Penerapan sistem monitoring control surveillance MCS pada

46 VMS, Pesawat Patroli Udara, Radar Pantai, Sistem Pengawasan Masyarakat SISWASMAS, Computerized Data Base CDB, Pengawas Perikanan, Penyidik Pegawai Negeri Sipil PPNS Perikanan, Log Book Perikanan dan radar satelit. Komponen-komponen tersebut merupakan bagian kebijakan DKP dalam penerapan MCS yang mengacu kepada peraturan perundang-undangan. 1 Penerapan komponen MCS Departemen Kelautan dan Perikanan Penerapan Komponen MCS Departemen Kelautan dan Perikanan adalah sebagai berikut : 1 Pengendalian Perizinan Izin Usaha Perikanan IUP, Surat Penangkapan Ikan SPI, Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan SIKPI, sticker barcode dan tanda lunas pembayaran pungutan perikanan PHP merupakan suatu kesatuan perizinan usaha perikanan yang melekat di setiap kapal perikanan dan harus selalu berada di atas kapal perikanan. Apabila di atas setiap kapal tidak ditemukan SPISIKPI asli, maka dapat dianggap bahwa kapal perikanan tersebut me lakukan kegiatan tanpa izin. Pemeriksaan keabsahan dan kelengkapan dokumen-dokumen tersebut dilakukan secermat mungkin, meliputi keaslian dokumen tidak palsu, masa berlaku izin, serta kesesuaian antara IUP dan SPISIKPI. Apabila dalam pemeriksaan ditemuk an pelanggaran, maka dianggap melakukan tindak pidana perikanan serta pidana umum apabila ditemukan izinnya adalah palsu, dan dilakukan proses pemberkasan perkara lebih lanjut. Bagi perahukapal yang menurut peraturan perundang-undangan tidak diwajibkan untuk memiliki izin, perlu juga dibuat sistem pendataanya, yakni dengan dilakukan pencatatan. Bagi perahukapal yang sudah tercatat diberikan bukti tertullis yang sekaligus dapat dianggap sebagai dokumen perizinan. Jika perahukapal yang kecil tapi jumlahnya cukup banyak, maka akan berpengaruh dalam pengelolaan sumberdaya perikanan yang akan dilakukan. Hambatan dari komponen pengendalian perizinan ini adalah masih banyak terjadinya pemalsuan dokumen Surat Penangkapan Ikan SPI yang belum terungkap, modusnya adalah beredarnya dokumen palsu dan dijual kepada pemilik kapal serta 47 banyaknya izin yang dikeluarkan bukan oleh pejabat berwenang, misalnya kapal ukuran di atas 30 GT dikeluarkan dengan dokumen di bawah 30 GT sehingga SPI cukup oleh Dinas Perikanan di daerah. Hambatan seperti ini harus segera diatasi dengan penertiban dan penyempurnaan perizinan. Hasil usaha DKP dalam operasi terpadu pemberantasan illegal fishing terkait dengan penertiban perizinan adalah pencabutan 155 izin kapal eks asing berbendera Indonesia bermasalah karena tidak dapat melengkapi dokumen kapal, terutama deletion certificate DC sebagai bukti bahwa kapal tersebut telah dihapuskan statusnya dari negara asal. Hasil usaha DKP dalam operasi terpadu pemberantasan illegal fishing terkait dengan penyempurnaan perizinan adalah tempat proses perizinan pada satu ruang di Lantai VIII DKP dengan waktu pelayanan 7 hari kerja agar tidak terjadi penerbitan surat izin penangkapan di luar kewenangan DKP. 2 Kapal PatroliPengawas Kapal pengawas merupakan asset pengawasan yang sangat penting sebagai sarana untuk patroli di laut. Kapal pengawas berguna untuk keperluan pengamatan, pemantauan maupun operasi. P2SDKP memprogramkan pengadaan kapal patroli sebanyak 89 