5. Kategori Fatis “lha”dalah penanda ketidaksantunan berbahasa yang
dimaknai sebagai pengungkapan untuk menunjukkan kekesalan atau kekecewaan.
6. Kategori Fatis “tak”adalah untuk menunjukkan makna „akan‟ atau makna
„segera‟. Secara pragmatis, makna “tak” adalah „memberikan ancaman‟. 7.
Kategori Fatis “huu”sebagai kategori fatis memiliki makna mengejek atau meperolok-olok.
8. Kategori Fatis “iih”sebagai kategori fatis mengandung makna „mengejek‟
atau menyamp aikan maksud „sinis‟ tertentu.
9. Kategori Fatis “woo”sebagai kategori fatis dapat bermakna mengumpat.
10. Kategori Fatis “hei”digunakan untuk maksud memperingatkan untuk
melakukan sesuatu atau sebaliknya untuk tidak melakukan sesuatu. 11.
Kategori Fatis “halah”penanda ketidaksantunan memiliki makna „menyepelekan‟ atau dapat juga digunakan untuk menyampaikan maksud
„kesembronoan‟.
2.2.3 Konteks sebagai Penentu Makna Pragmatik
Istilah “konteks” didefinisikan oleh Mey 1993: 38 dalam Nadar, 2009: 3 sebagai the surroundings, in the widest sense, that enable the participants in
the communication process to interact, and that make the linguistic expressions of their interaction intelligible
“situasi lingkungan dalam arti luas yang memungkinkan peserta pertuturan untuk dapat berinteraksi, dan yang membuat
ujaran mereka dapat dipahami”. Lalu, pentingnya konteks dalam pragmatik ditekankan oleh Wijana 1996:2 yang menyebutkan bahwa pragmatik mengkaji
makna yang terikat konteks, dan oleh Searle, Kiefer dan Bierwich 1980:ix yang menegaskan bahwa pragmatics in concered with the way in which the
interpretation of syntactically defined expressions depends in the particular conditions of their use in context
“pragmatik berkaitan dengan interpretasi suatu ungkapan yang dibuat mengikuti aturan sintaksis tertentu dan cara
menginterpretasi ungkapan tersebut tergantung pada kondisi-kondisi khusus penggunaan ungkapan tersebut dalam konteks”.
Rahardi 2005: 51 mendefinisikan konteks sebagai semua latar belakang pengetahuan yang diasumsikan sama-sama dimiliki penutur dan mitra tutur serta
yang mendukung interpretasi mitra tutur atas apa yang dimaksudkan penutur itu di dalam proses bertutur.
Konteks pemakaian bahasa dapat dibedakan menjadi empat macam, yaitu; 1 konteks fisik physical context yang meliputi tempat terjadinya pemakaian
bahasa dalam suatu komunikasi, objek yang disajikan dalam peristiwa komunikasi itu dan tindakan atau perilaku dari para peran dalam peristiwa komunikasi itu; 2
konteks epistermis epistemic context atau latar belakang pengetahuan yang sama-sama diketahui oleh pembicara ataupun pendengar; 3 konteks linguistik
linguistic context yang terdiri atas kalimat-kalimat atau tuturan-tuturan yang mendahului satu kalimat atau tuturan tertentu dalam peristiwa komunikasi; 4
konteks sosial social context, yaitu relasi sosial dan latar setting yang melengkapi hubungan antara pembicara penutur dengan pendengar Imam
Syafi‟ie, 1990: 126 dalam Lubis 2015: 60-61. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Keempat konteks tersebut memengaruhi kelancaran komunikasi. Ciri-ciri konteks harus dapat diidentifikasikan untuk menangkap pesan si pembicara.
