Penerapan sistem monitoring control surveillance MCS pada
46 VMS, Pesawat Patroli Udara, Radar Pantai, Sistem Pengawasan Masyarakat
SISWASMAS, Computerized Data Base CDB, Pengawas Perikanan, Penyidik Pegawai Negeri Sipil PPNS Perikanan, Log Book Perikanan dan radar satelit.
Komponen-komponen tersebut merupakan bagian kebijakan DKP dalam penerapan MCS yang mengacu kepada peraturan perundang-undangan.
1 Penerapan komponen MCS Departemen Kelautan dan Perikanan
Penerapan Komponen MCS Departemen Kelautan dan Perikanan adalah sebagai berikut :
1 Pengendalian Perizinan
Izin Usaha Perikanan IUP, Surat Penangkapan Ikan SPI, Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan SIKPI, sticker barcode dan tanda lunas pembayaran pungutan
perikanan PHP merupakan suatu kesatuan perizinan usaha perikanan yang melekat di setiap kapal perikanan dan harus selalu berada di atas kapal perikanan. Apabila di
atas setiap kapal tidak ditemukan SPISIKPI asli, maka dapat dianggap bahwa kapal perikanan tersebut me lakukan kegiatan tanpa izin.
Pemeriksaan keabsahan dan kelengkapan dokumen-dokumen tersebut dilakukan secermat mungkin, meliputi keaslian dokumen tidak palsu, masa berlaku
izin, serta kesesuaian antara IUP dan SPISIKPI. Apabila dalam pemeriksaan ditemuk an pelanggaran, maka dianggap melakukan tindak pidana perikanan serta
pidana umum apabila ditemukan izinnya adalah palsu, dan dilakukan proses pemberkasan perkara lebih lanjut.
Bagi perahukapal yang menurut peraturan perundang-undangan tidak diwajibkan untuk memiliki izin, perlu juga dibuat sistem pendataanya, yakni dengan
dilakukan pencatatan. Bagi perahukapal yang sudah tercatat diberikan bukti tertullis yang sekaligus dapat dianggap sebagai dokumen perizinan. Jika perahukapal yang
kecil tapi jumlahnya cukup banyak, maka akan berpengaruh dalam pengelolaan sumberdaya perikanan yang akan dilakukan.
Hambatan dari komponen pengendalian perizinan ini adalah masih banyak terjadinya pemalsuan dokumen Surat Penangkapan Ikan SPI yang belum terungkap,
modusnya adalah beredarnya dokumen palsu dan dijual kepada pemilik kapal serta
47 banyaknya izin yang dikeluarkan bukan oleh pejabat berwenang, misalnya kapal
ukuran di atas 30 GT dikeluarkan dengan dokumen di bawah 30 GT sehingga SPI cukup oleh Dinas Perikanan di daerah. Hambatan seperti ini harus segera diatasi
dengan penertiban dan penyempurnaan perizinan. Hasil usaha DKP dalam operasi terpadu pemberantasan illegal fishing terkait dengan penertiban perizinan adalah
pencabutan 155 izin kapal eks asing berbendera Indonesia bermasalah karena tidak dapat melengkapi dokumen kapal, terutama deletion certificate DC sebagai bukti
bahwa kapal tersebut telah dihapuskan statusnya dari negara asal. Hasil usaha DKP dalam operasi terpadu pemberantasan illegal fishing terkait dengan penyempurnaan
perizinan adalah tempat proses perizinan pada satu ruang di Lantai VIII DKP dengan waktu pelayanan 7 hari kerja agar tidak terjadi penerbitan surat izin penangkapan di
luar kewenangan DKP.
2 Kapal PatroliPengawas
Kapal pengawas merupakan asset pengawasan yang sangat penting sebagai sarana untuk patroli di laut. Kapal pengawas berguna untuk keperluan pengamatan,
pemantauan maupun operasi. P2SDKP memprogramkan pengadaan kapal patroli sebanyak 89 unit untuk meliput wilayah pengawasan di seluruh Indonesia. Sampai
saat ini telah dibangun 14 unit kapal pengawas dengan ukuran 36 m 2 unit; 28.5 m 8 unit, dan 18 m 2 unit yang ditempatkan pada pelabuhan seperti pada Tabel 5.
