“Hah?” D2 Wujud Tuturan Fatis Mengundang

1998: 96 juga menjelaskan bahwa secara metodologis, penolakan tersebut akan lebih jelas, jika dibandingkan dengan aktivitas verbal nonbasa-basi, seperti marah atau serius. Penutur dapat mengakui kepada mitra tuturnya bahwa dia marah atau serius. Hal tersebut dapat dijelaskan bahwa basa-basi berkaitan dengan hal tegur sapa, sopan santun, dan ramah tamah. Ketiga hal tersebut menyangkut etika, tata susila, dan tata karma dalam pergaulan masyarakat. Basa-basi juga bermakna penolakan dari yang sebenarnya.basa-basi dipahami sebagai ungkapan yang tidak sungguh-sungguh, pura-pura, dan kebohongan. Tuturan D1 ditandai dengan adanya partikel fatis yang digunakan oleh mitra tutur, yaitu partikel „lha‟. Kategori fatis “lha” adalah penanda ketidaksantunan berbahasa yang dimaknai sebagai pengungkapan untuk menunjukkan kekesalan atau kekecewaan.Hal itu sesuai dengan penanda fatis pada teori yang dikemukakan oleh Kridalaksana, 1986: 117, kategori fatis adalah kategori yang bertugas memulai, mempertahankan, atau mengukuhkan pembicaraan antara pembicara dan kawan bicara. Jadi, peneliti menyimpulkan bahwa tuturan D1 merupakan tuturan fatis murni. Tuturan fatis murni yang dimaksud bukan basa-basi, karena di dalam tuturan fatis murni mengandung pesan penting yang disampaikan secara sungguh-sungguh serius untuk mencapai tujuan komunikasi. Tuturan D2 a2 dan b4 M: “Kalo dimensi ini saja kan nggak pa-pa kan, Pak?” D: “Hah?” D2 M: “Kalo dimensinya yang diteliti itu saja kan nggak pa-pa kan, Pak?” PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI D: “Ya ra pa-pa, tapi kan di sini kan ada ilmu sosial, bla bla bla dan seterusnya terhadap pelajaran apa?” M: “Matematika” Konteks tuturan: Tuturan terjadi pada saat mahasiswa berkonsultasi kepada dosen dalam penyusunan skripsi. Dosen dan mahasiswa duduk berhadapan di ruang dosen. Dosen memberikan pilihan sebagai pertimbangan mahasiswa dalam menentukan dimensi apa saja yang akan diteliti pada penelitiannya. Tuturan D2 yang berbunyi “Hah” melibatkan dosen dan mahasiswa. Tuturan terjadi pada saat mahasiswa berkonsultasi kepada dosen dalam penyusunan skripsi. Dosen memberikan pilihan sebagai pertimbangan mahasiswa dalam menentukan dimensi penelitian. Tuturan terjadi di ruang dosen. Penutur meminta mitra tutur dengan tuturan yang mengandung harapan baik. Penutur seorang dosen berusia 55 tahun, berjenis kelamin laki-laki. Mitra tutur seorang mahasiswa berusia 21 tahun, berjenis kelamin perempuan. Tuturan D2 merupakan bentuk tuturan fatis, karena memiliki persamaan karakteristik dengan basa-basi. Malinowski 1923: 315 dalam tesis Arimi mendefinisikan phatic communion atau komunikasi fatis digunakan dalam suasana ramah tamah dan dalam ikatan personal antarpeserta komunikasi. Situasi tersebut diciptakan dengan pertukaran kata-kata dalam pembicaraan ringan yang disertai dengan perasaan untuk membentuk hidup bersama yang menyenangkan. Tuturan D2 bukan merupakan wujud basa-basi meskipun mengandung unsur fatis, karena pernyataan pada tuturan D2 mengandung pesan penting yang memang diperlukan untuk mencapai tujuan komunikasi. Tuturan D2 ditandai dengan adanya partikel fatis yang digunakan oleh mitra tutur, yaitu partikel „hah‟. Kategori fatis “hah” adalah penanda fatis yang dimaknai sebagai ungkapan agar mitra tutur mengulang tuturan penutur mendengar dengan jelas ungkapan mitra tutur. Kridalaksana1986: 117, mengungkapkan bahwa kategori fatis adalah kategori yang bertugas memulai, mempertahankan, atau mengukuhkan pembicaraan antara pembicara dan kawan bicara. Jadi, peneliti menyimpulkan bahwa tuturan D1 merupakan tuturan fatis murni. Tuturan fatis murni yang dimaksud bukan basa-basi, karena di dalam tuturan fatis murni mengandung pesan penting yang disampaikan untuk mencapai tujuan komunikasi. Tuturan D3 a1 dan b1 M: “Sebelum multikulinear itu lho, Pak?” D: “Hah?” M: “Multi...” D: “Hayo? D3