hingga tertarik untuk menyelesaikannya. Pada saat yang sama, tugas ini tentunya
yang dapat memperluas pemikiran siswa. Pernyataan Vygotsky di atas, kemu-
dian memunculkan masalah baru. Jika tu- gas yang diberikan kepada siswa terlalu su-
lit, maka
apakah siswa
mampu menyelesaikannya?. Untuk menjawab per-
tanyaan ini, Berk [7] mengatakan siswa mungkin tidak akan mampu menyelesaikan
tugas tersebut secara mandiri, tetapi siswa akan mampu jika dibantu dan dibimbing
oleh orang lain yang lebih ahli. Konsep bantuan dan bimbingan ini kemudian di-
kenal dengan istilah scaffolding.
Artikel dalam Spectrum Newsletter [8] mengatakan bahwa salah satu manfaat
utama scaffolding adalah dapat memberi- kan dukungan bagi lingkungan pembelajar-
an. Siswa akan bebas mengajukan per- tanyaan, memberikan umpan balik, dan
mendukung teman sebayanya dalam mem- pelajari materi baru. Hal ini jelas memberi-
kan kesempatan kepada siswa untuk aktif berperan dalam pembelajaran siswa sendi-
ri.
Sudah menjadi tugas seorang guru untuk mengetahui apa penyebab siswa ke-
sulitan mempelajari sesuatu, seperti halnya dalam mempelajari materi matematika. Be-
berapa studi internasional seperti Trends in International Mathematics and Science
Study
TIMSS dan
Program for
International Student Assessment PISA
sejak tahun 1999 hingga saat ini me- nunjukkan bahwa hasil capaian kemampu-
an siswa-siswa Indonesia dalam matemati- ka belum maksimal [9]. Ada banyak fak-
tor yang dapat mempengaruhi hasil capai- an matematika siswa-siswa Indonesia yang
belum baik ini, di antaranya adalah peng- gunaan metode pembelajaran yang kurang
tepat. Akan tetapi, metode pembelajaran saja dirasakan kurang cukup jika tidak di-
kolaborasikan dengan teknik atau strategi mengajar yang baik. Misalnya mengguna-
kan metode pembelajaran kooperatif de- ngan teknik scaffolding dalam pembelajar-
an matematika Nuntrakune, el al [10]. Untuk menggunakan scaffolding da-
lam pembelajaran matematika, terlebih da- hulu perlu diketahui pengertian, karakteris-
tik, dan cara menggunakan scaffolding.
2. PENGGUNAAN
SCAFFOLDING DALAM
PEM-BELAJARAN MATEMATIKA
Dalam kamus oxford Sutiarso [11], istilah “scaffolding’ berasal dari kata
“scaffold” yang berarti tangga atau pe- rancah yang biasa digunakan oleh pekerja
bangunan; yang merupakan struktur se- mentara yang mendukung pekerja untuk
menyelesaikan pekerjaan yang mereka ti- dak dapat lakukan. Woolfolk, et al [12]
menyebut scaffolding sebagai panduan atau bantuan dari orang tua atau guru ke-
pada anak dalam mempelajari tugasnya. Scaffolding adalah proses siswa dalam me-
manfaatkan semua yang diketahuinya un- tuk menyelesaikan sesuatu yang belum ia
ketahui. Dalam scaffolding, terlebih dahulu guru atau setiap orang harus memiliki
tanggung jawab dalam proses pembelajar- an. Kemudian, ketika proses pembelajaran
yang berlangsung ini menyenangkan bagi siswa, maka siswa akan memiliki tanggung
jawab dalam proses pembelajaran tersebut.
Dalam implementasi pembelajaran, Stone [13] menyebut scaffolding dengan
instructional scaffolding . Ia mengatakan
bahwa “Instructional scaffolding is a mechanism for observing the process by
which the learner is helped to affect his or her potential learning
”. Pernyataan Stone menyebutkan bahwa scaffolding dapat
membantu siswa untuk mencapai pembe- lajaran potensialnya. Pernyataan Stone ini
ternyata mengarah pada teori Zone of Proximal Development
ZPD yang di- kembangkan oleh Vygotsky. Zone of
proximal development ZPD didefinisikan
oleh Vygotsky McLeod, [14] sebagai “the
distance between
the actual
development level as determined by independent problem solving and the level
of potential development as determined through problem solving under adult
guidance, or in collaboration with more
177
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNDIP 2015, ISBN: 978-979-097-402-9
capable peers ”. Berk [7] juga menambah-
kan bahwa ZPD adalah serangkaian tugas yang terlalu sulit untuk diselesaikan oleh
anak secara mandiri, tetapi mungkin jika dibantu dengan pertolongan dari orang de-
wasa atau teman sebaya yang lebih paham. McLeod [14] mengilustraskan ZPD pada
gambar berikut.
Gambar 2.1 Ilustrasi Zone of Proximal
Development
Kata “guidance and encouragement’ pada ilustrasi gambar di atas yang disebut de-
ngan scaffolding.
Dalam penerapannya, beberapa ahli menyebutkan bahwa Scaffolding memiliki
karakteristik. Greenfield Puntambekar, et al [15] menyebutkan bahwa ada lima ka-
rakteristik dari scaffolding dalam konstruk- si bangunan, yaitu: 1 it provides a
support
menyediakan dukungan, 2 it functions as a tool
berfungsi sebagai alat, 3 it extends the range of the worker me-
lejitkan jangkauan kemampuan pekerja, 4 it allows a worker to accomplish a task
not otherwise possible memungkinkan pe-
kerja untuk menyelesaikan tugas, dan 5 it is used to selectively aid the worker
where needed digunakan untuk menyelek-
si bantuan yang dibutuhkan oleh pekerja. Puntambekar, et al [15] juga menambah-
kan bahwa dari analogi Greenfield kemu- dian memunculkan dua elemen penting pa-
da scaffolding. Pertama, scaffolding me- mungkinkan anak untuk memecahkan ma-
salah, menyelesaikan tugas atau mencapai suatu tujuan dan kedua, menggambarkan
dukungan yang dapat dihilangkan ketika sudah tidak dibutuhkan lagi.
Sementara itu, McKenzie [16] men- jelaskan bahwa sedikitnya ada delapan ka-
rakteristik scaffolding dalam pembelajaran, yaitu:
1. Scaffolding provides clear directions.
Langkah-langkah scaffolding yang di- berikan
kepada siswa
harus memberikan tujuan yang jelas.
2. Scaffolding clarifies purpose.
Scaffolding yang digunakan harus tetap sesuai dengan tujuan. Siswa tidak boleh
melakukan serangkaian kegiatan yang justru membuat anak menjadi semakin
bingung dan akibatnya tujuan tersebut tidak tercapai. Siswa harus dibuat pedu-
li atau tertarik terhadap masalah yang diberikan. Ketika siswa sudah tertarik,
maka siswa akan tetap terarah pada tu- juan yang akan dicapai.
3. Scaffolding keeps students on task.
Scaffolding dapat memandu siswa un- tuk terus berada pada tugas yang diberi-
kan melalui penyedian berbagai jenis bantuan yang dapat siswa ikuti untuk
menyelesaikan tugas tersebut.
4. Scaffolding offers assessment to clarify
expectations .
Scaffolding menyediakan contoh kuali- tas pekerjaan yang diselesaikan oleh
orang lain. Dari awal, siswa harus di- tunjukkan standar dan kriteria mengenai
kualitas pekerjaan tersebut. Tanpa krite- ria yang jelas, maka siswa sulit untuk
mengetahui apakah pekerjaan yang akan mereka lakukan bermanfaat untuk
diri-nya atau tidak.
5. Scaffolding points students to worthy
sources .
Scaffolding adalah poin awal bagi siswa untuk mengakses sumber lain dari in-
formasi yang berguna bagi penyelesaian suatu masalah.
6. Scaffolding reduce uncertainty, surprise
and disappointment .
Tujuan scaffolding adalah untuk me- maksimalkan
pembelajaran dengan
memberikan wawasan yang baru bagi siswa sehingga dapat menghilagkan ra-
sa frustasi yang dapat mengganggu sis- wa ketika belajar.
7. Scaffolding delivers efficiency.
178
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNDIP 2015, ISBN: 978-979-097-402-9
Scaffolding menghasilkan produk yang efisien karena fokus dan ada kejelasan
tugas dan waktu. 8.
