Keanekaragaman Hewan Ternak Hasil
207
pengelolaan sistem sumber daya hayati yang berkelanjutan. Tempat sakral mempunyai keterkaitan erat antara sumber daya alam sebagai wujud integrasi antara
budaya dan nilai alamiah dalam sistem pengelolaan sumber daya hayati. Kawasan keramat merupakan perlindungan terhadap pengetahuan lokal dan budaya masyarakat
yang mempunyai religi tradisional. Kawasan keramat juga mempunyai nilai kultural sebagai acuan dari budaya, agama dan merupakan identitas suatu kelompok
masyarakat. Kawasan keramat tidak hanya menguntungkan baik sosial, ekonomi dan ekologi, tapi berdampak pada kekayaan budaya dan sumber daya alam yang memiliki
kekhususan tersendiri dan dapat dijadikan obyek eko-turisme. Oleh sebab itu kawasan sakral mempunyai nilai religi yang harus dihargai, dihormati dan dilindungi sebagai
manifestasi yang mendasar dari suatu kepercayaan tradisional, spiritual dan nilai spesifik dari budaya lokal.
Beberapa kelemahan dari pada kawasan sakral atau keramat yaitu belum adanya pengakuan, kerahasiaan pengetahuan oleh masyarakat adat, tidak mengikuti
tata cara yang sistemik, memiliki ukuran yang relatif kecil, perubahan budaya manusia akibat pengaruh pendidikan, teknologi, modernisasi dan budaya lain.
Disamping itu juga pengelolaan sumber daya hayati hanya berorientasi kepentingan ekonomi dan analisis keilmiahan dari sudut pandangan ekologi barat. Tempat ritual
adat seperti gunung Bromo, Danyangan, Sanggar Pamujan, Makam, hutan larangan merupakan tempat sakral dan magis dan secara pandangan ekologis merupakan
tempat konservasi dalam mendukung pelestarian keanekaragaman hayati. Akibat pengaruh intervensi budaya lain yang dialami masyarakat Tengger
bagian luar, dengan masyarakat suku lain, sehingga mengalami tekanan yang mengakibatkan terjadi erosi budaya karena kuatnya pengaruh, perkawinan silang, dan
secara evolusi tidak dapat terbendung dari perubahan, hal ini situasinya berbeda dengan Tengger bagian dalam. Dampak arus informasi serta teknologi mempengaruhi
pola di semua aspek kehidupan masyarakat Tengger. Aspek sosial budaya lokal masyarakat berkaitan dengan populasi penduduk, teknologi lokal hingga peralatan
modern, sistem kepercayaan, sistem pertanian, kearifan lokal serta kelembagaan, adat budaya masih kuat bahkan sangat kokoh. Mitos Ajisaka, Roro Anteng Joko Seger,
208
terjadinya gunung serta simbol-simbol memberikan arti khusus yang membuahkan ritual adat, kepercayaan yang disepakati. Sistem organisasi sosial, politik, aspek
ekonomi, teknologi, sistem pertanian, pengelolaan lingkungan sangat dipengaruhi oleh sistem sosial budaya mereka. Beberapa aspek sosial budaya, simbol bahasa,
pakaian adat serta tatanan yang mapan dan terjaga baik tidak lepas dari unsur lingkungan, ikatan keluarga, kekerabatan, kelembagaan, sifat individu yang suka
menolong berkaitan dengan kepercayaan, sehingga menjadi modal dasar terciptanya suasana damai, tenang dan tenteram.
Ikatan kekerabatan hampir sama dengan suku Jawa pada umumnya mulai dari canggah, buyut, simbah, bapakibu, anak dan cucuputu. Perkawinan masyarakat
Tengger, biasanya dalam satu desa atau desa lain dalam lingkungan masyarakat Tengger, namun suku Tengger yang berbatasan dengan masyarakat Jawa banyak
melakukan perkawinan silang. Pada setiap acara yang dilakukan mempergunakan salam “Houng Ulum Basuki Langgeng” yang mempunyai arti Tuhan tetap
memberikan keselamatan, kemakmuran yang kekal, hal ini juga dimaksudkan mempererat hubungan dalam persatuan masyarakat Tengger. Salam untuk yang
beragama Hindu Dharma dengan “Om Swasti Astu”. Adaptasi yang dilakukan masyarakat Tengger berlangsung melalui proses
waktu yang panjang dari generasi ke generasi melalui kehidupan sosial ekonomi, budaya serta lingkungannya telah mengantarkan sistem kehidupan yang harmonis dan
mantap. Hubungan tersebut mempersatukan berbagai komponen melalui proses evolusi budaya dari berbagai macam aspek dan berlangsung hingga saat ini sebagai
contoh adaptasi kultural dengan penggunaan teknologi tumang dan simbol adat selalu berpakaian sarung baik laki-laki maupun perempuan. Dalam mempertahankan seni
budaya seperti tari Sodoran dan Ujung-ujungan, Sendra tari Roro Anteng-Joko Seger menggambarkan kerukunan antara warga Tengger. Lembaga adat, Petinggi sebagai
kepala adat dan koordinasi Dukun Pandhita menjadi lebih berdaya guna dalam masyarakat dalam melakukan ritual adat. Untuk mempertahankan eksistensi adat dan
budaya serta wilayah Tengger mereka lebih mengutamakan perkawinan diantara sesama warga Tengger.