Kesantunan dalam Berbahasa Ketidaksantunan dalam Berbahasa

2.2.2.4 Kesantunan dalam Berbahasa

Bahasa yang digunakan oleh seseorang merupakan cerminan dari dirinya sendiri. Bahasa dapat menilai harkat dan martabat seseorang di mata orang lain. Kemampuan berbahasa secara santun menunjukkan kepribadian yang santun pula. Inilah salah satu alasan, memperhatikan kesantunan dalam berbahasa menjadi suatu hal terpenting dalam berkomunikasi dengan lingkungan sosial. Bahasa yang santun adalah struktur bahasa yang disusun sedemikian rupa oleh penuturpenulis agar apa yang disampaikandituliskan tidak menyinggung perasaan pendengar atau pembaca. Ketika penutur menggunakan bahasa dalam bersosialisasi, maka penutur harus memperhatikan kaidah berbicara dengan baik dan benar. Bahasa yang benar adalah bahasa yang dipakai sesuai dengan kaidah yang berlaku. Begitu juga ketika seseorang sedang menulis cerpen, mereka menggunakan kaidah bahasa sesuai dengan peran tokoh yang sedang diperankan. Namun, kedua hal tersebut tidaklah cukup. Masih ada satu kaidah lagi yang perlu diperhatikan yaitu kesantunana Pranowo, 2009: 4-5. Pranowo 2009: 14-15 menyatakan ada tiga alasan berbahasa secara santun dalam interaksi penutur dan mitra tutur. pertama, mitra tutur diharapkan dapat memahami maksud yang disampikan oleh penutur. Kedua, setelah mitra tutur memahami maksud penutur, mitra tutur akan mencari aspek tuturan yang lain. Ketiga, tuturan penutur kadang-kadang juga disimak oleh orang lain Orang ketiga yang sebenarnya tidak berkaitan langsung dengan komunikasi antara penutur dan mitra tutur. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

2.2.2.5 Ketidaksantunan dalam Berbahasa

Ketidaksantunan dalam berbahasa dapat dikenali dari penanda-penanda ketidaksantunannya impoliteness markers, baik penanda ketidaksantunan yang bersifat pragmatik maupun penanda ketidaksantunan linguistik. Salah satu penanda ketidaksantunan itu adalah kata-kata fatis. Locher dan Watts 2008 berpandangan bahwa perilaku tidak santun adalah perilaku yang secara normatif dianggap negatif negatively marked behavior. Dikatakan demikiann karena hal tersebut melanggar norma sosial yang berlaku dalam masyarakat. Di dalam pandangan Miriam A Locher 2008 ketidaksantunan dalam berbahasa dipahami sebagai „impolitenes behavior that is face-aggravating in particular context‟. Ketidaksantunan berbahasa merupakan perilaku berbahasa yang memperburuk „muka‟ mitra tutur pada konteks kebahasaan tertentu. Ketidaksantunan itu menunjuk pada peril aku „melecehkan‟ muka face-aggravate. Pemahaman lain yang berkaitan dengan definisi Locher tentang ketidaksantunan berbahasa adalah bahwa tindakan tersebut sesungguhnya bukanlah sekadar perilaku yang „melecehkan muka‟, melainkan perilaku yang „memain-mainkan muka‟. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa ketidaksantunan berbahasa yang bersifat melecehkan dan memain-mainkan muka pada konteks tertentu sebagaimana dilambangkan dengan makna kata „aggravate‟ itu. Pemahaman Culpeper 2008 tentang ketidaksantunan berbahasa dapat disebutkan sebagai berikut, „Impoleteness, as I would define it, involves communicate behavior intending to cause the “face loss” of a target or perceived by the target to be so .‟ Culpeper memberikan penekanan pada fakta „face loss‟ PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI at au „kehilangan muka‟. Sebuah tuturan dianggap tidak santun jika tuturan itu menjadikan muka seseorang hilang. Jadi, ketidaksantunan berbahasa merupakan perilaku komunikatif yang diperantikan secara intensional untuk membuat orang benar-benar kehilangan muka face loss , atau setidaknya orang tersebut „merasa‟ kehilangan muka. Bousfield 2008 mengemukakan bahwa ketidaksantunan berbahasa dipahami sebagai berikut: „…the issuing of intentionally gratuitous and conflictive face-threatening acts FTAs that are purposefully performed ‟. Bousfield memberikan penekanan pada dimensi „kesembronoan‟ dan dimensi konfliktif conflictive dalam praktik berbahasa yang tidak santun. Jadi, apabila perilaku berbahasa seseorang itu mengancam muka dan dilakukan secara sembrono gratuitous yang mengakibatkan konflik atau bahkan pertengkaran, dan tindakan tersebuut dilakukan dengan kesengajaan purposeful, tindakan berbahasa itu merupakan realitas ketidaksantunan dalam praktik berbahasa. Ketidaksantunan berbahasa dapat dicermati melalui penanda ketidaksantunan berbahasa yang terdapat dalam konteks. Dengan mengenali penanda-penanda ketidaksantunan berbahasa, seseorang dapat mempertimbangkan bentuk-bentuk lain agar komunikasi terjalin dengan santun.

2.2.2.6 Kefatisan dalam Berbahasa