lingkungan sosial, Klass dan Hodge Adilia,2010
berpendapat bahwa
pembentukan harga diri dimulai dari seseorang
yang menyadari
dirinya berharga atau tidak. Hal ini merupakan
hasil dari proses lingkungan, penghargaan, penerimaan, dan perlakuan orang lain
kepadanya. 2.2 Karakteristik Individu Berdasarkan
Self Esteem yang dimiliki Minchinton Adilia,2010 menjelaskan
bahwa terdapat dua karakteristik individu ditinjau dari tinggi rendahnya self esteem
yang dimiliki yaitu individu dengan self esteem
tinggi dan individu dengan self esteem
rendah. Seseorang yang memiliki self esteem
yang tinggi, ia akan memiliki ciri-ciri seperti:
dapat menerima
dan mengapresiasikan dirinya sendiri dalam
kondisi apapun, merasa nyaman dengan keadaan
dirinya, berprasangka
baik terhadap dirinya sendiri serta memiliki
kontrol emosi yang baik dan terbebas dari perasaan
yang tidak
menyenangkan, kemarahan, ketakutan, kesedihan dan rasa
bersalah. Tingginya self esteem dapat terlihat dari bagaimana cara seseorang
dalam bentuk
rasa penghormatan,
toleransi, kerja sama dan saling memiliki antara satu dengan yang lain. Seseorang
dengan self esteem yang tinggi dapat merancang, merencanakan, dan merealisa-
sikan segala sesuatu yang diharapkan atau menjadi tujuan hidupnya secara optimal.
Sementara itu, seseorang dengan self esteem
yang rendah meyakini bahwa dirinya memiliki kemampuan instrinsik
yang kecil,
meragukan kemampuan
dirinya, selalu takut untuk mencoba segala sesuatu dan memiliki kontrol emosi yang
buruk, merasa tidak bahagia, tertekan serta merasa bahwa dirinya tidak berarti atau
sia-sia. Seseorang dengan self esteem yang rendah merasa bahwa kehidupan ini berada
di luar kontrol dan tanggung jawab dirinya dan berjalan begitu saja, terkadang merasa
lemah dan merasa di bawah control atau kendali orang lain. Selain itu, seseorang
yang memiliki self esteem yang rendah tidak dapat merasakan arti pentingnya
hubungan interpersonal, bersikap tidak toleran, kurang dapat bekerja sama, dan
kurang rasa memiliki antara satu sama lainnya.
3. KREATIVITAS
Pada saat ini, pentingnya kreativitas pada
berbagai aktivitas
bukan lah
merupakan hal yang diragukan lagi. Dalam setiap profesi, seseorang akan memiliki
keunggulan kompetitif
jika dapat
mengembangkan kemampuannya untuk menghadirkan ide-ide baru. Dalam
kehidupan pribadi, berpikir kreatif dapat menuntun seseorang pada aktivitas kreatif.
Pembentukan pribadi kreatif diawali dari proses berpikir kreatif. Berpikir kreatif
diasosiasikan
dengan proses
dalam kreativitas. Proses kreatif merujuk pada
usaha individu untuk menghasilkan solusi atau produk kreatif.
Johnson 2014 mengemukakan bahwa berpikir kreatif adalah sebuah
kebiasaan dengan pikiran yang dilatih dengan
memperhatikan instuisi,
menghidupkan imajinasi, mengungkapkan kemungkinan-kemungkinan
baru, membuka
sudut pandang
yang menakjubkan, dan membangkitkan ide-ide
yang tidak terduga. The Town Planning Network
Higgins,2006 mendefinisikan kreativitas sebagai kemampuan untuk
repackage atau menggabungkan ide-ide dalam
cara-cara baru
yang dapat
digunakan dengan praktis dan memiliki nilai. Mouly Reeves,2006 menyatakan
bahwa Kreativitas dibangun pada ekspresi diri dan keyakinan yang berhubungan
dengan
respon yang
tidak umum,
kebaruan, fleksibilitas dan kelancaran, yang dapat dipelajari dengan menjelajahi,
memanipulasi, mempertanyakan
dan bereksperimen. Munandar 1995 : 25
mendefinisikan kreativitas sebagai suatu kemampuan umum untuk menciptakan
suatu yang baru, sebagai kemampuan untuk memberikan gagasan-gagasan baru
yang dapat diterapkan dalam pemecahan
214
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNDIP 2015, ISBN: 978-979-097-402-9
masalah, atau sebagai kemampuan untuk melihat hubungan-hubungan baru antara
unsur-unsur yang sudah ada sebelumnya. Pada
tingkat masyarakat,
kreativitas dikaitkan dengan penemuan-penemuan
baru. Sedangkan pada tingkat individu, dapat membantu memecahkan masalah dan
menghadapi perubahan di tempat kerja dan dalam kehidupan pribadi sehari-hari,
termasuk mengelola perubahan Slernberg et al Reeves, 2006.