unit untuk meliput wilayah pengawasan di seluruh Indonesia. Sampai saat ini telah dibangun 14 unit kapal pengawas dengan ukuran 36 m 2 unit; 28.5 m 8 unit, dan 18 m 2 unit yang ditempatkan pada pelabuhan seperti pada Tabel 5. Kapal patroli atau kapal pengawas ini ditempatkan pada posisi yang strategis, di pelabuhan-pelabuhan utama yang menjadi satuan dan stasiun pengawas di seluruh wilayah Indonesia. Dengan kapal pengawas diharapkan pengawasan dapat dilakukan secara preventif pencegahan maupun represif penindakan. 48 Tabel 5 Penempatan kapal pengawas P2SDKP No. Kapal Pengawas Pangkalan Daerah Operasi 1 KP. Barracuda 01 Ketapang - Kalbar Perairan Ketapang, P. Pelapis 2 KP. Barracuda 02 Tanjung Pandan – Babel Perairan Bangka Belitung 3 KP. Hiu 001 Bungus - Sumbar Perairan Padang, Bengkulu, Selat Melawai, Kepulauan Mentawai, Pulau Nias, Sibolga, Pasaman, Pulau Tello 4 KP. Hiu 002 Bitung-Sulut Laut Maluku, Laut Sulawesi 5 KP. Hiu 003 PPS Jakarta Kepulauan Seribu, Selat Sunda, Laut Jawa, Bangka- Belitung, Perairan Kalsel, Pontianak, Ketapang 6 KP. Hiu 004 Kupang-NTT Larantuka, Laut Flores, perairan NTT, Laut Bali, Sumbawa 7 KP. Hiu 005 Merauke-Papua Merauke, laut Arafura 8 KP. Hiu 006 Belawan-Sumut Perairan Selat Malaka, Natuna, Sabang, Selat Karimata 9 KP. Hiu 007 Tarakan-Kaltim Perairan Tarakan, Nunukan, Bulungan, Laut Sulawesi, Selat Makasar 10 KP. Hiu 008 Sorong-Papua Barat Perairan Indonesia Timur 11 KP. Todak 01 Kendari-Sultra Teluk Kendari, Selat Sewowoni, Laut Maluku 12 KP. Todak 02 Gorontalo Teluk Tomini 13 Hiu Macan 01 PPS Jakarta Kepulauan Seribu, Selat Sunda, Laut Jawa, Bangka- Belitung, Perairan Kalsel, Pontianak, Ketapang 14 Hiu Macan 02 PPN Tual Laut Banda, Arafura, Seram, Kepulauan Aru, dan Tanimbar Sumber: Departemen Kelautan dan Perikanan 2005 49 Sampai dengan tahun 2003, telah cukup banyak tangkapan yang dilakukan oleh kapal pengawas Hiu, baik kapal asing maupun Indonesia. Penangkapan- penangkapan ini telah juga sampai ke pengadilan. Dari seluruh kapal yang ditangkap, sebagian bebas, namun ada juga yang berhasil dirampas untuk negara. 3 Pemasangan Vessel Monitoring System VMS Vessel monitoring system VMS merupakan salah satu sarana MCS milik DKP yang dilengkapi dengan alat elektronik transmitter pemancar. Sesuai dengan ketentuan yang ada, sejak tahun 2003 diwajibkan bagi seluruh kapal perikanan dengan izin pusat untuk memasang transmitter VMS di kapal tersebut. Fungsi dari pemasangan transmitter VMS adalah untuk memantau pergerakan kapal perikanan yang telah memperoleh izin sehingga dapat diketahui apakah kapal tersebut beroperasi pada daerah penangkapan yang telah diberikan atau tidak. Program pemasangan vessel monitoring system VMS belum seperti yang diharapkan. Kegiatan yang termasuk implementasi dari program penanganan illegal fishing tersebut belum optimal karena kurang mendapat respon dari para pemilik kapal penangkap ikan, yang merupakan sasaran utama pemasangan VMS, yang saat ini baru terpasang penambahan transmitter sebanyak 1.339 unit dari kapasitas 3.055 unit sehingga masih tersisa 1.716 unit. Dari jumlah yang terpasang tersebut dapat diperinci sebagai berikut : 1 untuk kapal ikan asing baik penangkap maupun pengangkut sebanyak 594 unit dari kapasitas 841 unit sehingga tersisa 