Kapal patroli atau kapal pengawas ini ditempatkan pada posisi yang strategis, di pelabuhan-pelabuhan utama yang menjadi satuan dan stasiun pengawas di seluruh
wilayah Indonesia. Dengan kapal pengawas diharapkan pengawasan dapat dilakukan secara preventif pencegahan maupun represif penindakan.
48 Tabel 5 Penempatan kapal pengawas P2SDKP
No. Kapal Pengawas
Pangkalan Daerah Operasi
1 KP. Barracuda 01 Ketapang - Kalbar
Perairan Ketapang, P. Pelapis 2
KP. Barracuda 02 Tanjung Pandan –
Babel Perairan Bangka Belitung
3 KP. Hiu 001
Bungus - Sumbar Perairan Padang, Bengkulu,
Selat Melawai, Kepulauan Mentawai, Pulau Nias,
Sibolga, Pasaman, Pulau Tello
4 KP. Hiu 002
Bitung-Sulut Laut Maluku, Laut Sulawesi
5 KP. Hiu 003
PPS Jakarta Kepulauan Seribu, Selat
Sunda, Laut Jawa, Bangka- Belitung, Perairan Kalsel,
Pontianak, Ketapang
6 KP. Hiu 004
Kupang-NTT Larantuka, Laut Flores,
perairan NTT, Laut Bali, Sumbawa
7 KP. Hiu 005
Merauke-Papua Merauke, laut Arafura
8 KP. Hiu 006
Belawan-Sumut Perairan Selat Malaka, Natuna,
Sabang, Selat Karimata
9 KP. Hiu 007
Tarakan-Kaltim Perairan Tarakan, Nunukan,
Bulungan, Laut Sulawesi, Selat Makasar
10 KP. Hiu 008
Sorong-Papua Barat Perairan Indonesia Timur 11
KP. Todak 01 Kendari-Sultra
Teluk Kendari, Selat Sewowoni, Laut Maluku
12 KP. Todak 02
Gorontalo Teluk Tomini
13 Hiu Macan 01
PPS Jakarta Kepulauan Seribu, Selat
Sunda, Laut Jawa, Bangka- Belitung, Perairan Kalsel,
Pontianak, Ketapang
14 Hiu Macan 02
PPN Tual Laut Banda, Arafura, Seram,
Kepulauan Aru, dan Tanimbar Sumber: Departemen Kelautan dan Perikanan 2005
49 Sampai dengan tahun 2003, telah cukup banyak tangkapan yang dilakukan
oleh kapal pengawas Hiu, baik kapal asing maupun Indonesia. Penangkapan- penangkapan ini telah juga sampai ke pengadilan. Dari seluruh kapal yang ditangkap,
sebagian bebas, namun ada juga yang berhasil dirampas untuk negara.
3 Pemasangan Vessel Monitoring System VMS
Vessel monitoring system VMS merupakan salah satu sarana MCS milik
DKP yang dilengkapi dengan alat elektronik transmitter pemancar. Sesuai dengan ketentuan yang ada, sejak tahun 2003 diwajibkan bagi seluruh kapal perikanan
dengan izin pusat untuk memasang transmitter VMS di kapal tersebut. Fungsi dari pemasangan transmitter VMS adalah untuk memantau pergerakan kapal perikanan
yang telah memperoleh izin sehingga dapat diketahui apakah kapal tersebut beroperasi pada daerah penangkapan yang telah diberikan atau tidak.
Program pemasangan vessel monitoring system VMS belum seperti yang diharapkan. Kegiatan yang termasuk implementasi dari program penanganan illegal
fishing tersebut belum optimal karena kurang mendapat respon dari para pemilik
kapal penangkap ikan, yang merupakan sasaran utama pemasangan VMS, yang saat ini baru terpasang penambahan transmitter sebanyak 1.339 unit dari kapasitas 3.055
unit sehingga masih tersisa 1.716 unit. Dari jumlah yang terpasang tersebut dapat diperinci sebagai berikut : 1 untuk kapal ikan asing baik penangkap maupun
pengangkut sebanyak 594 unit dari kapasitas 841 unit sehingga tersisa 247 unit, 2 kapal pengangkut Indonesia dari 464 unit kapasitas, baru terpasang 142 unit,
sementara sisanya masih 322 unit, 3 kapal ikan Indonesia dari kapasitas 559 unit terpasang 182 unit dan 377 unit belum terpasang, sementara kapal ikan Indonesia
dengan bobot lebih dari 100 GT baru terpasang 421 unit dari 1.191 unit, sedangkan sisanya 770 unit belum terpasang.
