34 menganalisis dan memperbaiki sikap negatif yang mungkin mereka miliki
terhadap pluralisme social dan keragaman suku. Langkah kedua, pendidik dan peserta didik melakukan analisis situasi supaya akrab dengan masyarakat.
Langkah ketiga, pendidik dan peserta didik memilih bahan kurikulum relevan dan menarik. Langkah keempat, pendidik dan peserta didik berkolaborasi mengadakan
penyelidikan masalah-masalah yang ada kaitannya dengan bahan kurikulum yang dipilih. Tindakan yang ditempuh dengan mengidentifikasi masalah sosial yang
berkaitan dengan agama, suku, jenis kelamin, tingkat kehidupan munusia, dan lain-lain. Kemudian mengumpulkan data, mengklarifikasi, menanang nilai yang
dianut peserta didik, membuat keputusan reflektif kemudian mengambil langkah nyata sesuai keputusan. Merupakan langkah terakhir yaitu langkah kelima
pendidik melaksanakan program evaluasi baik formatif maupun sumatif. Lima langkah yang dikemukakan oleh Wasson tersebut di atas merupakan salah satu
cara penyusunan kurikulum pendidikan berbasis multikultural. Ketiga pendekatan pendidikan seni rupa yang telah diuraikan di atas
merupakan tiga pendekatan utama yang mempengaruhi pemikiran dan praktek pendidikan seni rupa dewasa ini.
4. Pendidikan Seni Rupa di Sekolah Dasar di Indonesia
a. Tinjauan Historis
Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan dinamika masyarakat yang senantiasa berkembang, maka pendidikan seni rupapun
mengalami perkembangan terutama di Sekolah Dasar. Dimulai dengan kegiatan yang hanya mencakup menggambar di sekolah umum. Pestalozzi 1746-1827
35 merupakan pakar yang berhasil memasukkan pelajaran menggambar di sekolah
umum tersebut. Menurut pandangannya, menggambar adalah sarana untuk mengembangkan pengamatan, dan berfungsi untuk melatih penguasaaan
ketrampilan. Dengan demikian fungsi pelajaran menggambar adalah untuk mempersiapkan tenaga kerja pangsa pasar tertentu yang membutuhkan
kemampuan seseorang menggambar bangun dan pengamatan yang tajam. Perkembangan selanjutnya pada akhir abad ke 19, sebagai hasil dari studi
lahirlah pandangan baru tentang dunia anak yang amat besar
pengaruhnya terhadap pendidikan seni rupa. Riset pertama yang membahas seni anak tepatnya
dilaksanakan pada musim dingin pada tahun 1882 oleh Corrado Ricci seorang penyair Italia yang hasilnya merupakan dukungan studi tentang ekspresi seni
sebagai suatu alat untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam pada pengalaman total anak-anak. Kemudian era studi anak pada akhir abad ini
merupakan sebuah gerakan yang meluas dan berpusat pada pola-pola prilaku anak pada setiap perkembangannya.
Pada tahun-tahun tersebut, lahir teori-teori yang berpusat pada pola-pola perilaku anak pada setiap tahap perkembangannya. Hal ini diperkuat pernyataan
Uhlin 1975:18 yang menyatakan bahwa International congresses were formed in those years to pool data and structure theories which would communicate just
what it as that the child was resolving at a particular chronological age. Sebuah gagasan tentang tahap-tahap pertumbuhan dalam perkembangan artistik anak
muncul dalam studi ini.
36 Pandangan baru ini melihat anak sebagai pribadi yang unik yang berbeda
dengan orang dewasa. Selanjutnya studi awal tentang anak dilakukan para ahli, salah satu hasilnya adalah ditemukannya pola perkembangan menggambar anak
berdasarkan usia anak Sejalan dengan penemuan adanya pola kemampuan menggambar anak, maka muncullah pandangan baru tentang pembelajaran seni
rupa anak yang berfokus pada perkembangan alamiah anak dan pengalaman belajar anak.
Memasuki abad ke 20 perkembangan seni rupa memasuki babak baru, dengan terbitnya banyak jurnal pendidikan seni rupa sebagai hasil penelitian.
