} "Dan tiadalah burung-burungyang terbangdengan kedua sayapnya . "(QS.'Al-An'aam: 38). {

} "Dan tiadalah burung-burungyang terbangdengan kedua sayapnya . "(QS.'Al-An'aam: 38). {

} "... dan kamu tidak (pemah) menulis suatu kitab dengan tangan kananmu..." (QS. Al-Ankabuut: 48). {

} "Dan Kami telah janji-kan kepada Musa (memberikan Taurat) sesudah berlalu waktu tiga malam, dan Kami sempurnakan jumlah malam itu sepuluh (malam lagi), maka sempurnalah waktu yang telah ditentukan Rabb-nya empatpuluh malam." (QS. Al-A'raaf: 142).

Ada juga yang mengartikan kata { } (sempurna) itu sebagai perintah untuk menyempurnakannya. Demikian yang menjadi pilihan Ibnu Jarir.

Dan firman Allah SWT berikutnya: "Demikian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada di sekitar Masjidil Haram (orang-orang yang bukan penduduk kota Makkah)." Ibnu Jarir mengemukakan, "Para ahli takwil (maksudnya ahli tafsir,'pem') berbeda pendapat mengenai siapa yang dimaksud firman Allah SWT tersebut setelah mereka semua sepakat bahwa yang dimaksudkan di sini adalah penduduk Tanah Haram, dan bahwasanya tidak ada tamattu' bagi mereka." Sebagian mereka berpendapat bahwa yang dimaksudkan adalah penduduk Tanah Haram saja dan bukan yang lainnya.

Ibnu Basyar meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas ra: "Mereka itu adalah penduduk Tanah Haram." Hal senada juga diriwayatkan Ibnu Mubarak, dari ats-Tsauri. Dalam hal itu Ibnu Jabir memilih madzhab Syafi'i, bahwa mereka itu adalah penduduk Tanah Haram dan orang-orang yang berada di sekitarnya pada jarak yang tidak boleh baginya mengqashar shalat, karena ia termasuk sebagai orang yang menetap di sana dan bukan sebagai musafir. Wallahu a'lam.

Dan firman Allah Ta’ala: { } "Dan bertakwalah kepada Allah ." Yaitu dalam segala hal yang telah diperintahkan dan dilarang-Nya bagi kalian.

{ } "Dan ketahuilah, sesungguhnya Allah sangat keras siksaan-Nya. "Maksudnya bagi orang-orang yang menentang perintah-Nya dan melakukan apa yang dilarang-Nya.

(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan Haji, maka tidak boleh rafats, berbuatfasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah SWT mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal. (QS. 2:197)

Ahli bahasa Arab berbeda pendapat mengenai firman Allah Ta’ala: "(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi." Sebagian dari mereka berpendapat bahwa maksudnya: "Haji itu adalah haji pada bulan-bulan yang dimaklumi." Dengan demikian, ihram pada waktu haji di bulan-bulan itu lebih sempuma dari ihram di luar bulan-bulan tersebut, meskipun ihram itu sah.

Pendapat yang mensahkan ihram di sepanjang tahun adalah madzhab Imam Malik, Abu Hanifah, Ahmad bin Hanbal, dan Ishaq bin Rahawaih. Pendapat itu pula yang dikemukakan oleh Ibrahim AS an-Nakha'i, ats-Tsauri, al-Laits bin Sa'ad. Mereka berhujjah dengan firman Allah Ta’ala: {

