Pendekatan Berbasis Anak Pendekatan dalam Proses Pendidikan dan Pembelajaran Seni Rupa

24 dipandang sebagai gejala kemampuan individu untuk memperoleh pengetahuan, keterampilan atau serangkaian respon melalui latihan-latihan Bennet, 1952: 12. Adapun dimensi bakat meliputi persepsi, psikomotorik dan intelektual. Dengan demikian, kegiatan seni rupa melalui latihan-latihan membuat karya seni rupa memupuk bakat anak. Hal ini dapat dilihat pada dimensi bakat yang terkait dalam pembuatan karya seni rupa yaitu, persepsi terkait dengan kepekaan dari masing- masing pancaindera yang berhubungan dengan perhatian, yaitu penglihatan, pendengaran, dan kinestesi. Dimensi psikomotorik mencakup koordinasi dan fleksibilitas gerakan. Sedangkan dimensi intelektual meliputi ingatan dan berpikir. Dengan demikian bakat anak yang terpupuk sejak awal akan lebih baik perkembangannya, dari pada seseorang yang mempunyai bakat kreatif namun tidak dipupuk, maka bakat tersebut tidak akan berkembang bahkan menjadi bakat terpendam dan tidak dapat diwujudkan.

3. Pendekatan dalam Proses Pendidikan dan Pembelajaran Seni Rupa

Pada hakekatnya pendidikan seni rupa bersifat unik, yaitu kegiatan yang bersifat ekspresif, kreatif, dan estetik. Karena keunikannya ini dalam pendidikannya memerlukan pendekatan-pendekatan agar tujuan pendidikan seni rupa itu sendiri dapat tercapai. Ada tiga pendekatan dalam pendidikan seni rupa yang populer saat ini, yaitu:

