Ada juga yang mengatakan bahwa firman Allah Ta’ala: { } berarti, betapa betah mereka berbuat berbagai kemaksiatan yang mengantarkan

Ada juga yang mengatakan bahwa firman Allah Ta’ala: { } berarti, betapa betah mereka berbuat berbagai kemaksiatan yang mengantarkan

mereka ke dalam api Neraka. Sedangkan firman Allah Ta’ala berikutnya: {

} "Yang demikian itu adalah karena Allah SWT telah menurunkan al-Kitab dengan membawa kebenaran." Artinya, mereka berhak mendapatkan siksaan yang pedih seperti itu karena Allah Ta’ala telah menurunkan Kitab kepada Rasul-Nya, Muhammad SAW dan juga kepada para Nabi-nabi sebelumnya untuk me-negaskan kebenaran dan mengikis kebathilan. Namun mereka menjadikan ayat-ayat Allah SWT itu sebagai bahan ejekan belaka. Kitab yang adapada mereka menyuruh mereka menampakkan dan menyebarluaskan pengetahuan, tetapi mereka menolak dan mendustakannya. Dan Rasulullah SAW, penutup para Nabi, menyeru mereka ke jalan

Allah SWT, memerintahkan untuk berbuat kebaikan dan mencegah dari berbuat kemunkaran; tetapi mereka mendustakannya. Dengan mengingkari, dan menyembunyikan sifat-sifat beliau, berarti mereka telah menghina ayat-ayat Allah SWT yang diturunkan kepada Rasul-Nya. Oleh karena itu mereka berhak mendapatkan siksaan dan hukuman. Oleh sebab itu pula Allah SWT berfirman: {

} "Yang demikian itu adalah karena Allah telah menurunkan al-Kitab dengan membawa kebenaran. Dan sesungguhnya orang-orang yang berselisih tentang (kebenaran) al-Kitab itu benar-benar dalam penyimpangan yang jauh."

Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, Malaikat-malaikat, Kitab-kitab, Nabi-nabi dan mem-berikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) bamba sabaya, mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa. (QS. 2:177)

Ayat ini mencakup sendi-sendi yang agung, kaidah-kaidah yang umum, dan 'aqidah yang lurus.

Penafsiran ayat ini adalah, ketika pertama kali Allah SWT memerintahkan orang-orang Mukmin menghadap Baitul Maqdis kemudian Dia mengalihkan ke Ka'bah, sebagian Ahlul Kitab dan kaum Muslirnin merasa keberatan. Maka Allah SWT memberikan penjelasan mengenai hikmah pengalihan kiblat tersebut, yaitu bahwa ketaatan kepada Allah SWT, patuh pada semua perintah-Nya, menghadap ke mana saja yang diperintahkan, dan mengikuti apa yang telah disyari'atkan, inilah yang disebut dengan kebaikan, ketakwaan, dan keimanan yang sempurna.

Menghadap ke arah timur ataupun barat tidak dihitung sebagai kebaikan dan ketaatan jika bukan karena perintah dan syari'at Allah SWT. Oleh karena itu, Allah

Ta’ala berfirman: ”Tidak-lah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah SWT, hari kemudian..."

Sebagaimana firman-Nya mengenai hewan sembelihan kurban:

"Daging-daging unta dan darah- nya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya." (QS. Al-Hajj: 37).

Mengenai ayat ini, al-'Aufi meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas ra, katanya: "Tidaklah shalat dan beramal itu merupakan suatu kebaikan. Hal ini ketika Rasulullah SAW berpindab dari Makkah ke Madinah, serta diturunkannya berbagai kewajiban dan peraturan. Maka Allah Ta’ala memerintahkan berbagai kewajiban dan pelaksanaannya."

Abul ' Aliyah mengatakan: "Ketika itu orang-orang Yahudi menghadap ke arah barat, sedangkan orang-orang Nasrani menghadap ke arah timur. Maka Allah Ta’ala berfirman: {

} "Tidaklah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan." Lebih lanjut Abul 'Aliyah menuturkan: "Itulah pembicaraan tentang keimanan yang hakikatnya adalah pengamalan."

