} "Sebelum habis 'iddahnya," artinya, janganlah kalian mangadakan akad nikah hingga

} "Sebelum habis 'iddahnya," artinya, janganlah kalian mangadakan akad nikah hingga

masa 'iddahnya selesai. Para ulama sepakat bahwasanya tidak sah akad nikah yang diadakan dalam

masa 'iddah. Tetapi mereka berbeda pendapat mengenai seorang yang menikahi wanita pada masa 'iddahnya, lalu mencampurinya, kemudian kedua-nya dipisahkan. Apakah wanita itu haram bagi laki-laki itu untuk selamanya? Mengenai hal itu terdapat dua pendapat.

Pertama, pendapat jumhur ulama menyatakan bahwa si wanita itu tidak haram baginya, namun ia (si laki-laki) harus melamarnya kembali bila 'iddahnya selesai. Kedua, pendapat Imam Malik, beliau menyatakan bahwa wanita tersebut haram baginya untuk selamanya. Pendapat tersebut berdasarkan pada riwayat dari Ibnu Syihab, Sulaiman bin Yasar, bahwa 'Umar bin al-Khaththab RA pernah mengatakan: "Wanita mana saja yang menikah pada masa 'iddahnya, jika laki-laki yang menikahinya itu belum mencampurinya, maka keduanya harus dipisahkan, lalu wanita tersebut menyelesaikan sisa 'iddahnyn dari suami-nya yang pertama dan laki-laki itu boleh melamarnya kembali. Namun jika laki-laki itu sudah mencampurinya, maka keduanya harus dipisahkan, lalu si wanita itu harus menyelesaikan sisa 'iddahnya dari suami yang pertama, setelah itu menjalani 'iddah yang lain, dan laki-laki bekas suami yang baru itu tidak boleh lagi menikahinya untuk selama-lamanya."

Para ulama mengatakan: "Alasan pendapat ini adalah bahwa setelah suami mempercepat apa yang telah ditentukan Allah SWT, ia diberi hukuman berupa kebalikan dari tujuannya, sehingga wanita itu menjadi haram baginya untuk selamanya. Seperti halnya pembunuh diharamkan dari harta warisan. Dan telah diriwayatkan oleh Imam asy-Syafi'i atsar ini dan Imam Malik. Imam Baihaqi

mengemukakan: "Ia berpendapat demikian pada qaul qadim (pendapat lama), tetapi ia meninggalkannya dalam qaul jadid (pendapat baru)." Yang demikian itu didasarkan pada ungkapan 'Ali bahwa wanita itu dihalalkan baginya.

Berkenaan dengan hal tersebut, penulis (Ibnu Katsir) mengatakan: "Pendapat ini merupakan atsar (riwayat) yang terputus dari 'Umar bin al-Khaththab RA."

Dan firman-Nya: { } "Dan ketahuilah bahwa Allah mengetahui apa yang ada dalam hati kamu. Maka takutlah kepada- Nya." Allah SWT mengancam mereka atas apa yang mereka sembunyikan dalam diri mereka mengenai masalah wanita, serta Allah Ta’ala membimbing mereka supaya meniatkan kebaikan dan bukan keburukan. Dan Allah Ta’ala tidak menjadikan mereka berputus asa untuk memperoleh rahmat-Nya, maka Dia berfirman:

"Dan ketahuilah bahwa Allah SWT Mahangampun lagi Mahapenyantun."

Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. Dan hendaklah kamu berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang tniskin menurut kemampiiannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan. (QS. 2:236)

Allah SWT membolehkan laki-laki untuk menceraikan isterinya setelah menikahinya dan belum bercampur dengannya. Ibnu ‘Abbas ra, Thawus, Ibrahim an- Nakha-i, dan al-Hasan al-Bashri mengatakan: "Al-Massu berarti menikah." Bahkan si suami diperbolehkan untuk menceraikannya sebelum bercampur dengannya dan sebelum penentuan maharnya, jika si isteri tersebut belum ditentukan maharnya, meskipun hal itu dapat mengakibatkan hatinya terluka. Oleh karena itu Allah SWT menyuruh memberinya mut'ah (pemberian), yaitu sebagai ganti dari sesuatu yang hilang dari dirinya. Mut'ah itu berupa sesuatu yang diberikan mantan suaminya yang ukurannya sesuai dengan kemampuannya.

Abu Hanifah berpendapat, jika pasangan suami isteri berselisih pendapat mengenai ukuran mut'ah tersebut, maka mantan suaminya itu berkewajiban memberikan setengah dari maharnya. Dalam qaul jadidnya. Imam asy-Syafi'i mengatakan: "Seorang suami tidak boleh dipaksa untuk memberikan mut'ah dalam ukuran tertentu tetapi minimal tidak boleh kurang dari apa yang disebut mut'ah (pemberian yang menyenangkan)."

Para ulama juga berbeda pendapat, apakah mut'ah itu harus diberikan kepada setiap wanita yang diceraikan, ataukah hanya wajib diberikan kepada wanita yang dicerai dan belum dicampuri serta yang belum ditentukan maharnya. Dalam hal itu terdapat beberapa pendapat.

Pertama, bahwa mut'ah itu harus diberikan kepada setiap wanita yang diceraikan. Pendapat ini didasarkan pada keumuman firman Allah Tabaraka wa Ta’ala: {

} "Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut'ah menurut yang ma'ruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa."(QS. Al-Baqarah: 241). Juga berdasarkan firman-Nya yang lain: