menunjukkan kekesalan atau kekecewaan.Sesuai dengan teori Kunjana, Yuliana, dan Rishe 2014 mengenai kategori fatis dalam ranah keluarga. Kemudian
penanda fati s „ya‟ telah dijelaskan di beberapa tuturan yang lain dan penanda fatis
„mbuh‟ yang menyatakan bentuk penolakan berupa ketidakmauan atau ketidakpedulian untuk menjawab ungkapan mitra tutur. Tuturan F1 sesuai
denganteori yang dikemukakan Kridalaksana 1994: 117, kategori fatis adalah kategori yang bertugas memulai, mempertahankan, atau mengukuhkan
pembicaraan antara pembicara dan kawan bicara. Jadi, peneliti menyimpulkan bahwa tuturan F1 merupakan tuturan fatis
murni. Tuturan fatis murni yang dimaksud bukan basa-basi, karena di dalam tuturan fatis murni mengandung pesan penting yang disampaikan untuk mencapai
tujuan komunikasi.
Tuturan F2 a1 dan b1
M: “Kalo kaya gini ini apa, Pak?” D: “Ini kan konstanta”
M: “Iya, Pak”
D: “Halah, kowe arep nganggo regresi ganda kok lali, kowe ngko sinau meneh, wegah aku
.” F2
M: “Iya, Pak” Konteks tuturan: Tuturan terjadi pada saat mahasiswa berkonsultasi kepada
dosen dalam penyusunan skripsi. Dosen dan mahasiswa duduk berhadapan di ruang dosen. Dosen menolak untuk menjelaskan metode penelitian, dan
menyuruh mahasiswa untuk belajar terkait metode tersebut.
Tuturan F2 yang berbunyi “Halah, kowe arep nganggo regresi ganda kok
lali, kowe ngko sinau meneh, wegah aku.”. Tuturan tersebut melibatkan dosen dan mahasiswa. Tuturan terjadi pada saat mahasiswa berkonsultasi kepada dosen
dalam penyusunan skripsi. Penutur seorang dosen berusia 55 tahun, berjenis kelamin laki-laki. Mitra tutur seorang mahasiswa berusia 21 tahun, berjenis
kelamin perempuan. Tuturan terjadi pada saat mahasiswa berkonsultasi kepada dosen dalam penyusunan skripsi. Dosen menyarankan kepada mahasiswanya
untuk membuat rancangan penelitian dengan mendeskripsikan dalam sebuah alur paragraf. Tuturan terjadi di ruang dosen.
Tuturan F2 merupakan bentuk tuturan fatis, karena memiliki persamaan karakteristik dengan basa-basi. Malinowski 1923: 315 dalam tesis Arimi
mendefinisikan phatic communion atau komunikasi fatis digunakan dalam suasana ramah tamah dan dalam ikatan personal antarpeserta komunikasi. Situasi
tersebut diciptakan dengan pertukaran kata-kata dalam pembicaraan ringan yang disertai dengan perasaan untuk membentuk hidup bersama yang menyenangkan.
Tuturan F2 bukan merupakan wujud basa-basi meskipun mengandung unsur fatis, karena pernyataan pada tuturan F2 mengandung pesan penting untuk mencapai
tujuan komunikasi. Tuturan F2 ditandai dengan adanya partikel fatis yang digunakan oleh
mitra tutur, yaitu partikel „halah‟. Penanda fatis “halah” sebagai penanda
ketidaksantunan memiliki makna „menyepelekan‟ atau dapat juga digunakan untuk menyampaikan maksud „kesembronoan‟. Tuturan F2 sesuai denganteori
kategori fatis dalam ranah keluarga menurut Kunjana, Yuliana, dan Rishe. Kridalaksana 1994: 117, kategori fatis adalah kategori yang bertugas memulai,
mempertahankan, atau mengukuhkan pembicaraan antara pembicara dan kawan bicara.
Jadi, peneliti menyimpulkan bahwa tuturan F2 merupakan tuturan fatis murni. Tuturan fatis murni yang dimaksud bukan basa-basi, karena di dalam
tuturan fatis murni mengandung pesan penting yang disampaikan untuk mencapai tujuan komunikasi.
Tuturan F3 a1 dan b1
D: “Hanifah dan fransiska sama, sementara kamu kan menggunakannya berbeda, ini dijumlah, ya ra? Maka dari itu, meneliti kembali. Titik.
Pada penelitian ini, ini ditambahkan. Aspek-aspek yang ada dalam perilaku belajar itu dijadikan satu. Gitu lho. Atau dijumlahkan atau
digabung ya terserah. Bukti yang tepat yang mana. Ha ini berbeda,
sehingga ini akan memberikan perbedaan, ha, ini jelaskan di sini” M: “Njelaskane mriki ta, Pak?”
D: “Tambah meneh ya ra pa-pa, tambah ngono kuwi.” M: “Tambahannya apa, Pak?”
D: “Ha, ya mbuh masa aku sing nambaih, masa aku, masa sing nggarap aku,” F3