PENGEMBANGAN INSTRUMEN PENILAIAN SENI LUKIS ANAK DI SEKOLAH DASAR

(1)

Gambar 1.

Hasil Karya Lukis Anak Kelas 1

Gambar 2.


(2)

Gambar 3.

Hasil Karya Lukis Anak Kelas 2

Gambar 4.


(3)

Gambar 5.

Hasil Karya Lukis Anak Kelas 3

Gambar 6.


(4)

Painting in Elementary School. Dissertation. Yogyakarta: Graduate School,

Yogyakarta State University, 2009.

This study aim at developing an assessment specification for children’s painting in elementary schools by developing a valid and reliable assessment instrument to measure the performance of children’s painting. The development of this assessment instrument was intended to guide the painting teachers in elementary schools in carrying out assessment objectively.

This study is a development research which uses quantitative and qualitative approaches. The development process was carried out in five phases, covering initial study, defining, designing, developing, and dissemination phases. The subjects of this study were elementary schools’ teachers and pupils in the first grade to third grades and painting teachers in Muhammadiyah Sapen Yogyakarta elementary school, MIN (Islamic State Elementary School) Tempel, and Langen Sari Yogyakarta elementary school. The construct of the instrument consisting of instrument for process, product, self, and group assessment was developed based on the suggestion of art education, children’s art painting, evaluation, and painting experts. The reliability coefficient of the assessment instrument was computed based on generalizeability theory developed by Crick and Brennan consisting of G (generalized study) and D (decision study) theories with the variance of person, rater, item, person rater interaction, and error components using Genova computer package program, and interrater Cohen’s Kappa fomula.

The findings of this study suggest that first, the specification of the assessment instrument for performance of children’s painting in elementary school is in the form of observation sheet consisting of indicators, descriptions, and rubrics (criteria). The components of assessment object are process, product, self assessment, and group assessment. Second, the characteristics of the performance assessment instrument of children’s painting in elementary school consisting of validity, reliability coefficient, and its implementation have been verified. The validity evidence is obtained through three focus group discussions and one seminar. The average of Cohen’s Kappa tend to be higher than genova coefficient and the estimation of Genova coefficient using a nonlinear equation tends to be more accurate than one using a linear equation. The highest coefficent of Genova for process assessment is in grade 1 with 7 items rated, that is 0.91, for product assessment in grade 1 with 3 items rated, that is 0.76, for self assessment, that is 0.68, and for group assessment in grades 1, that is 0.86. The average of cofficients genova is 0.71 and the average of Cohen’s Cappa is 0.73. Both of this value are higher than the minimum criteria, 0.70. Third, the guideline of using performance assessment instrument of children’s painting in elementary school is in the form of a booklet. It consists of background, rationale, components of assessment, guideline, and application sample. Forth, the requirements for elementary school teachers for using this instrument cover the relevant educational background, having experiences in art of paintings, good comprehension toward the guideline of performance assessment for children’s painting, and being responsive toward reformation and changes.


(5)

Tujuan penelitian ini adalah mengembangkan spesifikasi penilaian karya seni lukis anak di sekolah dasar dengan mengembangkan instrumen penilaian yang sahih dan andal untuk mengukur hasil belajar seni lukis anak. Pengembangan instrumen penilaian hasil belajar seni lukis anak sekolah dasar ini dimaksudkan agar para guru seni lukis pada jenjang pendidikan dasar dapat melakukan penilaian secara objektif.

Jenis penelitian ini adalah penelitian pengembangan yang menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Proses pengembangan dilakukan melalui lima tahap yaitu tahap studi awal, tahap pendefinisian, tahap perancangan, tahap pengembangan, dan tahap diseminasi. Penetapan konstruk instrumen yang terdiri atas instrumen penilaian proses, penilaian produk, penilaian diri, dan penilaian kelompok dilakukan melalui pendapat pakar pendidikan seni, pakar seni lukis anak, pakar pengukuran, dan praktisi lapangan. Subjek penelitian ini terdiri atas dua elemen yaitu pendidik dan peserta didik sekolah dasar kelas satu sampai dengan kelas tiga dan pendidik seni lukis anak di SD Muhammadiyah Sapen Yogyakarta, MIN Tempel, dan SDN Langen Sari Yogyakarta. Penentuan koefisien reliabilitas instrumen penilaian dilakukan dengan menggunakan paket program genova berdasarkan teori Generalizability yang dikembangkan oleh Cric dan Brennan yang terdiri atas teori G (Generalized study) dan D (Decision study) yang komponen variansinya adalah person, rater, item, interaksi person dan rater, dan kesalahan, serta dengan koefisien interrater Cohen’s Kappa.

Kesimpulan hasil penelitian ini adalah: 1). Spesifikasi instrumen penilaian hasil belajar karya seni lukis anak di SD berbentuk lembar pengamatan yang terdiri atas indikator, deskripsi, dan rubrik (kriteria), serta komponen yang menjadi objek penilaian meliputi proses, produk, penilaian diri, dan penilaian kelompok, 2). Karakteristik instrumen penilaian hasil belajar karya seni lukis anak yang mencakup validitas, reliabilitas, dan keterpakaian di SD telah teruji. Validitas telah teruji melalui focus group discussion sebanyak 3 kali dan sekali seminar. Rata-rata koefisien Cohen’s Kappa cenderung lebih tinggi dibanding rata-rata koefisien genova dan koefisien genova dengan persamaan nonlinear cenderung lebih teliti dibanding dengan persamaan linear. Besar koefisien genova paling tinggi untuk penilaian proses di kelas 1 dengan 7 item yang dirating yaitu 0,91, penilaian produk di kelas 1 dengan 3 item yang dirating yaitu 0,76, penilaian diri di kelas 1 yaitu 0,68, sedang penilaian kelompok di kelas 1 yaitu 0,86. Rata-rata koefisien Genova secara keseluruhan adalah 0,71. Adapun Rata-rata-Rata-rata koefisien Cohen’s Kappa yaitu 0,73. Kedua nilai rata-rata ini telah memenuhi kriteria minimum yang disyaratkan yaitu 0,70, 3). Pedoman penggunaan instrumen penilaian hasil belajar karya seni lukis anak dalam bentuk booklet. Booklet terdiri atas latar belakang, rasional, komponen yang dinilai, petunjuk penggunaan, dan contoh aplikasi, 4). Persyaratan yang harus dipenuhi pendidik SD agar kompeten menggunakan instrumen penilaian hasil belajar karya seni lukis anak di SD meliputi latar belakang pendidikan yang relevan, memiliki pengalaman dalam bidang seni lukis, memahami pedoman penilaian hasil belajar karya seni lukis anak, dan responsip terhadap pembaharuan dan perubahan.


(6)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang dan Identifikasi Masalah

Pada dasarnya manusia memiliki pengetahuan, keterampilan, dan nilai estetika agar dapat hidup dengan baik di masyarakat dan memiliki rasa keindahan. Pengetahuan berkaitan dengan penalaran yang diperlukan dalam memecahkan masalah. Keterampilan berhubungan dengan gerak anggota badan dalam mengerjakan pekerjaan. Rasa keindahan atau kepekaan estetik berkaitan dengan seni, sehingga orang yang memiliki apresiasi terhadap seni merasakan indah dalam hidupnya. Oleh karena itu setiap orang harus memiliki kepekaan estetik agar dapat merasakan keindahan dalam hidupnya.

Dalam perspektif pendidikan, seni dipandang sebagai salah satu alat atau media untuk memberikan keseimbangan antara intelektualitas dengan sensibilitas, rasionalitas dengan irrasionalitas, dan akal pikiran dengan kepekaan emosi. Bahkan dalam batas-batas tertentu, seni menjadi sarana untuk mempertajam moral dan watak seseorang (Rohidi, 2000: 55). Pendidikan seni bertujuan mengembangkan kedewasaan diri anak didik yang utuh dan seimbang dengan cara memberikan perlakuan yang dapat merangsang kepekaan estetik dan kreativitas peserta didik. Dengan demikian untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan pengembangan estetik melalui pendidikan seni.

Pengembangan kepekaan estetik merupakan bagian dari pengembangan kepribadian seseorang, yang dilakukan melalui pendidikan seni. Dalam Peraturan Pemerintah No 19 tahun 2005 (PP Nomor 19, 2005) tentang standar nasional


(7)

pendidikan, masalah kepekaan estetik memperoleh penekanan dalam pengembangan kemampuan peserta didik melalui kelompok mata pelajaran estetika. Pada peraturan ini, kelompok mata pelajaran estetika yang harus dipelajari peserta didik mempunyai arah pengembangan untuk meningkatkan: (1) sensitivitas, (2) kemampuan mengekspresikan, dan (3) kemampuan mengapresiasi keindahan dan harmoni. Kemampuan mengapresiasi dan mengekspresikan keindahan serta harmoni mencakup apresiasi dan ekspresi, baik dalam kehidupan individual sehingga mampu menikmati dan mensyukuri hidup, maupun dalam kehidupan kemasyarakatan sehingga mampu menciptakan kebersamaan yang harmonis (BSNP, 2006: 78-79).

Kelompok mata pelajaran estetika merupakan pelaksanaan dari pendidikan seni yang tergolong unik karena melekatnya "pengalaman estetik" pada diri seseorang. Dalam pendidikan seni, pengalaman estetik merupakan sesuatu yang esensial. Menurut Linderman (1984: 54), pengalaman estetik mencakup pengalaman-pengalaman perseptual, kultural, dan artistik. Pengalaman perseptual dikembangkan melalui kegiatan kreatif, imajinatif, dan intelektual. Pengalaman kultural melalui kegiatan pemahaman terhadap hasil warisan budaya lama dan baru, sedangkan pengalaman artistik melalui kegiatan kreatif dan apresiatif. Dengan demikian pengalaman estetik memberi peluang bagi seseorang untuk memahami dunia dari sudut pandangan yang berbeda dengan aspek pengetahuan. Cara memahami dunia yang ditawarkan oleh seni bersifat intuitif, tak terduga, dan kreatif, serta dikomunikasikan dalam bahasa warna, bunyi, gerak, atau isyarat yang bersifat simbolis.


(8)

Pada seni melekat kesediaan untuk mengimajinasikan segala kemungkinan, mengeksplorasi ambiguitas, dan menerima keragaman pandangan. Karena itulah, pendidikan seni amat menghargai pengalaman pribadi yang menantang anak untuk bertindak kreatif melalui pemecahan masalah artistik. Hal ini sesuai dengan pendapat Anugrah (2006) sebagai berikut.

