1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang dan Identifikasi Masalah
Pada dasarnya manusia memiliki pengetahuan, keterampilan, dan nilai estetika agar dapat hidup dengan baik di masyarakat dan memiliki rasa keindahan.
Pengetahuan berkaitan dengan penalaran yang diperlukan dalam memecahkan masalah. Keterampilan berhubungan dengan gerak anggota badan dalam
mengerjakan pekerjaan. Rasa keindahan atau kepekaan estetik berkaitan dengan seni, sehingga orang yang memiliki apresiasi terhadap seni merasakan indah
dalam hidupnya. Oleh karena itu setiap orang harus memiliki kepekaan estetik agar dapat merasakan keindahan dalam hidupnya.
Dalam perspektif pendidikan, seni dipandang sebagai salah satu alat atau media untuk memberikan keseimbangan antara intelektualitas dengan sensibilitas,
rasionalitas dengan irrasionalitas, dan akal pikiran dengan kepekaan emosi. Bahkan dalam batas-batas tertentu, seni menjadi sarana untuk mempertajam
moral dan watak seseorang Rohidi, 2000: 55. Pendidikan seni bertujuan mengembangkan kedewasaan diri anak didik yang utuh dan seimbang dengan cara
memberikan perlakuan yang dapat merangsang kepekaan estetik dan kreativitas peserta didik. Dengan demikian untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan
pengembangan estetik melalui pendidikan seni. Pengembangan kepekaan estetik merupakan bagian dari pengembangan
kepribadian seseorang, yang dilakukan melalui pendidikan seni. Dalam Peraturan Pemerintah No 19 tahun 2005 PP Nomor 19, 2005 tentang standar nasional
2 pendidikan, masalah kepekaan estetik memperoleh penekanan dalam
pengembangan kemampuan peserta didik melalui kelompok mata pelajaran estetika
. Pada peraturan ini, kelompok mata pelajaran estetika yang harus
dipelajari peserta didik mempunyai arah pengembangan untuk meningkatkan: 1 sensitivitas, 2 kemampuan mengekspresikan, dan 3 kemampuan mengapresiasi
keindahan dan harmoni. Kemampuan mengapresiasi dan mengekspresikan keindahan serta harmoni mencakup apresiasi dan ekspresi, baik dalam kehidupan
individual sehingga mampu menikmati dan mensyukuri hidup, maupun dalam kehidupan kemasyarakatan sehingga mampu menciptakan kebersamaan yang
harmonis BSNP, 2006: 78-79. Kelompok mata pelajaran estetika merupakan pelaksanaan dari
pendidikan seni yang tergolong unik karena melekatnya pengalaman estetik pada diri seseorang. Dalam pendidikan seni, pengalaman estetik merupakan
sesuatu yang esensial. Menurut Linderman 1984: 54, pengalaman estetik mencakup pengalaman-pengalaman perseptual, kultural, dan artistik. Pengalaman
perseptual dikembangkan melalui kegiatan kreatif, imajinatif, dan intelektual. Pengalaman kultural melalui kegiatan pemahaman terhadap hasil warisan budaya
lama dan baru, sedangkan pengalaman artistik melalui kegiatan kreatif dan apresiatif. Dengan demikian pengalaman estetik memberi peluang bagi seseorang
untuk memahami dunia dari sudut pandangan yang berbeda dengan aspek pengetahuan. Cara memahami dunia yang ditawarkan oleh seni bersifat intuitif,
tak terduga, dan kreatif, serta dikomunikasikan dalam bahasa warna, bunyi, gerak, atau isyarat yang bersifat simbolis.
3 Pada seni melekat kesediaan untuk mengimajinasikan segala
kemungkinan, mengeksplorasi ambiguitas, dan menerima keragaman pandangan. Karena itulah, pendidikan seni amat menghargai pengalaman pribadi yang
menantang anak untuk bertindak kreatif melalui pemecahan masalah artistik. Hal ini sesuai dengan pendapat Anugrah 2006 sebagai berikut.
Pendidikan Seni Budaya di sekolah memiliki dua fungsi yaitu: 1 untuk menumbuhkan kepekaan rasa estetik dan artistik sehingga terbentuk sikap
kritis, apresiatif, dan kreatif pada diri peserta didik secara komprehensif; 2 untuk membentuk pribadi yang harmonis dalam berlogika dan beretika
bagi elaborasi peserta didik untuk mencapai kecerdasan emosional, intelektual, spiritual, serta mentalitasnya.
Kelompok mata pelajaran estetika dilaksanakan pada semua jenjang pendidikan dari sekolah dasar sampai dengan sekolah menengah atas atau yang
sederajat dengan standar kompetensinya disebutkan dalam PP 19 tahun 2005 yaitu: ”membentuk karakter peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa
seni dan pemahaman budaya. Tujuan ini dicapai melalui muatan danatau kegiatan bahasa, seni dan budaya, keterampilan, dan muatan lokal yang relevan.”. Standar
kompetensi kelompok mata pelajaran estetika pada jenjang sekolah dasar adalah: ”menunjukkan kemampuan untuk melakukan kegiatan seni dan budaya lokal.”
BSNP, 2006: 140. Salah satu kegiatan seni yang dilaksanakan di sekolah dasar
adalah seni lukis yang merupakan bagian dari seni rupa. Kegiatan melukis bagi anak-anak seusia anak sekolah dasar merupakan
kegiatan naluriah dan menjadi kesenangan anak karena muncul atas desakan perkembangan emosi artistik yang bersifat kodrati. Melukis bagi anak-anak
merupakan aktivitas psikologis dalam rangka mengekspresikan gagasan, imajinasi, perasaaan, emosi, dan atau pandangan anak terhadap sesuatu. Anak
4 melukis adalah menceritakan atau mengungkapkan mengekspresikan sesuatu
yang ada pada dirinya secara intuitif dan spontan lewat media seni lukis Soesatyo, 1994a: 31. Mereka melukis sebagai wujud pengungkapan pikiran dan
perasaan tanpa terbatas pada apa yang dilihat oleh mata kepala saja, melainkan lebih pada apa yang mereka mengerti, pikirkan dan khayalkan. Mereka dengan
asyik melakukan coret-mencoret, mengekspresikan perasaannya melalui garis, bidang, warna dan sebagainya sesuai dengan suara batin dan lingkungan anak.
Sebagaimana kehidupan dan keadaan jiwa anak-anak yang pada umumnya bersifat bermain-main, spontan, bebas, gembira, dan eksperimental,
maka sifat-sifat yang demikian juga hadir dalam karya lukis anak. Didukung oleh penalaran anak yang wajar, maka hasil karya anak tampak sungguh naif.
Ungkapan pribadinya muncul melalui bentuk-bentuk dengan makna simbolik tertentu, intuitif dan lebih dekat dengan sifat bermain pada anak. Penggunaan
unsur-unsur pada lukisannya tergantung pada keasyikan pemikiran dan fantasinya, Lebih banyak yang akan mereka ceritakan maka lebih banyak pula bentuk yang
dimunculkan Soesatyo, 1994b: 32. Dalam konteks pendidikan, seorang pendidik harus mempunyai
pengetahuan dan pemahaman tentang makna karya seni lukis bagi peserta didik. Pengetahuan dan pemahaman ini diperlukan agar pendidik mampu memberikan
bimbingan dan menilai hasil belajar karya peserta didik . Hal ini sesuai dengan kompetensi yang dituntut sebagai seorang guru yaitu menyelenggarakan penilaian
dan evaluasi proses dan hasil belajar. Penilaian proses antara lain melalui pengamatan terhadap perubahan perilaku dan sikap untuk menilai perkembangan
kompetensi peserta didik PP Nomor 19, 2005.