Beberapa alasan penolakan dari pemilik kapal antara lain takut akan adanya pembebanan terhadap pemasangan transmitter di kapalnya, mengharapkan kejelasan
manfaat program dalam jangka pendek, pemilik kapal kurang merasakan manfaat VMS, menganggap VMS pada tahap awal hanya bermanfaat pada sisi pemerintah
dalam mengawasi kapal perikanan, takut adanya pungutan lagi dalam program VMS
50 karena di daerah sudah banyak pungutan dan masih berkeberatan bila kegiatan
kapalnya diawasi. Penolakan tidak saja dilakukan oleh pihak pemilik kapal perusahaan, namun juga dilakukan oleh pihak pelabuhan. Adapun alasan dari pihak
pelabuhan karena menyangkut tanggung jawab yang harus dipikul yaitu belum maksimalnya pihak pelabuhan dalam menggunakan kewenangannya untuk
melaksanakan Keputusan Menteri nomor 29 tahun 2003, termasuk melaksanakan ancamannya.
Untuk mengatasi penolakan-penolakan di atas, DKP memiliki strategi mulai dari yang lunak dan menguntungkan kedua belah pihak, sampai dengan menggunakan
kekuatan hukum atau peraturan perundangan, berikut sanksinya. Strategi yang lunak dan menguntungkan kedua belah pihak antara lain tidak adanya pembebanan bagi
Kapal Ikan Indonesia KII sementara untuk Kapal Ikan Asing KIA akan ada pembebanan. Namun setelah keluarnya Peraturan Pemerintah, tidak ada lagi pungutan
biaya oleh pengawas perikanan dalam pemasangan transmitter, dan akan ada website bagi pengusaha. Untuk menjaga keseimbangan, maka akan digunakan juga strategi
yang cukup keras dan mengikat yaitu dengan kekuatan hukumperundang-undangan. Kekuatan hukum yang digunakan yaitu Keputusan Menteri nomor 29 tahun 2003
tanggal 12 Agustus 2003 dan surat penugasan dari Dirjen Perikanan Tangkap dan Dirjen P2SDKP kepada Kepala PelabuhanDinas. Sedangkan ancamansanksi yang
diberikan jika tidak dilakukan pemasangan transmitter yaitu diberlakukannya penahanan LLO dan proses perijinan.
Evaluasi dari hasil tingkat pemasangan transmitter terhadap jumlah kapal yang berpangkalan menunjukkan bahwa pelabuhan yang dinilai masih rendah tingkat
pemasangannya adalah pelabuhan Merauke 0,37, pelabuhan Muara Baru 1,33, dan pelabuhan Bitung 6,37. Sementara itu pelabuhan Kendari, Ambon, Tual,
Sorong dan Benoa dinilai baik produktivitas pemasangannya. Penilaian pemasangan transmitter di perusahaan pemilik armada kapal juga
dilakukan dengan memperbandingkan jumlah transmitter yang terpasang dengan jumlah armada kapal yang dimiliki, hasilnya masih sangat memprihatinkan 0,7.
51
4 Penerapan sistem pengawasan berbasis masyarakat SISWASMAS
Sistem Pengawasan Berbasis Masyarakat atau dikenal dengan SISWASMAS adalah sistem pengawasan yang melibatkan peran aktif masyarakat dalam mengawasi
dan mengendalikan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya kelautan secara bertanggung jawab. SISWASMAS bekerja dengan cara sederhana dimana apabila
masyarakat menjumpai dugaan adanya tindak pidana perikanan oleh kapal-kapal penangkap ikan asingIndonesia karena melanggar wilayah, atau penggunaan alat
tangkap yang dilarang atau yang melakukan penangkapan ikan dengan cara merusak, maka akan dilaporkan kepada petugas pengawas perikanan atau PPNS atau aparat
TNI-AL dan POLRI terdekat, yang selanjutnya aparat akan melakukan tindakan seperti pengejaran atau penangkapan.