4.
PENDIDIKAN MATEMATIKA
REALISTIK PMR 4.1 Prinsip dan Karakteristik PMR
“Mathematics must be connected to reality
” dan “mathematics as human activity
” merupakan filosofi dasar dari pendidikan matematika realistik yaitu
sebuah teori belajar mengajar dalam pendidikan matematika yang pertama kali
dikenalkan dan dikembangkan di Belanda pada tahun 1970 oleh Institut Freudenthal.
Dalam filosofinya bahwa matematika haruslah dekat, terkoneksi dan harus
relevan dengan situasi peserta didik dengan kata lain bahwa sifat realistik harus
terintegrasi
dalam pembelajaran
matematika. Namun prinsip dasar yang harus dipahami mengenai kerealistikan
matematika adalah bukan hanya terbatas pada istilah “real word” yang secara umum
diartikan sebagai dunia nyata. Pada dasarnya penggunaan kata realistik berasal
dari bahasa Belanda yaitu “zich realiseren” yang berarti untuk dibayangkan atau to
imagine
. PanhuizenWijaya,2012
mengemukakan bahwa penggunaan kata realistik
tidak sekedar
menunjukkan adanya suatu koneksi dengan dunia nyata
tetapi lebih
mengacu pada
fokus Pendidikan Matematika Realistik dalam
menempatkan penekanan
penggunaan suatu situasi yang dapat dibayangkan
imagineable oleh siswa. Menghadirkan situasi yang dapat
dibayangkan pada saat pembelajaran
matematika bagi peserta didik merupakan salah
satu langkah
krusial dalam
menciptakan kebermaknaan matematika. Freudental
Wijaya,2012 menyatakan
bahwa proses belajar siswa hanya akan terjadi jika pengetahuanknowledge yang
dipelajari bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran yang dilaksanakan dalam
suatu konteks akan menjadi bermakna bagi peserta didik. Senada dengan hal ini,
Elaine B. Johnson dalam bukunya bejudul “Contextual
TeachingLearning” mengemukakan bahwa “ketika murid dapat
mengaitkan isi mata pelajaran akademik seperti matematika, ilmu pengetahuan
alam, atau sejarah dengan pengalaman mereka
sendiri, mereka
menemukan makna, dan makna memberi mereka alasan
untuk belajar”. Webster’s New World Dictionary
Johnson,2014 mengartikan
makna sebagai arti penting atau maksud dari
sesuatu. Pandangan para ahli mengenai pentingnya menghadirkan kebermaknan
dalam pembelajaran adalah relavan dengan kebutuhan alamiah syaraf manusia. Otak
berusaha memberi arti bagi suatu informasi baru dengan cara menghubungkannya
dengan pengetahuan dan keterampilan yang
sudah ada,
otak berusaha
menghubungkan tugas-tugas baru dengan tugas-tugas yang telah ada Johnson,2014.
Beberapa pandangan para ahli ini menunjukkan
bahwa menghadirkan
masalah realistik yang biasa juga disebut permasalahn
kontekstual dalam
pembelajaran matematika adalah aktivitas penting yang akan membantu peserta didik
menemukan makna dalam pembelajaran matematika. Permasalahan realistik seperti
yang telah disinggung sebelumnya adalah bukan hanya melibatkan masalah ril yang
dapat
ditemukan langsung
dalam keseharian peserta didik melainkan juga
menghadirkan hal-hal yang dapat dengan mudah dibayangkan dan mudah diakses
oleh pikiran peserta didik. Permainan, alat peraga, cerita atau bahkan konsep
matematika formal adalah beberapa hal yang dapat berperan sebagai masalah
realistik dalam matematika. Wijaya 2012 dalam gagasannya menyatakan bahwa
penggunaan
masalah realistik
dalam
215
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNDIP 2015, ISBN: 978-979-097-402-9
Pendidikan Matematika Realistik memiliki posisi
yang jauh
berbeda dengan
penggunaan masalah
realistik dalam
pendekatan mekanistik. Dalam Pendidikan Matematika
Realistik, permasalahan
realistik digunakan sebagai fondasi dalam membangun konsep matematika atau biasa
juga disebut sebagai sumber untuk pembelajaran.