Mula-mula, kita lihat betapa pentingnya pemahaman tentang konteks linguistic 3, karena dengan itu kita dapat memahami dasar suatu tuturan dalam suatu
komunikasi. Tanpa mengetahui struktur bahasa dan wujud pemakaian kalimat tentu kita tidak dapat berkomunikasi dengan baik. Namun, pengetahuan tentang
struktur bahasa itu saja jelas tidak cukup. Ini harus dilengkapi lagi dengan pengetahuan konteks fisiknya 1, yaitu di mana komunikasi itu terjadi, apa objek
yang dibicarakan, dan begitu juga bagaimana tindakan si pembicara. Ditambah lagi, dengan pengetahuan tentang konteks sosial 4, yaitu bagaimana hubungan
antara si pembicara dan si pendengar dalam lingkungan sosialnya. Dan yang terakhir haruslah dipahami pula konteks epistemiknya 2, yaitu pemahaman yang
sama-sama dipunyai oleh pembicara dan pendengar. Yan Huang 2007 dalam Rahardi, 2015:18, seorang ahli pragmatik
China, yang dengan tegas menunjukkan bahwa konteks dalam pragmatik itu dapat dimaknai dengan mengacu pada hal-hal yang terkait dengan seting atau
lingkungan dinamis tempat entitas kebahasaan digunakan sistematis. Maka kemudian dia menunjukkan bahwa konteks dibedakan menjadi tiga, seperti
dijelaskan berikut ini „…context can be seen as composed of three different sources-a view known
as the „geographic‟ division of context cf. Ariel, 1990. In the first place, there is the physical context, which refers to the physical setting of
the utterance. The second type is the linguistic context, which refer to the PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
surrounding utterances in the same discourse. Thirdly and finally, we have the general knowledge context
‟ Huang, 2007: 14. Dalam kaitan dengan fokus ini, ihwal hakikat dari konteks pragmatik,
yang paling relevan adalah penyebutan konteks yang ketiga, yakni „the general knowledge context
‟, yang kurang lebih dimaknai sebagai „konteks yang berupa pengetahuan umum‟. Konteks yang dimaknai sebagai „pengetahuan umum‟ atau
„pengetahuan bersama‟ itu, lebih lanjut dijelaskan oleh Yan Huang sebagai „a set of background assumptions shared by the speaker and the addresses.
‟ Huang, 2007:14. K
onteks pragmatik sebagai „seperangkat latar belakang asumsi yang dimiliki bersama oleh penutur dan mitra tutur‟. Dalam pandangan Stalnaker
1974, kata- kata ini disebut dengan „common ground‟ atau latar belakang
pengetahuan yang sama. Kemudian gagasan ini diperinci lebih lanjut oleh Clark 1996, yang
kemudian membaginya menjadi dua kategori, yakni 1 communal common ground dan 2 personal common ground. Latar belakang pengetahuan yang
pertama menunjuk pada seperangkat asumsi pengetahuan yang sama-sama dimiliki oleh komunitas tertentu, sedangkan latar belakang yang kedua menunjuk
pada seperangkat asumsi pengetahuan yang sama-sama dimiliki oleh individu- individu yang menjadi warga komunitas tertentu. Dengan demikian dapat
ditegaskan bahwa dari pandangan-pandangan yang dipaparkan di atas, hakikat konteks pragmatik itu bukan bukanlah konteks fisik physical context dan
konteks linguistic linguistic context, melainkan konteks berupa pengetahuan umum general knowledge context, yang selanjutnya dimaknai pula sebagai
seperangkat asumsi latar belakang asumsi yang dimiliki bersama oleh penutur dan mitra tutur general knowledge shared
. Rahardi menegaskan pada frasa „general knowledge shared
‟ atau „a set of assumptions shared‟, yang berarti bahwa pengetahuan bersama atau seperangkat asumsi itu harus dimiliki bersama-sama
baik oleh penutur maupun mitra tutur, tidak boleh dimiliki oleh satu pihak saja. Asumsi-asumsi yang hadir dalam peririsan sebagai hakikat konteks pragmatik itu
dapat mencakup dua kategori yakni asumsi berkategori komunal dan asumsi berkategori personal. Kedua manifestasi asumsi dalam berkomunikasi itulah yang
dapat dimaknai sebagai hakikatkonteks pragmatik. Perunutan teoretis kedua dari seorang antropolog ternama, Edward T. Hall
1974, yang menegaskan „information taken out of context is meaningless and cannot reliably interpreted
‟. Menurutnya, sebuah tuturan itu selalu terkandung tiga buah entitas yang harus ada secara bersama-sama, yakni 1 informasi, 2
kegiatan, dan 3 relasi. Dengan demikian, konteks akan muncul hanya kalau terpenuhi tiga hal itu, 1 adanya seting yang dapat mencakup dimensi waktu,
tempat, dan unsur-unsur material di sekelilingnya, 2 adanya kegiatan yang dapat berupa tindakan baik yang sifatnya verbal maupun nonverbal, 3 adanya relasi
antara penutur dan mitra tutur yang dapat dipengaruhi oleh jenis kelamin, umur, status, peran, prestasi, prestise, hubungan kekeluargaan, kedinasan, pendidikan,
dll. Adapun hal mendasar yang perlu dicatat adalah bahwa entitas konteks muncul jika ketiga entitas pembangun konteks yang disebutkan di depan itu berinteraksi
secara dinamis. Bilamana tidak ada interaksi dinamis, yang tentu saja mengasumsikan hadirnya berbagai hal di dalamnya, maka entitas konteks itu tidak
akan pernah hadir. Dengan demikian dapat ditegaskan juga bahwa syarat terjadinya interaksi itu adalah konteks, dan di dalam konteks terdapat substansi
hakiki yang berupa seperangkat asumsi a set of assumptions, baik itu asumsi- asumsi atau common ground yang berdimensi personal maupun komunal.