SISWASMAS dikembangkan melalui perluasan jaringan, pemberdayaan dan penggerakan kepada kelompok-kelompok masyarakat pengawas. Pembentukan
kelompok SISWASMAS sangat mendukung dalam pengawasan. Di Nusa Tenggara Timur, kelompok pengawas ini telah banyak membantu dalam mengawal kawasan
terhadap kerusakan-kerusakan terumbu karang yang disebabkan potasium. Melalui pelibatan masyarakat diharapkan pengawasan akan menjadi lebih efektif dan dapat
menjangkau ke seluruh wilayah Indonesia. SISWASMAS telah dikembangkan sejak tahun 2001 dan sampai saat ini telah
terbentuk 409 kelompok masyarakat pengawas yang tersebar di 26 provinsi seperti dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6 Penempatan Pokwasmas di seluruh Indonesia
No .
Provinsi Jumlah Pokwasmas
1 Jawa Barat
8 2
Jawa Tengah 29
3 Jawa Timur
10 4
DKI Jakarta 1
5 DI Yogyakarta
3 6
Banten 26
52 7
Bali 3
8 Nusa Tenggara Barat
38 9
Nusa Tenggara Timur 5
10 Nanggroe Aceh
Darussalam 42
11 Sumatera Utara 4
12 Sumatera Barat 106
13 Riau 2
14 Lampung 8
15 Bengkulu 1
16 Bangka Belitung 4
17 Kalimantan Selatan 36
18 Kalimantan Barat 1
19 Sulawesi Utara 6
20 Gorontalo 4
21 Sulawesi Tenggara 39
22 Sulawesi Selatan 6
23 Maluku Utara 6
24 Papua 1
25 Jambi 8
26 Sumatera Selatan 12
Jumlah 409
Sumber: Departemen Kelautan dan Perikanan 2005 Table 6 Lanjutan
53
5 Pengawas perikanan dan PPNS
Sumber Daya Manusia SDM pengawasan merupakan motor penggerak sarana pengawasan lainnya. Jumlah Pengawas Perikanan sebagai aparat fungsional
pengawasan, seharusnya tersebar di beberapa pelabuhan perikanan dan Dinas Perikanan, serta diharapkan dapat berkoordinasi dengan instansi terkait. Hingga saat
ini belum di semua pusat kegiatan perikanan ditempatkan Pengawas Perikanan. Untuk memberdayakan Pengawas Perikanan dalam menangani tindak pidana
perikanan, maka Pengawas Perikanan sebagian telah dididik dan berstatus sebagai PPNS Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perikanan. Jumlah PPNS Perikanan sampai
tahun 2003 adalah sebanyak 536 orang dengan rincian di DKP Pusat 45 orang, Dinas Perikanan dan Kelautan ProvinsiKabupatenKota sebanyak 388 orang, dan di
pelabuhan Perikanan sebanyak 103 orang. Jumlah Pengawas Perikanan dan PPNS Perikanan di atas ini masih jauh dari mampu untuk melakukan pengawasan di laut
Indonesia. Oleh karenanya perlu penambahan jumlah dengan target sekitar 120 orang PPNS dalam setahun dan ditingkatkan kemampuannya sesuai kebutuhan. Jika target
jumlah sumberdaya manusia pengawasan dapat tercapai, maka struktur organisasi yang ingin dibentuk adalah 10 satuan pengawas, 40 stasiun pengawasan dan 500 pos
pengawas.
6 Alat komunikasi Alkom
Alat komunikasi merupakan sarana komunikasi yang tak kalah pentingnya. Alat komunikasi berfungsi untuk melaporkan kegiatan pelanggaran pemanfaatan
sumberdaya kelautan dan perikanan dari Pengawas Perikanan ataupun POKMASWAS kepada aparat terkait di Jakarta, yang segera disampaikan ke TNI
Angkatan Laut untuk ditindak lanjuti. Alat komunikasi juga berfungsi sebagai sarana koordinasi antar POKMASWAS yang ada di seluruh Indonesia.