} "Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah, bulan sabit itu adalah

tanda-tanda waktu bagi manusia dan ibadah haji "Ibadah haji merupakan salah satu di antara sepasang manasik, maka hukumnya sah melakukan ihram untuk haji kapan

saja sepanjang tahun. Sama halnya dengan ibadah umrah. Sedangkan Imam asy-Syafi'i berpendapat bahwasanya ihram untuk haji tidak

sah kecuali pada bulan-bulan haji. Jika seseorang berihram haji sebelum bulan itu, maka ihramnya itu tidak sah. Dan apakah hal itu menjadi umrah? Mengenai hal ini

terdapat dua pendapat yang diriwayatkan dari beliau. Pendapat yang menyatakan bahwa ihram untuk haji itu tidak sah kecuali pada bulan-bulan yang telah ditentukan, diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Jabir. Demikian pula pendapat 'Atha', Thawus, dan Mujahid. Sedang dalil yang menjadi landasannya adalah firman Allah: "(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi. " Lahiriyah ayat ini mengandung pengertian lain yang juga merupakan pendapat para ahli Nahwu, yaitu bahwa waktu haji adalah terdapat dua pendapat yang diriwayatkan dari beliau. Pendapat yang menyatakan bahwa ihram untuk haji itu tidak sah kecuali pada bulan-bulan yang telah ditentukan, diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Jabir. Demikian pula pendapat 'Atha', Thawus, dan Mujahid. Sedang dalil yang menjadi landasannya adalah firman Allah: "(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi. " Lahiriyah ayat ini mengandung pengertian lain yang juga merupakan pendapat para ahli Nahwu, yaitu bahwa waktu haji adalah

Imam asy-Syafi'i meriwayatkan, dari Ibnu ‘Abbas ra: "Tidak seyogianya seseorang berihram untuk haji kecuali pada bulan-bulan haji, karena Allah SWT berfirman:

'(Musim) haji adalah beberapa bulan yang di maklumi.'"

Tentang firman-Nya tersebut al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu ‘Umar ra "Yaitu bulan Syawwal, Dzulqa'dah, dan sepuluh hari bulan Dzulhijjah." Hadits mu'allaq yang disebutkan al-Bukhari dengan bentuk pasti, diriwayatkan Ibnu Jarir sebagai hadits maushul, dari Ibnu ‘Umar ra, dengan isnad shahih. Juga diriwayatkan al-Hakim dalam kitab al-Mustadrak, dari Ibnu ‘Umar ra, dan ia mengatakan bahwa hadits ini memenuhi persyaratan al-Bukhari dan Muslim.

Berkenaan dengan hal tersebut, penulis katakan: "Hadits ini diriwayatkan dari 'Umar, 'Ali, Ibnu Mas'ud, 'Abdullah bin Zubair, dan Ibnu ‘Abbas ra. Dan itulah madzhab Syafi'i, Abu Hanifah, Ahmad bin Hanbal, Abu Yusuf, dan Abu Tsaur ." Dan pendapat ini menjadi pilihan Ibnu Jarir: "Boleh saja jumlah dua bulan dan sebagian hari dari bulan ketiga diungkapkan dalam bentuk jamak untuk menetapkan yang umum, sebagaimana halnya masyarakat Arab mengatakan: "Saya melihatnya tahun ini." Padahal yang dimaksudkan adalah sebagian dari tahun saja.

Imam Malik bin Anas dan Imam Syafi'i menurut pendapat lama (qaulul qadim) mengatakan: "Bulan-bulan itu adalah Syawwal, Dzulqa'dah dan Dzulhijjah secara penuh." Yang demikian itu juga merupakan riwayat dari Ibnu ‘Umar ra. Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ibnu ‘Umar ra, ia mengatakan: "Yaitu Syawwal, Dzulqa'dah, Dzulhijjah."

Dalam tafsirnya, Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Yunus bin 'Abdul A'la, dari Ibnu Wahab dari Ibnu Juraij, ia menceritakan, pernah kutanyakan kepada Nafi': "Apakah engkau pernah mendengar 'Abdullah bin 'Umar me-nyebut bulan-bulan haji?" Ia menjawab: 'Ya, 'Abdullah bin 'Umar menyebutnya Syawwal, Dzulqa'dah, dan Dzulhijjah."

