} "Mereka tidak meminta-minta kepada orang secara mendesak. ! ' Artinya, mereka tidak

} "Mereka tidak meminta-minta kepada orang secara mendesak. ! ' Artinya, mereka tidak

mendesak dalam meminta-minta serta tidak memaksa orang-orang dengan sesuatu yang tidak mereka butuhkan. Sesungguhnya orang yang meminta-minta, sedang ia mempunyai apa yang mencukupi dirinya sehingga tidak perlu baginya meminta- minta, maka berarti ia telah meminta dengan mendesak.

Imam Ahmad meriwayatkan dari 'Abdurrahman bin Abu Sa'id, dari ayahnya, ia bercerita:

"Ibuku pernah mengutusku kepada Rasulullah SAW untuk meminta sesuatu kepada beliau, maka aku pun mendatangi beliau dan duduk. Rasulullah SAW

menghampiriku, seraya bersabda: 'Barangsiapa yang sudah merasa kaya, maka Allah SWT akan menjadikannya kaya, dan barangsiapa yang menjaga kesucian (tidak meminta-minta), maka Allah SWT akan menjaga kesuciannya, dan barangsiapa yang merasa cukup, maka Allah SWT pun akan memberikan kecukupan baginya. Dan barangsiapa yang meminta-minta sedang ia mempunyai satu uqiyyah (40 dirham), berarti ia telah meminta secara mendesak.' " Kemudian Abu Sa'id menuturkan, lalu aku bergumam: "Unta punyaku lebih baik daripada satu uqiyyah(40 dirham)." Setelah itu aku pun kembali pulang, dan tidak jadi meminta kepada beliau." Demikian juga hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan an-Nasa-i.

Firman Allah SWT selanjutnya: { } "Dan apa saja harta yang baik yang kalian nafkahkan (dijalan 'Allah), maka sesungguhnya Allah Mahamengetahui." Maksudnya, tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi dari Allah Ta’ala. Dan Dia akan memberikan balasan pahala yang lebih banyak dan sempurna kepadanya pada hari Kiamat kelak, dengan sesuatu yang sangat dibutuhkan olehnya.

Dan firman-Nya berikutnya:

"Orang-orang yang menafkahkan hartanya pada malam dan siang hari secara sembunyi dan terang-terangan, maka mereka mendapat pahala di sisi Rabb mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati."

Ini merupakan pujian dari Allah SWT bagi orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan-Nya serta mencari keridhaan-Nya sepanjang waktu, baik malam maupun siang hari, serta dalam setiap keadaan, baik dilakukan secara sembunyi- sembunyi maupun terang-terangan. Bahkan nafkah yang diberikan kepada keluarga pun termasuk dalam hal itu juga. Sebagaimana yang telah ditegaskan dalam Hadits yang terdapat dalam kitab Shahihain (al-Bukhari dan Muslim), bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda kepada Sa'ad bin Abi Waqqash ketika ia menjenguk beliau pada saat sedang sakit pada tahun pembebasan kota Makkah. Dan dalam sebuah riwayat disebutkan pada tahun haji wada'. Beliau bersabda:

"Sesungguhnya engkau tidaklah menginfakkan sesuatu nafkah dengan tujuan untuk mencari keridhaan Allah melainkan akan bertambah derajat dan kedudukanmu, termasuk makanan yang engkau berikan kepada isterimu."

Dan Imam Ahmad juga meriwayatkan dari Abu Mas'ud , dari Nabi Saw, beliau bersabda:

"Sesungguhnya seorang muslim apabila memberikan nafkah kepada keluarga-nya dengan mengharap pahala dan Allah SWT, maka nafkah itu merupakan shadaqah baginya." (HR. Ahmad).

Hadits tersebut juga diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim yang bersumber dari Syu'bah.

Dan firman Allah SWT berikutnya: { } "Maka mereka mendapat pahala di sisi Rabb mereka." Yaitu pahala pada hari Kiamat kelak atas infak yang telah mereka keluarkan dengan penuh ketaatan.

{ } "Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih bati. "Mengenai penggalan ayat yang terakhir ini telah diuraikan sebelumnya.

Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orangyang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat): "Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba,"padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabb-nya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni Neraka; mereka kekal di dalamnya. (QS. 2:275)

Setelah Allah SWT menceritakan tentang orang-orang yang berbuat kebajikan, mengeluarkan infak, membayar zakat, serta mengutamakan kebaikan dan shadaqah kepada orang-orang yang membutuhkan dan kepada kaum kerabat, yang dilakukan di setiap keadaan dan waktu, kemudian dalam ayat ini Allah SWT memulai dengan menceritakan tentang orang-orang yang memakan riba dari harta kekayaan orang lain dengan cara yang tidak dibenarkan, serta berbagai macam syubhat. Lalu Allah SWT Sk mengibaratkan keadaan mereka pada saat bangkit dan keluar dari kubur pada hari kebangkitan Allah Ta’ala ber-firman: "Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran tekanan penyakit gila." Arti-nya, mereka tidak dapat berdiri dari kuburan mereka pada hari Kiamat kelak kecuali seperti berdirinya orang gila pada saat mengamuk dan kerasukan syaitan. Yaitu mereka berdiri dengan posisi yang tidak sewajarnya.

Ibnu ‘Abbas ra mengatakan: "Pemakan riba akan dibangkitkan pada hari Kiamat kelak dalam keadan seperti orang gila yang tercekik."

Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Samurah bin Jundub, dalam hadits panjang tentang mimpi:

"Maka tibalah kami di sebuah sungai, aku menduga ia mengatakan: 'Sungai itu merah semerah darah.' Ternyata di sungai tersebut terdapat seseorang yang sedang berenang, dan di pinggirnya terdapat seseorang yang telah mengumpul-kan batu yang sangac banyak di sampingnya. Orang itu pun berenang men-datangi orang yang mengumpulkan batu itu. Kemudian orang yang berenang itu membuka mulutnya, lalu ia menyuapinya dengan batu." (HR. Al-Bukhari).

Dan dalam menafsirkan peristiwa tersebut dikatakan bahwa ia itulah pemakan riba.

Dan firman Allah berikutnya: } { "Keadaan mereka yang demikian itu disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba." Maksudnya, mereka membolehkan riba dengan maksud untuk menentang hukum-hukum Allah Ta’ala yang terdapat dalam syari'at- Nya. Bukan karena mereka mengqiyaskan riba dengan jual beli, sebab orang-orang musyrik tidak pernah mengakui penetapan jual beli yang telah ditetapkan Allah SWT di dalam al-Qur-an. Seandainya hal itu termasuk masalah qiyas, niscaya mereka akan mengatakan: "Sesungguhnya riba itu sama seperti jual beli." Tetapi dalam hal ini mereka mengatakan: {

} "Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba." Artinya, keduanya serupa, lalu mengapa Dia mengharamkan yang ini dan menghalalkan yang itu?

Yang demikian itu merupakan penentangan mereka terhadap syari'at. Artinya, yang ini sama dengan ini, dan Dia sendiri telah menghalalkan ini dan mengharamkan yang ini.