247 unit, 2 kapal pengangkut Indonesia dari 464 unit kapasitas, baru terpasang 142 unit, sementara sisanya masih 322 unit, 3 kapal ikan Indonesia dari kapasitas 559 unit terpasang 182 unit dan 377 unit belum terpasang, sementara kapal ikan Indonesia dengan bobot lebih dari 100 GT baru terpasang 421 unit dari 1.191 unit, sedangkan sisanya 770 unit belum terpasang. Beberapa alasan penolakan dari pemilik kapal antara lain takut akan adanya pembebanan terhadap pemasangan transmitter di kapalnya, mengharapkan kejelasan manfaat program dalam jangka pendek, pemilik kapal kurang merasakan manfaat VMS, menganggap VMS pada tahap awal hanya bermanfaat pada sisi pemerintah dalam mengawasi kapal perikanan, takut adanya pungutan lagi dalam program VMS 50 karena di daerah sudah banyak pungutan dan masih berkeberatan bila kegiatan kapalnya diawasi. Penolakan tidak saja dilakukan oleh pihak pemilik kapal perusahaan, namun juga dilakukan oleh pihak pelabuhan. Adapun alasan dari pihak pelabuhan karena menyangkut tanggung jawab yang harus dipikul yaitu belum maksimalnya pihak pelabuhan dalam menggunakan kewenangannya untuk melaksanakan Keputusan Menteri nomor 29 tahun 2003, termasuk melaksanakan ancamannya. Untuk mengatasi penolakan-penolakan di atas, DKP memiliki strategi mulai dari yang lunak dan menguntungkan kedua belah pihak, sampai dengan menggunakan kekuatan hukum atau peraturan perundangan, berikut sanksinya. Strategi yang lunak dan menguntungkan kedua belah pihak antara lain tidak adanya pembebanan bagi Kapal Ikan Indonesia KII sementara untuk Kapal Ikan Asing KIA akan ada pembebanan. Namun setelah keluarnya Peraturan Pemerintah, tidak ada lagi pungutan biaya oleh pengawas perikanan dalam pemasangan transmitter, dan akan ada website bagi pengusaha. Untuk menjaga keseimbangan, maka akan digunakan juga strategi yang cukup keras dan mengikat yaitu dengan kekuatan hukumperundang-undangan. Kekuatan hukum yang digunakan yaitu Keputusan Menteri nomor 29 tahun 2003 tanggal 12 Agustus 2003 dan surat penugasan dari Dirjen Perikanan Tangkap dan Dirjen P2SDKP kepada Kepala PelabuhanDinas. Sedangkan ancamansanksi yang diberikan jika tidak dilakukan pemasangan transmitter yaitu diberlakukannya penahanan LLO dan proses perijinan. Evaluasi dari hasil tingkat pemasangan transmitter terhadap jumlah kapal yang berpangkalan menunjukkan bahwa pelabuhan yang dinilai masih rendah tingkat pemasangannya adalah pelabuhan Merauke 0,37, pelabuhan Muara Baru 1,33, dan pelabuhan Bitung 6,37. Sementara itu pelabuhan Kendari, Ambon, Tual, Sorong dan Benoa dinilai baik produktivitas pemasangannya. Penilaian pemasangan transmitter di perusahaan pemilik armada kapal juga dilakukan dengan memperbandingkan jumlah transmitter yang terpasang dengan jumlah armada kapal yang dimiliki, hasilnya masih sangat memprihatinkan 0,7. 