Ibnu Juraij mengatakan: "Hal yang sama juga dikemukakan oleh Ibnu Syihab, 'Atha', Jabir bin 'Abdullah seorang Sahabat Nabi Saw. Isnad ini shahih sampai kepada Ibnu Juraij. Wallahu a'lam.

Menurut madzhab Imam Malik, waktu haji itu sampai akhir bulan Dzulhijjah, berarti waktu itu dikhususkan untuk menunaikan ibadah haji sehingga tidak diperbolehkan mengerjakan umrah pada sisa hari bulan Dzulhijjah, bukan berarti haji itu sah dilakukan setelah malam hari 'Iedul Adh-ha.

Ibnu Abi Hatim meriwayatkan, dari Thariq bin Syihab, ia menuturkan, 'Abdullah bin 'Umar mengatakan: "Musim haji itu adalah bulan-bulan yang telah ditentukan, yang di dalamnya tidak boleh mengerjakan umrah." Isnad ini adalah shahih.

Ibnu Jarir mengatakan, orang yang berpendapat bahwa bulan-bulan haji itu Syawwal, Dzulqa'dah dan Dzulhijjah menghendaki bahwa bulan-bulan itu bukan bulan-bulan umrah, melainkan hanya untuk haji saja, meskipun amalan haji telah selesai dengan berakhirnya hari-hari di Mina. Sebagaimana dikatakan Muhammad bin Sirin: "Tidak ada seorang ulama pun meragukan bahwa umrah di luar bulan-bulan haji itu lebih baik daripada umrah pada bulan-bulan haji."

Ibnu 'Aun juga menceritakan, aku pernah bertanya kepada Qasim bin Muhammad mengenai umrah pada bulan-bulan haji, maka ia pun menjawab: "Mereka berpendapat bahwa hal itu kurang sempurna."

Sehubungan dengan hal itu penulis (Ibnu Katsir) mengatakan: "Telah diriwayatkan dari 'Umar dan 'Utsman RA, bahwa keduanya lebih suka mengerjakan umrah di luar bulan-bulan haji, dan melarang mengerjakannya pada bulan-bulan haji. Wallahu a'lam.

Dan firman-Nya: { } "Barangsiapa yang menetapkan niatnya pada bulan itu akan mengerjakan haji." Artinya memastikan ihramnya untuk haji. Hal itu menunjukkan keharusan berihram untuk haji. Ibnu Jarir mengatakan: "Para ulama sepakat bahwa yang dimaksud dengan fardhu di sini adalah keharusan dan kepastian."

Mengenai ayat ini, 'Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas ra, ia mengatakan: "Barangsiapa mengerjakan ihram untuk haji atau umrah."

Sedangkan 'Atha' mengemukakan: "Yang dimaksud dengan fardhu itu adalah ihram." Hal senada juga dikatakan oleh Ibrahim an-Nakha'i, adh-Dhahhak, dan ulama lainnya.

Masih mengenai ayat tersebut di atas, Ibnu Juraij meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas ra, bahwa ia pernah mengatakan: "Tidak selayaknya seseorang ber-talbiah untuk haji dan setelah itu ia tetap tinggal di negeri (luar Tanah Haram)."

Menurut Ibnu Abi Hatim, hal ini diriwayatkan pula dari Ibnu Mas'ud, Ibnu ‘Abbas ra, dan Ibnu Zubair. Thawus dan Qasim bin Muhammad mengatakan: "Yang dimaksud adalah talbiyah."

Dan firman-Nya: { } "Maka tidak boleh rafats. "Artinya, barangsiapa yang berihram untuk haji atau umrah, maka hendaklah ia menghindari rafats, yaitu hubungan badan. Sebagaimana firman Allah SWT

} "Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri- isterimu." (QS. Al-Baqarah: 187).