Alat ini sangat efektif untuk memberikan informasi dan berkomunikasi, sehingga akan terus
dikembangkan ke pelabuhan-pelabuhan perikanan. Alat komunikasi ini berupa radio komunikasi yang dipasang di tiap
pelabuhan, sehingga tiap pelabuhan dapat berkomunikasi langsung dengan pusat pengendalian di Ditjen P2SDKP Jakarta. Alkom ini dilengkapi dengan linier
amplifier, modem, dan guy tower sehingga mampu memberikan daya pancar yang
54 cukup luas serta mampu menjangkau pelabuhan-pelabuhan yang cukup jauh
sekalipun. Ditjen P2SDKP memprogramkan pemasangan alat komunikasi di setiap pelabuhan perikanan dan tempat pendaratan ikan. Sampai dengan tahun 2004 telah
dibangun 50 unit alat komunikasi yang tersebar di 21 provinsi. Di setiap lokasi yang terpasang alat komunikasi, ditugaskan 2 orang operator alat komunikasi yang sudah
diberi pelatihan.
7 CDB COMPUTERIZED DATA BASE
CDB merupakan sistem informasi berbasis komputer. Di pelabuhan- pelabuhan utama dipasang CDB yang on line dengan Pusat Pengawasan Ditjen
P2SDKP, Jakarta, sehingga informasi yang terjadi di masing- masing pelabuhan dapat segera dikirim ke pusat melalui jaringan yang sudah on line. Dengan demikian
maka akan diperoleh data dan informasi yang cepat, akurat dan terkini. Informasi yang dikirim dapat berupa data-data hasil- hasil penangkapan ikan di pelabuhan-
pelabuhan dan informasi lainnya. CDB diprogramkan untuk ditempatkan pada pelabuhan-pelabuhan perikanan tipe A, B, dan C secara selektif. Sampai saat ini telah
dibangun CDB pada 15 pelabuhan seperti pada Tabel 7. Tabel 7 Penyebaran Computerized Data Base di Indonesia
No. 2000
2001 2002
1 Pusat
PPP Kupang, NTT PPS Cilacap, Jateng
2 Pusat
PPP Tarakan, Kaltim PPN Ternate, Maluku
Utara 3
Pusat PPP Lampulo, NAD
PPS Belawan, Sumut 4
Pusat Server PPN Pelabuhan Ratu,
Jabar 5
Pusat Server PPS Cilacap, Jateng
6 PPP Sorong, IJB
7 PPN Ternate, Maluku
Utara 8
PPN Tg. Pandan, Babel 9
PPN Bungus, Sumbar
55 10
PPN Belawan, Sumut 11
PPS Kendari, Sultera 12
PPN Pekalongan, Jateng 13
PPN Kejawanan, Jabar 14
PPP Manado, Sulut 15
PPS Nizam Zachman, Jakarta
Sumber: Departemen Kelautan dan Perikanan 2005
8 Radar Satelit
Radar satelit merupakan sarana pemantauan yang menggunakan teknologi tinggi. Dalam pengadaan sarana ini, Ditjen P2SDKP bekerjasama dengan Badan Riset
Departeme n Kelautan dan Perikanan. Radar satelit ini adalah Satelit Kanada Canadian Space Agency yang disewa dengan nilai 800 juta per tahun. Satelit ini
terbang di perairan Arafuru, 3 kali seminggu guna mendeteksi situasi di perairan tersebut. Dengan radar tersebut dapat terpantau kapal-kapal yang sedang beroperasi di
bawahnya. Dengan teknologi ini, didapat suatu informasi yang sangat berharga bagi kepentingan pengawasan. Untuk selanjutnya dapat dilakukan pengecekan langsung ke
lapangan dengan menggunakan pesawat terbang ataupun kapal.
