Firman-Nya: { } "Wahai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa." Maksudnya, "hai orang-orang berakal dan kaum cerdik

Firman-Nya: { } "Wahai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa." Maksudnya, "hai orang-orang berakal dan kaum cerdik

cendikia, mudah-mudahan kalian menahan diri dan meninggalkan hal-hal yang diharamkan Allah Ta’ala dan perbuatan dosa kepada-Nya. Dan takwa merupakan

sebutan yang mencakup segala macam bentuk ketaatan dan tin-dakan menjauhi segala bentuk kemunkaran.

Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat iintuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa. (QS. 2:18 ) Maka barangsiapa yang mengubah wasiat itu, setelah ia mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya. Sesungguhnya Allah Mahamendengar lagi Mahamengetahui. (QS. 2:181) (Akan tetapi) barangsiapa khawatir terhadap orang yang berwasiat itu, berlaku berat sebelah atau berbuat dosa, lain ia mendamaikan antara mereka, maka tidaklah ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Mahapengampun lagi Mahapenyayang. (QS. 2:182)

66 Di antaranya bahwa perumpamaan ini tidak mengandung hal lain kecuali pemberantasan pembunuhan dengan pembunuhan. Sedang ayat di atas mencakup pembunuhan dan berbagai macam

luka. Oleh karena itu perumpamaan itu memerlukan adanya dua hal yang mahdzuf (tidak disebutkan), yaitu pembunuhan sebagai hukum qishash lebih dapat memberantas pembunuhan secara zhalim. Sementara ayat tersebut tidak memerlukan hal yane tersirat seperti itu. Karena ayat itu di mulai dengan suatu kabar gembira, yaitu huruf "laam' dalam kata lakum" dan ditutup dengan berita gembira pula yaitu kehidupan. Sedang perumpamaan di atas di mulai dengan pembunuhan dan cuakhiri dengan pembunuhan juga.

Ayat ini mengandung perintah untuk memberikan wasiat kepada kedua orang tua dan kaum kerabat. Menurut pendapat yang lebih kuat, pemberian wasiat itu merupakan suatu hal yang wajib sebelum turunnya ayat mengenai mawaris (pembagian harta warisan). Dan ketika turun ayat fara'idh, ayat washiyat itu dinasakh, dan pembagian warisan yang ditentukan menjadi suatu hal yang wajib dari Allah Ta’ala yang harus diberikan kepada ahli waris, tanpa perlu adanya wasiat serta tidak mengandung kemurahan dari orang yang berwasiat. Oleh karena itu, disebutkan dalam sebuah hadits yang terdapat dalam kitab as-Sunan dan lainnya, dari 'Amr bin Kharijah, katanya, aku pernah mendengar Rasulullah SAW berkhutbah, dan beliau bersabda:

"Sesungguhnya Allah SWT telah memberikan hak kepada setiap yang berhak, maka tiada wasiat bagi ahli waris."

Imam Ahmad meriwayatkan dari Muhammad Bin Sirin, katanya, ketika Ibnu ‘Abbas ra duduk dan membaca surat al-Baqarah hingga sampai ayat ini, "Jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat kepada ibii bapak dan karib kerabatnya," ia pun mengatakan: "Ayat ini sudah dinasakh."

Hadits di atas juga diriwayatkan al-Hakim dalam kitab al-Mustadrak, dan menurutnya derajat hadits ini shahih sesuai persyaratan al-Bukhari dan Muslim.

Dan mengenai firman-Nya: { } "Berwasiat kepada ibu bapak dan karib kerabatnya, "'Ali bin Abi Thalnah meriwayatkan, dari Ibnu ‘Abbas ra: "Pada mulanya tidak ada yang memperoleh warisan dengan adanya ibu-bapak kecuali jika ia berwasiat kepada kaum kerabat. Kemudian Allah Ta’ala menurunkan

ayat tentang mawaris, di dalamnya diterangkan bagian kedua orang tua dan ditetapkan wasiat untuk karib kerabat dengan sepertiga harta si mayit."

Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas ra bahwa ayat: "Berwasiat kepada ibu bapak dan karib kerabatnya," ini telah dinasakh dengan ayat:

"Bagi orang laki-laki ada bak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian pula dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan."( QS. An-Nisaa': 7).

Mengenai ini, penulis (Ibnu Katsir) katakan: "Kewajiban berwasiat kepada ibu bapak dan juga karib kerabat yang termasuk ahli waris itu menurut ijma' telah dinasakh, bahkan dilarang." Hal itu didasarkan pada hadits:

"Sesungguhnya Allah SWT telah memberikan hak kepada setiap yang berhak, maka tiada wasiat bagi ahli waris."

Dengan demikian, ayat mawaris merupakan hukum yang independen dan kewajiban dari sisi Allah SWT bagi ashhabulfurudh (ahli waris yang mendapat bagian tertentu) dan juga ashabah (ahli waris yang menerima sisa bagian dari ashhabul furudh). Dengan ayat ini pula hukum wasiat terhapus secara total. Dengan demikian yang tertinggi adalah kaum kerabat yang tidak berhak memperoleh warisan. Disunnahkan kepada seseorang untuk berwasiat bagi mereka dari sepertiga hartanya sebagai respon atas ayat wasiat dan keumuman-nya. Selain itu, diriwayatkan dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim dari Ibnu ‘Umar ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda:

"Tidak dibenarkan bagi seseorang muslim yang memiliki sesuatu untuk di-wasiatkan berdiam diri selama dua malam, melainkan wasiat itu telah tertulis di sisinya ." (Muttafaq 'alaih).

Ibnu ‘Umar ra menuturkan: "Tidak ada satu malam pun yang berlalu dariku sejak aku mendengar Rasulullah SAW menyampaikan hal itu melainkan wasiatku

berada di sisiku." Dan firman-Nya: {

} meniggalkan harta yang banyak ." Di antara para ulama ada yang berpendapat bahwa wasiat itu disyari'atkan, baik harta warisan itu sedikit maupun banyak seperti halnya disyari'atkannya warisan. Tetapi di antara mereka ada juga yang berpendapat, bahwa wasiat itu hanya dilakukan bila seseorang meninggalkan harta yang banyak.

Firman-Nya lebih lanjut: { } "Dengan cara yang baik." Artinya dengan lemah lembut dan baik. Dan yang dimaksud dengan ma'ruf adalah hendaklah seseorang berwasiat kepada kaum kerabat tanpa menghancurkan (masa depan) ahli warisnya; tidak berlebih-lebihan dan tidak pula kikir. Se-bagaimana yang dinyatakan dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, bahwa Sa'ad pernah bertanya: "Wahai Rasulullah, sesungguhya aku mempunyai harta kekayaan (yang cukup banyak) dan tidak ada yang mewarisiku kecuali seorang puteriku, apakah aku boleh mewasiatkan dua pertiga hartaku?" "Tidak", jawab Rasulullah SAW. "Apakah setengahnya?" tanyanya lebih lanjut. Beliau men-jawab: "Tidak." Ia bertanya lagi:

"Apakah sepertiga?" Beliau menjawab: "Ya, sepertiga, dan sepertiga itu banyak. Sesungguhnya jika kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya adalah

lebih baik daripada meninggalkan mereka dalam keadaan miskin, meminta-minta kepada orang lain."