51 4 Penerapan sistem pengawasan berbasis masyarakat SISWASMAS Sistem Pengawasan Berbasis Masyarakat atau dikenal dengan SISWASMAS adalah sistem pengawasan yang melibatkan peran aktif masyarakat dalam mengawasi dan mengendalikan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya kelautan secara bertanggung jawab. SISWASMAS bekerja dengan cara sederhana dimana apabila masyarakat menjumpai dugaan adanya tindak pidana perikanan oleh kapal-kapal penangkap ikan asingIndonesia karena melanggar wilayah, atau penggunaan alat tangkap yang dilarang atau yang melakukan penangkapan ikan dengan cara merusak, maka akan dilaporkan kepada petugas pengawas perikanan atau PPNS atau aparat TNI-AL dan POLRI terdekat, yang selanjutnya aparat akan melakukan tindakan seperti pengejaran atau penangkapan. SISWASMAS dikembangkan melalui perluasan jaringan, pemberdayaan dan penggerakan kepada kelompok-kelompok masyarakat pengawas. Pembentukan kelompok SISWASMAS sangat mendukung dalam pengawasan. Di Nusa Tenggara Timur, kelompok pengawas ini telah banyak membantu dalam mengawal kawasan terhadap kerusakan-kerusakan terumbu karang yang disebabkan potasium. Melalui pelibatan masyarakat diharapkan pengawasan akan menjadi lebih efektif dan dapat menjangkau ke seluruh wilayah Indonesia. SISWASMAS telah dikembangkan sejak tahun 2001 dan sampai saat ini telah terbentuk 409 kelompok masyarakat pengawas yang tersebar di 26 provinsi seperti dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Penempatan Pokwasmas di seluruh Indonesia No . Provinsi Jumlah Pokwasmas 1 Jawa Barat 8 2 Jawa Tengah 29 3 Jawa Timur 10 4 DKI Jakarta 1 5 DI Yogyakarta 3 6 Banten 26 52 7 Bali 3 8 Nusa Tenggara Barat 38 9 Nusa Tenggara Timur 5 10 Nanggroe Aceh Darussalam 42 11 Sumatera Utara 4 12 Sumatera Barat 106 13 Riau 2 14 Lampung 8 15 Bengkulu 1 16 Bangka Belitung 4 17 Kalimantan Selatan 36 18 Kalimantan Barat 1 19 Sulawesi Utara 6 20 Gorontalo 4 21 Sulawesi Tenggara 39 22 Sulawesi Selatan 6 23 Maluku Utara 6 24 Papua 1 25 Jambi 8 26 Sumatera Selatan 12 Jumlah 409 Sumber: Departemen Kelautan dan Perikanan 2005 Table 6 Lanjutan 53 5 Pengawas perikanan dan PPNS Sumber Daya Manusia SDM pengawasan merupakan motor penggerak sarana pengawasan lainnya. Jumlah Pengawas Perikanan sebagai aparat fungsional pengawasan, seharusnya tersebar di beberapa pelabuhan perikanan dan Dinas Perikanan, serta diharapkan dapat berkoordinasi dengan instansi terkait. Hingga saat ini belum di semua pusat kegiatan perikanan ditempatkan Pengawas Perikanan. Untuk memberdayakan Pengawas Perikanan dalam menangani tindak pidana perikanan, maka Pengawas Perikanan sebagian telah dididik dan berstatus sebagai PPNS Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perikanan. Jumlah PPNS Perikanan sampai tahun 2003 adalah sebanyak 536 orang dengan rincian di DKP Pusat 45 orang, Dinas Perikanan dan Kelautan ProvinsiKabupatenKota sebanyak 388 orang, dan di pelabuhan Perikanan sebanyak 103 orang. Jumlah Pengawas Perikanan dan PPNS Perikanan di atas ini masih jauh dari mampu untuk melakukan pengawasan di laut Indonesia. Oleh karenanya perlu penambahan jumlah dengan target sekitar 120 orang PPNS dalam setahun dan ditingkatkan kemampuannya sesuai kebutuhan. Jika target jumlah sumberdaya manusia pengawasan dapat tercapai, maka struktur organisasi yang ingin dibentuk adalah 10 satuan pengawas, 40 stasiun pengawasan dan 500 pos pengawas. 