28
2.4 Hakikat Pembelajaran Sastra
Hakikat pembelajaran sastra adalah pembinaan apresiasi sastra subjek didik, sedangkan tujuannya adalah membimbing mereka agar memiliki
kemampuan mengapresiasi sastra dan berekspresi sastra Suharianto 2009:106.
Pengajaran sastra
haruslah diartikan
sebagai kegiatan
memperkenalkan subjek didik dengan nilai-nilai keindahan, baik etis maupun estetis karena hanya dengan cara demikian pengajaran sastra dapat
membuahkan hasil sebagaimana yang diharapkan. Dengan kata lain, pembelajaran sastra haruslah dilaksanakan secara apresiatif Suharianto
2009:22. Selain itu, hendaknya pembelajaran sastra dapat memulihkan kondisi kehidupan bahwa hidup yang bermakna hanyalah hidup yang
mengandung keindahan. Kehidupan yang menjanjikan kebahagiaan, ketenteraman, dan kedamaian batin. Manusia harus dengan sekuat tenaga
berusaha agar terhindar dari himpitan beban frustasi dan kehilangan pegangan hidup, terutama di saat nilai-nilai keagamaan mulai dianggap sepi oleh
pribadi-pribadi yang memandang hidup sebagai suatu lembaga yang memberikan kesempatan untuk meneguk kenikmatan tanpa batas.
Suharianto 2009:91 menyebutkan tujuan pembelajaran sastra di sekolah, antaralain:
1. memfokuskan siswa pada pemilikian gagasan-gagasan dan perhatian
yang lebih besar terhadap masalah kemanusiaan,
29
2. membawa siswa pada kesadaran dan peneguhan sikap yang lebih
terbuka terhadap moral, keyakinan, nilai-nilai, pemilikian perasaan bersalah, dan ketaksaan dari masyarakat atau pribadi siswa,
3. mengajak siswa mempertanyakan isu yang berkaitan dengan perilaku
personal, 4.
memberikan kesempatan pada siswa untuk memperjelas dan memperdalam pengertian-pengertian tentang keyakinan, perasaan, dan
perilaku manusia, 5.
membantu siswa untuk lebih mengenal dirinya dan orang lain secara lebih cerdas, penuh pertimbangan dan kehangatan yang penuh
simpati.
2.5 Pemilihan Bahan Ajar Sastra
Suharianto 2009:11 mengemukakakan bahwa rata-rata pelajar kita selama mengikuti pelajaran sastra lebih kurang enam tahun, yaitu tiga tahun
di sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas, hanya sampai pada mengerti tentang sastra, dan belum sampai pada tingkat mampu merasakan
indahnya karya sastra. Oleh karena itulah, dibutuhkan adanya solusi yang mampu mendukung peningkatan minat dan kemampuan siswa dalam
mengapresiasikan karya sastra. Salah satu hal yang dapat dilakukan untuk menarik minat siswa dalam
mengapresiasikan karya sastra adalah dengan mempertimbangkan kelayakan novel yang akan dijadikan sebagai bahan ajar, dengan menyuguhkan nilai-
30
nilai keindahan dari karya sastra yang akan dijadikan sebagai bahan ajar. Hal tersebut karena dalam mengapresiasi karya sastra, siswa tentu harus memiliki
antusiasme tinggi ketika berinteraksi dengan karya sastra yang dibacanya. Tanpa adanya antusiasme tersebut, maka kegiatan apresiasi sastra akan
kurang maksimal. Antusiasme siswa dalam mengapresiasi karya sastra, seperti novel, dapat terbangkitkan dengan memahami nilai-nilai keindahan
dari sebuah novel. Teks sastra selalu menawarkan wawasan yang potensial terhadap
nilai-nilai. Dalam merespon karya sastra dari sebuah teks, pembaca melakukan aktifitas yang berbeda dari proses yang dituntut oleh proses
membaca teks-teks sains dan ilmu-ilmu sosial. Fakta inilah yang memungkinkan kelas sastra mampu membawakan peran unik dan penting
bagi penemuan dan penataan nilai-nilai melalui proses membaca karya sastra. Ketika seseorang membaca karya sastra, ia akan memperoleh
kesempatan untuk menumbuhkan kemampuan berpikir rasional tentang nilai- nilai yang ditawarkan. Jadi, karya sastra yang baik untuk dijadikan sebagai
bahan ajar adalah yang langsung memberikan nilai pendidikan kepada pembaca tentang budi pekerti dan nilai-nilai moral. Oleh karena itulah, Sutan
Takdir Alisyahbana menghendaki seni bertendens, yaitu seni yang diciptakan untuk tujuan kepentingan masyarakat dan bangsa Indonesia ke taraf
penghidupan yang lebih tinggi Pradopo 1997:94-97. Gani 1988:42 mengemukakan bahwa dalam memilih novel sebagai
bahan ajar hendaknya memperhatikan hal-hal berikut:
31
1. memenuhi standar sastra,
2. membantu pemuda untuk mendewasakan diri dengan membantu
kontak langsung dengan masalah-masalah kemanusiaan, 3.
menunjukkan pada remaja bahwa mereka bukan satu-satunya orang yang menderita dengan masalah-masalahnya,
4. mampu menyampaikan kebenaran,
5. memberi kekuatan kepada remaja siswa untuk bertumbuh dan
berkembang, 6.
membantu memerangi nilai-nilai dan peristiwa-peristiwa yang menyebabkan sikap apatis, ilusi dan menarik diri,
7. memiliki dasar yang humanistik dalam menghormati manusia lain
berkaitan dengan masalah-masalah yang berkadar abadi, daripada hal- hal yang berbau kesementaraan,
8. merefleksikan visi yang penuh harapan terhadap kehadiran abad XXI,
sebagaimana yang tercermin pada humanist manifesto sebagai berikut: “Kemanusiaan agar lestari memerlukan ukuran-ukuran yang pasti.