Mujahid mengatakan: "Tetapi kebaikan itu adalah apa yang ditetapkan di dalam hati berupa ketaatan kepada Allah SWT "

Adh-Dhahhak mengatakan: "Tetapi kebajikan dan ketakwaan itu adalah pelaksanaan semua kewajiban sebagaimana mestinya."

Mengenai firman Allah Ta’ala: { } , ats-Tsauri mengemukakan: "Demikian itu adalah mencakup semua jenis kebaikan." Imam ats- Tsauri memang benar, karena orang yang memiliki sifat yang disebutkan di dalam ayat ini, berarti ia telah masuk ke seluruh wilayah Islam dan mengambil segala bentuk kebaikan, yaitu beriman kepada Allah Ta’ala, yang tiada sesembahan yang haq selain Dia, serta membenarkan adanya para Malaikat yang merupakan para duta yang menghubungkan antara Allah SWT dan para Rasul-Nya.

Beriman kepada "al-Kitab." Al-Kitab merupakan isim jins (nama jenis) yang mencakup Kitab-kitab yang diturunkan dari langit kepada para Nabi hingga diakhiri oleh yang termulia di antara Kitab-kitab itu, yaitu al-Qur-an yang menjadi tolok ukur bagi Kitab-kitab sebelumnya, yang kepadanya semua kebaikan bermuara, mehputi segala macam kebahagiaan di dunia dan akhirat, dan semua Kitab itu dinasakh (dihapus hukumnya, diganti dengan yang baru) dengannya.

Selain itu, beriman kepada para Nabi Allah Ta’ala secara keseluruhan, dari Nabi pertama hingga terakhir, yaitu Muhammad SAW .

Firman Allah SWT: { } "Dan memberikan harta yang dicintainya ." Artinya, menyedekahkan hartanya padahal ia sangat mencintai dan Firman Allah SWT: { } "Dan memberikan harta yang dicintainya ." Artinya, menyedekahkan hartanya padahal ia sangat mencintai dan

"Sebaik-baik shadaqah adalah engkau menyedekahkan harta sedang engkau dalam keadaan sehat lagi tamak, engkau menginginkan kekayaan dan takut miskin." (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Allah telah mengingatkan melalui firman-Nya: "Sekali-kali kamu tidak akan meraih kebaikan hingga kamu menginfakkan sebagian harta yang kamu sukai " (QS. Ali 'Imran: 92).

Juga firman-Nya: { } "Dan mereka mengutamakan (orang-orang Mukajirin) atas diri mereka sendiri, meskipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu)." (QS. Al-Hasyr: 9).

Inilah pola yang lain lagi, yang sangat tinggi nilainya, yaitu mereka lebih mengutamakan orang lain padahal sebenarnya mereka sendiri sangat

membutuhkannya. Mereka menginfakkan dan memberikan makanan yang dicintainya.

Dan firman Allah Ta’ala yang berikutnya: { } "Kepada kerabatnya." Mereka ini lebih diutamakan untuk diberi shadaqah, sebagaimana ditegaskan dalam hadits berikut ini:

"Shadaqah kepada orang-orang miskin itu hanya (berpahala satu) shadaqah saja. Sedangkan shadaqah kepada kerabat (berpahala) dua, yaitu shadaqah dan silaturrahim. Mereka itu orang yang paling berhak mendapatkan perhatian darimu dan mendapatkan kebaikan serta pemberianmu."

Allah Ta’ala telah memerintahkan untuk berbuat baik kepada mereka melalui beberapa ayat di dalam al-Qur-an.

{ } "Anak-anak yatim." Yaitu mereka yang tidak mempunyai orang yang menafkahinya, dan ditinggal mati oleh ayahnya pada saat masih lemah, kecil, dan belum baligh serta belum mempunyai kemampuan untuk mencari nafkah.

{ } "Dan orang-orang miskin." Yaitu mereka yang tidak dapat memenuhi kebutuhan makanan, pakaian, dan tempat tinggal. Mereka ini harus diberi sedekah agar dapat menutupi kebutuhan dan kekurangannya. Dalam kitab Shahih al- Bukbari dan Shahih Muslim diriwayatkan hadits dari Abu Hurairah ra, bahwasanya Rasulullah SAW pernah bersabda:

"Orang miskin itu bukanlah orang yang berjalan berkeliling meminta-minta, lalu memperoleh satu atau dua butir kurma, sesuap atau dua suap makanan, tetapi orang miskin adalah orang yang tidak mendapatkan harta yang mencukupinya, serta kemiskinannya itu tidak diketahui sehingga ia diberi shadaqah." (Muttafaqun 'alaih).

Firman-Nya: { } "Ibnu sabil." Yaitu orang yang bepergian jauh dan telah kehabisan bekal. Orang ini perlu diberi shadaqah supaya bisa sampai ke negerinya. Demikian juga orang yang melakukan suatu perjalanan untuk berbuat ketaatan, maka dia pun perlu diberi bekal yang mencukupi untuk keberangkatan dan kepulangannya. Dan tamu termasuk dalam kategori Ibnu Sabil, sebagaimana dikatakan 'Ali bin Abi Thalhah, dari Ibnu ‘Abbas ra, ia mengatakan: "Ibnu Sabil adalah tamu yang singgah di rumah orang-orang Muslim." Hal yang sama juga dikatakan oleh Mujahid, Sa'id bin Jubair, Abu Ja'far al-Baqir, al-Hasan al-Bashri, Qatadah, adh-Dhahhak, az-Zuhri, Rabi' bin Anas, dan Muqatil bin Hayyan.

{ } "Orang-orang yang meminta-minta." Mereka itu adalah orang yang tampak meminta, maka ia diberi zakat dan shadaqah. Imam Ahmad meriwayatkan

dari Fatimah binti Husain, dari ayahnya, 'Abdurrahman Husain bin 'Ali menceritakan, Rasulullah SAW bersabda:

"Orang yang meminta memiliki hak meskipun ia datang dengan menunggang kuda." (HR. Ahmad dan Abu Dawud). 63

Firman-Nya: { } "Dan (memerdekakan) hamba sahaya." Mereka itu adalah budak yang mempunyai perjanjian untuk menebus dirinya dan tidak mendapatkan biaya untuk melakukan hal itu. Mengenai hal-hal tersebut di atas akan diuraikan lebih lanjut dalam penafsiran ayat zakat dalam surat at-Taubah, insya Allah SWT.

Firman Allah Ta’ala berikutnya: { } "Dan mendirikan shalat." Yaitu menyempurnakan pelaksanaan amalan shalat secara tepat waktu berikut ruku', sujud, thuma'ninah, dan khusyu' sesuai dengan yang disyari'atkan dan diridhai.

Firman-Nya: { } "Dan menunaikan zakat."Bisa berarti penyucian diri dan pembersihannya dari akhlak hina dan tercela. Sebagaimana firman Allah Ta’ala: {

* } "Sesungguhnya beruntung-lah orang yang menyucikan jiwa itu. Dan sesunggnhnya merugilah orang yang mengotorinya." (QS. Asy-Syams: 9-10 ) Demikian juga ucapan Nabi Musa Alaihis Salam kepada Fir'aun: {

} "Adakah keinginan bagimu untuk membersihkan diri (dari kesesatan). Dan akan kupimpin kejalan Rabb-mu supaya kamu takut kepada-Nya" (QS. An-Naazi'aat: 18-19). Dan firman-Nya yang lain:

63 Dha'if: Didha'ifkan oleh Syaikh al-Albani dalam Dha'iifulJaami' (4746).-ed

} "Dan kecelakaan yang besar bagi orang- orang yang mempersekutukan (Allah SWT). Yaitu orang-orang yang tidak menunaikan penyucian diri dan mereka kafir akan adanya (kehidupan) akhirat." (QS.Fushshilat: 6-7).

Bisa juga berarti zakat mal. Sebagaimana dikatakan oleh Sa'id bin Jubair dan Muqatil bin Hayyan. Jadi, pemberian kepada beberapa pihak dan golongan yang disebutkan di atas merupakan pemberian yang bersifat kerelaan hati, kebaikan, dan silaturrahim.