6 Alat komunikasi Alkom Alat komunikasi merupakan sarana komunikasi yang tak kalah pentingnya. Alat komunikasi berfungsi untuk melaporkan kegiatan pelanggaran pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan dari Pengawas Perikanan ataupun POKMASWAS kepada aparat terkait di Jakarta, yang segera disampaikan ke TNI Angkatan Laut untuk ditindak lanjuti. Alat komunikasi juga berfungsi sebagai sarana koordinasi antar POKMASWAS yang ada di seluruh Indonesia. Alat ini sangat efektif untuk memberikan informasi dan berkomunikasi, sehingga akan terus dikembangkan ke pelabuhan-pelabuhan perikanan. Alat komunikasi ini berupa radio komunikasi yang dipasang di tiap pelabuhan, sehingga tiap pelabuhan dapat berkomunikasi langsung dengan pusat pengendalian di Ditjen P2SDKP Jakarta. Alkom ini dilengkapi dengan linier amplifier, modem, dan guy tower sehingga mampu memberikan daya pancar yang 54 cukup luas serta mampu menjangkau pelabuhan-pelabuhan yang cukup jauh sekalipun. Ditjen P2SDKP memprogramkan pemasangan alat komunikasi di setiap pelabuhan perikanan dan tempat pendaratan ikan. Sampai dengan tahun 2004 telah dibangun 50 unit alat komunikasi yang tersebar di 21 provinsi. Di setiap lokasi yang terpasang alat komunikasi, ditugaskan 2 orang operator alat komunikasi yang sudah diberi pelatihan. 7 CDB COMPUTERIZED DATA BASE CDB merupakan sistem informasi berbasis komputer. Di pelabuhan- pelabuhan utama dipasang CDB yang on line dengan Pusat Pengawasan Ditjen P2SDKP, Jakarta, sehingga informasi yang terjadi di masing- masing pelabuhan dapat segera dikirim ke pusat melalui jaringan yang sudah on line. Dengan demikian maka akan diperoleh data dan informasi yang cepat, akurat dan terkini. Informasi yang dikirim dapat berupa data-data hasil- hasil penangkapan ikan di pelabuhan- pelabuhan dan informasi lainnya. CDB diprogramkan untuk ditempatkan pada pelabuhan-pelabuhan perikanan tipe A, B, dan C secara selektif. Sampai saat ini telah dibangun CDB pada 15 pelabuhan seperti pada Tabel 7. Tabel 7 Penyebaran Computerized Data Base di Indonesia No. 2000 2001 2002 1 Pusat PPP Kupang, NTT PPS Cilacap, Jateng 2 Pusat PPP Tarakan, Kaltim PPN Ternate, Maluku Utara 3 Pusat PPP Lampulo, NAD PPS Belawan, Sumut 4 Pusat Server PPN Pelabuhan Ratu, Jabar 5 Pusat Server PPS Cilacap, Jateng 6 PPP Sorong, IJB 7 PPN Ternate, Maluku Utara 8 PPN Tg. Pandan, Babel 9 PPN Bungus, Sumbar 55 10 PPN Belawan, Sumut 11 PPS Kendari, Sultera 12 PPN Pekalongan, Jateng 13 PPN Kejawanan, Jabar 14 PPP Manado, Sulut 15 PPS Nizam Zachman, Jakarta Sumber: Departemen Kelautan dan Perikanan 2005 8 Radar Satelit Radar satelit merupakan sarana pemantauan yang menggunakan teknologi tinggi. Dalam pengadaan sarana ini, Ditjen P2SDKP bekerjasama dengan Badan Riset Departeme n Kelautan dan Perikanan. Radar satelit ini adalah Satelit Kanada Canadian Space Agency yang disewa dengan nilai 800 juta per tahun. Satelit ini terbang di perairan Arafuru, 3 kali seminggu guna mendeteksi situasi di perairan tersebut. Dengan radar tersebut dapat terpantau kapal-kapal yang sedang beroperasi di bawahnya. Dengan teknologi ini, didapat suatu informasi yang sangat berharga bagi kepentingan pengawasan. Untuk selanjutnya dapat dilakukan pengecekan langsung ke lapangan dengan menggunakan pesawat terbang ataupun kapal. 