Kita perlu melanjutkan penggunaan metode-metode ilmu agar mampu bernalar dengan penuh perasaan simpati dalam membantu nilai-nilai
sosial dan moral. Tujuan akhirnya, pengembangan berbagai potensi untuk menumbuhkan kepribadian masing-masing manusia, bukan
untuk kepentingan
segelintir orang.
Humanisme akan
mempersembahkan tujuan dan inspirasi yang selama ini dicari, dan
32
akan memberikan makna pribadi dan signifikasi terhadap kehidupan kemanusiaan.
Adapun kriteria kelayakan bahan ajar sastra, menurut Suharianto 2009:75 , yaitu sebagaimana berikut:
1. melatih keterampilan berbahasa,
2. memperluas wawasan tentang manusia dan kehidupannya adat
istiadat, agama, kebudayaan, dan sebagainya, 3.
memberi kenyamanan dan kepuasan, 4.
membantu pengembangan kepribadian, 5.
memperpeka perasaan dan menumbuhkan simpati terhadap manusia, 6.
membantu pembentukan watak, 7.
mendekatkan diri pada Sang Maha Pencipta. Selain mengacu pada dua kriteria yang telah disebutkan, hendaknya
guru sastra juga perlu mempertimbangkan kelayakan bahan ajar dalam upaya mendukung pencapaian dari tujuan pembelajaran sastra, sebagaimana yang
dikemukakan oleh Suharianto 2009:91 sebagaimana berikut ini: 1.
memfokuskan siswa pada pemilikian gagasan-gagasan dan perhatian yang lebih besar terhadap masalah kemanusiaan,
2. membawa siswa pada kesadaran dan peneguhan sikap yang lebih
terbuka terhadap moral, keyakinan, nilai-nilai, pemilikian perasaan bersalah, dan ketaksaan dari masyarakat atau pribadi siswa,
3. mengajak siswa mempertanyakan isu yang berkaitan dengan perilaku
personal,
33
4. memberikan kesempatan pada siswa untuk memperjelas dan
memperdalam pengertian-pengertian tentang keyakinan, perasaan, dan perilaku manusia,
5. membantu siswa untuk lebih mengenal dirinya dan orang lain secara
lebih cerdas, penuh pertimbangan dan kehangatan yang penuh simpati.
Mengacu pada kriteria-kriteria bahan ajar sastra tersebut, maka dapat disimpulkan, bahwa nilai-nilai yang terdapat dalam sebuah novel yang akan
dijadikan sebagai bahan ajar, haruslah memenuhi kriteria sebagaimana berikut ini:
1. membantu siswa dalam upaya mendewasakan diri, memperpeka
perasaan, dan menumbuhkan simpati, melalui kontak langsung dengan masalah-masalah kemanusiaan,
2. mampu menyampaikan kebenaran,
3. membantu memerangi nilai-nilai dan peristiwa yang menyebabkan
sikap apatis, ilusi, dan menarik diri, 4.
membantu siswa untuk memiliki dasar yang humanistik dalam hal saling
menghormati berkaitan
dengan masalah-masalah
kemanusiaan yang bersifat abadi, bukan kesementaraan, 5.
menyampaikan nilai-nilai sosial dan moral, serta mendukung upaya pengembangan berbagai potensi untuk menumbuhkan kepribadian
atau pembentukan karakter siswa, 6.
memperluas wawasan tentang manusia dan kehidupannya,
34
7. memberi kenyamanan dan kepuasan,
8. mendekatkan diri pada Tuhan,
9. memberikan kesempatan pada siswa untuk memperjelas dan
memperdalam pengertian-pengertian tentang keyakinan, perasaan, dan perilaku manusia,
10. membantu siswa untuk lebih mengenal dirinya dan orang lain.
35
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan interteks. Pendekatan Interteks ini dipakai, mengingat tujuan dari penelitan ini
adalah untuk menemukan relevansi nilai-nilai Islam dari teks novel Langit Mekah Berkabut Merah karya Geidurrahman Elmishry sebagai teks
transformasi, dengan Alquran dan Alhadis sebagai hipogramnya. Dengan demikian, akan memudahkan pemahaman terhadap nilai-nilai Islam yang
terdapat di dalam novel dan memudahkan untuk memahami novel yang dikaji.
Teori interteks pertama kali dipopulerkan oleh Julia Christeva, seorang psikolog, feminis, linguis, dan semiotikus dari Bulgaria. Menurutnya,
interteks diartikan sebagai jaringan hubungan antarteks dengan teks yang lain. Secara etimologis, teks textus, dari bahasa latin berarti tenunan, anyaman,
penggabungan, susunan, dan jalinan. Penelitian ini dilakukan dengan cara menemukan hubungan-hubungan bermakna di antara dua teks atau lebih.
Teks-teks yang dikerangkakan sebagai interteks tidak terbatas pada persamaan genre tetapi memberikan kemungkinan yang seluas-luasnya bagi
peneliti untuk menemukan hipogram. Hubungan yang dimaksud tidak sebatas pada persamaan saja, akan tetapi juga pertentangan Ratna 2007:172-173.