Penilaian Produk Karya Seni Lukis

126 didik secara sistematis mengetahui bagaimana perkembangan peserta didik yang lain. Bagaimana mereka menangani problem-problem, kegagalan-kegagalan, dan keberhasilan-keberhasilan dalam berkarya. Dengan demikian terkembangkan sikap apresiatif peserta didik. Ketiga, prosedur demikian memberikan kesempatan dan bahan bagi pendidik untuk menggunakan komentar-komentar peserta didik sebagai masukkan diagnostik dan remedial.

b. Penilaian Produk Karya Seni Lukis

Pada prinsipnya tujuan penilaian produk seni lukis adalah untuk melihat kompetensi peserta didik dalam membuat karya cipta seni lukis. Dalam hal ini pendidik memfokuskan perhatiannya pada hasil karya lukis yang diciptakan oleh peserta didik yang tentunya tidak terlepas dari proses penciptaannya. Oleh karena itu kegiatan penilaian memerlukan kriteria. Conrad 1964: 271 menjelaskan bahwa: Evaluation criteria are not rigid. New criteria must be formulated for each group of children because children are constantly growing and changing in their thinking, their abilities, and their knowledges. The processes of evaluation help to build guides and to define and clarity the purposes and accomplishments of educational processes. Dengan demikian penetapan kriteria harus disesuaikan dengan perkembangan usia anak dan kriteria tidak bersifat kaku. Kriteria untuk melakukan penilaian produk karya seni lukis cukup sulit karena adanya keragaman cara pandang terhadap karya seni. Salah satunya pendapat Aspin dalam Ross 1982: 66 yang menyatakan bahwa: Work of art is correctly described as “unique particulars”, but the description prompts the question: how can something which is unique generate criteria for evaluating other unique objects? Sifat unik ini mempunyai sifat satu-satunya dan hanya 127 berlaku untuk karya tersebut sehingga sulit menerapkan kriteria yang sama untuk menilai karya yang lain. Perdebatan-perdebatan yang sering terjadi karena perbedaan pemahaman, meminjam dari penilaian kritik, Pepper 1973: 451 berpendapat bahwa bisa saja perbedaan yang terjadi disebabkan oleh pandangan kontekstual yang tidak sama, karena masing-masing kepentingan tidak ada titik temu. Disini penilaian dapat dilihat sebagai suatu proses intersubjektif, dan setiap proses intersubjektif selalu mendatangkan konflik. Namun demikian, Heyfron 1986: 56 berpendapat bahwa: … that the arts are not fundamentally different from other subjects in the curriculum e.g. science and that a high degree of consensus about criteria appropriate for judging art work is not only conceptually consistent with the notion of art, but also practicably desirable. It contends that judgements about the merits of art work can be justified with reference to publicly agreed criteria. Hal ini menunjukkan bahwa penilaian dari suatu pekerjaan seni tidak hanya konsisten secara konseptual tetapi diperlukan juga praktisnya. Baik buruknya pekerjaan seni dibenarkan dengan adanya referensi dari kriteria-kriteria yang disetujui oleh khalayak umum. Lebih jauh lagi dalam dokumen APU “Aesthetic Development”, 1983: 5 menyebutkan bahwa: What matters most in the arts as in science, is that judgements and interpretations should be informed with considerable consensus about the criteria to be applied when determining quality. Dengan demikian pada waktu menentukan kualitas karya diperlukan kriteria-kriteria yang merupakan konsensus dan sudah dipertimbangkan terlebih dahulu. Sehubungan dengan kriteria pada penilaian karya seni tersebut di atas, Sumardjo 2000: 48 mengatakan bahwa meskipun seni itu kontekstual secara 128 bentuk dan isi, namun ada pula nilai-nilai yang sifatnya universal karena struktur jiwa manusia itu sepanjang sejarahnya sama, dan seni merupakan bentuk ungkapan manusia. Berdasarkan sifat universal dari seni itu sendiri, maka dapatlah dibuat suatu pendekatan untuk membuat kriteria dari suatu penilaian hasil karya seni dalam hal ini