Pendidikan Seni Budaya di sekolah memiliki dua fungsi yaitu: (1) untuk menumbuhkan kepekaan rasa estetik dan artistik sehingga terbentuk sikap kritis, apresiatif, dan kreatif pada diri peserta didik secara komprehensif; (2) untuk membentuk pribadi yang harmonis dalam berlogika dan beretika bagi elaborasi peserta didik untuk mencapai kecerdasan emosional, intelektual, spiritual, serta mentalitasnya.

Kelompok mata pelajaran estetika dilaksanakan pada semua jenjang pendidikan dari sekolah dasar sampai dengan sekolah menengah atas atau yang sederajat dengan standar kompetensinya disebutkan dalam PP 19 tahun 2005 yaitu: ”membentuk karakter peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa seni dan pemahaman budaya. Tujuan ini dicapai melalui muatan dan/atau kegiatan bahasa, seni dan budaya, keterampilan, dan muatan lokal yang relevan.”. Standar kompetensi kelompok mata pelajaran estetika pada jenjang sekolah dasar adalah: ”menunjukkan kemampuan untuk melakukan kegiatan seni dan budaya lokal.” (BSNP, 2006: 140). Salah satu kegiatan seni yang dilaksanakan di sekolah dasar adalah seni lukis yang merupakan bagian dari seni rupa.

Kegiatan melukis bagi anak-anak seusia anak sekolah dasar merupakan kegiatan naluriah dan menjadi kesenangan anak karena muncul atas desakan perkembangan emosi artistik yang bersifat kodrati. Melukis bagi anak-anak merupakan aktivitas psikologis dalam rangka mengekspresikan gagasan, imajinasi, perasaaan, emosi, dan /atau pandangan anak terhadap sesuatu. Anak


(9)

melukis adalah menceritakan atau mengungkapkan (mengekspresikan) sesuatu yang ada pada dirinya secara intuitif dan spontan lewat media seni lukis (Soesatyo, 1994a: 31). Mereka melukis sebagai wujud pengungkapan pikiran dan perasaan tanpa terbatas pada apa yang dilihat oleh mata kepala saja, melainkan lebih pada apa yang mereka mengerti, pikirkan dan khayalkan. Mereka dengan asyik melakukan coret-mencoret, mengekspresikan perasaannya melalui garis, bidang, warna dan sebagainya sesuai dengan suara batin dan lingkungan anak.

Sebagaimana kehidupan dan keadaan jiwa anak-anak yang pada umumnya bersifat bermain-main, spontan, bebas, gembira, dan eksperimental, maka sifat-sifat yang demikian juga hadir dalam karya lukis anak. Didukung oleh penalaran anak yang wajar, maka hasil karya anak tampak sungguh naif. Ungkapan pribadinya muncul melalui bentuk-bentuk dengan makna simbolik tertentu, intuitif dan lebih dekat dengan sifat bermain pada anak. Penggunaan unsur-unsur pada lukisannya tergantung pada keasyikan pemikiran dan fantasinya, Lebih banyak yang akan mereka ceritakan maka lebih banyak pula bentuk yang dimunculkan (Soesatyo, 1994b: 32).

Dalam konteks pendidikan, seorang pendidik harus mempunyai pengetahuan dan pemahaman tentang makna karya seni lukis bagi peserta didik. Pengetahuan dan pemahaman ini diperlukan agar pendidik mampu memberikan bimbingan dan menilai hasil belajar karya peserta didik . Hal ini sesuai dengan kompetensi yang dituntut sebagai seorang guru yaitu menyelenggarakan penilaian dan evaluasi proses dan hasil belajar. Penilaian proses antara lain melalui pengamatan terhadap perubahan perilaku dan sikap untuk menilai perkembangan kompetensi peserta didik (PP Nomor 19, 2005).


(10)

Penelitian ini didasarkan pada asumsi bahwa pemahaman guru-guru terhadap hakekat pendidikan seni terutama pelaksanaan pembelajaran seni lukis sekolah dasar belum seperti yang diharapkan sehingga mereka cenderung membimbing secara kurang tepat antara lain menilai secara subjektif. Sebagian besar guru sekolah dasar merupakan guru kelas, sehingga kemampuan dalam menilai karya anak belum seperti yang diharapkan. Dengan demikian masalah subjektivitas menjadi masalah yang tidak dapat dihindari dalam penilaian karya lukis anak.

Subjektivitas dalam penilaian karya seni lukis anak pada dasarnya disebabkan oleh kesulitan guru dalam menentukan kriteria penilaian, padahal pelajaran melukis bagi anak-anak adalah pelajaran yang menyenangkan. Hal ini diakui oleh dua puluh orang guru yang dapat ditemui dalam studi awal penelitian. (lihat Tabel 1)

Tabel 1

Daftar Peserta Studi Awal

No Nama Guru (Singkatan) Umur (Tahun) Pengalaman Mengajar (Tahun) Nama Sekolah

1 SW 49 24 SD Lempuyangan 2

2 PB 36 11 SD Lempuyangan 1

3 SR 39 14 SD Lempuyangan 3

4 NH 47 22 SD Tegal Panggung

5 AG 54 29 SDN Widoro

6 PN 45 20 SD Suryodiningratan 4

7 EL 55 30 SD Langensari

8 RL 50 25 SD Samirono

9 RP 35 10 SD Suryodiningratan 3

10 SW 38 13 SD Pujokusumon 3

11 SS 32 7 SD Muh.Danunegaran

12 WA 39 14 SD Muh.Karangkajen

13 TR 31 6 SD Muh. Nitikan

14 RH 33 8 SD Muh. Danunegaran

15 ET 27 4 SD Muh.Nitikan

16 MR 35 10 SD Muh.Penumping

17 SR 29 5 SD Muh. Gowongan

18 RP 34 9 SD Muh. Papringan


(11)

Penilaian hasil karya lukis siswa perlu meninjau dua aspek yaitu proses pembuatan karya lukis dan hasil karya lukis itu sendiri. Kedua aspek penilaian ini akan memberikan gambaran tentang kemampuan melukis siswa yang sebenarnya. Pada penilaian proses seorang guru dapat mengamati bagaimana aktivitas siswa dalam membuat karya lukis. Pada penilaian produk seorang guru dapat melihat hasil karya siswa setelah mengalami serangkaian proses pembuatan karya.

Kenyataan di lapangan menunjukkan penilaian proses dan produk dilakukan guru sebatas pengetahuan yang dimiliki guru tentang seni lukis, karena latar belakang pendidikan bukan dari bidang seni rupa. Sebagai guru kelas dan tidak pernah mendapat pelatihan tentang penilaian seni lukis sehingga guru mengalami kesulitan dalam menilai proses dan produk karya seni lukis. Hal ini lebih disebabkan karena tidak ada kriteria yang dapat dijadikan sebagai pedoman dalam menilai proses dan produk karya seni lukis anak tersebut.

Berdasarkan studi awal yang dilakukan, dari jawaban dan pendapat yang dikemukakan para guru, dapat dirinci permasalahan di lapangan dalam penilaian karya seni lukis anak sebagai berikut: (1) adanya faktor subjektivitas dalam menilai karya seni lukis anak; (2) guru merasa kesulitan untuk menentukan kriteria dalam penilaian karya seni lukis anak, baik penilaian proses maupun produk karya seni lukis anak; (3) belum adanya pedoman yang dapat dijadikan pegangan guru untuk melakukan penilaian seni lukis anak yang sesuai dengan perkembangan anak.

Dalam konteks pendidikan, permasalahan penilaian karya lukis anak merupakan permasalahan yang sangat penting untuk dipecahkan karena akan


(12)

menjadi kendala dalam proses pembelajaran seni lukis anak. Merupakan dampak selanjutnya adalah tidak berfungsinya tujuan pendidikan seni budaya dan keterampilan dalam mengembangkan sensitivitas, kreativitas, ekspresi estetis, dan kreativitas peserta didik.

Studi awal tersebut menggambarkan keadaan sesungguhnya di lapangan bagaimana guru-guru, khususnya pengajar seni lukis kesulitan menentukan kriteria penilaian seni lukis anak. Hal inilah yang melandasi penelitian ini untuk mengembangkan instrumen penilaian karya seni lukis anak, dengan harapan agar penilaian mendekati objektivitas. Hingga saat ini instrumen penilaian karya seni lukis anak yang telah teruji secara ilmiah yang dapat digunakan oleh guru sekolah dasar, khususnya di Indonesia, belum tersedia. Selama ini, guru seni lukis menggunakan instrumen penilaian yang disusun secara mandiri. Akibatnya, timbul perbedaan persepsi tentang instrumen penilaian seni lukis anak sekolah dasar antara guru yang satu dengan lainnya.

B. Rasional yang Mendasari Pentingnya Masalah

Memahami karya lukis anak, terutama dari hakekat seni, tentunya tidak adil apabila hanya dilihat dari segi tampilan karya tersebut. Tetapi, juga harus dilihat dari segi atau sisi anak-anak itu sendiri yang menghasilkan karya yaitu dengan menghayati kondisi kejiwaan anak, kehidupan anak, dan dunia anak-anak itu sendiri. Oleh karena itu masalah seni lukis anak tidak dapat dipisahkan dari tinjauan ilmu jiwa anak terutama dalam hal ini anak sekolah dasar.


(13)

Cara pandang atau apresiasi guru terhadap hasil karya lukis anak berbeda dengan karya lukis orang dewasa. Apalagi sampai pada suatu kesimpulan berupa penilaian yang dapat dipertanggungjawabkan. Kegiatan seni lukis anak memiliki wilayah tersendiri dan karenanya harus dilihat serta dinilai tersendiri (Soesatyo, 1994a: 33). Untuk sampai pada penilaian karya lukis anak, seorang guru harus mempunyai pengetahuan dan kemampuan apresiasi yang tinggi terhadap karya tersebut sehingga dapat mengerti, menerima, dan menghargai yang didasari pengertian yang terkandung dalam karya. Di samping hal tersebut, seorang guru harus pula mempunyai wawasan yang luas dan dapat mengerti kelemahan dan kekurangan hasil karya lukis anak, sehingga hasil penilaiannya dapat dipertanggungjawabkan.

Penilaian merupakan bagian dari kegiatan pembelajaran. Penilaian bertujuan untuk mengetahui proses dan hasil belajar mengajar seni luksi anak. Untuk melakukan penilaian yang objektif diperlukan instrumen penilaian. Agar penyelenggaraan proses belajar mengajar di sekolah memperoleh hasil yang optimal hendaknya guru memiliki pengetahuan dalam menilai karya lukis anak, baik proses maupun hasilnya. Instrumen penilaian ini akan membantu guru dalam menilai karya lukis anak secara objektif, sehingga dapat memacu anak belajar seni lukis.