a. Pendekatan Berbasis Anak

Pendekatan Berbasis Anak berpijak pada filosofi bahwa dalam mendidik anak melalui seni, pendidik haruslah menjadikan anak sebagai pusat. Pada waktu memberikan kesempatan berekspresi harus bertitik tolak dari anak. Herbert Read 25 dalam Education through Art yang menyatakan bahwa naluri berolah seni rupa anak adalah suatu yang universal, sesuatu yang tumbuh secara alamiah pada diri anak dalam mengkomunikasikan dirinya Read, 1970: 10. Peranan pendidik sebagai fasilitator, karena ekspresi diri anak sesungguhnyalah tidak bisa diajarkan oleh pendidik. Garha 1980: 60 mengatakan bahwa pendekatan ini sebagai ekspresi bebas yang memberikan keleluasaaan kepada anak-anak untuk dapat menyalurkan ungkapan perasaan tanpa dibatasi oleh aturan atau norma cipta konvensional dalam membuat gambar. Pada pendekatan berbasis anak ini tugas pendidik adalah memberikan pengalaman kepada anak yang dapat merangsang munculnya ekspresi pribadi anak, memberikan kemudahan kepada anak dalam mempelajari atau melakukan apa yang menjadi keinginan anak agar anak berkembang secara alamiah melalui pengalaman seni. Dengan demikian cara pembelajarannyapun pendidik memberikan kemudahan pada anak dalam melaksanakan kegiatan belajar yang diinginkannya, yaitu dengan pemberian motivasi, dengan peragaan, dan pendampingan. Hal ini dimaksudkan untuk menyiapkan pengalaman belajar yang dapat merangsang ekspresi pribadi anak. Tokoh yang dikenal dalam pendekatan ekspresi bebas ini adalah Frank Cizek dari Austria. Ia merupakan orang yang pertama kali mengakui secara terbuka nilai intrinsik karya seni rupa anak, karya seni rupa anak adalah karya seni yang hanya mampu dihasilkan oleh anak Efland, 1990: 195. Dengan demikian anak diberi kebebasan dalam kegiatan penciptaan karya sehingga anak dapat mengaktualisasikan dirinya dengan bebas tanpa pengaruh orang dewasa dalam proses pembuatan karyanya. 26 Pendekatan ekspresi bebas ini kemudian didukung dan disebarluaskan oleh dua tokoh pendidik seni yaitu Viktor Lowenfeld dari Amerika Serikat dan Herbert Read dari Inggris. Menurut Viktor Lowenfeld, ekspresi dalam proses pembuatan karya seni rupa yang dilaksanakan secara alamiah berdampak positif bagi perkembangan intelektual, emosional, kreativitas dan perkembangan sosial anak. Dalam hal ini dihubungkan antara kegiatan seni rupa dengan kesehatan mental karena kegiatan seni rupa merupakan media untuk menyalurkan perasaan, baik merupakan perasaan sedih atau gembira. Selanjutnya Lowenfeld mengatakan bahwa “…mental growth depends upon a rich and varied relationship between a child and his environment; such a relationship is a basic ingredient of a creative art experience” Lowenfeld, 1982: 6-7. Hal ini memperjelas bahwa pengaruh lingkungan menyebabkan adanya berbagai corak berdasarkan perkembangan dan temperamen jiwa anak. Dengan demikian pendidikan seni rupa merupakan tempat pemberian pengalaman yang menarik yang menyadarkan anak akan lingkungannya. Read 1970: 30 memberi penegasan bahwa dalam ekspresi bebas, pendidik berperan sebagai pendamping dan memotivasi anak untuk menggali inspirasi anak. Penekanan Read adalah bahwa ekspresi diri anak tidak dapat diajarkan dan peranan pendidik adalah sebagai fasilitator. Dalam merancang pembelajaran pendekatan ekspresi bebas secara murni, pelaksanaan kegiatan pembelajarannya menggunakan model emerging curriculum yakni kegiatan pembelajaran yang tidak dirancang sebelumnya tetapi berkembang sesuai keinginan anak Salam, 2001: 13. Dalam hal ini pendidik memenuhi apa 27 yang menjadi kemauan anak dan pendidik memfasilitasinya. Sesungguhnyalah pendekatan ekspresi bebas secara murni ini sangat sulit dilaksanakan pada sekolah formal karena terikat adanya jadwal, waktu yang ditentukan sehingga menjadi terbatas pelaksanaannya. Lebih tepat bila dilaksanakan pada lembaga pendidikan yang bersifat non formal seperti sanggar, kursus-kurus, dan sebagainya. Untuk mengatasi hal tersebut di atas, penerapan pendekatan ekspresi bebas di sekolah maka dikembangkan pendekatan ekspresi bebas yang bersifat “terarah”. Caranya adalah sebagai berikut: pelaksanaan pembelajaran seperti pada umunya pendidik melaksanakan pembelajaran sesuai dengan jadwal dan waktu yang ditetapkan. Untuk membangkitkan dan memotivasi ekspresi anak, pendidik pada awal pembelajaran memberikan motivasi dengan berbagai cara antara lain: 1 memberi kesempatan pada anak untuk bercerita tentang hal-hal yang menarik yang dialaminya, kemudian ada dialog dengan pendidik. Dari cerita dan dialog dengan anak akan timbul tema-tema cerita yang menyentuh kehidupan anak, yang merangsang untuk mengekspresikan nya lewat karya yang dibuatnya. Didukung oleh media yang dipersiapkan pendidik bisa berupa photo, slide, gambar-gambar, film, dan sebagainya, 2 adanya kontak langsung anak dengan keadaan sekelilingnya. Anak diberi kesempatan memperhatikan keadaan sekitar kelas atau sekolah. Ada tumbuh-tumbuhan, kendaraan, orang berlalu lalang, dan sebagainya. Pendidik kemudian memberikan pertanyaan-pertanyaan untuk mengarahkan perhatian anak pada hal-hal yang dilihatnya tetapi diabaikan anak, misal: detail dari bentuk daun, tulang-tulang daun akan membentuk keartistikan tersendiri, bentuk bunga semakin ke ujung daun bunga semakin kecil permukaannya, dan 28 sebagainya, 3 pendidik mendemonstrasikan proses penciptaan karya pada anak, namun jangan sampai terjebak apa yang didemonstrasikan menjadi hal yang harus ditiru oleh anak. Setelah pemberian motivasi, pendidik meminta anak untuk mengekspresikan dirinya secara bebas dalam pembuatan karya seni rupa. Dalam hal ini pendidik berperan sebagai pendamping untuk memberikan bantuan pada anak. Penilaian yang diberikan pendidik bersifat apresiatif yaitu bersifat menerima dan menghargai apa yang diungkapkan atau diciptakan oleh anak dengan menunjukkan kemungkinan peningkatan kualitas dari karya yang diciptakannya tersebut Salam, 2001: 14. Dengan demikian hasil penilaian tidak ada istilah salah atau benar karena ekspresi anak bersifat unik dan alamiah.

b. Pendekatan Berbasis Disiplin