Diharamkan pula melakukan hal-hal yang mengantarakan pada rafats, misalnya pelukan, ciuman, dan semisalnya. Demikian juga membicarakannya di hadapan para

wanita. Ibnu Jarir meriwayatkan dari Yunus bahwa 'Abdullah bin 'Umar pernah

mengatakan: "Ar-Rafats berarti mencampuri isteri dan membicarakan hal itu dengan mengatakan: "Ar-Rafats berarti mencampuri isteri dan membicarakan hal itu dengan

'Atha' bin Abi Rabah mengatakan: "Ar-rafats berarti jima' (senggama) dan selain itu, misalnya ucapan kotor." Lebih lanjut 'Atha' menuturkan: "Mereka memakruhkan kata sindiran yang kotor ketika sedang berihram."

Dan Thawus mengatakan: "Yang dimaksud ar-rafats adalah seorang laki-laki mengatakan kepada isterinya, jika aku telah bertahallul, aku akan mencampurimu."

Dan 'Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas ra: "ar-rafats berarti mencampuri isteri, mencium, atau kedipan mata, serta mengucapkan kata-kata kotor kepadanya."

Dan firman-Nya: { } "(Dan jangan berbuat) kefasikan."Muqsim dan beberapa ulama lainnya meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas ra: "Yaitu segala perbuatan maksiat." Sedangkan ulama lainnya menuturkan: "Yang dimaksud al-fusuq di sini adalah caci maki." Demikian dikatakan Ibnu ‘Abbas ra dan 'Umar RA. Mereka ini berpegang pada apa yang ditegaskan dalam sebuah hadits shahih, Rasulullah SAW bersabda:

"Mencaci maki orang muslim itu merupakan suatu kefasikan dan memerangi-nya merupakan kekafiran." Sedangkan adh-Dhahhak mengatakan: "al-fusuq berarti

memberi gelar buruk." 78 Yang benar adalah mereka yang mengartikan al-fusuq di sini segala bentuk

kemaksiatan, sebagaimana Allah SWT melarang kezhaliman pada bulan-bulan haji, meskipun kezhaliman itu sendiri sebenarnya dilarang sepanjang tahun, hanya saja pada bulan-bulanhaji hal itu lebih ditekankan lagi. Oleh karena itu Allah Ta’ala berfirman: {

} "Di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yanglurus, maka janganlah kamu menganiaya dirimu dalam bulan yang empat itu. "(QS. At-Taubah: 36) Dia juga berfirman tentang tanah haram: {

} "Barangsiapa yang bermaksud di dalamnya melakukan kejahatan secara zhalim, niscaya akan Kami rasakan kepadanya sebagian siksa yang pedih." (QS. Al-Hajj: 25). Wallahu a'lam. Dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim diriwayatkan dari Abu Hazim, dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda:

"Barangsiapa yang menunaikan ibadah haji ke rumah ini (Baitullah), lalu ia tidak melakukan rafats, dan tidak pula berbuat kefasikan, maka ia akan keluar dan dosa-

dosanya seperti ketika ia dilahirkan oleh ibunya." 79

78 HR. Al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, an-Nasa-i, Ibnu Majah dan Ahmad. 79 Menurut kitab Shohih al-Bukhari dan Shahih Muslim, hadits itu berbunyi: "Ia akan kembali seperti

ketika ia dilahirkan oleh ibunya ." Dan di dalamnya tidak terdapat lafazh: "Ia akan keluar dari

Dan firman Allah Ta’ala: { } "Dan (tidak boleh) berbantah- bantahan pada masa mengerjakan haji "Mengenai firman-Nya ini terdapat dua pendapat:

Pendapat pertama, tidak boleh berbantah-bantahan pada waktu haji dalam mengerjakan manasik. Dan Allah SWT telah menjelaskan hal itu secara tuntas dan sempurna. Sebagaimana Waqi' menceritakan, dari al-'Ala' bin 'Abdul Karim, aku pemah mendengar Mujahid membaca: {