Dalam pasal 28 ayat (3) butir a, PP 19 tahun 2005 disebutkan bahwa seorang pendidik harus mempunyai kompetensi pedagogik yakni kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik yang meliputi pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan


(14)

pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya. Kompetensi pedagogik mencakup kemampuan melaksanakan pembelajaran dan menilai proses dan hasil belajar peserta didik. Kegiatan penilaian memerlukan instrumen penilaian.

Keberhasilan pendidikan seni tidak lepas dari peranan guru dalam menilai karya lukis anak. Penilaian yang dilakukan guru di sekolah saat ini belum menggunakan instrumen yang dapat dipertanggungjawabkan dilihat dari kriteria yang digunakan. Akibatnya, sering terjadi penilaian karya seni khususnya karya seni lukis anak tidak berpijak pada argumen yang tepat. Dalam berbagai kasus, guru tidak mampu menjelaskan kriteria yang digunakannya dalam memberikan nilai enam, atau tujuh atau delapan dalam menilai hasil belajar praktek seni lukis anak.

Dengan demikian diperlukan suatu instrumen yang dapat diacu untuk menilai karya seni lukis anak, agar hasil penilaian lebih akuntabel. Dalam penilaian karya seni lukis anak perlu ditegaskan tidak adanya hal yang salah, keliru atau betul, sebab yang ada hanyalah tingkat kemampuan anak. Oleh karenanya faktor psikologis seperti dunia anak, kehidupan anak, dan kejiwaan anak perlu dipertimbangkan dalam menilai karya seni lukis anak.

Berkaitan dengan hal tersebut di atas, salah satu panduan penilaian yang dikembangkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan adalah panduan penilaian kelompok mata pelajaran estetika. Sistem penilaian kelompok mata pelajaran estetika harus memperhatikan esensi kelompok mata pelajaran itu sendiri. Hal ini dipertegas pada pasal 64 ayat 5 Peraturan Pemerintah RI Nomor 19 tahun 2005


(15)

tentang Standar Nasional Pendidikan, bahwa “Penilaian hasil belajar kelompok mata pelajaran estetika dilakukan melalui pengamatan terhadap perubahan perilaku dan sikap untuk menilai perkembangan afeksi dan ekspresi psikomotorik peserta didik”. Penegasan ini mengisyaratkan diperlukan cara penilaian yang bersifat khusus. Dengan cara demikian, penilaian tidak akan terjebak menjadi like

and dislike karena menggunakan ukuran yang jelas. Hal inilah yang perlu

diperhatikan dalam pelaksanaan pendidikan seni (Yahya, 2001: 15).

Karena lukisan anak merupakan wujud ekspresi artistik, maka di dalamnya terdapat dimensi keindahan. Dengan demikian, penilaian terhadap seni lukis anak harus merupakan upaya untuk menunjukkan nilai-nilai artistik lukisan tersebut. Penilaiannya dapat diartikan sebagai upaya menentukan kadar keartistikan, apakah tinggi, sedang, atau rendah. Untuk menentukan kadar keartistikan suatu lukisan diperlukan ukuran atau kriteria tertentu. Kriteria tersebut akan memudahkan penikmat dalam mengevaluasi lukisan (Yahya, 2001: 14). Dengan demikian untuk memudahkan pendidik dalam menilai karya lukis anak, diperlukan instrumen yang didalamnya terdapat kriteria yang telah ditetapkan lebih dahulu. Hal ini akan memudahkan pendidik untuk menilai karya seni lukis anak dengan membandingkan hasil karya dengan kriteria yang telah ditetapkan, sehingga hasil penilaian dapat objektif dan dapat dipertanggung jawabkan.


(16)

C. Rumusan Masalah

Masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana komponen instrumen penilaian hasil belajar karya seni lukis anak di sekolah dasar?

2. Bagaimana karakteristik instrumen penilaian hasil belajar karya seni lukis anak yang mencakup validitas, reliabilitas, dan keterpakaian di sekolah dasar?

3. Bagaimana bentuk dan isi pedoman penggunaan instrumen penilaian hasil belajar karya seni lukis anak?

4. Untuk menggunakan instrumen penilaian hasil belajar seni lukis anak sekolah dasar secara optimal, kompetensi apa yang perlu dikuasai guru?

D. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk:

1. Mengembangkan komponen instrumen penilaian hasil belajar karya seni lukis anak di sekolah dasar.

2. Menentukan kriteria penilaian hasil belajar karya seni lukis anak di sekolah dasar.

3. Mengembangkan instrumen penilaian yang valid, reliabel, dan praktis untuk mengukur hasil belajar seni lukis anak.

4. Mengetahui persyaratan apa yang harus dipenuhi pendidik sekolah dasar, untuk dapat menggunakan secara kompeten instrumen hasil belajar seni lukis anak.


(17)

E. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian akan memberi sumbangan teori pada kriteria instrumen penilaian seni lukis anak yang teruji secara empirik. Secara praktis hasil penelitian diharapkan akan menjadi acuan guru pengajar seni dalam melakukan penilaian hasil karya seni lukis anak.

F. Spesifikasi Produk

Hasil penelitian dan pengembangan, diharapkan mendapatkan produk berupa instrumen penilaian seni lukis anak sekolah dasar yang valid dan reliabel. Instumen penilaian tersebut diperlukan untuk membantu guru dalam memberikan penilaian yang objektif terhadap kemampuan seni lukis anak. Penilaian yang objektif akan membantu seorang guru mengidentifikasi kemampuan siswa dalam melukis. Spesifikasi produk yang diharapkan adalah sebagai berikut:

1. Penilaian proses

Penilaian proses terdiri dari tahap awal dan tahap inti. Tahap awal mencakup indikator-indikator yang berhubungan dengan pengkondisian awal siswa sebelum melukis seperti kesiapan alat dan bahan yang diperlukan untuk melukis. Tahap inti mencakup indikator yang berhubungan dengan aktivitas siswa dalam melukis baik dari segi kemampuan intelektual, waktu, maupun kondisi psikologis yang mempengaruhi kualitas karya yang dihasilkan seperti keberanian dan ketekunan.


(18)

2. Penilaian produk

Penilaian produk mengungkap adanya unsur kreativitas, ekspresi, serta teknik melukis, sebagaimana tercantum dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan untuk bidang seni yang terdiri dari gambar ekspresif dan imajinatif.

3. Penilaian diri

Penilaian diri mengungkap informasi dari tiap peserta didik, apakah suatu kegiatan melukis bagi dirinya menarik atau membosankan, apakah mengerjakannya mudah atau sulit, bermanfaat atau tidak, dan hasilnya memuaskan atau tidak, serta pengalaman-pengalaman berharga mana yang berhasil dipelajari dalam kegiatan tersebut.

4. Penilaian kelompok

Penilaian kelompok memberikan kesempatan peserta didik menunjukkan satu atau dua karya mereka secara bergiliran, kemudian peserta didik yang lain memberikan respons dalam bentuk bahasan kritis, sehingga terkembangkan sikap oto kritis dalam memberikan penilaian terhadap hasil karya temannya. Disamping itu, dalam penilaian kelompok peserta didik diharapkan dapat menangani problem, kegagalan, dan keberhasilan karya temannya.


(19)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Model Pengembangan

Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan yang menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Penelitian pengembangan digunakan untuk menghasilkan instrumen yang baku dalam menilai karya lukis anak. Pendekatan ini digunakan, karena pengembangan instrumen penilaian seni lukis anak harus dimulai dengan membangun konstruk yang diukur. Konstruk instrumen penilaian ini merupakan “tingkat ukuran” (yard stick) karya seni lukis anak. Instrumen yang dikembangkan disertai dengan pedoman penggunaan instrumen.

Instrumen penilaian seni lukis anak, sesuai dengan Standard for

educational and psychological testing (1999) harus memiliki bukti validitas interpretasi hasil pengukuran. Konsep validitas bersifat “unity concept” yang dibangun dari teori yang melandasi konsep pengembangan, instrumen, dan bukti empirik. Bukti validitas suatu instrumen harus memiliki validitas interpretasi hasil pengukurannya. Bukti validitas interpretasi hasil pengukuran instrumen penilaian karya seni lukis anak memerlukan data kualitatif dan kuantitatif. Data kualitatif yang diperlukan merupakan landasan teoritis bangunan konstruk instrumen, yang pengumpulannya dimulai sejak awal pengembangan konstruk, melalui berbagai penelusuran dan diskusi pakar seni lukis dan pendidikan seni lukis, termasuk praktisi seni lukis dan guru seni lukis di sekolah dasar. Data kuantitatif yang berupa hasil penilaian pendidik terhadap karya lukis anak


(20)

diperlukan untuk memperoleh informasi tentang besarnya koefisien keandalan hasil ukur instrumen.

Kriteria pengembangan konstruk instrumen mencakup aspek proses dan hasil karya lukis anak. Setiap aspek diurai menjadi sejumlah indikator. Setelah indikator disusun menjadi item yang dirakit menjadi instrumen utuh. Instrumen diujicobakan kepada sejumlah pendidik agar dapat diketahui keterpakaiannya dan diestimasi koefisien reliabilitas hasil ukurnya.

Pengembangan instrumen ini dilakukan dengan mengadopsi model penelitian dan pengembangan pendidikan secara umum. Beberapa model penelitian dan pengembangan yang dipakai dalam penelitian dan pengembangan (R & D) antara lain: model Semmel & Semmel, Thiagarajan, Plomp, dan model Borg & Gall. Model Thiagarajan, Semmel & Semmel dikenal dengan Four-D Model, yaitu Define, Design, Develop and Disseminate. Menurut Plomp (1997: 78) langkah-langkah R & D adalah sebagai berikut: (1) preliminary investigation, (2) design, (3) realization construction, (4) test, (5) evaluation and revision, and (6) implemention. Menurut Borg & Gall ( 1983, 275-276) ada sepuluh langkah dalam melakukan R & D, seperti berikut ini.

1) Research and information collecting 2) Planning; 3) Develop preliminary form of product. 3) Preliminary field testing; 5) Main product revision; 6) Main field testing; 7) Operational product revision;8) Operstionsl field testing; 9) Final product revision; 10) Dissemination and implementation.