Scaffolding creates momentum. Scaffolding menciptakan suatu momen-
tum melalui proses mencari, bertanya, merenung, mengingat, dan mempertim-
bangkan setiap bantuan yang siswa peroleh.
Selain karakteristik, Puntambekar, et al
[15] mengatakan
bahwa dalam
scaffolding terdapat fitur utama, yaitu a single more
knowledgeable person orang yang berpengetahuan luas. Orang yang
berpengetahuan luas ini dapat diperankan oleh orang dewasa, seperti orang tua dan
guru, bahkan teman sebaya. Menurut Vygotsky Cherry [17] teman sebaya jus-
tru merupakan bagian penting dalam pem- belajaran anak. Lebih lanjut, pentingnya
keberadaan orang berpengetahuan luas ini dikatakan oleh Vygotsky Cherry [17]
bahwa “while a child might not yet be capable of doing something on their own,
they are able to perform the task with the assistance of a skilled instructor
”. ‘Skilled instructor
’ pada pernyataan Vygotsky ter- sebut adalah orang yang berpengetahuan
luas ini yang kemudian akan berinteraksi dengan anak yang belum mampu menye-
lesaikan masalah melalui scaffolding.
Wood et al Anghileri [18] meng- identifikasi bahwa ada enam elemen kunci
yang dapat dilakukan oleh orang dewasa dalam menerapkan scaffolding. Keenam
elemen kunci tersebut, yaitu: 1.
Recruitment, yaitu mendaftar ketertarik- an dan kepatuhan anak terhadap syarat
atau apa yang diminta pada tugas. 2.
Reduction in degrees of freedom – menyederhanakan tugas sehingga um-
pan balik diatur sesuai dengan level yang dapat digunakan sebagai perbaik-
an.
3. Direction maintenance – khusus prod-
der verbal dan korektor menjaga anak tetap dalam proses mencapai suatu tu-
juan tertentu. 4.
Marking critical features – mengkon- firmasi dan mengecek menonjolkan
dan menafsirkan beberapa perbedaan. 5.
Frustation control – merespon keadaan emosional anak.
6. Demonstration – atau memodelkan so-
lusi untuk tugas. Dalam artikel yang dimuat pada
Spectrum Newsletter [8] dikatakan bahwa penggunaan scaffolding dalam suatu pem-
belajaran dapat mendukung lingkungan pembelajaran. Siswa bebas mengajukan
pertanyaan, mengadakan umpan balik, dan mendukung teman sebayanya dalam mem-
pelajari materi baru. Pendapat lain muncul dari latar belakang penelitian yang di-
lakukan oleh Nuntrakune, et al [10] mengenai penggunaan teknik scaffolding
dalam pembelajaran kooperatif. Penelitian yang dilakukan di Thailand ini mengatakan
bahwa ada tiga alasan mengapa pembel- ajaran koeperatif di sistem pendidikan
Thailand diaplikasikan bersama scaffold- ing. Ketiga alasan tersebut, yaitu: 1
scaffolding dipahami sebagai penyesuaian dan pengambilan ide untuk diri siswa sen-
diri; 2 scaffolding membantu dan me- ningkatkan pemahaman siswa terhadap
masalah, dan 3 scaffolding kognitif menganjurkan pembelajaran berpusat pada
siswa di ruang kelas Thailand karena scaffolding meminta guru untuk melayani
siswa dalam rangka memperluas penge- tahuan dan kemampuan mereka.
Salah satu mata pelajaran yang da-pat diterapkan dengan scaffolding adalah
matematika. Hasil penelitian Kiong, et al [6] mengatakan bahwa scaffolding yang
digunakan sebagai strategi mengajar dapat meningkatkan pembelajaran matematika
dan
membantu mengimplementasikan
konstruktivisme di ruang kelas. Penelitian yang dilakukan oleh Amiripour, et al [4]
juga mengatakan bahwa scaffolding adalah metode yang efektif untuk diterapkan da-
lam pembelajaran matematika. Dari hasil penelitian Amiripour, et al ini dikemuka-
kan beberapa alasan mengapa scaffolding efektif untuk diterapkan dalam pem-
179
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNDIP 2015, ISBN: 978-979-097-402-9
belajaran matematika, yaitu: 1 proses scaffolding ini dapat memotivasi siswa un-
tuk melakukan prosedur pemecahan masa- lah; 2 metode scaffolding akan mengem-
bangkan kapasitas level dan hubungan so- sial siswa sebelunya; 3 proses scaffolding
akan meningkatkan kepercayaan diri siswa dalam pemecahan masalah matematika
yang sulit; dan 4 metode pendidikan ini dapat menunjukkan kesalahan dan mis-
konsepsi siswa pada prosedur pemecahan masalah. Dengan demikian, scaffolding
menjadi suatu teknik mengajar yang perlu diterapkan dalam pembelajaran matemati-
ka dalam rangka meningkatkan kemampu- an matematika siswa.
Briars, et al Amiripour, et al [4] mengatakan “guru matematika memiliki
tanggung jawab untuk mengarahkan dan membentuk kesempatan pembelajaran bagi
siswanya. Faktanya adalah sekarang mun- cul kurikulum dan praktek mengajar yang
konsisten dengan upaya menuju reformasi pendidikan yang menjanjikan peningkatan
pembelajaran kemampuan matematika sis- wa dengan pemahaman konseptual yang
mendalam”. Vygotsky Hunter, [5] me- nambahkan, penalaran konseptual yang di-
kembangkan pada ruang kelas matematika adalah sebuah hasil interaksi antara konsep
sehari-hari secara spontan dan konsep il- miah. Konsep ilmiah ini meliputi kemam-
puan berpikir tingkat tinggi, yang diguna- kan oleh siswa ketika terlibat dalam ‘doing
and talking
’ matematika. Lebih lanjut, Kiong, et al [6] berpendapat bahwa dalam
mata pelajaran
matematika dimana
scaffolding digunakan sebagai sebuah stra- tegi mengajar, asumsi konvensional me-
ngenai apa artinya mengetahui matematika ditantang. Hal ini menjadi jelas bahwa gu-
ru yang mengajar tidak hanya mengajarkan tentang apa yang secara konvensional di-
sebut konten, tetapi juga memfasilitasi konstruksi matematika siswa. Dengan de-
mikian, peran guru matematika ketika me- nerapkan scaffolding dalam pembelajaran-
nya berubah dari satu-satunya sumber pengetahuan matematika menjadi fasilita-
tor dalam perkembangan konstruksi mate- matika siswa.
Dalam penggunaan scaffolding pa-da pembelajaran matematika, Anghileri [18]
mengusulkan tiga level hierarki pada penerapan scaffolding. Ketiga level ter-
sebut, yaitu: Level 1:
Environmental
provisions classroom
organization, artifacts such as blocks Sebelum berinteraksi dengan siswa, guru
mempelajari lingkungan siswa yang ke- mudian diciptakan dalam kelas. Pe-
nampilan dinding, bahkan pengaturan tem- pat duduk dapat mempengaruhi lingkungan
belajar siswa dan hal ini dapat mendukung pembelajaran.
Level 2: Explaning, reviewing, and restructuring
Explaning menjelaskan dapat memfokus-
kan siswa untuk belajar, sementara reviewing
meninjau dan restructuring membangun kembali membantu siswa
membangun pemahaman matematika sis- wa sendiri. Ketika siswa terlibat dalam tu-
gas, siswa tidak selalu mampu meng- identifikasi aspek ide atau masalah ma-
tematika yang paling berkaitan. Pada reviewing
, guru dapat memfokuskan kem- bali perhatian siswa dan menolongnya
mencapai pemahamannya sendiri. Ada li- ma macam interaksi reviewing, yaitu: 1
meminta siswa untuk melihat, menyentuh dan memverbalkan apa yang mereka lihat
dan pikirkan; 2 meminta siswa untuk menjelaskan dan memberikan alasan; 3
menginterpretasikan tindakan dan komen- tar siswa; 4 mendorong siswa dan me-
mintanya menggali pertanyaan; dan 5 pe- modelan paralel, dimana guru menciptakan
dan menyelesaikan tugas yang memberi- kan beberapa karakteristik masalah siswa.
Sementara pada restructuring, guru mem- bantu siswa untuk membuat ide pemaham-
an yang lebih mudah diakses. Beberapa contoh restructuring meliputi: 1 menye-
diakan konteks yang bermakna ke situasi yang abstrak; 2 menyederhanakan masa-
lah; 3 membentuk kembali komentar sis- wa, dan 4 menegosiasikan makna.
180
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNDIP 2015, ISBN: 978-979-097-402-9
Level 3: Developing conceptual thinking
Pada matematika, ketika siswa mampu me- nyelesaian masalah yang asing, seharusnya
siswa dapat mengembangkan konsep me- lalui generalisasi, ekstrapolasi dan abstrak-
si. Pada level tertinggi praktek scaffolding yang dapat dilakukan berupa: 1 mengem-
bangkan alat yang representasi alat pe- raga; 2 membuat koneksi; dan 3 meng-
hasilkan wacana konseptual.
Dalam penerapan scaffolding da- lam pembelajaran matematika, ada banyak
jenis scaffolding yang dapat digunakan. Alibali dalam Spectrum Newsletter [8]
mengatakan untuk mendukung kemajuan siswa melalui tugas, kemampuan meng-
gunakan berbagai jenis scaffolding dapat mengakomodasi perbedaan level penge-
tahuan setiap siswa. Konten yang lebih kompleks mungkin memerlukan sejumlah
scaffolding untuk diberikan pada waktu yang berbeda dalam rangka membantu sis-
wa menguasai konten. Tabel 1 berikut me- nyajikan berbagai macam scaffolding dan
cara menggunakannya pada suatu peng- aturan instruksional.
Jenis Scaffolding
Cara-Cara Menggunakan
Scaffolding Dalam Seting Instruksional
Advance Organizor
Organisator Tingkat
Tinggi Menggunakan alat-
alat untuk mengenalkan konten
dan tugas baru untuk membantu siswa
mempelajari topik tersebut:
contoh diagram Venn untuk
menggabungkan dan membandingkan
informasi.
Kartu Petunjuk
Menyiapkan kartu- kartu yang kemudian
diberikan kepada individu atau
kelompok siswa untuk membantu diskusi
mereka tentang sebuah topik atau
daerah konten khusus:
contoh konsep untuk
mendefinisikan.
Peta Konsep dan Peta
Pikiran Mind
Mapping Peta yang
menunjukkan hubungan:
contoh menyiapkan peta
melengkapi nantinya siswa diminta untuk
melengkapinya atau meminta siswa untuk
membuat peta pikiran mereka sendiri
berdasarkan pengetahuan tugas
atau konsep yang sedang dipelajari.
Contoh Contoh, spesimen,
ilustrasi, masalah:
contoh objek nyata.
Anjuran Informasi yang lebih
detail untuk membawa siswa
berada pada tugas atau dalam
pemikirannya mengenai sebuah
konsep:
contoh penjelasan verbal
tentang bagaimana sebuah proses kerja.
Handout Menyiapkan handout
yang berisi tugas dan konten yang
berhubungan dengan informasi, tetapi
dengan detail dan ruang yang kosong
untuk siswa gunakan sebagai tempat
menulis catatan.
Petunjuk Saran-saran dan
petunjuk-petunkuk yang membuat siswa
memahami: contoh
“cari subjek dari kata kerja.”
181
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNDIP 2015, ISBN: 978-979-097-402-9
Penjelasan Sebuah petunjuk fisik
atau verbal untuk mengingatkan–
membantu dalam memunculkan
pengetahuan sebelumnya atau
dugaan. Contoh fisik:
pergerakan tubuh seperti menunjukkan
tanda dengan jari. Contoh verbal: kata-
kata, pernyataan dan pertanyaan seperti
“berhenti.”
Kartu Pertanyaan
Menyiapkan kartu- kartu dengan konten
dan tugas pertanyaan spesifik
yang diberikan kepada
individu atau kelompok siswa
untuk saling mengajukan
pertanyaan yang berhubungan dengan
topik atau konten khusus.
Akar Pertanyaan
Kalimat tidak lengkap yang harus
siswa lengkapi:
Mendukung pemikiran mendalam
dengan menggunakan pertanyaan tingkat
tinggi “bagaimana seandainya.”
Cerita Cerita-cerita yang
menghubungkan materi-materi
kompleks dan abstrak menjadi situasi yang
lebih dikenal siswa.
Ceritakan cerita- cerita yang
menginspirasi dan memotivasi siswa.
Scaffolding Visual
Menggerakkan jari tangan panggil untuk
memperhatikan sebuah objek;
gerakan representasional,
diagram sperti diagram batang dan
grafik; metode penyorotan informasi
visual.
Sebelum menggunakan scaffolding, Rosenshine, et al [19] menyarankan untuk
terlebih dahulu menentukan apakah siswa memiliki kemampuan latar belakang yang
cukup untuk mempelajari sebuah strategi kognitif baru. Coffey [20] juga menambah-
kan ketika menggunakan scaffolding se- bagai suatu teknik instruksional, guru ha-
rus menyediakan tugas yang memungkin- kan siswa untuk membangun pengetahuan
awal dan internalisasi konsep baru. Kemu- dian, Coffey [20] mengatakan untuk meng-
hubungkan informasi lama atau situasi yang familiar dengan pengetahuan yang
baru, guru harus membimbing siswa me- lalui komunikasi verbal dan nonverbal dan
memodelkan perilaku. Sementara itu, hasil penelitian Palinscar, et al Rosenshine, et
al [19] mengingatkan bahwa scaffolding hanya berguna dalam zone of proximal
development
siswa. Scaffolding merupakan suatu tek-nik
mengajar yang praktis dan feksibel un-tuk diterapkan.
Vygotsky Cherry,
[17] mengatakan ketika siswa sudah menguasai
tugas yang berarti sudah berada pada ZPD-nya melalui manfaat scaffolding,
maka scaffolding dapat dihilangkan dan siswa akan mampu menyelesaikan tugas
lainnya secara mandiri. Pernyataan ini juga diperkuat oleh pendapat Sutiarso [11] yang
mengatakan “ketika siswa dipandang telah mampu melakukan tanggung jawabnya da-
lam tugas-tugas maka ketika itu guru mulai dengan proses ‘fading’, atau melenyapkan
bantuan, agar siswa dapat bekerja secara mandiri”.
182
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNDIP 2015, ISBN: 978-979-097-402-9
Penggunaan scaffolding dalam ber- bagai jenis pembelajaran termasuk mate-
matika dapat memberikan manfaat dan tantangan.
Dalam artikel
Spectrum Newletter [8] dituliskan manfaat peng-
gunaan scaffolding dalam pembelajaran adalah sebagai berikut.
1. Menantang siswa melalui pembelajaran
dan penemuan yang mendalam. 2.
Melibatkan siswa dalam diskusi yang berarti dan dinamis pada kelas kecil dan
besar. 3.
Memotivasi siswa menjadi siswa yang lebih baik belajar bagaimana belajar.
4. Meningkatkan kemungkinan bagi siswa
menerima objek instruksional. 5.
Memberikan instruksi secara individual khususnya pada ruang kelas yang lebih
kecil. 6.
Memberikan kesempatan bagi pembe- lajaran dan pengajaran teman sebaya.
7. Scaffolding dapat ‘dihilangkan’ pada si-
tuasi pembelajaran yang lain. 8.
Memberikan lingkungan pembelajaran yang ramah dan peduli.
Lebih lanjut,
dalam artikel
Spectrum Newsletter [8] juga dituliskan tantangan-tantangan yang muncul ketika
akan menggunakan scaffolding dalam pembelajaran dan harus guru perhatikan.
Tantangan-tantangan tersebut, yaitu: 1.
Perencanaan dan penerapan scaffolding membutuhkan banyak waktu.
2. Penyeleksian scaffolding yang tepat
yang sesuai dengan berbagai jenis pem- belajaran dan gaya komunikasi siswa.
3. Pengetahuan ketika menghilangkan
scaffolding sehingga siswa tidak ber- gantung pada dukungan.
4. Perlu mengenal siswa dengan cukup ba-
ik kemampuan kognitif dan afektif sis- wa sehingga scaffolding yang diberi-
kan tidak tepat.
3. KESIMPULAN