sedangkan yang beragama Budha, Islam, Kristen seperti tertera aturan peribadatan agama yang dianut. Dukun Pandhita merupakan seseorang yang sangat dihormati
dan merupakan pemimpin upacara adat serta agama bagi pemeluk agama Hindu dan Budha.
3.3.3 Kepemimpinan Tradisional dan Lembaga Adat
Dalam masyarakat tradisional kepemimpinan adat menjadi titik sentral jalannya kehidupan masyarakat. Sistem ini mengatur segala aspek kehidupan dari
norma sosial, budaya, ekonomi, pertahanan dan sistem pengelolaan sumber daya alam. Pada umumnya kepemimpinan tradisional merupakan suatu lembaga yang
memiliki ciri khas adanya dominansi golongan tertentu dan memiliki otoritas bersifat turun-temurun dan mempunyai keputusan mutlak dan mengikat seluruh
warga. Sistem kepemimpinan desa Tengger dipimpin oleh seorang Kepala Desa dikenal Petinggi dan sebagai kepala adat. Petinggi secara formal sebagai Kepala
Pemerintahan dan sebagai ketua adat, didampingi oleh Dukun Pandhita secara informal bertugas pelaksanaan ritual adat, memberi pertimbangan dan nasihat
tidak hanya dalam bidang keagamaan, namun juga bidang pemerintahan, pertanian dan pembangunan yang akan dilaksanakan oleh Pemerintah Desa.
Dalam melaksanakan tugas administrasinya pemerintahan Petinggi dibantu Sekretaris Desa disebut Carik, dan Kepala Desa dibantu oleh beberapa Kaur
Kepala Urusan Pemerintahan meliputi Kaur Pembangunan, Kaur Kesehjahteraan Rakyat dan Kaur Keuangan. Petinggi dibantu Kasun Kepala Dusun yang dibagi
beberapa RW Rukun Warga dan RT Rukun Tetangga. Kelembagaan Desa memiliki LKMD, LMD, BPD Badan Permusyawaratan Desa serta organisasi
kemasyarakatan seperti Kader Pembangunan Desa KPD, PKK, Karang Taruna, Kelompok Tani, Koperasi dan Kelompok Pengajian yang fungsinya mempererat
sesama warga desa. Untuk mendukung berjalannya roda Pemerintahan Desa meliputi Peraturan Desa dan Keputusan Kepala Desa. Untuk mengikuti keluarga
berencana KB hampir keseluruhan desa Tengger relatif berhasil, mereka sadar bahwa tanah terbatas untuk keberlanjuan anak cucu.
Seluruh Dukun Panditha di masyarakat Tengger berjumlah 47 orang yang tersebar 41 Desa di seluruh Tengger dengan koordinator Dukun Pandhita Bapak
Mudjono Brang wetan dari Desa Ngadas Wetan, Dukun Pandhita Astabrata Brang Kulon dan Dukun Pandhita Senior Bapak Sutomo dari Desa Ngadisari. Pada
setiap Desa Tengger mempunyai satu atau dua Dukun Pandhita dan dibantu oleh Legen serta Pedande yang bertugas mempersiapkan acara berkaitan perkawinan
serta sesajen dan Wong Sepuh bertugas mempersiapkan acara yang berkaitan dengan acara kematian dan sesaji. Dukun Pandhita bertugas sebagai pelaksana
ritual adat dan agama, di bidang agama Hindu, Budha serta memberi nasehat kepada Kepala Desa tentang adat budaya di desanya. Masyarakat Tengger
mempercayai kekuasaan para dewa dan pengaruhnya terhadap kehidupan di alam jagat raya dan kasuwargan, dan mempercayai bahwa wilayah gunung Bromo
merupakan tempat yang suci. Mereka menjunjung tinggi keharmonisan dan kelestariaan dalam persaudaraan seperti dalam sesanti lima petunjuk kesetiaan
yaitu Setyo Budaya, Setyo Wacana sesuai perbuatan, Setyo Semoyo menepati janji, Setyo Mitra selalu membangun setia kawan dan Setyo Laksana
bertanggung jawab terhadap tugas. Tradisi masyarakat Tengger tergambar dalam kehidupan mereka yang merupakan budaya peninggalan Majapahit dan tradisi
mereka terikat bersama kepercayaan mereka dan agama Hindu-Budha sehingga tetap kokoh. Pemandangan lahan pertanian dan panorama yang indah di sekitar
gunung Bromo, serta adat istiadat dan budaya tradisi unik menarik wisatawan domestik maupun mancanegara, merupakan modal pembangunan wisata daerah
khususnya dan Jawa Timur Pada umumnya.
3.3.4 Bahasa Lokal Tengger
Bahasa yang digunakan berkomunikasi sehari-hari masyarakat Tengger adalah bahasa Tengger dan hampir semua orang bisa berkomunikasi dengan
bahasa Indonesia. Bahasa merupakan simbol budaya yang dipergunakan untuk komunikasi masyarakat Tengger adalah bahasa dialek Jawa Tengger, yaitu
memakai tingkatan ngoko dan kromo dipergunakan terhadap orang yang lebih tua atau bahasa Indonesia untuk orang pendatang. Mereka masih mempertahankan
beberapa bahasa kawi seperti reang aku, eyang untuk laki-laki dan aku ingsun untuk perempuan, namun demikian setiap desa mempunyai sedikit perbedaan
dengan logat yang sama. Akhiran kata dalam pembicaraan banyak dipergunakan akhiran a bukan seperti bahasa jawa o, yang hampir mirip dengan bahasa
Banyumas. Dalam berkomunikasi antar mereka menggunakan bahasa ngoko dialek Tengger dan semakin majunya pendidikan SDN, SMPN dan SMK,
sehingga bahasa Indonesia dan bahasa asing mewarnai kehidupan mereka terutama generasi muda karena berkaitan dengan banyaknya wisatawan lokal dan
asing.
