ternak juga dilengkapi tumang, karena kandang dan gubuk menjadi satu Gambar 17. Letak kandang dipisahkan dari lingkungan perumahan karena mereka khawatir akan menimbulkan bau kurang sedap dan mengganggu kesehatan, sehingga kandang dibangun di tegalan dengan jarak 0.5 hingga 8 km dari perumahan. Konsep kandang di tegalan sangat logis untuk memudahkan memberi pakan dari ladang sendiri serta memudahkan pengolahan kompos sebagai pupuk kandang untuk persiapan pertanian. Hal ini sudah dilakukan secara turun temurun yang berbeda dengan konsep kandang pada masyarakat Jawa.