Runutan teoretis selanjutnya disampaikan Keith Allan 1986 yang membedakan tiga kategori konteks, yakni 1 the physical context or setting of the
utterance „konteks fisik atau seting tuturan‟, 2 the world spoken of in an
utterance „sesuatu yang sedang dibicarakan‟, dan 3 the textual environment
„lingkungan tekstual‟. Dari gagasan tersebut yang relevan dan gayut adalah pandangan tentang konteks dalam kategori kedua, yakni
„the world spoken of in an utterance‟ yang dapat dimaknai sebagai „ihwal yang sedang diperbincangkan‟.
Dalam kaitan dengan asumsi-asumsi sebagai substansi dasar konteks, maka sesungguhnya adanya sesuatu yang sedang diperbincangkan itu mutlak
karena hadirnya asumsi-asumsi yang berupa latar belakang pengetahuan yang sama the same background knowledge, baik yang bersifat personal maupun yang
bersifat komunal, seperti yang digagas Stalnaker dan diperinci oleh Clark di depan tadi. Allan 1986 menyatakan bahwa hakikat konteks itu sesungguhnya bukan
sekedar „the world spoken of‟, melainkan „the real-world spoken of‟. Jadi, latar belakang pemahaman yang sama dan dimiliki oleh penutur dan mitra tutur itu
bukan saja pada tataran konsep, filosofis, tetapi justru tataran yang hadir dalam realita, „the real-world‟. Menurut pandangan Keith Allan 1986, Rahardi hendaka
menegaskan bahwa asumsi-asumsi sebagai hakikat konteks pragmatik itu hendaknya bukan berupa asumsi dalam tataran yang abstrak dan samar-samar,
melainkan asumsi yang har us hadir nyata sebagai „the real world‟, entah itu „the
real world assumptions ‟ yang dimensinya personal maupun komunal.
Selanjutnya dalam Scollon and Scollon 1995 juga ditegaskan bahwa pengetahuan tentang konteks menurut dua macam pengetahuan yang sama share
knowledge, yakni 1 shared knowledge of action and situations dan 2 shared knowledge of relationship and identities. Pandangan terakhir ini gayut dengan
pandangan pandangan „common ground‟ yang disampaikan Stalnaker dan Clark, yakni 1 communal ground dan 2 personal common ground. Pandangan tentang
„shared knowledge of relationship and identities‟ gayut dengan pandangan „communal common ground‟, sedangkan „shared knowledge of action and
situations‟ gayut sekali dengan pandangan tentang „personal common ground‟. Hal ini semakin menegaskan bahwa „a set of assumptions‟ sebagai hakikat
konteks pragmatik yang menjadi pokok tulisan ini semakin mendapatkan penguatan. Artinya, sangatlah beralasan kalau dinyatakan bahwa hakikat konteks
pragmatik sesungguhnya adalah seperangkat asumsi yang di depan telah diterangjelaskan dengan menarik relevansi beberapa teori yang gayut.
Dari beberapa definisi para ahli mengenai konteks pragmatik yang telah disebutkan, peneliti menemukan hakikat konteks pragmatik ialah latar belakang
pengetahuan yang terdiri atas seperangkat asumsi pengetahuan yang sama-sama dimiliki oleh komunitas maupun oleh individu-individu yang menjadi warga
komunitas tertentu. Memaknai kategori fatis tidak dapat dilepaskan dari konteks tuturannya.
Satu kategori ternyata dapat dimaknai secara berbeda dalam konteks yang tidak PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
sama. Berkenaan dengan konteks dalam pragmatik, Verschueren 1998: 76 via Rahardi 2012, menjelaskan adanya empat dimensi konteks yang mendasar
dalam memahami makna tuturan. 1.