Sedangkan dalam
pendekatan mekanistik,
permasalahan realistik
ditempatkan sebagai
bentuk aplikasi suatu konsep matematika sehingga
sering juga disebut sebagai kesimpulan dalam proses pembelajaran.
Fungsi dan peranan konteks dalam pembelajaran
matematika yang
dikemukakan oleh Treffers dan Grofee Wijaya,2012 adalah sebagai berikut:
1. Pembentukan konsep concept forming
Fungsi paling fundamental dari konteks dalam Pendidikan Matematika Realistik
adalah memberikan siswa suatu akses yang alami dan motivatif menuju
konsep matematika. Konteks harus memuat konsep matematika tetapi
dalam suatu kemasan yang bermakna bagi siswa sehingga konsep matematika
tersebut dapat dibangun atau ditemukan kembali secara alami oleh siswa.
2. Pengembangan model model forming
Konteks berperan
dalam mengembangkan kemampuan siswa
untuk menemukan betbagai strategi untuk menemukan atau membangun
konsep matematika. Strategi tersebut bisa berupa rangkaian model yang
berfungsi
sebagai alat
untuk menerjemahkan konteks dan juga alat
untuk mendukung proses berpikir. 3.
Penerapan applicability Pada posisi ini peran konteks bukan
lagu untuk mendukung penemuan dan pengembangan
konsep matematika
tetapi untuk menunjukkan bagaimana suatu konsep matematika ada di realita
dan digunakan
dalam aktivitas
keseharian. 4.
Melatih kemampuan khusus specific abilities
dalam suatu situasi terapan berupa
kemampuan melakukan
identifikasi, generalisasi,
dan pemodelan.
Berdasarkan keempat fungsi dan peranan
keterlibatan konteks
dalam pembelajaran matematika, maka adalah
suatu keharusan bagi praktisi pendidikan dalam hal ini adalah guru matematika
untuk dapat meningkatkan kapasitas dalam mengembangkan konteks pada suatu
konsep matematika. Adapun beberapa hal yang
dapat dilakukakan
dalam mengembangkan konteks adalah sebagai
berikut: 1.
Konteks disusun seatraktif mungkin dan dapat mengoptimalkan minat siswa
untuk belajar matematika. Pemilihan konteks
dapat disusaikan
dengan tingkatan siswa. Menghadirkan aneka
permainan dan
cerita-cerita fiktif
merupakan alternative konteks yang bisa disajikan untuk siswa SD tingkat
awal. Sedangkan untuk siswa SD tingkat atas dan siswa SMP mungkin
menghadirkan
permasalahan- permasalahan actual kekinian yang
dekat dengan
aktivitas keseharian
mereka adalah alternatif yang bisa dipilih.
2. Guru perlu memikirkan pemilihan
situasi yang relevan untuk suatu konsep matematika yang sering dijumpai.
Selanjutnya situasi
yang telah
ditetapkan ini
digunakan untuk
membangun konsep yang bersangkutan. 3.
Menghindari isu-isu yang besifat sensitif yaitu hal-hal yang berkaitan
dengan kehidupan pribadi siswa. 4.
Memperhatikan pengetahuan awal yang dimiliki
siswa dan
menghindari keberpihakan terhadap suatu gender.
Selain prinsip pelibatan masalah realistik pada pembelajarannya, prinsip
selanjutnya dari PMR adalah bahwa matematika haruslah terintegrasi sebagai
aktivitas manusia
sehingga dalam
pembelajaran matematika, peserta didik berhak diberikan akses untuk menemukan
kembali ide dan konsep dasar. Menurut Freudenthal matematika sebaiknya tidak
216
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNDIP 2015, ISBN: 978-979-097-402-9
diberikan kepada siswa sebagai produk jadi yang siap pakai, melainkan sebagai
suatu bentuk
kegiatan dalam
mengkonstruksi konsep
matematika. Selanjutnya
Treffers Wijaya,2012
merumuskan lima karakteristik Pendidikan Matematika Realistik, yaitu:
1. Penggunaan konteks pada sebagai titik
awal pembelajaran matematika. 2.
Penggunaan model untuk matematisasi progresif.
Model digunakan dalam melakukan matematisasi
secara progresif.
Penggunaan model berfungsi sebagai jembatan
dari pengetahuan
dan matematika tingkat konkrit menuju
pengetahuan matematika tingkat formal. 3.
Pemanfaatkan hasil konstruksi siswa Siswa
memiliki kebebasan
untuk mengembangkan strategi pemecahan
masalah sehingga diharapkan akan muncul strategi yang bervariasi. Hasil
kerja dan konstruksi siswa selanjutnya digunakan untuk pengembangan konsep
matematika.
4. Interaktivitas
Proses belajar seseorang bukan hanya suatu proses individu melainkan juga
secara bersamaan merupakan suatu proses sosial. Proses belajar siswa
akan
menjadi lebih
singkat dan
bermakna ketika
siswa saling
mengkomunikasikan hasil kerja dan gagasan mereka.
5. Keterkaitan
Pendidikan Matematika
Realistik menempatkan keterkaitan antar konsep
matematika sebagai hal yang harus dipertimbangkan
dalam proses
pembelajaran. Melalui keterkaitan, satu pembelajaran matematika diharapkan
bisa mengenalkan dan membangun lebih dari satu konsep matematika
secara bersamaan.
4.2 Potensi
PMR dalam
mengembangkan self esteem dan kreativitas
Pada awal
pembahasan telah
dibahas bahwa salah satu usaha yang dapat dilakukan pada pengembangan kualitas
pendidikan adalah dengan melakukan inovasi pendekatan pembelajaran yang
dapat membangun kepercayaan diri dan mengembangkan kreativitas peserta didik.
Percaya terhadap kemampuan diri dapat dijadikan sebagai landasan dasar dalam
menumbuhkembangkan kemampuan ber- kompetisi. Dalam hal ini, self esteem
yang diintrepetasikan sebagai gambaran mental tentang diri seseorang yang salah
satunya
mengenai kemampuan
diri seseorang dalam mengerjakan sesuatu hal
atas kemampuannya sendiri tanpa bantuan orang lain dan juga kesadaran akan harga
diri seseorang adalah hal dasar yang harus dibangun dalam proses pembelajaran
termasuk
juga dalam
pembelajaran matematika.
Selain itu,
bahwa kemampuan
berkreativitas dalam
setiap profesi,
seseorang akan memiliki keunggulan kompetitif jika dapat mengembangkan
kemampuannya untuk menghadirkan ide- ide baru dan juga dalam kehidupan pribadi,
berpikir kreatif dapat menuntun seseorang pada aktivitas kreatif. Pembentukan
pribadi kreatif diawali dari proses berpikir kreatif. Berpikir kreatif diasosiasikan
dengan
proses dalam
kreativitas. Selanjutnya
berdasarkan pemaran
mengenai prinsip dasar dan karakteristik yang
terdapat dalam
Pendidikan Matematika Realistik, maka dapat diambil
benang merah
bahwa Pendidikan
Matematika Realisitik memiliki potensi yang sangat besar untuk dapat berperan
dalam menumbuhkembangkan
kepercayaan diri
dan kemampuan
kreativitas siswa. Beberapa karakteristik pada Pendidikan Matematika Realistik
yang berpotensi untuk mengembangkan kreativitas siswa maupun self esteem siswa
diantaranya adalah: a.
Penggunaan konteks sebagai starting point
untuk mengenalkan
dan menggunakan
suatu konsep
matematika
217
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNDIP 2015, ISBN: 978-979-097-402-9
Hal dasar yang perlu menjadi perhatian
dalam pembelajaran
matematika adalah
bagaimana matematika tidak dipandang sebagai
suatu produk siap pakai, melainkan suatu target yang harus dibangun.
Penggunaan konteks
pada awal
pengenalan suatu konsep matematika memiliki pengaruh signifikan pada
pengembangan kreativitas. Hal ini dikarenakan dalam proses pemilihan
strategi
penyelesaian masalah
kontekstual akan sangat dipengaruhi oleh
pemahaman atau
interpretasi terhadap konteks situasi yang dihadapi
serta pengetahuan awal yang telah dimiliki siswa. Perbedaan pemahaman
dan kemampuan awal siswa akan berpotensi
untuk menghadirkan
berbagai strategi penyelesaian yang berbeda sehingga dalam hal ini akses
siswa untuk
mengembangkan kreativitasnya sangatlah terbuka.
