} 'Atha' al-Khurasani mengatakan: "Yaitu bekal akhirat."
} 'Atha' al-Khurasani mengatakan: "Yaitu bekal akhirat."
{ } "Dan bertawakallah kepada-Ku, hai orang-orang yang berakal." Dia berfirman, takutlah akan hukuman siksa dan adzab-Ku bagi orang- orang yang menentang-Ku, dan tidak mau menjalankan perintah-Ku, hai orang-orang yang berakal dan dapat memahami.
Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rizki hasil perniagaan) dari Rabb- mu. Maka apabila kamu telah bertolak dari 'Arafat, berdzikirlah ke-pada Allah di Masy'arilharam. Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu; dan sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat. (QS. 2:198)
Imam al-Bukhari meriwayatkan, dari Ibnu ‘Abbas ra: "Ukadz, Majinnah, dan Dzulmajaz adalah pasar pada masa Jahiliyah. Mereka merasa berdosa untuk berdagang pada musim haji. Maka turunlah ayat: {
} "Dan tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rizki hasil perniagaan) dari Rabb-mu." Yaitu dalam musim haji.
Hal yang sama juga diriwayatkan oleh 'Abdurrazzaq, Sa'id bin Manshur dan yang lainnya, dari Sufyan bin 'Uyainah.
Dan Abu Dawud dan yang lainnya juga meriwayatkan dari Yazid bin Abu Ziyad, dari Mujahid, dari Ibnu ‘Abbas , ia berkata: "Mereka sangat takut untuk berjual beli dan berdagang pada musim haji, mereka mengatakan bahwa musim haji adalah hari-hari untuk berdzikir. Maka Allah menurunkan ayat, { ....
} Imam Ahmad meriwayatkan, dari Abu Umamah at-Taimi, ia menceritakan,
pernah kukatakan kepada Ibnu ‘Umar ra: "Sungguh, kami ini penjual jasa, apakah kami termasuk orang yang berhaji?" Ibnu ‘Umar ra menjawab: "Bukankah kalian melakukan thawaf di Baitullah, datang ke 'Arafah, melempar jumrah, dan mencukur rambut kalian?" "Benar," jawab kami. Lebih lanjut Ibnu ‘Umar ra berkata: "Ada seseorang datang kepada Nabi Saw, lalu ia menanyakan sesuatu yang engkau tanyakan kepadaku, dan beliau tidak menjawabnya sehingga turun Jibril kepada beliau dengan membawa ayat ini:
{ } "Dan tidak ada dosa bagi kamu untuk mencari karunia (rizki hasil perniagaan) dari Rabb-mu." Kemudian Nabi Saw memanggilnya seraya bersabda: "Ya, kalian boleh menunaikan ibadah haji."
Dan firman-Nya: { } "Maka apabila kamu telah bertolak dari 'Arafah, berdzikirlah kepada Allah di Masy'arilharam." Ditashrijkannya kata 'Arafaat meskipun menjadi sebutan nama untuk jenis mu'annats (perempuan), karena pada dasarnya kata itu merupakan jamak, seperti misalnya, muslimaat dan mukminaat, dijadikan nama untuk tempat tertentu, karena itu ditimbang menurut aslinya maka ditashrifkan. Demikian yang menjadi pilihan Ibnu Jarir.
'Arafah adalah tempat wuquf dalam menunaikan ibadah haji. Dan wuquf itu sendiri merupakan amalan utama dalam ibadah haji. Oleh karena itu di-riwayatkan oleh Imam Ahmad dan para penyusun kitab as-Sunan dengan isnad shahih, dari 'Abdurrahman bin Ya'mar ad-Dili, katanya, aku pernah men-dengar Rasulullah SAW bersabda:
"Haji itu 'Arafah (beliau mengucapkannya tiga kali). Barangsiapa sempat wukuf di 'Arafah sebelum terbit fajar, maka sesungguhnya ia telah mendapatkan haji. Dan menetap di Mina tiga hari. Barangsiapa yang terburu-buru sehingga hanya menetap dua hari, maka tiada dosa baginya. Dan barangsiapa yang mengakhirkannya, maka tiada dosa pula baginya." (HR. Ahmad).
