Dan firman Allah SWT { } "Bertakwalah kepada Allah SWT," dalam segala hal dan keadaan kalian. {

Dan firman Allah SWT { } "Bertakwalah kepada Allah SWT," dalam segala hal dan keadaan kalian. {

} "Dan ketahuilah bahwa Allah Mahamelihat apa yang kamu kerjakan. "Artinya, tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi dari-Nya, baik yang berupa keadaan maupun ucapan kalian.

Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh

hari. Kemudian apabila telah habis masa iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat. (QS. 2:234)

Ini merupakan perintah Allah SWT bagi kaum wanita yang ditinggal mati oleh suaminya, yaitu hendaklah mereka menjalani masa 'iddah selama empat bulan sepuluh hari. Dan menurut ketetapan ijma’ ketentuan itu berlaku bagi isteri yang sudah dicampuri maupun yang belum dicampuri. Yang menjadi sandaran berlakunya ketentuan ini bagi wanita yang belum dicampuri adalah pengertian umum dari ayat dan hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad dan para penulis buku as-Sunan, dan Ini merupakan perintah Allah SWT bagi kaum wanita yang ditinggal mati oleh suaminya, yaitu hendaklah mereka menjalani masa 'iddah selama empat bulan sepuluh hari. Dan menurut ketetapan ijma’ ketentuan itu berlaku bagi isteri yang sudah dicampuri maupun yang belum dicampuri. Yang menjadi sandaran berlakunya ketentuan ini bagi wanita yang belum dicampuri adalah pengertian umum dari ayat dan hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad dan para penulis buku as-Sunan, dan

Dan dalam riwayat yang lain disebutkan, maka orang-orang dari kabilah Asyja' berdiri seraya berucap: "Kami bersaksi bahwa Rasulullah SAW memutuskan demikian dalam kasus Buru' bin Wasyiq."

Tidak dikecualikan dari ketentuan tersebut selain isteri yang ditinggal mati suammya ketika ia sedang hamil. Maka 'iddahnya adalah sampai ia melahirkan. Hal itu didasarkan pada keumuman firman Allah Ta’ala:

{ } "Dan wanita-wanita yang hamil, waktu iddahnya mereka itu adalah sampai mereka melahirkan." (QS. Ath-Thalaq: 4).

Sedangkan Ibnu ‘Abbas ra berpendapat, bahwa wanita yang ditinggal mati suaminya dalam keadaan hamil harus menunggu dalam masa yang lebih panjang dari dua macam masa 'iddah yaitu; antara masa melahirkan, atau empat bulan sepuluh hari. Hal itu didasarkan pada pemaduan antara kedua ayat di atas. Yang demikian itu merupakan pendapat yang baik dan kuat yang di-perkuat dengan hadits yang diriwayatkan dari Subai'ah al-Aslamiyyah yang disebutkan dalam Kitab Shahihain (al-Bukhari dan Muslim) dari beberapa jalan: "Bahwa Subai'ah ditinggal mati suaminya yang bernama Sa'ad bin Khaulah sedang ia dalam keadaan hamil. Dan tidak lama setelah suaminya meninggal, ia pun melahirkan."

Dalam riwayat yang lain disebutkan, maka ia pun melahirkan beberapa malam setelah suaminya meninggal. Setelah nifasnya mengering, ia pun berdandan untuk menyambut pelamar. Maka datanglah Abu Sanabil bin Ba'kak menemuinya dan berkata kepadanya: "Aku melihat engkau berdandan apa mungkin engkau berkeinginan untuk menikah? Demi Allah, engkau tidak boleh menikah sebelum empat bulan sepuluh hari berlalu." Subai'ah berkata: "Setelah Abu Sanabil mengatakan hal itu kepadaku, maka sore harinya aku langsung mengemasi pakaianku kemudian pergi menemui Rasulullah SAW dan kutanyakan hal itu kepada beliau, maka beliau memberikan fatwa kepadaku bahwa aku boleh menikah sejak aku melahirkan. Dan beliau menyuruhku menikah, jika aku mau."

Abu 'Umar bin 'Abdul Barr mengatakan: "Telah diriwayatkan bahwa Ibnu ‘Abbas ra telah (meralat pendapatnya dan) kembali kepada hadits Subai'ah, ketika ia disanggah dengan hadits ini. Yang membuktikan kebenaran hal ini ialah bahwa para

Sahabat pun memberikan fatwa dengan hadits Subai'ah, sebagaimana yang menjadi pendapat para ulama."

Dalam hal ini dikecualikan bagi isteri yang berasal dari budak, di mana 'iddah budak wanita itu setengah dari 'iddahnya. wanita merdeka, yaitu dua bulan lima hari. Demikian menurut pendapat jumhur ulama, karena ia mendapat ketentuan setengah dari wanita merdeka dalam perkara yang menyangkut had (hukum pidana), maka dalam 'iddah pun ia mendapatkan ketentuan setengah pula.