9 Penerapan Log Book Perikanan LBP dan Lembar Laik Operasional LLO LBP dan LLO sebagai alat kontrol untuk mengetahui hasil penangkapan pada wilayah penangkapan tertentu, sehingga akan dapat diketahui total hasil penangkapan. LBP dan LLO diwajibkan untuk diisi oleh kapal-kapal perikanan di tiap pelabuhan pada saat kapal tersebut berlabuh dan siap berlayar. Setiap kedatangan kapal perikanan di pelabuhan, sebelum kapal membongkar atau memuat ikan hasil tangkapan atau ikan yang diangkut, nahkoda wajib menyerahkan formulir A Log Book Perikanan dan dokumen perizinan usaha perikanan IUP, APIA, SPI, SIKPI kepada Pengawas Perikanan, untuk dilakukan pemeriksaan terhadap jenis, jumlah dan ukuran ikan yang ditangkapdiangkut, Table 7 Lanjutan 56 kelengkapan dan keabsahan dokumen perizinan maupun spesifikasi teknis kapal perikanan, dan alat penangkapan ikan serta alat bantu penangkapan yang digunakan. Pada saat kapal perikanan akan berangkat untuk melakukan penangkapan atau pengangkutan ikan, harus memperoleh LLO Lembar Laik Operasional dan formulir A Log Book perikanan dari Pengawas Perikanan. LLO harus berada di atas kapal, dan tembusannya digunakan sebagai persyaratan memperoleh SIB Surat Izin Berlayar. Sanksi terhadap pelanggaran ketentuan ini adalah kapal ditunda keberangkatan dan diberikan sanksi administrasi berupa peringatanteguran tertulis, yang bisa ditindak lanjuti dengan pencabutan izin usaha. Log Book sangat penting, karena kita dapat menganalisa lokasi kapal ditangkap, apa jenisnya, berapa bahan bakar yang habis digunakan, berapa lama berlayar dan sebagainya. Penerapan log book ini belum disadari oleh para nelayan karena belum memahami betul kegunaannya, sehingga belum menerapkannya secara benar. Untuk Direktorat Jendral Perikanan Tangkap, Log Book sangat bermanfaat, khususnya untuk ” stock assessment”. 10 Pesawat Patroli UdaraMaritime Surveillance Aircraft MSA dan Radar Pantai MSA dan Radar Pantai sebagai penunjang fungsional MCS saat ini sedang dikaji dan akan dikembangkan di tahun mendatang. Dengan luas wilayah, jangkauan dan kompleksitas pengawasan maka diperlukan sejumlah 10 MSA dan radar pantai yang dapat meliput seluruh wilayah perairan Indonesia. 2 Kerjasama pelaksanaan pengawasan antara Departemen Kelautan dan Perikanan dengan instansi terkait. Aparat dari instansi terkait yang juga diperlukan untuk mendukung operasional pengawasan meliputi : TNI AL, TNI AU, POLAIR, Adpel Pelabuhan, Petugas Bea dan Cukai. TNI AL, TNI AU dan POLAIR adalah aparat penegak hukum yang bertindak menghentikan, memeriksa, mengejar dan menangkap kapal yang melakukan pelanggaran pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan, yang untuk selanjutnya dilakukan proses penyidikan dan proses hukum lebih lanjut. Aparat penegak hukum ini mendapat laporan pelanggaran dari pengawas perikanan atau kelompok masyarakat yang berperan dalam pelaksanaan pengawasan. 57 Kerjasama operasi Ditjen P2SDKP dengan TNI Angkatan Laut dan pihak Kepolisian tidak hanya melihat kondisi lapangan, namun sekaligus menangkap para pelanggar yang didapat pada saat operasi. Berbeda dengan kerjasama operasi dengan TNI Angkatan Laut, kerjasama operasi dengan TNI Angkatan Udara hanya untuk melihat kondisi lapangan dari atas yang mampu menunjukkan kasus-kasus pelanggaran kapal. Kerjasama Ditjen P2SDKP dengan Petugas Bea dan Cukai adalah dalam inspeksi dan patroli pengawasan kegiatan ekspor impor agar kegiatan tersebut tidak merugikan negara Indonesia, justru harus memberikan keuntungan untuk negara.