Sesuai dengan tujuannya, penelitian ini menggunakan modifikasi model Semmel & Semmel dengan model Plomp, yaitu dimulainya dengan tahap

preliminary investigation yang dikemukakan oleh Plomp dan research & development menurut Semmel (1974:5). Tahapan pengembangannya meliputi:


(21)

Pada tahap define, kegiatan yang dilakukan adalah merumuskan definisi konstruk, dalam hal ini adalah kriteria karya lukis anak, dan mengkaji konsep instrumen karya lukis anak berdasarkan teori dan hasil penelitian yang relevan. Kegiatan yang dilakukan tahap design adalah telaah konstruk instrumen oleh para pakar dan guru sekolah dasar seni budaya (seni lukis). Tahap develop, kegiatan yang dilakukan adalah mengembangkan indikator, deskripsi, kriteria, dan penyusunan item instrumen. Terakhir, tahap dissemination, kegiatan yang dilakukan adalah uji coba instrumen terhadap guru sekolah dasar. Secara rinci model pengembangan instrumen disajikan pada Gambar 40.

Gambar 40.

Model Pengembangan Instrumen Penilaian Seni Lukis Anak DEFINE

DESIGN

DEVELOP

DISSEMINATE

¾ Merumuskan definisi konstruk instrumen

¾ Mengkaji konsep instrumen karya lukis anak berdasarkan teori

¾ Pengembangan indikator

¾ Penyusunan item instrumen

¾ Telaah item instrumen

¾ Perbaikan instrumen

¾ Uji coba instrumen

¾ Analisis instrumen

¾ Pembakuan instrumen

¾ Penentuan konstruk instrumen

¾ Telaah konstruk oleh pakar

¾ Mendesain konstruk instrumen

¾ FGD

¾ Sosialisasi instrumen karya lukis anak

Research & Develepment Model

PRELIMINARY INVESTIGATION

¾ Identifikasi kebutuhan alat penilaian seni lukis

¾ Elaborasi kebutuhan alat penilaian seni lukis yang relevan


(22)

B. Prosedur Pengembangan

Berdasarkan model pengembangan pada Gambar 40, tahapan atau prosedur pengembangan lebih lanjut dapat dijabarkan sebagai berikut.

1. Tahap Studi Awal

Pada tahap awal (preliminary investigation) ini, dilakukan pengkajian pustaka yang berkaitan dengan identifikasi jenis, sasaran penilaian karya seni lukis. Substansi yang ditelaah pada tahap ini adalah mengkaji analisis kurikulum yang berlaku untuk matapelajaran seni budaya dan keterampilan. Selain itu, penjelajahan juga dilakukan terhadap hasil-hasil penelitian yang relevan untuk mendukung gagasan instrumen penilaian seni lukis yang sesuai dengan kebutuhan guru di lapangan. Penelitian yang relevan tersebut, antara lain penelitian Ismiyanto tahun 2002 yaitu penelitian tentang visualisasi lukisan karya anak-anak usia sekolah dasar ditinjau dari tema dan subjek mencerminkan kehidupannya dan menunjukkan adanya upaya anak mengidentifikasi diri dalam karyanya.

Penelitian Syahrul yang dilakukan tahun 2001, tentang pentingnya profesionalisme guru pendidikan seni dan komitmen terhadap tugas merupakan faktor penting untuk kelangsungan pembelajaran dan pencapaian kualitas hasil belajar anak didik. Demikian juga hasil penelitian Coney tahun 1999, yang dilatarbelakangi bagaimana membuat suatu penilaian menjadi sebuah elemen pembelajaran yang aktif dan positif dari pengajaran. Hasil penelitian membuahkan tujuh kriteria untuk melihat kemajuan anak dalam berkarya seni yaitu: (1) kemampuan untuk mengamati dan merekam


(23)

pengalaman visual anak, (2) pengembangan ketrampilan teknis, (3) minat dan motivasi anak, (4) ekspresi dan kontrol atas ide-ide yang diungkapkan termasuk kreativitas, (5) pencapaian sasaran pembelajaran, (6) menekankan kembali batasan-batasan dari suatu tugas, dan (7) komitmen anak dalam mengerjakan tugas rumah.

Dengan demikian hasil karya seni lukis pada dasarnya dapat dinilai dari sudut kreativitas, ekspresi dan teknik. Kemudian untuk mendapatkan kebutuhan realita di lapangan, maka dilakukan wawancara terhadap guru-guru yang mengajar seni lukis di SD. Setelah dilakukan identifikasi pada ke-tiga hal tersebut, yaitu kajian pustaka, analisis kurikulum, dan studi lapangan, selanjutnya dilakukan elaborasi terhadap ketiga unsur tersebut, yaitu mengolah ketiga unsur tersebut, sehingga diperoleh indikator dan deskripsi, level, dan kriteria penilaian yang disajikan pada Gambar 41.

Gambar 41.

Tahapan Studi Awal Pengembangan Instrumen Seni Lukis Anak

2. Tahap Pendefinisian

Tahap pendefinisian (define) adalah tindakan untuk menyusun definisi tentang unsur, sasaran penilaian seni lukis diikuti penjabaran indikator, deskripsi, dan kriteria penilaiannya. Tahap pendefinisian merupakan tahap

Kajian Pustaka

Masalah Riil Analisis

Kurikulum Elaborasi

Indikator Deskripsi Level Kriteria


(24)

lanjutan dari tahap awal, yaitu pendefinisian tentang indikator, deskripsi, kriteria, dan rubrik penskoran. Indikator menjadi acuan dalam mengembangkan item. Dalam kaitan dengan ini, indikator yang terjaring ada 10 macam, yaitu: tanggapan anak tentang tema lukisan yang dibuat, kesiapan alat dan bahan untuk melukis, kelancaran penuangan ide, keberanian menggunakan media, keberanian menggunakan unsur-unsur bentuk, ketekunan, pemanfaatan waktu, kreativitas, ekspresi, dan teknik. Selanjutnya masing-masing indikator dijabarkan menjadi deskripsi. Setelah deskripsi dikembangkan secara operasional, kemudian ditetapkan kriteria disertai rubrik penskoran.

Bagan 42.

Tahapan Pendefinisian Instrumen Seni Lukis Anak

3. Tahap Perancangan

Tahap perancangan (design) adalah tindakan merancang kisi-kisi

instrumen alat pengukur karya seni lukis sehingga bisa diketahui dimensi yang diukur atau konten dan jabaran dari tiap-tiap unsur sasaran penilaian seni lukis. Kisi-kisi yang dimaksudkan sebagai upaya memaparkan pola hubungan antara konstruk (dimensi yang diukur) dengan indikator, deskripsi, kriteria, dan item. Dengan demikian kisi-kisi dapat dipakai sebagai bukti pada proses validasi. Visualisasi proses ini disajikan pada Gambar 43.

Indikator Deskripsi Kriteria


(25)

Gambar 43.

Tahapan Perancanganan Instrumen Seni Lukis Anak

4. Tahap Pengembangan

Pada tahap pengembangan (development) dilakukan penyusunan kisi-kisi penelaahan, perbaikan, dan perakitan kisi-kisi-kisi-kisi. Pentelaahan kisi-kisi-kisi-kisi dilakukan oleh pakar seni lukis anak, pakar pendidikan seni, dan guru seni lukis dalam forum Focus Group Discussion (FGD). Menurut Krueger, R. A. & Casey, M. A. (2000), FGD adalah suatu metode diskusi secara mendalam yang melibatkan kelompok kecil yang homogen (6-12 orang) untuk mendiskusikan topik tertentu. Tujuan diskusi adalah untuk menggunakan dinamika kelompok, dengan bantuan seorang moderator/fasilitator untuk mendorong peserta mengungkapkan pendapat, sikap, dan pertimbangan tentang topik yang didiskusikan.

.Berdasarkan hasil FGD, selanjutnya kisi-kisi diperbaiki dan dirakit sehingga menjadi acuan dalam penyusunan item. Item yang disusun berdasarkan kisi-kisi menjadi perangkat instrumen penilaian seni lukis. Perangkat instrumen ini disebut prototipe awal instrumen penilaian seni lukis. Setelah prototipe awal diperoleh kemudian ditindaklanjuti dengan validasi ahli dengan teknik FGD sebanyak tiga putaran. FGD putaran pertama dilakukan

Kajian Pustaka

Dimensi (Kisi-kisi) - Proses

- Produk

Konten

Sasaran Kebutuhan


(26)

pada tanggal 26 Februari tahun 2008 di Pascasarjana UNY yang dihadiri oleh 7 (tujuh) peserta FGD terdiri dari: 1 (satu) orang pakar pendidikan seni, 2 (dua) orang pakar seni lukis anak, dan 4 (empat) orang pendidik seni lukis sekolah dasar. Kesimpulan hasil FGD adalah bahwa penilaian dilakukan pada komponen proses dan komponen produk pembelajaran. Komponen proses terdiri 2 (dua) tahap, yaitu tahap awal dan tahap inti, dan kemudian diperoleh bobot prosentase penilaian proses 60% dan produk 40%.

Setelah memperhatikan saran dan temuan hasil FGD putaran pertama, selanjutnya dilakukan revisi sehingga diperoleh prototipe 1. Setelah prototipe 1 direvisi selanjutnya dilakukan FGD putaran 2, yang dilaksanakan pada tanggal 13 Maret 2008 dihadiri 7 (tujuh) orang terdiri dari: 2 (dua) orang pakar pendidikan seni, 1(satu) orang pakar seni lukis anak, dan 4 (empat) orang pendidik seni lukis sekolah dasar.

Pada tahap 2 (dua) berdasarkan kriteria hasil FGD putaran kedua, kemudian diperoleh saran dan temuan berupa diskripsi dari masing-masing indikator, sehingga diperoleh prototipe 2 (dua). Berdasarkan saran dan temuan pada FGD putaran 2 (dua), dilakukan revisi. Setelah direvisi kemudian digunakan untuk menyempurnakan prototipe 2 (dua) menjadi prototipe 3 (tiga) yaitu, berupa kriteria seni lukis anak, penilaian diri, penilaian kelompok merupakan hasil dari FGD putaran 3 (tiga) yang diselenggarakan pada tanggal 10 April 2008, dihadiri oleh 8 (delapan) orang terdiri dari 3 (tiga) orang pakar pengukuran, 1 (satu) orang pakar pendidikan seni, dan 3 (tiga) pendidik seni lukis sekolah dasar.