Pendidikan seni rupa yang sebelumnya hanya terbatas pada kegiatan menggambar menjadi lebih luas mencakup pembelajaran apresiasi seni rupa, disain, dan
kerajinan. Mulailah adanya pengakuan karya seni rupa anak sebagai karya seni rupa yang sesungguhnya. Pada masa sebelumnya, menurut Read hanya orang
dewasalah yang memilki kematangan perasaan dan intelektual yang dipandang layak untuk menghasilkan karya seni Read, 1970: 1. Frank Cizek, seorang
pendidik dan perupa dari Wina, adalah orang pertama yang memberikan pengakuan adanya nilai yang terkandung pada karya seni rupa anak. Ia
menegaskan bahwa seni rupa anak hanya mampu dihasilkan oleh anak dan anak menggambar harus diberi kesempatan untuk tumbuh bagaikan bunga yang
berkembang dengan sendirinya secara alami, bebas dari pengaruh orang dewasa. Di Indonesia pada masa pemerintahan Belanda, didirikan sekolah khusus
untuk anak-anak pribumi dengan tujuan menyiapkan tenaga siap pakai untuk dipekerjakan sebagai tenaga administrasi pada masa pemerintahan kolonial.
37 Demikian juga pada pelajaran seni rupa, waktu itu bentuk pelajarannya adalah
pelajaran menggambar dengan orientasi pemberian keterampilan yang dapat digunakan untuk bekerja secara mandiri pada pemerintah kolonial. Buku-buku
pelajaran yang dipakai adalah buku-buku yang merupakan gambar-gambar pemandangan di Belanda dengan kincir angin, suasana peternakan dan bunga
tulipnya. Hal ini mencerminkan sistem pendidikan yang diterapkan di Indonesia cenderung tidak menggambarkan keadaan atau suasana Indonesia, tetapi
menanamkan tradisi Barat sebagai suatu kemajuan. Akibat yang diinginkan anak- anak Indonesia tidak dapat mengenal, menghargai budaya dan tradisinya sendiri.
Namun yang terjadi selanjutnya timbul ketidakpuasan dari kaum pribumi terpelajar yang menginginkan perlunya anak-anak Indonesia mengenal,
menghargai budaya dan tradisi bangsa sendiri. Kemudian oleh R.M Soewadi Soerjaningrat atau dikenal dengan Ki Hajar Dewantoro mendirikan sekolah swasta
untuk kepentingan anak-anak pribumi dan menurut pandangannya pendidikan seni rupa merupakan alat untuk menanamkan kepribadian Indonesia. Ekspresi diri,
keaslian, dan sadar budaya adalah dasar dari metode pendidikan seni rupa yang diterapkan di Taman Peserta didik Holt, 1967: 195.
Bersamaan dengan didirikannya Taman Peserta didik, di Sumatra Barat tepatnya di Kayutanam berdiri pula Indonesische-Nederlandsche School INS
oleh Mohammad Syafei. Pada prinsipnya Mohammad Syafei menentang pendidikan pemerintah kolonial yang hanya mengutamakan pendidikan intelektual
dan kurang memperhatikan pengembangan kepribadian anak. Pelajaran menggambar, mencetak, dan kerajinan tangan adalah mata pelajaran yang
38 dianggap penting. Pada mata pelajaran menggambar meliputi menggambar alam
benda, perspektif, ilustrasi, dan menggambar ekspresi, yang kesemuanya bertujuan melatih pengamatan anak. Pada menggambar ekspresi, anak-anak
diberi kebebasan untuk menyatakan ide dan perasaannya. Pendidik sebagai fasilitator memberikan kemudahan-kemudahan pada anak. Pada kelas-kelas
akhir, anak-anak diajarkan keterampilan agar memiliki kemampuan untuk membuat barang yang bersifat fungsional, dan dijual untuk menambah beaya
kegiatan sekolah. Pada masa awal kemerdekaan, pelaksanaan pendidikan seni rupa tidak
mengalami perubahan yang berarti. Pembelajaran masih mengembangkan kemampuan anak melalui latihan koordinasi mata dan tangan, hanya objek
gambar bukan lagi pemandangan di Belanda tetapi pemandangan alam Indonesia. Baru pada tahun 1964 istilah “menggambar” diganti dengan “seni rupa”.
Perkembangan selanjutnya pendidikan menggambar yang menekankan pada teknik menggambar tidak digunakan sejalan dengan diterapkannya
pendidikan seni rupa pada kurikulum sekolah kurikulum tahun 1975 dan kurikulum sesudahnya dan pada kurikulum yang berlaku sekarang ini KTSP.
Pendidikan seni rupa tidak dikenal sebagai istilah yang mandiri di Sekolah Dasar. Dalam rumusan kurikulum tingkat satuan pendidikan KTSP merupakan bagian
dari kelompok mata pelajaran Estetika dan nama mata pelajarannya adalah Seni Budaya dan Keterampilan. Lingkup materi pembelajarannya meliputi seni rupa,
seni musik, seni tari, seni teater, kerajinan, dan teknologi.
39
b. Pendekatan Pendidikan Seni Rupa yang dianut di Indonesia