Thawus dan Qatadah mengemukakan: 'Iddah seorang ibu (dari kalangan budak) yang ditinggal mati tuannya adalah setengah dari 'iddah wanita merdeka, yaitu dua

bulan lima hari." Sedangkan Abu Hanifah dan para sahabatnya, ats-Tsauri, al-Hasan bin Shalih

bin Huyay mengatakan: "Ia harus menjalani 'iddah dengan tiga kali haidh." Yang demikian itu juga merupakan pendapat 'Ali, Ibnu Mas'ud, Atha', Ibrahim an-Nakha-i. Sedangkan Imam Mahk, asy-Syafi'i, dan Ahmad ber-pendapat: "'Iddahnya adalah satu kali haidh." Pendapat terakhir ini juga dikemukakan oleh Ibnu ‘Umar ra, asy-Sya'bi, Makhul, al-Laits, Abu 'Ubaid, Abu Tsaur, dan jumhur ulama. Al-Laits mengatakan: "Seandainya suaminya meninggal, sedang ia dalam keadaan haidh, maka cukup baginya haidh itu sebagai 'iddah." Imam Malik mengemukakan: "Jika ia termasuk wanita yang tidak mengalami haidh, maka 'iddahnya tiga bulan." Sedangkan Imam asy-Syafi'i dan Jumhurul Ulama mengatakan: "Tiga bulan lebih aku sukai." Wallahu a'lam.

Firman Allah Ta’ala: {

} "Kemudian apabila telah habis masa "iddahnya, maka tiada dosa bagi kamu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka sendiri menurut apa yang patut. Allah SWT mengetahui apa yang kalian kerjakan. "Dari penggalan ayat ini dapat disimpulkan keharusan berkabung bagi isteri yang ditinggal mati suaminya selama menjalani masa 'iddahnya. Sebagaimana yang telah ditegaskan dalam kitab Shohihain melalui beberapa jalan, dari Ummu Habibah dan Zainab binti Jahsy, Ummul Mukminin, bahwa Rasulullah SAW bersabda:

"Tidak dihalalkan bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah SWT dan hari akhir untuk berkabung atas seseorang yang meninggal dunia melebihi tiga hari, kecuali atas kematian suaminya, (maka berkabungnya adalah selama) empat bulan sepuluh hari."

Dan dalam kitab Shahihain juga diriwayatkan dari Ummu Salamah, bahwasanya ada seorang wanita yang berkata:

"'Ya Rasulullah, sesungguhnya puteriku ditinggal mati suaminya, hingga matanya bengkak, apakah kami boleh memakaikan celak pada matanya?' Rasulullah SAW menjawab: 'Tidak.' Setiap pertanyaan, beliau jawab 'tidak' dua kali atau tiga kali. Setelah itu beliau bersabda: 'Sesungguhnya masa berkabung-nya adalah empat bulan sepuluh hari. Dulu, seorang di antara kalian pada masa jahiliyyah, mengurung diri (mengalami masa 'iddahnya) selama satu tahun.'"

Bertolak dari hal tersebut di atas, banyak dari kalangan para ulama yang berpendapat bahwa ayat ini berkedudukan sebagai penasakb (penghapus) hukum ayat setelahnya, yaitu firman-Nya:

{ } "Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, yaitu diberi nafkah hingga setahun lamanya dengan tidak disuruhpindab (dari rumabnya)." (QS. Al-Baqarah: 240). Sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Ibnu ‘Abbas ra dan ulama lainnya. Namun hal ini perlu ditinjau kembali sebagaimana yang akan dikemukakan selanjutnya.

Yang dimaksud dengan berkabung adalah meninggalkan berhias dengan wangi- wangian dan memakai pakaian dan perhiasan atau hal lainnya yang menunjukkan

pada keinginan menikah. Yang demikian itu telah disepakati sebagai suatu hal yang wajib dalam 'iddah wanita yang ditinggal mati suaminya, dan tidak wajib bagi wanita

yang ditalak raj'i. Lalu apakah hal itu wajib bagi 'iddah wanita yang ditalak ba-in. Mengenai yang terakhir ini terdapat dua pendapat. Diharuskan berkabung bagi semua wanita yang ditinggal mati suaminya, baik itu wanita masih kecil atau sudah tua, wanita merdeka atau budak, muslimah maupun kafir. Hal itu berdasarkan pada keumuman ayat di atas.

Ats-Tsauri, Abu Hanifah dan para sahabatnya mengatakan: "Tidak ada kewajiban bagi wanita kafir untuk berkabung." Pendapat tersebut juga dikemukakan oleh Asyhab dan Ibnu Nafi' salah seorang sahabat Malik. Mereka berdalil dengan sabda Rasulullah SAW:

"Tidak dihalalkan bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah SWT dan hari akhir untuk berkabung atas seorang yang meninggal dunia melebihi tiga hari, kecuali atas kematian suaminya, yaitu empat bulan sepuluh hari."

Mereka mengatakan bahwa dalam hal ini, berkabung bagi isteri yang ditinggal mati suaminya dijadikan sebagai suatu ibadah. Imam Abu Hanifah dan ats-Tsauri

mengecualikan wanita yang masih kecil karena tidak adanya taklif baginya, Abu

Hanifah serta para sahabatnya memasukkan ke dalam pengertian ini, budak wanita muslimah karena kekurangan yang ada padanya. Ketentuan semua ini terdapat dalam buku-buku masalah hukum dan furu' (cabang).

Dan firman Allah SWT: { } "Kemudian apabila telah babis masa 'iddahnya. " Maksudnya, jika ia telah menyelesaikan masa 'iddahnya. Demikian dikatakan oleh adh-Dhahhak dan Rabi' bin Anas.