(27)

Selanjutnya hasil dari FGD tahap 3 (tiga) berupa prototipe 3 (tiga) diseminarkan pada tanggal 16 April 2008 di Pascasarjana UNY yang dihadiri oleh 10 orang terdiri dari 1 (satu) orang pakar pendidikan seni/promotor, 3 (tiga) pakar pengukuran, 6 (enam) mahasiswa S3 PEP UNY, sehingga diperoleh hasil instrumen penilaian seni lukis anak yang terdiri dari penilaian proses (tahap awal, tahap inti), penilaian produk. Hasil dari seminar yang berupa instrumen penilaian seni lukis anak kemudian dipakai untuk pengambilan data uji coba penelitian. Untuk kejelasan tahap-tahap pengembangan instrumen dapat dilihat pada Gambar 44.

Gambar 44.

Skema Tahap Pengembangan Instrumen Penilaian Seni Lukis Anak

Prototipe 1

Indikator Deskripsi Level Kriteria

FGD-1 Analisis

FGD-2

Prototipe Tentatif

Indikator Revisi

Prototipe 2

Analisis Item

Revisi Deskripsi

FGD-3 Prototipe 3


(28)

5. Tahap Diseminasi (Disseminate)

Setelah uji coba sampai dengan analisis data uji coba instrumen dan menghasilkan instrumen prototipe tentatif, maka tahap selanjutnya adalah membuat pedoman instrumen penilaian seni lukis anak. Pedoman penilaian seni lukis anak divalidasi oleh pendidik seni lukis melalui FGD yang meliputi petunjuk penggunaan, kriteria penilaian, dan kelayakan penyajian yang meliputi sistematika, keterbacaan, dan penampilan fisik. Kemudian diadakan sosialisasi pada pendidik dan praktisi. Tahapan diseminasi tersebut disajikan pada Gambar 45.

Gambar 45.

Skema Tahap Diseminasi Instrumen Penilaian Seni Lukis Anak C. Uji coba Produk

1. Desain Uji coba

Uji coba ini dilakukan di Kota Yogyakarta. Tempat ini dipilih karena berbagai pertimbangan Yogyakarta: (1) memiliki cukup banyak sekolah dasar yang melaksanakan program pembelajaran seni lukis anak, (2) ketersediaan pendidik dalam bidang seni lukis, (3) daerah ini dipilih juga karena banyak karya seni lukis yang berkembang di daerah ini, yang ditandai banyaknya

Draf Pedoman

FGD Analisis

Pedoman Baku Revisi


(29)

sanggar seni lukis anak, dan (4) frekuensi lomba seni lukis anak yang relatif cukup tinggi dibandingkan daerah lain. Disain uji coba produk mengikuti alur seperti Gambar 46.

Gambar 46.

Desain Uji coba Intrumen Seni Lukis

Desain uji coba seperti tampak pada Bagan 8 dilakukan di kelas 1, 2, dan 3 di tiga sekolah dengan melibatkan tiga orang guru seni lukis. Guru seni lukis yang terlibat diberi pelatihan sebelum melaksanakan uji coba. Uji coba ini bertujuan untuk memperoleh informasi dari lapangan tentang konstruk instrumen, keterpakaian pedoman penggunaan instrumen, dan proses pengembangan instrumen. Konstruk instrumen penilaian karya lukis anak merupakan kriteria penilaian karya lukis anak. Hasil uji coba yang berupa prototipe instrumen penilaian karya lukis anak dan kemudian diseminarkan pada tanggal 16 April 2008 yang dihadiri 12 (dua belas) orang terdiri dari promotor, pakar pengukuran dan pakar pendidikan seni. Hasilnya kemudian dianalisis dan direvisi sehingga menjadi instrumen baku. Selanjutnya

Seminar Analisis

Instrumen Baku

Draf Panduan

FGD Revisi Panduan

Baku Revisi

Prototipe Instrumen


(30)

disusun draft pedoman penggunaan instrumen seni lukis anak dan kemudian divalidasi oleh pendidik seni lukis anak melalui FGD yang meliputi petunjuk penggunaan, kriteria penilaian, dan kelayakan penyajian yang meliputi sistematika, keterbacaan, dan penampilan fisik. Hasil FGD ini digunakan untuk memperbaiki pedoman penilaian sehingga menjadi pedoman guru dalam menilai seni lukis anak.

2. Subjek Coba

Subjek uji coba adalah pendidik yang mengajar seni lukis anak yang ada di tiga sekolah di Kota Yogyakarta. Pendidik diperlukan sebagai subjek uji coba untuk memperoleh koefisien keandalan instrumen dan keterpakaian instrumen penilaian karya lukis anak.

Subjek penelitian peserta didik dipilih melalui dua tahap, yaitu tahap

G- study dan tahap D-study. Pada tahap G-study dipilih tiga sekolah, masing-masing sekolah dipilih satu guru seni lukis. Sedangkan masing-masing-masing-masing sekolah terdiri dari siswa kelas satu, dua, dan tiga, jumlahnya sebanyak 20 orang di ambil secara random. Pada tahap D-study, pemilihan subjek penelitian ditentukan berdasarkan koefisien G-study dalam wilayah provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Subjek penelitian adalah peserta didik yang terdiri dari tiga sekolah, Sekolah Dasar Muhammadiyah Sapen, Sekolah Dasar Negeri Langensari , dan Sekolah Dasar MIN Tempel. Ketiga sekolah tersebut tersebar pada kota Yogyakarta dan kabupaten Sleman, dengan asumsi bahwa kedua


(31)

kabupaten/kota tersebut dapat mewakili/representatif DIY. Dari ketiga sekolah tersebut dipilih kelas satu, dua, dan tiga sebagai subjek ujicoba karena pada KTSP untuk tingkat Sekolah Dasar dalam mata pelajaran Seni Budaya dan Keterampilan seni lukis hanya dilaksanakan pada kelas satu, dua, dan tiga. Penentuan tiga sekolah tersebut didasarkan pada pertimbangan sekolah yang melaksanakan pembelajaran seni sesuai dengan KTSP dengan didukung tenaga pendidik yang memiliki latar belakang pendidikan seni rupa.

3. Jenis Instrumen Pengumpul Data

Data penelitian ini terdiri atas data kuantitatif dan kualitatif. Data kuantitatif diperoleh melalui intrumen untuk menilai proses, produk, penilaian diri, dan penilaian kelompok. Data kualitatif diperoleh melalui instrumen penilaian diri dan penilaian kelompok dalam bentuk jawaban terbuka dari subjek penelitian.

Data kualitatif digunakan untuk mengembangkan konstruk instrumen. Data ini diperoleh melalui diskusi para pakar seni lukis, pakar pendidikan seni lukis, dan praktisi lapangan. Data kuantiatif digunakan untuk memperoleh koefisien keandalan instrumen. Data ini berupa hasil penilaian karya lukis anak yang dilakukan oleh pendidik. Selain itu data kualitatif dan kuantitatif digunakan untuk menentukan keterpakaian instrumen. Instrumen ini dilengkapi dengan pedoman penilaiannya. Pedoman penilaian seni lukis anak merupakan acuan yang digunakan pendidik dalam menilai seni lukis anak.


(32)

Pedoman ini berisi cara menggunakan instrumen, menskor, dan menafsirkan hasilnya.

4. Teknik Analisis Data

Pengujian konstruk instrumen dilakukan melalui pendapat para pakar bidang seni lukis, pakar bidang penilaian pendidikan, dan para praktisi lapangan. Pertemuan dengan kelompok yang berbeda dilakukan tiga kali untuk memperoleh masukan yang lebih banyak sehingga diperoleh hasil yang dapat diandalkan.

Penentuan koefisien keandalan instrumen penilaian dilakukan dengan menggunakan paket program komputer Genova berdasarkan teori

generalizability yang dikembangkan oleh Crick dan Brennan pada tahun 1983 yang disebut dengan A Generalized Analysis of Variance System. Pada teori ini ada G (generalized study) dan D (decision study). Pada G-study dilakukan

estimasi sejumlah varians komponen. Banyaknya komponen ditentukan oleh model yang digunakan. Hasil dari G-study digunakan pada D-study. Menurut

Brennan (1983: 3), D-study menekankan estimasi, penggunaan, dan

interpretasi dari varians komponen untuk membuat keputusan, dengan prosedur pengukuran yang baik. Hal yang penting pada D-study adalah spesifikasi dari generalisasi universe, yaitu universe berlakunya generalisasi

D-study dengan suatu prosedur pengukuran tertentu.

Menurut Thomson (2003: 43), teori generalizability adalah teori pengukuran modern yang memiliki keunggulan dibanding teori tes klasik. Beberapa keunggulan yang penting adalah: (1) memperhitungkan sumber


(33)

2 , : 2 2 , :

,rie p ri e

p

σ

σ

σ

=

+

kesalahan pengukuran yang jamak secara simultan, (2) memperhatikan efek kesalahan pengukuran interaksi, dan (3) mengestimasi koefisien keandalan baik yang relatif maupun yang absolut. Besarnya koefisien keandalan merupakan rasio antara varians sistematik atau varians sebenarnya dan varians total.

Penelitian ini menggunakan GENOVA yang komponen variansnya adalah person, rater, item, interaksi person dan rater, dan kesalahan. G study -nya menggunakan rancangan bersarang (nested design) dan D-study-nya juga

menggunakan rancangan bersarang (nested design). Penelitian ini

menggunakan satu facet p x(i: r) G-study yang bersarang untuk mengestimasi varians komponen, varians kesalahan, generalizeability dan koefiesien phi untuk one-facet, nested, i: r D-study. Varians komponen yang berbaur pada rancangan bersarang (p, r:i,e) adalah jumlah varians komponen dalam G-study bersarang yang dapat ditulis sebagai berikut.

Keterangan: p = person

r = guru/rater i = item

r:i = rater bersarang pada item e = kesalahan

Setelah varians komponen diperoleh, termasuk varians kesalahan, maka dapat diestimasi varians sebenarnya (true variance). Selanjutnya dapat diestimasi besarnya indek keandalan hasil pengukuran, yaitu rasio varians sebenarnya terhadap varians keseluruhan komponen. Estimasi varians setiap komponen


(34)

dan besarnya indeks keandalan hasil pengukuran dengan instrumen yang dikembangkan peneliti menggunakan paket program GENOVA.

Rancangan yang digunakan untuk G-study adalah px(i:r), yaitu item

bersarang pada rater, penilai dalam menilai hasil karya lukis anak berinteraksi dengan anak yang bersarang pada item. Cara penilai (rater) dalam menilai karya lukis anak (p) tergantung pada pendapat penilai terhadap item yang dinilai, sehingga dikatakan rater bersarang pada item. Rancangan px(r:i) ini berdasarkan analisis varians efek random memiliki efek utama: p, r, r:i dan efek interaksinya adalah pi, pr bersarang pada i. Jadi ada varians person, varians rater, dan varians penilai bersarang pada i untuk efek utama, sedang untuk efek interaksinya adalah varians person item, varians rater yang bersarang pada item.