9 Penerapan Log Book Perikanan LBP dan Lembar Laik Operasional
LLO
LBP dan LLO sebagai alat kontrol untuk mengetahui hasil penangkapan pada wilayah penangkapan tertentu, sehingga akan dapat diketahui total hasil
penangkapan. LBP dan LLO diwajibkan untuk diisi oleh kapal-kapal perikanan di tiap pelabuhan pada saat kapal tersebut berlabuh dan siap berlayar.
Setiap kedatangan kapal perikanan di pelabuhan, sebelum kapal membongkar atau memuat ikan hasil tangkapan atau ikan yang diangkut, nahkoda wajib
menyerahkan formulir A Log Book Perikanan dan dokumen perizinan usaha perikanan IUP, APIA, SPI, SIKPI kepada Pengawas Perikanan, untuk dilakukan
pemeriksaan terhadap jenis, jumlah dan ukuran ikan yang ditangkapdiangkut, Table 7 Lanjutan
56 kelengkapan dan keabsahan dokumen perizinan maupun spesifikasi teknis kapal
perikanan, dan alat penangkapan ikan serta alat bantu penangkapan yang digunakan. Pada saat kapal perikanan akan berangkat untuk melakukan penangkapan atau
pengangkutan ikan, harus memperoleh LLO Lembar Laik Operasional dan formulir A Log Book perikanan dari Pengawas Perikanan. LLO harus berada di atas kapal, dan
tembusannya digunakan sebagai persyaratan memperoleh SIB Surat Izin Berlayar. Sanksi terhadap pelanggaran ketentuan ini adalah kapal ditunda keberangkatan dan
diberikan sanksi administrasi berupa peringatanteguran tertulis, yang bisa ditindak lanjuti dengan pencabutan izin usaha.
Log Book sangat penting, karena kita dapat menganalisa lokasi kapal
ditangkap, apa jenisnya, berapa bahan bakar yang habis digunakan, berapa lama berlayar dan sebagainya. Penerapan log book ini belum disadari oleh para nelayan
karena belum memahami betul kegunaannya, sehingga belum menerapkannya secara benar. Untuk Direktorat Jendral Perikanan Tangkap, Log Book sangat bermanfaat,
khususnya untuk ” stock assessment”.
10 Pesawat Patroli UdaraMaritime Surveillance Aircraft MSA dan Radar
Pantai MSA dan Radar Pantai sebagai penunjang fungsional MCS saat ini sedang
dikaji dan akan dikembangkan di tahun mendatang. Dengan luas wilayah, jangkauan dan kompleksitas pengawasan maka diperlukan sejumlah 10 MSA dan radar pantai
yang dapat meliput seluruh wilayah perairan Indonesia.
2 Kerjasama pelaksanaan pengawasan antara Departemen Kelautan dan Perikanan dengan instansi terkait.
Aparat dari instansi terkait yang juga diperlukan untuk mendukung operasional pengawasan meliputi : TNI AL, TNI AU, POLAIR, Adpel Pelabuhan,
Petugas Bea dan Cukai. TNI AL, TNI AU dan POLAIR adalah aparat penegak hukum yang bertindak menghentikan, memeriksa, mengejar dan menangkap kapal
yang melakukan pelanggaran pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan, yang untuk selanjutnya dilakukan proses penyidikan dan proses hukum lebih lanjut.
Aparat penegak hukum ini mendapat laporan pelanggaran dari pengawas perikanan atau kelompok masyarakat yang berperan dalam pelaksanaan pengawasan.
57 Kerjasama operasi Ditjen P2SDKP dengan TNI Angkatan Laut dan pihak
Kepolisian tidak hanya melihat kondisi lapangan, namun sekaligus menangkap para pelanggar yang didapat pada saat operasi. Berbeda dengan kerjasama operasi dengan
TNI Angkatan Laut, kerjasama operasi dengan TNI Angkatan Udara hanya untuk melihat kondisi lapangan dari atas yang mampu menunjukkan kasus-kasus
pelanggaran kapal. Kerjasama Ditjen P2SDKP dengan Petugas Bea dan Cukai adalah dalam inspeksi dan patroli pengawasan kegiatan ekspor impor agar kegiatan tersebut
tidak merugikan negara Indonesia, justru harus memberikan keuntungan untuk negara.