5 Penelitian ini didasarkan pada asumsi bahwa pemahaman guru-guru
terhadap hakekat pendidikan seni terutama pelaksanaan pembelajaran seni lukis sekolah dasar belum seperti yang diharapkan sehingga mereka cenderung
membimbing secara kurang tepat antara lain menilai secara subjektif. Sebagian besar guru sekolah dasar merupakan guru kelas, sehingga kemampuan dalam
menilai karya anak belum seperti yang diharapkan. Dengan demikian masalah subjektivitas menjadi masalah yang tidak dapat dihindari dalam penilaian karya
lukis anak. Subjektivitas dalam penilaian karya seni lukis anak pada dasarnya
disebabkan oleh kesulitan guru dalam menentukan kriteria penilaian, padahal pelajaran melukis bagi anak-anak adalah pelajaran yang menyenangkan. Hal ini
diakui oleh dua puluh orang guru yang dapat ditemui dalam studi awal penelitian. lihat Tabel 1
Tabel 1 Daftar Peserta Studi Awal
No Nama Guru
Singkatan Umur
Tahun Pengalaman
Mengajar Tahun Nama Sekolah
1 SW 49
24 SD
Lempuyangan 2
2 PB 36
11 SD
Lempuyangan 1
3 SR 39
14 SD
Lempuyangan 3
4 NH
47 22
SD Tegal Panggung 5 AG
54 29
SDN Widoro
6 PN 45
20 SD
Suryodiningratan 4
7 EL 55
30 SD
Langensari 8 RL
50 25
SD Samirono
9 RP 35
10 SD
Suryodiningratan 3
10 SW 38
13 SD
Pujokusumon 3
11 SS 32
7 SD
Muh.Danunegaran 12 WA
39 14
SD Muh.Karangkajen
13 TR 31
6 SD
Muh. Nitikan
14 RH 33
8 SD
Muh. Danunegaran
15 ET 27
4 SD
Muh.Nitikan 16 MR
35 10
SD Muh.Penumping
17 SR 29
5 SD
Muh. Gowongan
18 RP 34
9 SD
Muh. Papringan
19 SL 44
19 SD
Muh. Papringan
20 LP 28
4 SD
Muh. Kauman
6 Penilaian hasil karya lukis siswa perlu meninjau dua aspek yaitu proses
pembuatan karya lukis dan hasil karya lukis itu sendiri. Kedua aspek penilaian ini akan memberikan gambaran tentang kemampuan melukis siswa yang sebenarnya.
Pada penilaian proses seorang guru dapat mengamati bagaimana aktivitas siswa dalam membuat karya lukis. Pada penilaian produk seorang guru dapat melihat
hasil karya siswa setelah mengalami serangkaian proses pembuatan karya. Kenyataan di lapangan menunjukkan penilaian proses dan produk
dilakukan guru sebatas pengetahuan yang dimiliki guru tentang seni lukis, karena latar belakang pendidikan bukan dari bidang seni rupa. Sebagai guru kelas dan
tidak pernah mendapat pelatihan tentang penilaian seni lukis sehingga guru mengalami kesulitan dalam menilai proses dan produk karya seni lukis. Hal ini
lebih disebabkan karena tidak ada kriteria yang dapat dijadikan sebagai pedoman dalam menilai proses dan produk karya seni lukis anak tersebut.
Berdasarkan studi awal yang dilakukan, dari jawaban dan pendapat yang dikemukakan para guru, dapat dirinci permasalahan di lapangan dalam penilaian
karya seni lukis anak sebagai berikut: 1 adanya faktor subjektivitas dalam menilai karya seni lukis anak; 2 guru merasa kesulitan untuk menentukan
kriteria dalam penilaian karya seni lukis anak, baik penilaian proses maupun produk karya seni lukis anak; 3 belum adanya pedoman yang dapat dijadikan
pegangan guru untuk melakukan penilaian seni lukis anak yang sesuai dengan perkembangan anak.
Dalam konteks pendidikan, permasalahan penilaian karya lukis anak merupakan permasalahan yang sangat penting untuk dipecahkan karena akan
7 menjadi kendala dalam proses pembelajaran seni lukis anak. Merupakan dampak
selanjutnya adalah tidak berfungsinya tujuan pendidikan seni budaya dan keterampilan dalam mengembangkan sensitivitas, kreativitas, ekspresi estetis, dan
kreativitas peserta didik. Studi awal tersebut menggambarkan keadaan sesungguhnya di lapangan
bagaimana guru-guru, khususnya pengajar seni lukis kesulitan menentukan kriteria penilaian seni lukis anak. Hal inilah yang melandasi penelitian ini untuk
mengembangkan instrumen penilaian karya seni lukis anak, dengan harapan agar penilaian mendekati objektivitas. Hingga saat ini instrumen penilaian karya seni
lukis anak yang telah teruji secara ilmiah yang dapat digunakan oleh guru sekolah dasar, khususnya di Indonesia, belum tersedia. Selama ini, guru seni lukis
menggunakan instrumen penilaian yang disusun secara mandiri. Akibatnya, timbul perbedaan persepsi tentang instrumen penilaian seni lukis anak sekolah
dasar antara guru yang satu dengan lainnya.
B. Rasional yang Mendasari Pentingnya Masalah