3.3.5 Sistem Penguasaan Lahan Tenurial System
Menurut pandangan masyarakat Tengger, lahan dan tanah adalah warisan leluhur, yang tidak dapat di jual belikan, karena bukan saja sebagai sumber
kehidupan, ekonomi, namun juga pelaksanaan kegiatan adat budaya, sosial, politik serta kegiatan ritual. Oleh sebab itu pengetahuan lokal dari leluhur mereka yang
mengajarkan tentang adanya keberlanjutan kehidupan di dunia dan alam kelanggengan, sebagai contoh perkembangan tentang pembatasan jumlah
penduduk dengan laju pertumbuhan penduduk yang lambat karena mereka sadar atas keterbatasan lahan. Hal tersebut dilakukan untuk keberlanjutan generasi
sekarang dan yang akan datang. Hukum adat mereka mengatur sebagian besar aspek sosial baik tata guna lahan maupun tanah, harus dijaga, digarap dan
dimanfaatkan, sehingga jarang sekali tanah ada bero tidur. Sistem kekerabatan sama dengan masyarakat Jawa pada umumnya,
pembagian hak waris diatur dalan hukum adat mereka dimana laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama. Hukum adat Tengger membagi tanah
yang dipergunakan meliputi tanah dipergunakan untuk umum dan tanah milik keluarga atau pribadi. Pembagian tata ruang desa berupa tanah perpajakan hak
milik, tanah bengkok, bangunan umum meliputi pekuburanmakam, perkantoran, Balai desa, rumah ibadah, sarana hiburan seperti tempat rekreasi, perumahan,
tanah komplangan dan yang lain Anonim 2009. Pandangan lama terhadap hutan mencerminkan bahwa lingkungan dan
isinya anugerah Sang Hyang Widhi agar dilestarikan dan dimanfaatkan. Tanda batas lahan, hutan biasanya berdasarkan sungai, gunung, pohon seperti cemara,
gapura, danau seperti di Desa Ranupani serta patok cor milik TNBTS atau Perhutani. Masyarakat Tengger lebih menyukai tempat yang terpencil,
pegunungan berbukit dan dingin serta berdekatan dengan tempat yang dianggap suci yaitu gunung Bromo dan Semeru, hal ini berkaitan dengan agama dan
kepercayaan yang diajarkan oleh orang tua dalam mengadaptasikan kehidupan tersebut.
3.4 Pendekatan Penelitian
3.4.1 Etnoekologi
Untuk memperoleh data ekologi dengan menggunakan analisis vegetasi pada satuan lingkungan pekarangan, tegalan, komplangan dan Sanggar Pamujan.
Menentukan areal vegetasi pada ekosistem tegalan, komplangan dan Sanggar Pamujan digunakan metode kwadrat secara purposive sampling. Pengamatan
ukuran plot untuk pohon 20 m x 20 m, semak 5 m x 5 m dan herba 1 m x 1 m. Untuk Sanggar Pamujan plot diambil 20 m x 20 m dan secara kualitatif.
Pengamatan pekarangan dilakukan secara kualitatif. Hasil analisis vegetasi dari setiap satuan lingkungan adalah nilai penutup setiap jenis tumbuhan. Besarnya
indek nilai penting INP jenis tumbuhan =Kerapatan Relatif + Dominansi Relatif + Frekwensi Relatif.
3.4.2 Etnobotani
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan metode survei yaitu melakukan pengamatan langsung di lapangan. Melakukan wawancara bebas open ended dan
terstruktur, pada setiap desa dengan 7 orang informan kunci untuk menggali pengetahuan masyarakat tentang keanekaragaman jenis tumbuhan berguna.
Perhitungan Index of Cultural Significance ICS didasarkan pada formula yang dikembangkan oleh Turner 1988. Perhitungan ICS ini memiliki tujuan dan
fungsi untuk mengevaluasi atau mengukur kepentingan jenis tumbuhan bagi masyarakat Tengger.
3.4.3 Etnozoologi
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan metode survei yaitu dengan melakukan pengamatan langsung di lingkungan perkampungan, kandang dan ikut
dalam kegiatan yang berkaitan dengan acara ritual adat bersama informan. Wawancara bebas dilakukan untuk menggali pengetahuan masyarakat tentang
keanekaragaman jenis hewan liar dan hewan yang dipelihara.
3.5 Konservasi Sumberdaya Tumbuhan
Metode yang digunakan merupakan kombinanasi perbandingan antara nilai INP dan ICS dari setiap jenis tumbuhan pada setiap satuan lingkungan
dengan nilai kombinasi sebagai berikut: a.
INP tinggi dan ICS tinggi berarti jenis tumbuhan dapat dipertahankan karena keberadaan jenis tersebut tinggi dan nilai pemanfaatannya tinggi
di tempatlokasi. b.
INP tinggi dan ICS rendah berarti jenis tumbuhan tersebut harus dimanfaatkan lebih lanjut dan dicari kegunaan yang lainnya karena
kehadirannya atau ketersediaannya tinggi di areal tersebut. c.
INP rendah dan ICS rendah berarti jenis tersebut harus tetap ada walaupun kegunaanya belum diketahui, tetapi untuk konservasi jenis
perlu dilakukan agar jenis tersebut tidak punah. d.
INP rendah dan ICS tinggi berarti jenis tersebut harus dibudidayakan karena kehadiran atau keberadaannya rendah tetapi kegunaannya tinggi.