4.1.2 Kebijakan pengawasan kelautan oleh TNI Angkatan Laut

Perkembangan situasi nasional, regional maupun global dengan aktivitas dan volume kegiatan di laut atau yang melewati laut semakin meningkat dan cenderung menimbulkan berbagai bentuk tindak pidana, maka kegiatan penyidikan di laut sebagai subsistem upaya penegakan hukum di laut memerlukan kekuatan yang prima, saranaprasarana yang memadai termasuk sumberdaya manusia yang handal. TNI AL merupakan salah satu badan kelautan yang mempunyai tanggung jawab untuk mengamankan laut dan segenap sumber kekayaan alam di dalamnya. Dalam rangka mengamankan kepentingan nasional, kepercayaan yang diberikan kepada TNI AL untuk upaya penegakan hukum di laut, dituangkan dalam berbagai bentuk perundang- undangan yang dengan jelas menunjuk TNI AL untuk melaksanakan tugas pengawasan dan pentaatan terhadap ketentuan dalam Undang- Undang tersebut serta penyidikan tindak pidana tertentu di laut. Penegakan hukum di laut secara umum diartikan sebagai suatu kegiatan negara atau aparatnya berdasarkan kedaulatan negara dan atau berdasarkan ketentuan-ketentuan hukum internasional untuk menjamin agar supaya peraturan hukum yang berlaku di laut baik aturan hukum nasional maupun internasional, ditaati oleh setiap orang atau badan hukum termasuk negara sebagai subyek hukum, sehingga tercipta ketertiban dan kepastian hukum di wilayah laut. Secara universal TNI AL mengemban tiga peran yaitu peran militer, peran polisionil dan peran diplomasi yang dilandasai oleh kenyataan bahwa laut merupakan wahana kegiatan TNI Angkatan Laut. Peran polisionil dilaksanakan dalam rangka 58 menegakkan hukum di laut, melindungi sumberdaya dan kekayaan laut nasional, memelihara keamanan dan ketertiban di laut Dinas Pembinaan Hukum TNI AL 2001. Legalitas kewenangan Perwira TNI AL untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu di laut diatur dalam berbadai perundang-undangan, mulai dari produk hukum zaman pemerintahan Hindia Belanda, produk hukum nasional hingga konvensi hukum laut internasional UNCLOS 1982. Kewenangan sebagai penyidik terdapat dalam pasal perundang-undangan dan masih berlaku sebagai hukum positif dan dilaksanakan serta diterima dalam praktek proses peradilan di Indonesia Dinas Pembinaan Hukum TNI AL 2001. Konvensi Hukum Laut Internasional yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui perundang-undangan nasional secara yuridis formal memberikan kewenangan penegakan hukum bagi kapal perang terhadap segala bentuk kejahatan yang dilakukan di dan lewat laut, terutama kejahatan yang bersifat internasional. Di samping itu dala m peraturan perundang- undangan nasional juga memberikan kewenangan kepada perwira TNI AL untuk melaksanakan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu di laut Dinas Pembinaan Hukum TNI AL 1995. Undang-undang tentang kelautan zaman pemerintahan Belanda yang masih berlaku yaitu Pasal 13 Ordonansi Laut Teritorial dan Lingkungan Laut Larangan Territoriale Zee en Maritime Kringen OrdonantieTZMKO 1939 yang menyatakan bahwa untuk memelihara dan mengawasi pentaatan ketentuan-ketentuan dalam ordonansi ditugaskan kepada Komandan Angkatan Laut Surabaya, Komandan- komandan Kapal Perang Negara dan kamp-kamp penerbangan dari Angkatan Laut. Selanjutnya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang pengesahan UNCLOS 1982 memberikan kewenangan kepada pejabat-pejabat, kapal perang dan kapal pemerintah untuk melakukan penegakan hukum di laut, dimana hal ini dapat dilihat pada beberapa pasal antara lain pasal 107, 110, pasal 111 dan pasal 224 UNCLOS 1982 Dinas Pembinaan Hukum TNI AL 2001. Menurut Dinas Pembinaan Hukum TNI AL 2001, dengan adanya pengumuman pemerintah tentang Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia, maka dikeluarkanditetapkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi