62 kepolisian perairan dan udara Polri dalam rangka mendukung tugas pelaksanaan pada
tingkat kewilayahan. Jumlah kapal yang dapat beroperasi untuk operasi di laut sebanyak 273 kapal,
dengan norma 13 perawatan, 13 standby dan 13 operasi. Kelas A 50 GT sebanyak 9 kapal, kelas B 28 – 33 GT sebanyak 14 kapal dan sisanya kelas C DMI, 2006.
4.1.5 Ditjen Bea dan Cukai
Tugas yang diemban adalah : 1
Cukai 2
Kepabeanan : 1
melakukan pengawasan lalu lintas barang ekspor- impor 2
melakukan pengawasan pemasukan barang larangan dan pembatasan 3
memungut bea masuk dalam rangka impor 4
memberikan fasilitas perdagangan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan ekspor
Unsur yang dimiliki sebanyak 37 kapal, 29 kapal yang beroperasi di Tanjung Balai Karimun, 3 kapal di Jakarta dan 5 kapal di Pantoloan. Sampai saat ini kapal
yang stand by sebanyak 19 kapal, dalam perbaikan12 kapal, dan yang beroperasi di selat Malaka sebanyak 3 kapal, di selat Makassar sebanyak 2 kapal dan di Tanjung
Priok tersedia 1 kapal DMI, 2006
4.2 Penerapan MCS di Beberapa Negara
4.2.1 Malaysia
Malaysia mempunyai manajemen perikanan yang sangat lengkap dan mempunyai kontrol yang kuat terhadap legislasi, lisensi, identifikasi kapal,
mengembangkan prosedur inspeksi di laut dan pelabuhan, termasuk inspeksi peralatan. Malaysia juga menerapkan perjanjian internasional dengan membuat dan
memperbaharui peraturan undang-undang perikanan. Sistem MCS dan mekanisme antar lembaga di Malaysia merupakan yang paling maju di wilayah Asia Tenggara
dan dapat menjadi model bagi negara lainnya.
63 Malaysia membentuk lembaga penjaga pantai yang baru, yang mengambil alih
tanggung jawab dan aset dari badan pelaksana yang ada. Lembaga ini menyarankan pengembangan program baru, karena hampir tidak ada armada pelaksana yang tepat
untuk berpatroli di luar wilayah ZEE. Kapal patroli yang modern memerlukan biaya yang mahal dalam hal pengadaan dan pengoperasiannya, namun demikian, biaya
yang hilang karena pencurian, kerusakan sumberdaya alam, kehilangan pajak, dan kekerasan atau pencurian di laut jauh lebih besar daripada biaya pengadaan
Flewwelling 2001.
4.2.2 Philipina
Philipina memiliki manajemen perikanan yang responsif dan berkelanjutan serta mempunyai sistem MCS dan semua peralatan yang siap untuk dikembangkan
dan diakui, serta mempunyai tenaga yang terlatih. Pada dasarnya, manajemen dan sistem MCS Philipina cukup bagus, tetapi implementasi sistemnya tidak jelas, tidak
mempunyai perjanjian kerjasama internasional yang diakui dan disetujui oleh pemerintah. Secara politik, manajemen perikanan yang berkelanjutan belum
merupakan suatu prioritas bagi pemerintah, begitu juga oleh Departemen Perikanan dan Sumberdaya Air, yang seharusnya aktif membentuk mekanisme kerja sama antar
lembaga yang memberi perhatian terhadap perikanan komersil dan perikanan asing yang ilegal. Philipina mempunyai program yang sangat progresif dalam membangun
kesadaran publik dengan metode partisipasi untuk pengembangan wilayah pesisir yang berkelanjutan. Philipina mempunyai semua komponen untuk menjadi model di
Asia, tetapi kontinuitas dan keinginan politik tidak tampak di dalam sistemnya Flewwelling 2001.
4.2.3 Maladewa
Menurut Flewwelling 2001, Maladewa mempunyai teknik yang progresif untuk sistem MCS VMS plus citra satelit, meskipun sistemnya tidak sepenuhnya
berfungsi karena dalam implementasinya membutuhkan pendanaan, penempatan operator terlatih, dan memerlukan mekanisme kerjasama antar lembaga Pabean,
Penjaga Pantai, Turisme, Departemen Perdagangan dan Industri, dan Departemen Manajemen Atol. Kelemahan lainnya adalah dalam pelatihan MCS dan inspeksi di
laut yang dilakukan oleh lembaga yang berbeda dan tidak menjadi prioritas utama.