karya seni lukis anak. Menurut Waterman 1959: 382-383 …there are a few criteria for judgment, which apply to the arts, implicitly or explicitly recognized in analytical criticism and capable of formulation. They are complete exploitation of media, the unique use of the media…., subordination of ornamention to form, relation of form to matter, etc.These criteria, however, are not “sure alls” or “cure alls” for the making of the perfect art product. They can, which is just as important, help us to understand art as a manifestation of experience. Dengan demikian ada sejumlah kriteria untuk penilaian yang dapat diterapkan pada seni dan kriteria adalah eksplorasi total atas media dan penggunaan media yang unik. Kriteria tersebut dapat membantu untuk memahami seni sebagai perwujudan suatu pengalaman. Ditinjau dari kebermaknaan keberadaan kriteria penilaian bagi pendidik dan peserta didik salah satu pendapat sebagai berikut, It is fundamental that teachers see assessment criteria as a means to support and sustain students work. It is essential that students see assessment criteria as a tool to help them progress in their work. Assessment will go wrong from the outset if students or teachers see it as a way of controlling work and imposing ideas. Coney 1999: 2. Untuk memberikan dasar pertimbangan penilaian, Mamannoor 2002: 49 mengatakan bahwa berdasarkan banyak referensi, disodorkan dasar pemahaman yang sama dalam metode pertimbangan penilaian suatu yakni formalisme, ekspresivisme, dan instrumentalisme. 129 Pertimbangan penilaian formalisme, pelaksanaannya menempatkan unsur- unsur estetika sebagai tinjauan utamanya bersifat representatif dari bentuk-bentuk signifikan yang dikandung dalam karya seni tersebut. Bell 1968: 26 mengatakan bahwa, bentuk-bentuk signifikan suatu karya seni rupa merupakan kualitas umum sebuah karya seni rupa. Dengan demikian pertimbangan penilaian formalisme menekankan pada tinjauan terhadap unsur-unsur visual yang terorganisasikan dalam komposisi sebuah karya seni rupa. Sudarmaji 1979: 33 menyatakan ukuran seni yang menitik beratkan pada factor wujud form disebut formalisme: yaitu bentuk, harmoni, komposisi, texture dan sebagainya. Sehubungan dengan hal tersebut Feldman 1967: 446 menjelaskan, bahwa pertimbangan penilaian formalisme menempatkan mutu artistik pada suatu kualitas yang terintegrasi dalam pengorganisasian secara formal dari suatu karya seni rupa. Dengan demikian penilaian formalisme lebih mengutamakan pembahasan karya tanpa harus mendalami atau menelursuri apa yang ada didalamnya, termasuk unsur- unsur yang dialami oleh pembuat karya. Pertimbangan penilaian ekspresivisme, suatu pertimbangan penilaian yang cenderung melihat faktor pencipta karya sebagai orang yang melibatkan unsur-unsur pribadinya kedalam proses penciptaan karyanya. Ekspresivisme adalah sebutan untuk apresian yang cenderung menilai karya seni dari segi ekspresi Sudarmaji, 1979: 33. Selanjutnya Feldman 1967: 459 memberikan contoh sederhana pada dunia ekspresi anak-anak sebagai berikut: bagi anak-anak, dorongan untuk berkomunikasi menunjukkan kebutuhan dirinya sendiri yang lebih kuat dari pada keinginan untuk menghiasi, memodivikasi, atau hasil 130 akhirnya sampai mencapai arti ‘keindahan’ yang dapat dimengerti oleh orang dewasa. Seni rupa buatan anak-anak sering dinikmati melalui khayalan dan dirancang dengan warna bebas yang tak bisa dirintangi. Dengan demikian pengungkapan perasaan dan gagasan-gagasan menjadi pertimbangan yang utama dalam penilaian ekspresivisme. Konsekuensinya dari hal tersebut di atas, Mamannoor 2002: 52 mengatakan bahwa gagasan-gagasan orisinal seorang seniman pencipta karya yang ditampilkan melalui suatu karya seni rupa sangat penting untuk dijadikan sebagai kriteria penilaian. Pertimbangan penilaian instrumentalisme, mengandung makna kontekstual, yaitu ketika proses penggubahan seni rupa mengacu pada unsur- unsur yang melatarbelakangi