Besarnya varians r bersarang pada i dapat ditulis sebagai berikut.

σ

²(r : i) =

σ

²(r, ri)=

σ

²(r) +

σ

²(ri).

Besarnya koefisien keandalan instrumen penilaian adalah:

σ

²(p)

E

ρ

² = ——————

σ

²(p) +

σ

²(

δ

)

E

ρ

² adalah nilai harapan koefisien keandalan instrumen,

σ

²(p) adalah varians

person (peserta didik),


(35)

Varians kesalahan terdiri atas varians rater, varians item, dan varians interaksi rater item. Besarnya varians ini diestimasi dengan menggunakan teknik analisis varians rancangan efek random.

Untuk melihat reliabilitas dari kriteria instrumen penilaian seni lukis anak hasil uji coba, digunakan analisis koefisien interrater. Koefisien interrater adalah salah satu sarana untuk melihat tingkat konsistensi atau keajegan antar rater dalam memberikan rating terhadap unjuk kerja karya seni lukis siswa. Untuk keperluan ini, digunakan koefisien Cohen’s Kappa.

Ada 3 (tiga) orang rater yang memberikan rating pada penilaian instrumen seni lukis anak untuk kelas 1, kelas 2, dan kelas 3. Pada penilaian proses, ada 7 (tujuh) item yang menjadi objek penilaian, pada penilaian produk ada 3 (tiga) item, sedangkan penilaian diri dan penilaian kelompok masing-masing ada 5 (lima) item. Selanjutnya nilai koefisien

κ

yang dihasilkan dibandingkan dengan kriteria minimal yang diperkenankan, yaitu 0.70 (Linn, 1990: 143).


(36)

BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. Pendidikan Seni Rupa

1. Pengertian Pendidikan Seni Rupa

Pada hakekatnya pendidikan merupakan suatu proses untuk mempersiapkan peserta didik menuju ke kedewasaan, dengan segala watak, pengetahuan dan kemampuan yang diperlukan untuk dapat hidup di tengah-tengah masyarakat dan kemudian dapat memberikan manfaat bagi lingkungan. Ditinjau dari tujuannya, pendidikan adalah membentuk manusia yang memiliki kepribadian yang kuat dan beradab sehingga mampu menghadapi berbagai tantangan zaman.

Pendidikan seni rupa berfungsi mengembangkan kepekaan rasa, kreativitas, dan cita rasa estetik peserta didik, mengembangkan etika, kesadaran sosial, dan kesadaran kultural dalam kehidupan bermasyarakat (Rohidi, 2000: 55). Dalam proses pembelajarannya, pendidikan seni rupa selain melatih keterampilan peserta didik agar lancar berkarya seni rupa, juga dimaksudkan sebagai sarana atau alat pendidikan. Dengan demikian pendidikan seni rupa merupakan media untuk mencapai tujuan pendidikan secara umum. Secara visual Soedarso (2006: 97) membagi seni rupa menjadi dua bagian besar, yaitu (1) seni rupa dua dimensi seperti gambar, lukisan, seni grafis, fotografi, mosaik, intarsia, tenun, sulam, dan kolase dan (2) seni rupa tiga dimensi seperti patung, bangunan, monumen, keramik dan sebagian besar seni kriya lainnya. Keduanya bisa dipecah berdasar atas medium, teknik atau proses pembuatan, dan benda produknya.


(37)

Sejalan dengan hal tersebut di atas, ditinjau dari proses pembuatan dan bentuk karya yang dihasilkan, Rohidi dan Hartiti (2002: 8-9) mengemukakan: seni rupa dapat dibedakan menjadi seni rupa murni, seni kria, dan desain. Seni rupa murni menekankan pada ungkapan pikiran dan perasaan, meliputi seni lukis, seni patung, dan seni grafis. Seni kria menekankan pada keterampilan teknik pembuatan karya dengan hasil karya yang bersifat fungsional dan non fungsional, serta menggunakan media tertentu, misalnya kayu, logam, tekstil, tanah liat, dan lain-lain. Dalam hal ini penciptaan benda hias yang mengutamakan nilai artistik dikenal dengan sebutan craft (seni kria). Desain merujuk pada proses pembuatan karya yang maksud dan tujuannya telah ditentukan lebih dahulu, dalam hal ini menyatukan proses penciptaan karya yaitu antara sistematis, kreatif, dan inovatif. Karya desain berupa rancangan gambar, benda, atau lingkungan yang didasarkan pada persyaratan-persyaratan tertentu.

Istilah seni rupa secara etimologi merupakan padanan kata dari visual art (seni rupa yang dapat dilihat/diraba), fine art (seni indah), ada pula yang menyebut sebagai pure art (seni murni). Namun istilah pure art di masa sekarang dipadankan dengan karya seni murni yang tidak memiliki kegunaan praktis, seperti lukisan atau patung. Sedangkan pengertian seni rupa sendiri adalah suatu hasil interpretasi dan tanggapan pengalaman manusia dalam bentuk visual dan rabaan, yang mempunyai peranan memenuhi tujuan-tujuan tertentu dalam kehidupan manusia tidak hanya memenuhi kebutuhan estetik semata.

Secara umum, pembicaraan tentang seni rupa terkait dengan masalah keindahan. Keindahan adalah nilai-nilai estetik yang menyertai sebuah karya seni


(38)

rupa. Keindahan juga dipahami sebagai pengalaman estetik yang diperoleh ketika seseorang mencerap objek seni atau dapat dipahami sebagai sebuah objek yang memiliki unsur keindahan. Sesungguhnyalah pengalaman estetik dapat menyebabkan timbulnya reaksi emosional atau respons estetik seseorang. Menurut Pappas (2006: 3), pengalaman estetik adalah perasaan (positif atau negatif) yang merupakan reaksi seseorang, baik secara mental dan/atau pun fisik, ketika mengamati karya seni rupa. Reaksi ini mungkin sesuai atau tidak sesuai dengan pendapat orang tersebut, yang menyebabkan reaksi emosional atau respons estetik.

Dalam dunia kesenirupaan, untuk menentukan kualitas karya harus mempertimbangkan nilai-nilai keindahan yang disebut dengan prinsip-prinsip keindahan. Prinsip-prinsip keindahan tersebut adalah unsur kesatuan (unity), keseimbangan (balance), keselarasan (harmony), dan kontras (contrast) sehingga menimbulkan perasaan nikmat, nyaman, bahagia, haru, dan rasa senang. Disamping itu, karya seni rupa dapat menimbulkan berbagai kesan misalnya indah, unik, menarik, dan sebagainya bagi apresian. Hal ini tentunya didukung oleh kemampuan pengungkapan ekspresi intuitif dan perasaan estetis seseorang melalui teknik, bahan, dan konsep dalam penciptaan karya seni rupa.

Pendidikan seni rupa berperan tidak hanya dalam pembentukan pribadi yang harmonis dalam logika, kinestetika, rasa estetik dan artristiknya, serta etika, tetapi juga berperan dalam perkembangan anak untuk mencapai kecerdaan emosional (EQ), intelektual (IQ), moral (MQ), adversitas (AQ) dan spiritual (SQ). Jalan yang ditempuh sesuai yang tercantum pada pedoman khusus mata


(39)

pelajaran adalah dengan cara mempelajari elemen, prinsip, proses dan teknik berkarya sesuai dengan nilai budaya dan keindahan dengan tidak mengesampingkan aspek fungsi serta sesuai dengan konteks sosial budaya masyarakat sebagai sarana untuk menumbuhkan sikap saling memahami, menghargai, dan menghormati (BSNP, 2006: 186).

Pengalaman estetik dalam pendidikan seni rupa di sekolah, diimplementasikan dalam dua kegiatan yaitu apresiasi (appreciation) dan kreasi (creation). Kegiatan apresiasi bertujuan mengembangkan kesadaran, pemahaman, dan penghargaan terhadap karya seni, yang dilakukan melalui pengamatan dan pembahasan karya seni rupa. Kegiatan pengamatan dimaksudkan untuk memperoleh pengalaman estetik, melalui pencerapan nilai intrinsik dari karya seni rupa tersebut. Kegiatan pembahasan untuk memperoleh kesadaran dan pemahaman tentang penciptaan karya seni rupa berdasarkan telaah tentang seniman dan zamannya, tujuan penciptaan, pengaruh seniman besar terhadap karya tersebut, sehingga dapat memberikan penghargaan. Sedangkan pada kegiatan kreasi (creation), peserta didik diberi peluang untuk mengekspresikan pengalaman estetiknya dalam wujud karya seni rupa. Aktivitas yang dilakukan melalui kegitan eksplorasi dan eksperimen dalam mengolah gagasan (konsep), bentuk, media (teknik), dengan mengambil unsur-unsur titik, garis, warna, bidang, tekstur, volume, dan ruang untuk mewujudkan karya seni rupa, baik tradisi maupun modern, secara individual maupun kelompok.

Pendidikan seni di sekolah diimplementasikan dalam bentuk mata pelajaran Seni Budaya untuk tingkat SMA dan SMP, sedangkan untuk tingkat SD


(40)

adalah Seni Budaya dan Ketrampilan. Mata pelajaran Seni Budaya tersebut mencakup seni rupa, seni musik, seni tari, dan seni drama. Pembelajaran seni rupa di sekolah memiliki sasaran sebagai berikut.

a. Mengembangkan Ekspresi

Ekspresi pada dasarnya merupakan kebutuhan dalam hidup manusia untuk mencari kepuasan. Ekspresi dalam pendidikan seni adalah curahan jiwa/isi hati yang menekankan pada proses pengungkapkan pengalaman estetik peserta didik yang berkaitan dengan emosi, daya pikir, imajinasi dan keinginan peserta didik. Menurut Soehardjo (2005: 120) ekspresi merupakan ungkapan penyampaian sesuatu dari seseorang kepada orang lain. Sesuatu yang disampaikan berupa buah pemikiran dan perasaan yang diwujud inderakan dengan menggunakan sarana yang dapat diamati lewat panca indera. Mengungkapkan sesuatu dengan kata, tindakan atau lukisan adalah hal yang menyenangkan dan meringankan, sehingga dapat dikatakan bahwa dengan berekspresi dapat meringankan ketegangan seseorang. Sejalan dengan hal tersebut, Lim Chin Choy (2005: 293) mengatakan bahwa ekspresi bertujuan untuk mempertunjukkan kepada orang lain (to exhibit). Namun demikian, dapat juga sebagai ekspresi diri yaitu ekspresi keindividuan seseorang. Berekspresi dapat pula berfungsi sebagai katarsis, dan menjadi terapeutik atau menumbuhkan kreativitas.

Dengan demikian kemampuan ekspresi perlu dikembangkan pada peserta didik sejak dini karena peserta didik dimungkinkan dapat mengungkapkan berbagai pengalaman atau berbagai hal yang menggejala dalam dirinya untuk dikomunikasikan kepada orang lain melalui senirupa khususnya sebagai sesuatu


(41)

yang ada maknanya. Hal ini dimaksudkan agar peserta didik terlatih dan mampu mengemukakan isi hati, ide dan gagasan-gagasannya. Di samping itu , juga melatih keberanian mengungkapkan pengalaman estetik. Dampak selanjutnya diharapkan peserta didik memiliki daya cipta, daya menyesuaikan diri dalam segala situasi, kemampuan menanggapi suatu masalah, kemampuan membuat analisis yang tepat. Hal ini sejalan dengan yang dikatakan Soedarso (1973: 5) bahwa pendidikan seni rupa adalah pendidikan ekspresi. Ia memberi kesempatan kepada anak untuk melahirkan pengalaman batinnya dengan leluasa, tanpa paksaan. Dengan demikian pengalaman berekspresi menunjang dasar-dasar kebebasan, melatih anak berpikir merdeka, membiasakan anak untuk mengeluarkan isi hatinya dengan bebas. Walaupun demikian, kualifikasi perlu di buat hubungan antara pengalaman estetik dengan pengalaman merasakan. Jika semua pengalaman dirasakan sebagai pengalaman estetik, maka pengalaman estetik kehilangan sifatnya yang khas. Padahal, sesungguhnya pengalaman estetik merupakan suatu pengalaman yang khas dan unik yang ditandai dengan terpuaskannya “hasrat akan sesuatu yang harmoni dan lengkap.” Kepuasan ini lahir dari proses keterlibatan batin, baik dalam proses kreasi maupun dalam kegiatan persepsi (Salam, 2001: 1).

Anak biasanya lebih bebas dalam berekspresi untuk mewujudkan suatu karya seni rupa, seni lukis misalnya karena anak relatif belum banyak pengetahuan tentang aturan-aturan/norma-norma yang mengikatnya. Karena ketidaktahuan inilah anak cenderung lebih bebas dan merasa leluasa, tidak takut salah, sehingga hasil karyanya terkesan jujur dan spontan. Karya seni yang


(42)

dihasilkan menunjukkan kemurnian pengungkapan perasaan mereka. Garis, warna, dan tekstur bukan lagi sebagai elemen fisik, tetapi mencerminkan ekspresi kejiwaan yang kuat.

b. Mengembangkan Sensitivitas

Sensitif artinya peka/perasa terhadap rangsangan, mudah menerima, mudah mencerap suatu rangsangan, dan cepat dapat menghayati sesuatu. Peran pendidik diharapkan dapat mengembangkan kepekaan atau sensitivitas yang dimiliki peserta didik. Terutama peka terhadap lingkungan yang banyak mengandung permasalahan.

Peserta didik diberi kesempatan untuk menggunakan panca indera seperti mata, telinga, hidung, dan indera peraba menjadi dasar cerapan dalam berkarya. Dengan demikian sebelum berkarya peserta didik dimotivasi mengamati objek dengan berbagai masalahnya sebelum dituangkan dalam karyanya. Melalui aktivitas seni rupa, kemampuan anak dalam mengolah kesadarannya terhadap orang lain di lingkungan sekitar dalam berkomunikasi, bekerjasama, menghargai dan dihargai dapat dipupuk. Demikian juga kepekaan sosial terhadap lingkungan sekitar serta kemampuan bekerjasama dalam membuat karya kelompok dapat mengolah sikap dan perasaan sosial anak. Peserta didik menjadi peka terhadap lingkungan, kepekaan menjadi terlatih sehingga apabila ada permasalahan peserta didik bisa merasakan dan diharapkan dapat mengatasi permasalahan tersebut.

Dengan melatih kepekaan rasa diharapkan kelak anak dapat menjadi anggota masyarakat yang dapat menjaga lingkungannya dan ikut melestarikan peninggalan seni dan budaya.


(43)

c. Mengembangkan Kreativitas

Kreativitas adalah suatu kondisi, suatu sikap, keadaan mental yang sangat khusus sifatnya. Kreativitas bukan hanya muncul dari suatu hasil pemikiran dan dorongan perasaan, namun juga melibatkan kepekaan intuitf. Padahal sesuatu yang intuitif itu bersifat bawah sadar. Berbicara mengenai sifat bawah sadar berarti memasuki wilayah proses kreatif yang menurut Susanto (2003: 8) yaitu wilayah proses perubahan, pertumbuhan, proses evolusi, proses perenungan, maupun proses mencipta dalam organisasi dari kehidupan subjektif pikiran dan praktis manusia.

Ada tiga tahap proses kreatif yang dikemukakan Chapman (1978: 45), yaitu: (1) Inception of an idea, merupakan tahap awal yaitu usaha menemukan gagasan, mencari sumber gagasan, inspirasi, (2) Elaboration and refinement, yaitu proses penyempurnaan, pengembangan dan pemantapan gagasan menjadi suatu gambaran pravisual untuk diwujudkan menjadi ujud yang konkrit, (3) Execution

in a medium, merupakan tahap terakhir yaitu proses visualisasi dengan medium

yang merupakan sarana untuk memvisualisaikan gagasan menjadi suatu karya seni.

Dengan demikian proses kreatif merupakan pengejawantahan emosi dan representasi posisi pemikiran pembuat karya terhadap berbagai masalah yang dihadapi, sekaligus merupakan proses aktualisasi diri atau kapabilitas yang dihadirkan dalam karya seni. Adapun unsur pendorong dalam laku kreatif seperti yang diungkapkan Dix dan Ernst dalam Susanto (2003: 9) adalah adanya sarana, keterampilan, orisinalitas karya, apresiasi, lingkungan, dan identitas. Unsur-unsur


(44)

tersebut saling berpadu dan saling mempengaruhi dan saling bergantung untuk menjalankan tahapan-tahapan dalam membentuk karya seni. Hal ini didukung oleh Munandar (1999: 50) yang mengatakan bahwa kreativitas adalah kemampuan yang mencerminkan kelancaran, keluwesan (fleksibilitas) dan orisinalitas dalam berpikir, serta kemampuan untuk mengelaborasi (mengembangkan, memperkaya, memperinci) suatu gagasan. Tampilan karya yang kreatif selalu tampil tunggal (unicness), karena tidak terdapat kembarannya; asli (original), karena dihasilkan oleh diri sendiri pelaku seni, dan ber-kebaruan (novelty), karena belum pernah ada sebelumnya.

Dengan demikian melalui seni rupa kreativitas anak dapat berkembang, karena dengan membuat karya seni rupa membentuk anak untuk berani mengambil resiko, sikap yang untuk tidak selalu puas dengan apa yang sudah ada dan sudah didapat, sikap untuk selalu mencari sesuatu yang orang lain belum mengetahuinya. Hal ini sangat berguna dalam pembentukan pribadi anak. 2. Manfaat Pendidikan Seni Rupa

Kegiatan seni mempunyai manfaat langsung maupun tidak langsung yang dapat dirasakan oleh peserta didik. Manfaat langsung yang dapat dirasakan adalah sebagai media untuk berekspresi, media untuk berkomunikasi, media bereksplorasi, media pengembangan bakat seni yang dimilikinya.

Sebagai media ekspresi, karena melalui kegiatan seni rupa anak dapat mengungkapkan apa yang ada dalam dirinya yang berkaitan dengan emosi, daya pikir, imajinasi serta keinginananak tanpa memperhatikan apakah ungkapan yang tervisualisasi dalam karya tersebut dapat dimengerti oleh orang lain atau tidak.


(45)

Dalam hal ini anak merasakan adanya kepuasan karena ada kebebasan dalam mengungkap apa yang ada dalam dirinya melalui pembuatan karya seninya. Kematangan emosi anak menurut Wedwick (2006) adalah kemampuan untuk mengekspresikan perasaannya, melakukan tindakan sesuai dengan kebutuhan dan dapat menilai kesesuaian tindakannya dengan norma yang berlaku di masyarakat serta dapat memprediksi akibat yang diambil dari tindakan tersebut, dan mampu bertingkah laku dengan penuh tanggung jawab serta mampu mempertanggungjawabkan tingkah lakunya dalam berkomunikasi. Dengan demikian apabila kematangan emosi anak terlatih, maka anak akan positif tindakannya sesuai dengan perkembangan usianya.

Sebagai media komunikasi, dalam aktivitas komunikasi terdapat unsur: pengirim pesan, isi pesan, dan penerima pesan. Pesan yang disampaikan dalam seni rupa adalah gagasan yang berupa simbol yang dituangkan dalam karya seni rupa. Dengan demikian seni rupa dapat dikatakan sebagai media komunikasi karena pengirim pesan dapat mengungkap isi pesan ke dalam simbol bermakna yang dapat diterima oleh orang lain sebagai penerima pesan.

Sebagai media bereksplorasi, kegiatan seni rupa memerlukan alat-alat atau bahan yang secara langsung maupun tidak langsung mengembangkan kemampuan bernalar bagi anak. Anak memiliki kebebasan dalam bereksperimen, melalui eksplorasi dengan bahan-bahan yang ada untuk membuat karya seni rupa.

Sebagai media pengembangan bakat, kegiatan seni rupa menawarkan beragam potensi. Bakat adalah kondisi atau rangkaian karakteristik yang


(46)

dipandang sebagai gejala kemampuan individu untuk memperoleh pengetahuan, keterampilan atau serangkaian respon melalui latihan-latihan (Bennet, 1952: 12). Adapun dimensi bakat meliputi persepsi, psikomotorik dan intelektual. Dengan demikian, kegiatan seni rupa melalui latihan-latihan membuat karya seni rupa memupuk bakat anak. Hal ini dapat dilihat pada dimensi bakat yang terkait dalam pembuatan karya seni rupa yaitu, persepsi terkait dengan kepekaan dari masing-masing pancaindera yang berhubungan dengan perhatian, yaitu penglihatan, pendengaran, dan kinestesi. Dimensi psikomotorik mencakup koordinasi dan fleksibilitas gerakan. Sedangkan dimensi intelektual meliputi ingatan dan berpikir. Dengan demikian bakat anak yang terpupuk sejak awal akan lebih baik perkembangannya, dari pada seseorang yang mempunyai bakat kreatif namun tidak dipupuk, maka bakat tersebut tidak akan berkembang bahkan menjadi bakat terpendam dan tidak dapat diwujudkan.