Sejalan dengan
hal ini,
Wijaya,2012 mengemukakan bahwa kegiatan
matematika cenderung
merupakan aktivitas berpikir, oleh karena itu penggunaan kegiatan otak
atau mind on activity diperlukan untuk mengembangkan
kreativitas siswa
dalam matematika. Aktivitas berpikir dapat dihadirkan melalui aktivitas
pemecahan masalah problem solving pada konteks yang disajikan. Konteks
yang
disajikan bisa
berupa permasalahan
tidak rutin
yang membutuhkan
pikiran kreatif
dan produktif serta cara penyelesaian yang
kompleks. Schoenfeld Wijaya,2012 mendefinisikankan
masalah dalam
pemecahan masalah sebagai suatu soal atau pertanyaan yang dihadapi oleh
seseorang yang tidak memiliki akses secara
langsung yaitu
prosedur penyelesaianke solusi yang dibutuhkan.
Dalam pemecahan masalah non rutin, siswa akan berpotensi untuk
menggunakan cara-cara atau prosedur penyelesaian
yang variatif
dan memperoleh
kebebasan untuk
bereksplorasi melalui pemodelan dan matematisasi. Hal ini mengindikasikan
bahwa karakteristik
Pendidikan Matematika Realistik dapat berperan
untuk mengembangkan kemampuan siswa untuk berpikir kreatif.
b. Penyajian open ended problem
Ketika siswa dihadapkan pada satu soal berbentuk open ended maka siswa
diberikan akses kesempatan yang besar untuk
melakukan eksplorasi
kemungkinan solusi sehingga dalam hal ini akan terjadi aktivitas kreatif.
Beberapa manfaat penggunaan open- ended
problem dalam pelajaran adalah memungkinkan
siswa untuk
berpartisipasi aktif dalam pembelajaran, siswa memiliki banyak kesempatan
untuk menggunakan pengetahuan dan keterampilan matematika mereka secara
komprehensif, setiap siswa memiliki kebebasan
memberikan berbagai
alternative tanggapan untuk masalah yang
dikerjakan, memberikan
pengalaman penalaran kepada siswa serta memberikan kesempatan pada
siswa untuk
melakukan kegiatan
penemuan discovery yang menarik serta menerima pengakuan dari siswa
lain terkait solusi yang mereka miliki. Dalam hal ini, pengakuan yang saling
diberikan terhadap solusi antar teman tentu saja merupakan salah satu
aktivitas yang dapat menumbuhkan kepercayaan diri siswa self esteem
karena salah satu karakteristik self esteem adalah merupakan kapasitas
seseorang untuk mampu menghadirkan rasa penghormatan terhadap diri sendiri
sebagai
orang yang
memiliki kemampuan, keberartian, berharga, dan
berkompetensi.
c. Kreativitas melalui learning by doing
Aktivitas matematika
yang melibatkan
kegiatan psikomotorik
melalui hands on activities merupakan salah satu cara yang juga dapat
mengembangkan kreativitas
siswa. Pada Pendidikan Matematika Realistik,
siswa memiliki banyak kesempatan
218
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNDIP 2015, ISBN: 978-979-097-402-9
untuk melakukan aktivitas psikomotorik dalam
rangka menerapkan
dan mendemonstrasikan
suatu konsep
matematika dan juga dalam menemukan dan membangun strategi dan konsep-
konsep matematika.
Aktivitas psikomotorik yang dilakukan siswa
pada Pendidikan Matematika Realistik secara tidak langsung dapat berperan
untuk mengembangkan
kreativitas siswa.
d. Interaktivitas
Interaksi interactivity
merupakan salah satu dari prinsip dasar Pendidikan
Matematika Realistik.
Interaksi sosial
pada proses
pembelajaran dalam
Pendidikan Matematika Realistik dapat dimulai
pada saat aktivitas saling menukar ide. Pada saat bertukar gagasanide, selain
belajar untuk membangun karakter demokratis
dan kemampuan
berkomunikasi, siswa juga akan saling memberikan apresiasi . Apresiasi yang
diberikan oleh teman diskusi dan juga guru tentu saja akan membangun rasa
percaya diri siswa. Sebagaimana bahasan
sebelumnya bahwa
pembentukan harga diri dimulai dari seseorang yang menyadari dirinya
berharga atau tidak. Hal ini merupakan hasil
dari proses
lingkungan, penghargaan,
penerimaan, dan
perlakuan orang
lain kepadanya.
Dengan kata lain, apresiasi yang saling diberikan pada saat aktivitas bertukar
gagasan berpotensi membantu siswa untuk dapat melihat dirinya sendiri
sebagai
seseorang yang
memiliki kemampuan dan bermakna serta sebagai
pribadi yang bernilai.
5. KESIMPULAN