pencipta seni misal budaya, sosial, politik, religi, moral, dan sebagainya. Feldman 1967: 463 mengatakan bahwa penilaian instrumentalisme tidak hanya mengutamakan penyampaian gagasan dan pengejawantahan kehendak seperti pada penilaian ekpresivisme, melainkan suatu kajian yang berkaitan dengan hal-hal yang melatarbelakanginya. Dengan demikian penilaian secara instrumental sering digunakan dalam penilaian karya- karya seni rupa kontemporer, karena karya-karya seni rupa kontemporer biasanya dilatarbelakangi motivasi tertentu. Berdasarkan ketiga pertimbangan penilaian di atas, dapatlah dirumuskan suatu pengertian bahwa untuk memberikan suatu penilaian pada karya seni dan sampai pada suatu keputusan diperlukan kriteria yang menjangkau tiga hal yaitu, pertama hal yang meliputi unsur-unsur visual yang terdapat pada karya tersebut antara lain: bentuk, komposisi, proporsi, perspekif, anatomi, gelap terang, 131 pewarnaan, dan sebagainya. Kedua, keterlibatan unsur-unsur pribadi melalui proses pengungkapan perasaan dan gagasan-gagasan dari pembuat karya. Ketiga, makna konstektual yaitu suatu kajian yang berkaitan dengan hal-hal yang melatar belakangi proses penggubahan karya. Selanjutnya berkaitan dengan penentuan kriteria, Duane dan Prebel 1967: 127 mengemukakan bahwa: “…Criteria upon which many art professionals agree include degree of originality, sensitivity to the appropriate use materials, and consistency of concept, design, and execution”. Aspek tingkat original pada suatu hasil karya seni adalah terkait dengan sikap dari pembuat karya yang mengutamakan keaslian karya, tidak meniru karya yang sudah ada atau karya orang lain. Pada lukisan anak-anak dimana melukis merupakan suatu pengalaman berkarya, anak bekerja dengan kebebasan emosi dalam mengungkapkan isi hatinya, menggunakan konsep, ide, atau pengalamannya sendiri, sehingga karya- karya mereka benar-benar murni, tidak ada kecenderungan untuk meniru karya orang lain. Dengan demikian, secara umum pada aspek original dituntut kreativitas dalam menciptakan karya seni. Untuk menentukan tingkat originalitas suatu karya lebih dititikberatkan pada ide, kreativitas, bentuk visual, teknik, dan kepribadian. Aspek sensitif menggunakan material berkaitan dengan penguasaan media yang digunakan untuk mewujudkan karya seni. Suatu hasil karya seni akan berhasil apabila pembuat karya sensitif terhadap media yang digunakan, memiliki pengetahuan tentang karakter masing-masing media, misal cat air mempunyai karakter lembut, cocok untuk digunakan dengan teknik transparan. Cat minyak 132 yang mempunyai sifat menutup, dan sebagainya. Pada anak-anak dalam berkarya, anak sering menggunakan lebih dari satu macam. Bahkan ada yang mengkombinasikan teknik goresan dengan teknik tempel dari elemen lain, sehingga akan memberikan efek pengamatan yang berbeda dari masing-masing karya. Dewobroto 2002: 9 berpendapat bahwa semakin bertambah umur si anak, semakin bertambah pula pengalaman dan tingkat penalarannya. Mereka akan semakin baik dalam penguasaan media, bahan , dan alat, dengan demikian masalah teknis pemakaian bahan dan alat serta umur anak merupakan sesuatu hal yang perlu diperhatikan dalam menilai lukisan anak. Aspek konsistensi dengan konsep merupakan suatu karya seni yang mengandung suatu konsep dari pembuat karya yang disampaikan lewat hasil karya seninya. Konsisten tidaknya pembuat karya terhadap suatu konsep tampak pada tema dan bentuk visual pada karyanya. Dikatakan tidak konsisten dengan konsep dalam membuat karya apabila karya yang dibuat bentuknya tidak menunjang tema. Aspek kriteria desain menitik beratkan pada unsur desain yaitu kaidah- kaidah komposisi, yaitu antara lain nilai kesatuan, kontras, keseimbangan, proporsi, irama, dan sebagainya. Aspek pelaksanaan, dapat dilihat dari keseluruhan aktivitas peserta didik yang meliputi langkah-langkah dan prosedur dalam mengerjakan tugas yang diberikan oleh pendidik, misal