Waktu wuquf berawal dari sejak tergelincirnya matahari pada hari 'Arafah 81 sampai terbit fajar pada hari kedua yaitu hari penyembelihan kurban, karena Nabi Saw berwukuf pada haji wada' setelah shalat Dzuhur sampai ter-benamnya matahari seraya bersabda:
"Hendaklah kalian mencontoh manasik dariku." Dan dalam hadits tersebut, Rasulullah SAW juga bersabda:
"Barangsiapa sempat wuquf di 'Arafah sebelum terbit fajar, maka ia telah mendapatkan haji."
Yang demikian itu merupakan pendapat Malik, Abu Hanifah, dan asy-Syafi'i rahimahumullah.
Sedangkan Imam Ahmad berpendapat bahwa waktu wuquf itu berawal dari sejak hari pertama 'Arafah, berlandaskan pada hadits asy-Sya'bi, dari 'Urwah bin Mudharris bin Haritsah bin Laam ath-Tha'i, ia menceritakan, aku pernah mendatangi Rasulullah SAW di Muzdalifah ketika beliau berangkat shalat, lalu aku berkata: "Ya Rasulullah SAW, sesungguhnya aku datang dari gunung Thayi-i, unta kendaraanku benar-benar telah letih dan diriku pun juga sudah merasa kepayahan. Demi Allah SWT, aku tidak meninggalkan gunung, melainkan aku telah berwukuf padanya, apakah hajiku itu sah?" Maka Rasulullah SAW pun menjawab: "Barangsiapa yang mengikuti shalat kami, lalu ia berwuquf bersama kami sehingga kami pergi, dan sebelum itu ia sudah mengerjakan wuquf di 'Arafah pada malam atau siang hari, maka ia telah menyempurnakan hajinya dan menyelesaikan hajatnya."
Hadits riwayat Imam Ahmad dan para penulis kitab as-Sunan, dan di-shahihkan oleh at-Tirmidzi. Dan gunung yang berada di tengah-tengah 'Arafah itu disebut Jabal Rahmah.
Ibnu Juraij meriwayatkan, dari Miswar bin Makhramah: "Rasulullah SAW pernah berkhutbah kepada kami, ketika itu beliau berada di 'Arafah. Beliau memulai dengan pujian kepada Allah SWT, kemudian bersabda:
81 Yaitu tanggal 9 Dzulhijjah/P ent -
"Amma Ba'du -jika berkhutbah beliau biasa mengucapkan amma ba'du- sesung- guhnya hari ini adalah haji akbar (besar). Ketahuilah bahwa orang-orang musyrik dan para penyembah berhala pergi beranjak pada hari ini sebelum matahari ter- benam, jika matahari berada di atas puncak gunung, seolah-olah ia merupakan serban (ikat kepala) orang laki-laki pada wajah gunung itu. Sedangkan kita pergi setelah matahari terbenam. Mereka bertolak dari Masy'arilharam setelah matahari terbit, jika matahari berada di atas gunung, seolah-olah ia merupakan serban laki- laki pada wajahnya. Sedangkan kita bertolak sebelum matahari terbit, tata cara ibadah kita berbeda dengan tata cara ibadah orang-orang musyrik."
Demikian diriwayatkan Ibnu Mardawaih dengan lafazh di atas. Juga diriwayatkan al-Hakim dalam al-Mustadrak, dari Ibnu Juraij. Al-Hakim me-ngatakan,
hadits ini shahih menurut persyaratan al-Bukhari dan Muslim, meskipun keduanya tidak meriwayatkannya.
Dan dalam hadits Jabir bin 'Abdullah yang cukup panjang yang terdapat dalam kitab Shahih Muslim, disebutkan: Rasulullah SAW masih terus wuquf di 'Arafah sehingga matahari terbenam dan warna langit mulai menguning sedikit hingga bulatan matahari pun terbenam. Dan beliau membonceng Usamah bin Zaid di belakangnya. Lalu Rasulullah SAW bertolak dan menarik tah kekang Qaswa' (nama unta beliau) sampai kepalanya nyaris mengenai pelananya. Dan beliau memberi aba-aba dengan tangan kanannya seraya bersabda: "Wahai sekalian manusia, tenanglah... tenanglah." Setiap kali beliau melewati gunung, beliau mengendurkan tali kekangnya supaya untanya itu dapat naik hingga beliau sampai di Muzdalifah. Dan di sana beliau mengerjakan shalat Maghrib dan 'Isya' (jama') dengan satu adzan dan dua iqamah. Beliau bertasbih sejenak di antara kedua shalat itu. Kemudian beliau tidur hingga terbit fajar, lalu beliau pun shalat Shubuh ketika tampak fajar Shubuh dengan adzan dan iqamah. Setelah itu beliau menaiki Qaswa' kembali hingga sampai di Masy'arilharam, lalu beliau menghadap kiblat dan berdo'a kepada Allah SWT seraya bertakbir, ber-tahlil, dan mentauhidkan-Nya. Beliau masih terus berdiam diri hingga langit benar-benar menguning, lalu beliau pergi sebelum matahari terbit.
Dan dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, diriwayatkan dari Usamah bin Zaid, ia pernah ditanya bagaimana Rasulullah SAW berjalan ketika beliau beranjak pergi? Ia menjawab: "Beliau berjalan pelan, jika menemukan tanah lapang, beliau berjalan lebih cepat."
Abu Ishaq as-Subai'i meriwayatkan, dari'Amr bin Maimun, ia menceritakan: "Aku pernah bertanya kepada 'Abdullah bin 'Umar mengenai Masy'aril-haram, tetapi
ia diam saja hingga ketika kendaraan kami turun ke Muzdalifah ia berujar: 'Mana orang yang bertanya mengenai Masy'arilharam tadi? Inilah Masy'arilharam itu.'"
' Abdurrazzaq menceritakan, Ibnu ‘Umar ra berkata: "Masy'arilharam itu adalah Muzdalifah secara keseluruhan."
Hisyam meriwayatkan, dari Ibnu'Umar, bahwa ketika ditanya mengenai firman Allah SWT: {
} "Dan berdzikirlah kepada Allah di Masy'arilharam," maka ia menjawab: "Masy'arilharam adalah gunung ini dan sekitarnya."
Dan diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra, Sa'id bin Jubair, 'Ikrimah, Mujahid, as- Suddi, Rabi' bin Anas, al-Hasan al-Bashri, dan Qatadah. Mereka semua me-ngatakan: "Masy'arilharam itu terletak di antara dua gunung."
Sehubungan dengan hal tersebut, penulis (Ibnu Katsir) katakan: "Al-masya'ir berarti tanda-tanda yang jelas. Muzdalifah disebut Masy'arilharam karena berada di dalam wilayah tanah haram (suci). Apakah wuquf di Masy'arilharam itu merupakan rukun haji, yang tidak akan sah haji itu kecuali dengannya, sebagaimana pendapat beberapa kelompok ulama Salaf dan sebagian Sahabat asy-Syafi'i, di antaranya al- Qaffal dan Ibnu Khuzaimah, berdasarkan hadits 'Urwah bin Mudharris. Ataukah ia suatu hal yang wajib, sebagaimana hal itu menjadi salah satu pendapat Imam asy- Syafi'i, sehingga siapa saja yang tidak mengerjakannya maka wajib membayar dam. Ataukah merupakan perkara sunnah yang bila ditinggalkan tidak ada kewajiban apa- apa, sebagaimana yang dianut oleh ulama lainnya? Mengenai hal ini terdapat tiga pendapat ulama. Untuk uraian lebih lanjut akan dikemukakan dalam pembahasan lainnya. Wallahu a'lam."