Maksud tuturan F2 adalah penutur menginginkan mitra tutur menguasai materi yang akan digunakan untuk metode penelitian mitra tutur. Sehingga
penutur menolak untuk melanjutkan penjelasan kepada mitra tutur. Maksud tuturan fatis dapat dilihat dari pilihan kata yang digunakan dalam tuturan F2 yang
berbunyi “Halah, koe arep nganggo regresi ganda kok lali, kowe ngko sinau meneh, wegah
aku.”. Bentuk fatis “halah” sebagai penanda ketidaksantunan memiliki makna „menyepelekan‟ atau dapat juga digunakan untuk menyampaikan
maksud „kesembronoan‟. Kridalaksana 1986: 111 memaparkan kategori fatis adalah kategori yang bertugas untuk memulai, mempertahankan, atau
mengukuhkan pembicaraan antara pembicara dan kawan bicara.
Tuturan F3 a1 dan b1
D: “Hanifah dan fransiska sama, sementara kamu kan menggunakannya berbeda, ini dijumlah, ya ra? Maka dari itu, meneliti kembali. Titik.
Pada penelitian ini, ini ditambahkan. Aspek-aspek yang ada dalam perilaku belajar itu dijadikan satu. Gitu lho. Atau dijumlahkan atau
digabung ya terserah. Bukti yang tepat yang mana. Ha ini berbeda,
sehingga ini akan memberikan perbedaan, ha, ini jelaskan di sini” M: “Njelaskane mriki ta, Pak?”
D: “Tambah meneh ya ra pa-pa, tambah ngono kuwi.” M: “Tambahannya apa, Pak?”
D: “Ha, ya mbuh masa aku sing nambaih, masa aku, masa sing nggarap aku,” F3
Konteks tuturan: Tuturan terjadi pada saat mahasiswa berkonsultasi kepada dosen dalam penyusunan skripsi. Dosen dan mahasiswa duduk berhadapan di
ruang dosen. Dosen meminta mahasiswa memberikan penegasan mengenai teori yang digunakan sebagai pisau analisis. Namun, mahasiswa bertanya
balik kepada dosen.
Penutur seorang dosen berusia 55 tahun, berjenis kelamin laki-laki. Mitra tutur seorang mahasiswa berusia 21 tahun, berjenis kelamin perempuan. Tuturan
terjadi pada saat mahasiswa berkonsultasi kepada dosen dalam penyusunan skripsi. Dosen memberikan penjelasan agar mahasiswa membuat kalimat yang
baik dan benar. Tuturan terjadi di ruang dosen. Maksud tuturan F3 adalah penutur menolak untuk menjelaskan materi
kepada mitra tutur, karena seharuusnya mitra tutur yang harus menjelaskan dan menambahkan kekurangan materinya. Maksud tuturan fatis dapat dilihat dari
pilihan kata yang digunakan dalam tuturan F3 yang berbunyi “Ha yo mbuh mosok aku sing nambaih, mosok aku, mosok sing nggarap aku”. Kridalaksana 1986:
111 memaparkan kategori fatis adalah kategori yang bertugas untuk memulai, mempertahankan, atau mengukuhkan pembicaraan antara pembicara dan kawan
bicara.
Tuturan F4 a1 dan b1
D: “Ha, itu yang kamu pikir. Mereka berbeda, apa mereka sendiri-sendiri, gitu ya. Tapi kok kowe malah dadi siji? Ngapa, ada apa? Ngapa dadi
siji? Bisa mungkin nanti, apa pendapatnya Warjono. Atau kamu mencoba untuk menganalisis bahwa apa mereka berdua itu tidak
melihat gabungan empat hal ini sehingga pendapat mereka itu berbeda. Nah pada bab ini akan mencoba atau akan melihat hal itu. Nah ngono.
Dhong ra? Wis di
asumsi, ana ra?” M: “Mboten, Pak.”
D: “Hiss, ra ana ki piye? Ra bener nek kuwi.” F4
Konteks tuturan: Tuturan terjadi pada saat mahasiswa berkonsultasi kepada dosen dalam penyusunan skripsi. Dosen dan mahasiswa duduk berhadapan di
ruang dosen. Dosen meminta mahasiswa memberikan penegasan mengenai teori yang digunakan sebagai pisau analisis. Jawaban mahasiswa tidak
memuaskan.
Tuturan F4 merupakan maksud basa-basi yang dapat dilihat dari konteks tuturannya. Penutur seorang dosen berusia 55 tahun, berjenis kelamin laki-laki.
Mitra tutur seorang mahasiswa berusia 21 tahun, berjenis kelamin perempuan. Tuturan terjadi pada saat mahasiswa berkonsultasi kepada dosen dalam
penyusunan skripsi. Dosen memberikan penjelasan bagaimana membuat paragraf yang baik. Mahasiswa berusaha memahami apa yang dijelaskan dosen. Tuturan
terjadi di ruang dosen. Maksud tuturan F4 adalah penutur tidak menrima jawaban mitra tutur,
kerena menurut penutur seharus mitra tutur memiliki asumsinya sendiri berdasarkan teori beberapa ahli yang dipakai. Maksud basa-basi dapat dilihat dari
pilihan kata yang digunakan dalam tuturan F4 yang berbunyi “Hiss, ra ono ki piye
? Ra bener nek kuwi”. Kridalaksana 1986: 111 memaparkan kategori fatis adalah kategori yang bertugas untuk memulai, mempertahankan, atau
mengukuhkan pembicaraan antara pembicara dan kawan bicara.