bagaimana penggunaan bahan dan alat dimulai dari persiapan sampai dengan sentuhan akhir dalam pembuatan karya, bagaimana anak dalam mengerjakan tugas apakah merasa senang, asyik, atau bahkan merasa 133 tertekan sehingga tidak lancar dalam penuangan idenya. Sampai dengan penerapan kaidah etis dan etika, misal kebersihan karya tidak terkesan kotor merupakan sesuatu yang termasuk dalam aspek pelaksanaan. Lain lagi yang dikemukakan Conrad 1964: 274 membuat kriteria dengan variasi yang meliputi: personal growth, social growth, dan growth in art skills. Ada dua variasiyang dikemukakan, pertama meliputi: personal growth, social growth, dan yang kedua: personal growth, social growth, dan growth in art skills. Variasi yang pertama dan indikator yang dikemukakan sebagai berikut: Personal growth. a. Tertarik pada seni ekspresionis b. Keaslian ide-ide c. Pemakaian dan pemilihan warna d. Kemampuan dalam menggunakan alat dan media e. Kerapian dan rupa secara umum dari sebuah karya seni f. Tanggung jawab terhadap penyelesaian sebuah karya seni g. Apresiasi terhadap karya anak-anak lain h. Evaluasi atas usaha sendiri Social growth a. Kemampuan untuk mengikuti petunjuk umum b. Kontribusi terhadap proyek kelompok c. Kemungkinan akan kerjasama d. Tanggung jawab dalam perawatan bahan e. Kerjasama dalam “cleaning up” setiap akhir periode 134 Variasi yang kedua meliputi: personal growth, social growth, dan growth in art skills, masing-masing indikator sebagai berikut: Personal growth a. Ketertarikan akan seni b. Keaslian c. Kemampuan dalam menggunakan alat dan media. d. Kerapian dan rupa secara umum dari sebuah karya seni e. Tanggung jawab terhadap penyelesaian sebuah karya seni Social growth a. Kontribusi terhadap kelompok b. Kerjasama dengan yang lain c. Menghormati karya orang lain Growth in art skills a. Ketrampilan mendesain kemampuan untuk mengorganisasi ide b. Ketrampilan menggunakan cat, krayon, kapur, tinta, dll. c. Ketrampilan dalam bahan tiga dimensi d. Penemuan e. Pengalaman teknis Pengunaan dari masing-masing variasi dan indikatornya tergantung dari hasil diskusi yang disepakati bersama. Berkenaan dengan penentuan kriteria yang ditetapkan untuk tujuan objektivitas penilaian, Heyfron 1986: 69 menyarankan sebagai berikut: 1 the possibility of intersubjective agreement 135 2 truth to the nature of the phenomenan under investigation 3 the identification of “reasonable” grounds for supporting judgements Mengacu pada pendapat para ahli di atas, dalam penilaian karya seni rupa untuk melihat kualitas dan sampai pada baik dan tidak baik diperlukan suatu kriteria yang meliputi dua unsur yaitu fisiko plastik dan ideo plastik dan ada persetujuan antar subjek. Seperti diketahui bahwa untuk menelaah suatu hasil karya seni rupa tentunya harus dapat dijelaskan secara rasio, sedangkan karya seni rupa lebih dominan pada komponen emosi. Dengan demikian kepekaan pengalaman estetik seseorang untuk melihat tingkat original, kesesuaian penggunaan media atau material, konsistensi konsep, desain, dan pelaksanaannya sangat diperlukan. Dalam hal ini seorang pendidik seni rupa dituntut untuk mempunyai kepekaan pengalaman estetik yang tinggi dan wawasan yang luas tentang perkembangan karya seni rupa.

E. Hasil Penelitian Yang Relevan

1. Hoepfner dkk. dalam penelitiannya dengan mengadakan survei pada semua tes yang dipublikasikan bagi anak sekolah tingkat dasar, dimana tes tersebut disesuaikan dengan sebuah tujuan kurikuler dan menunjukkan validitas isi yang paling besar, kemudian mengevaluasi setiap tes dengan kriteria tertentu. Hasilnya kurang dari setengah dari tujuan-tujuan yang ada dalam kesenian memiliki tes-tes yang terstandarisasi. Bahkan, sebagain besar tes- tes yang diberikan pada tujuan-tujuan seni tidak dirancang sebagai tes-tes kesenian melainkan sebagai tes-tes untuk perkembangan kognitif, sedangkan kekayaan konsep yang ada pada anak diketahui melalui inklusi dan definisi