The Utterer dan the interpreter Pembicara dan lawan bicara, penutur dan mitra tutur, atau the utterer and
the interpreter adalah dimensi paling signifikan dalam pragmatik. Dapat dipahami bahwa „pembicara‟ atau „penutur‟ utterer itu memiliki banyak
suara many voices, sedangkan mitra tutur atau interpreter, lazimnya dikatakan memiliki banyak peran. Dalam praktik bertutur sesungguhnya,
maksud tuturan yang disampaikan utterer tidak selalu berdimensi satu, kadang-kadang justru berdimensi banyak, rumit, dan kompleks. Penutur
memang memiliki banyak kemungkinan kata. Bahkan ada kalanya pula, seorang penutur dapat pula berperan sebagai mitra tutur. Jadi, dia sebagai
penutur, tetapi juga sekaligus dia sebagai penginterpretasi atas apa yang sedang diucapkannya itu. Hal lain yang juga mutlak harus diperhatikan dan
diperhitungkan dalam kaitan dengan penutur dan mitra tutur adalah jenis kelamin, adat-kebiasaan, dan semacamnya. Saat penutur berbicara di depan
public yang jumlahnya tidak sedikit, dipastikan berbeda bentuk kebahasaannya jika dibandingkan dengan seorang mitra tutur saja. Sebaliknya,
jika mitra tutur hanya berjumlah satu, sedangkan penutur jumlahnya jauh lebih banyak, mitra tutur itu akan cenderung menginterpretasi dengan hasil yang
berbeda daripada jika penutur itu hanya satu orang saja jumlahnya. Berdasarkan pemaparan dimensi konteks yang pertama, ditegaskan bahwa
kehadiran penutur yang banyak, cenderung akan mempengaruhi proses interpretasi makna oleh mitra tutur. Demikian pula jika jumlah penutur itu
banyak, interpretasi kebahasaan yang akan dilakukan mitra tutur pasti sedikit banyak terpengaruhi.
2. Aspek-aspek Mental Language Users
Dimensi-dimensi mental penutur dan mitra tutur benar-benar sangat penting dalam kerangka perbincangan konteks pragmatik. Seperti aspek
kepribadian penutur dan mitra tutur itu. Seseorang yang kepribadiannya tidak cukup matang, sehingga cenderung „menentang‟ dan „melawan‟ terhadap
segala sesuatu yang baru. Demikian pula orang yang sudah matang dan dewasa, akan berbicara sopan dan halus kepada setiap orang yang ditemuinya.
Aspek lain yang harus diperhatikan dalam kaitannya dengan komponen penutur dan mitra tutur adalah aspek warna emosi, harapan, motivasi, dan
dimensi kepercayaan yang juga harus diperhatikan dalam pembicaraan konteks pragmatik.
Dimensi mental language users semuanya berpengaruh terhadap dimensi kognisi dan emosi penutur dan mitra tutur. Dengan demikian, dimensi mental
penutur dan mitra tutur harus dilibatkan dalam analisis pragmatik karena semuanya berpengaruh terhadap warna dan nuansa interaksi dalam
komunikasi. 3.
Aspek-aspek Sosial Language Users Kajian pragmatik tidak dapat memalingkan diri dari fakta-fakta sosio-
kultural, karena penutur dan mitra tutur juga para pelibat tutur lainnya tidak PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
sedikit jenis dan jumlahnya, masing-masing meiliki dimensi-dimensi yang berkaitan dengan solidary and power dalam masyarakat dan budaya. Bentuk
kebahasaan yang dimiliki orang-orang yang berbeda dalam institusi-institusi berwibawa dan bermartabat tinggi tentu memiliki wujud-wujud kebahasaan
yang berbeda dengan institusi lain. Bukan hanya wadahnya yang menjadi pembeda, melainkan juga orang-orang yang berada di dalamnya yang
memiliki dimensi authority atau power yang tinggi akan membedakan dengan wadah
–wadah yang menjadi tempat orang-orang di dalam institusi tersebut. Harus diperhatikan pula bahwa bukan hanya dimensi-dimensi sosial yang
menjadi pembentuk konteks komunikatif dalam pragmatik, melainkan juga aspek kultur merupakan salah satu hal yang sangat penting sebagai penentu
makna dalam pragmatik, khususnya yang berkaitan dengan aspek norma dan nilai budaya dari masyarakat bersangkutan.
2.2.4 Kerangka berpikir