Tuturan F5 a4 dan b3
M: “Aku tuh sebenernya pengin ganti judul, yang tentang bikin RPP, tuh boleh nggak sih, Bu, sebenernya?”
D: “Ya, jane wis nggak boleh e, lha soalnya kalau RPP itu bisa njiplak di internet. Jadi, saya sarankan jangan pakai itu.” F5
M: “Oh, gitu ya, Bu, terus judulku yang kemarin pas seminar penelitian udah baik belum ya, Bu?”
D: “Udah mending lanjut itu aja.” Konteks tuturan: Tuturan terjadi pada saat mahasiswa berkonsultasi kepada
dosen dalam penyusunan skripsi. Dosen dan mahasiswa duduk berhadapan di ruang kelas. Mahasiswa bertanya perihal RPP dalam sebuah penelitian.
Dosen menyarankan kepada mahasiswa untuk tidak menggunakan RPP karena bisa menjiplak. Tuturan terjadi di ruang kelas usai perkuliahan.
Penutur seorang dosen berusia 45 tahun, berjenis kelamin perempuan. Mitra tutur seorang mahasiswa berusia 22 tahun, berjenis kelamin perempuan.
Tuturan terjadi pada saat mahasiswa berkonsultasi kepada dosen dalam penyusunan skripsi. Mahasiswa bertanya perihal RPP dalam sebuah penelitian.
Dosen menyarankan kepada mahasiswa untuk tidak menggunakan RPP karena bisa menjiplak. Tuturan terjadi di ruang kelas usai perkuliahan.
Maksud tuturan F5 adalah penutur berharap mitra tutur tidak menggunakan RPP dalam penelitiannya. Maksud tuturan fatis ini dapat dilihat
dari pilihan kata yang digunakan dalam tuturan F5 yang berbunyi “Ya jane wis nggak boleh e, lha soalnya kalau RPP itu bisa njiplak di internet. Jadi saya
sarankan janga n pake itu”. Kategori fatis “lha” adalah penanda ketidaksantunan
berbahasa yang dimaknai sebagai pengungkapan untuk menunjukkan kekesalan atau kekecewaan. Kridalaksana 1986: 111 memaparkan kategori fatis adalah
kategori yang bertugas untuk memulai, mempertahankan, atau mengukuhkan pembicaraan antara pembicara dan kawan bicara.
Tuturan F6 a3 dan b6
M: “Terus kalau sangat tidak setuju itu, satu harus ada literaturnya ya Pak atau nggak?”
D: “Enggak, jadi literaturnya tuh ya sebenernya, eh apa ya, literaturnya sebenarnya gini, yang penting skalanya sama
.” F6
M: “Oh, jaraknya itu ya, Pak?” D: “Memberi 0-5-10-15 ya boleh saja, tapikan paling gampang ya 1 2 3 4
5.” Konteks tuturan: Tuturan terjadi pada saat mahasiswa berkonsultasi kepada
dosen dalam penyusunan skripsi. Dosen dan mahasiswa duduk berhadapan di PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ruang dosen. Dosen menjelaskan mengenai skala dalam penelitian mahasiswa. Tuturan terjadi di ruang dosen.
Penutur seorang dosen berusia 45 tahun, berjenis kelamin laki-laki. Mitra tutur seorang mahasiswa berusia 21 tahun, berjenis kelamin perempuan. Tuturan
terjadi pada saat mahasiswa berkonsultasi kepada dosen dalam penyusunan skripsi. Dosen menjelaskan mengenai skala dalam penelitian mahasiswa. Tuturan
terjadi di ruang dosen. Maksud tuturan F6 adalah penutur tidak mengharuskan mitra tutur
memiliki literature mengenai pernyataan mitra tutur. Maksud tuturan F6 dapat dilihat dari pilihan kata yang digunakan dalam tuturan F6 yang berbunyi “Enggak,
jadi literaturnya tuh ya sebenernya, eh apa ya, literaturnya sebenarnya gini, yang penting skalanya sama”. Kridalaksana 1986: 111 memaparkan kategori fatis
adalah kategori yang bertugas untuk memulai, mempertahankan, atau mengukuhkan pembicaraan antara pembicara dan kawan bicara.
Tuturan F7 a3 dan b6
M: “Terus nanti yang pengambilan, misalkan kalau valid atau tidak, R hitung kan lebih besar dari apa, gitu ya, Pak. Itu kan teori tapi nanti
pake harus ada buku sumbernya atau nggak? Atau pakai modul waktu PBS 1 itu boleh?”
D: “Ya, sebetulnya kalo dicari sumbernya ya valid, tapi kalo anu ya, apa emm, sebenernya kalau pake modul juga ngga kalau susah nyari
bukunya pake modul itu ndak pa- pa.”
M: “Iya, Pak, sama sebenernya kemarin kalo abis nyebarin kuisioner di SMK 1 Depok itu, minta surat dulu ya, Pak?”
D: “Emm, sebetulnya ndak usah saja.” F7