3. Pendekatan dalam Proses Pendidikan dan Pembelajaran Seni Rupa Pada hakekatnya pendidikan seni rupa bersifat unik, yaitu kegiatan yang bersifat ekspresif, kreatif, dan estetik. Karena keunikannya ini dalam pendidikannya memerlukan pendekatan-pendekatan agar tujuan pendidikan seni rupa itu sendiri dapat tercapai. Ada tiga pendekatan dalam pendidikan seni rupa yang populer saat ini, yaitu:

a. Pendekatan Berbasis Anak

Pendekatan Berbasis Anak berpijak pada filosofi bahwa dalam mendidik anak melalui seni, pendidik haruslah menjadikan anak sebagai pusat. Pada waktu memberikan kesempatan berekspresi harus bertitik tolak dari anak. Herbert Read


(47)

dalam Education through Art yang menyatakan bahwa naluri berolah seni rupa anak adalah suatu yang universal, sesuatu yang tumbuh secara alamiah pada diri anak dalam mengkomunikasikan dirinya (Read, 1970: 10). Peranan pendidik sebagai fasilitator, karena ekspresi diri anak sesungguhnyalah tidak bisa diajarkan oleh pendidik. Garha (1980: 60) mengatakan bahwa pendekatan ini sebagai ekspresi bebas yang memberikan keleluasaaan kepada anak-anak untuk dapat menyalurkan ungkapan perasaan tanpa dibatasi oleh aturan atau norma cipta konvensional dalam membuat gambar. Pada pendekatan berbasis anak ini tugas pendidik adalah memberikan pengalaman kepada anak yang dapat merangsang munculnya ekspresi pribadi anak, memberikan kemudahan kepada anak dalam mempelajari atau melakukan apa yang menjadi keinginan anak agar anak berkembang secara alamiah melalui pengalaman seni. Dengan demikian cara pembelajarannyapun pendidik memberikan kemudahan pada anak dalam melaksanakan kegiatan belajar yang diinginkannya, yaitu dengan pemberian motivasi, dengan peragaan, dan pendampingan. Hal ini dimaksudkan untuk menyiapkan pengalaman belajar yang dapat merangsang ekspresi pribadi anak.

Tokoh yang dikenal dalam pendekatan ekspresi bebas ini adalah Frank Cizek dari Austria. Ia merupakan orang yang pertama kali mengakui secara terbuka nilai intrinsik karya seni rupa anak, karya seni rupa anak adalah karya seni yang hanya mampu dihasilkan oleh anak (Efland, 1990: 195). Dengan demikian anak diberi kebebasan dalam kegiatan penciptaan karya sehingga anak dapat mengaktualisasikan dirinya dengan bebas tanpa pengaruh orang dewasa dalam proses pembuatan karyanya.


(48)

Pendekatan ekspresi bebas ini kemudian didukung dan disebarluaskan oleh dua tokoh pendidik seni yaitu Viktor Lowenfeld dari Amerika Serikat dan Herbert Read dari Inggris. Menurut Viktor Lowenfeld, ekspresi dalam proses pembuatan karya seni rupa yang dilaksanakan secara alamiah berdampak positif bagi perkembangan intelektual, emosional, kreativitas dan perkembangan sosial anak. Dalam hal ini dihubungkan antara kegiatan seni rupa dengan kesehatan mental karena kegiatan seni rupa merupakan media untuk menyalurkan perasaan, baik merupakan perasaan sedih atau gembira. Selanjutnya Lowenfeld mengatakan bahwa “…mental growth depends upon a rich and varied relationship between a

child and his environment; such a relationship is a basic ingredient of a creative art experience” (Lowenfeld, 1982: 6-7). Hal ini memperjelas bahwa pengaruh

lingkungan menyebabkan adanya berbagai corak berdasarkan perkembangan dan temperamen jiwa anak. Dengan demikian pendidikan seni rupa merupakan tempat pemberian pengalaman yang menarik yang menyadarkan anak akan lingkungannya.

Read (1970: 30) memberi penegasan bahwa dalam ekspresi bebas, pendidik berperan sebagai pendamping dan memotivasi anak untuk menggali inspirasi anak. Penekanan Read adalah bahwa ekspresi diri anak tidak dapat diajarkan dan peranan pendidik adalah sebagai fasilitator.

Dalam merancang pembelajaran pendekatan ekspresi bebas secara murni, pelaksanaan kegiatan pembelajarannya menggunakan model emerging curriculum yakni kegiatan pembelajaran yang tidak dirancang sebelumnya tetapi berkembang sesuai keinginan anak (Salam, 2001: 13). Dalam hal ini pendidik memenuhi apa


(49)

yang menjadi kemauan anak dan pendidik memfasilitasinya. Sesungguhnyalah pendekatan ekspresi bebas secara murni ini sangat sulit dilaksanakan pada sekolah formal karena terikat adanya jadwal, waktu yang ditentukan sehingga menjadi terbatas pelaksanaannya. Lebih tepat bila dilaksanakan pada lembaga pendidikan yang bersifat non formal seperti sanggar, kursus-kurus, dan sebagainya.

Untuk mengatasi hal tersebut di atas, penerapan pendekatan ekspresi bebas di sekolah maka dikembangkan pendekatan ekspresi bebas yang bersifat “terarah”. Caranya adalah sebagai berikut: pelaksanaan pembelajaran seperti pada umunya pendidik melaksanakan pembelajaran sesuai dengan jadwal dan waktu yang ditetapkan. Untuk membangkitkan dan memotivasi ekspresi anak, pendidik pada awal pembelajaran memberikan motivasi dengan berbagai cara antara lain: (1) memberi kesempatan pada anak untuk bercerita tentang hal-hal yang menarik yang dialaminya, kemudian ada dialog dengan pendidik. Dari cerita dan dialog dengan anak akan timbul tema-tema cerita yang menyentuh kehidupan anak, yang merangsang untuk mengekspresikan nya lewat karya yang dibuatnya. Didukung oleh media yang dipersiapkan pendidik bisa berupa photo, slide, gambar-gambar, film, dan sebagainya, (2) adanya kontak langsung anak dengan keadaan sekelilingnya. Anak diberi kesempatan memperhatikan keadaan sekitar kelas atau sekolah. Ada tumbuh-tumbuhan, kendaraan, orang berlalu lalang, dan sebagainya. Pendidik kemudian memberikan pertanyaan-pertanyaan untuk mengarahkan perhatian anak pada hal-hal yang dilihatnya tetapi diabaikan anak, misal: detail dari bentuk daun, tulang-tulang daun akan membentuk keartistikan tersendiri, bentuk bunga semakin ke ujung daun bunga semakin kecil permukaannya, dan


(50)

sebagainya, (3) pendidik mendemonstrasikan proses penciptaan karya pada anak, namun jangan sampai terjebak apa yang didemonstrasikan menjadi hal yang harus ditiru oleh anak.

Setelah pemberian motivasi, pendidik meminta anak untuk mengekspresikan dirinya secara bebas dalam pembuatan karya seni rupa. Dalam hal ini pendidik berperan sebagai pendamping untuk memberikan bantuan pada anak. Penilaian yang diberikan pendidik bersifat apresiatif yaitu bersifat menerima dan menghargai apa yang diungkapkan atau diciptakan oleh anak dengan menunjukkan kemungkinan peningkatan kualitas dari karya yang diciptakannya tersebut (Salam, 2001: 14). Dengan demikian hasil penilaian tidak ada istilah salah atau benar karena ekspresi anak bersifat unik dan alamiah.

b. Pendekatan Berbasis Disiplin

Pendekatan berbasis disiplin berpijak pada filosofi bahwa dalam mendidik anak melalui seni, pendidik menjadikan disiplin ilmu seni sebagai hal yang harus dikuasai oleh anak. Pendekatan berbasis disiplin ini berdasar pada teori pedagogi tentang pelaksanaan proses belajar mengajar yang dicetuskan pada tahun 1980 di Amerika . Teori ini disebut sebagai Discipline-Based Art Education (DBAE). Karena setiap subjek seni didekati dengan suatu premis bahwa setiap subjek seni memiliki kekhasan yang berbeda dengan subjek seni yang lain sehingga diperlukan suatu pendekatan sebagai suatu “discipline” ilmu yang mandiri. Dengan demikian pendekatan dari berbagai aspek dipadukan dengan proses pengalaman belajar yang terkoordinasi secara menyeluruh menjadi sangat diperlukan. Menurut Brent Wilson “DBAE, builts on the premise that art can be


(51)

taught most effectively by integrating content from four basic disciplines-art making, art history, art criticism, and aesthetics (the philosophy of art)-into a holistic learning experience” (Wailling, 2000: 19). Hal ini menyiratkan bahwa

seni dapat diajarkan secara efektif bila mengintegrasikan makna empat dasar disiplin tersebut. yaitu: penciptaan seni (artistic creation), sejarah seni (art

history), kritik seni (art criticism) dan estetika/filsafat seni (aesthetics) dalam

suatu pengalaman belajar yang menyeluruh. Hal ini diperkuat dengan gagasan Eisner (1997:16) bahwa, Identified the productive, critical, and cultural and/or

historical realms as necessary for leading the child to aesthetic experiences. Aesthetic education therefore represented a balance among producing, appreciating, and understanding. Dengan demikian pelaksanaan pendidikan seni

rupa sesuai yang tersirat dalam DBAE pelaksanaannya tidak memilah keempatnya tetapi berusaha untuk mengintegrasikannya.

Pendidikan Seni Berbasis Disiplin, atau DBAE (Disciplin Based Art Education), mengarahkan untuk mencipta, memahami dan mengapresiasi seni, sejarah seni, produksi seni, kritik seni, dan estetika. Tersurat pula dalam sebuah monograf dari The Getty Center for Education in the Arts, Eisner (1997: 20) membahas komponen estetika sebagai “berguna bagi anak-anak untuk menjadi reflektif tentang basis penilaian mereka berkaitan dengan kualitas karya seni, sebagaimana tentang dunia visual di sekeliling mereka.” Karena itu, para peserta didik harus berusaha melakukan dialog berkelanjutan tentang hakikat dan makna seni dalam kehidupan mereka. Dialog ini paling baik diungkapkan dalam bidang filosofis estetika.


(52)

Pada hakekatnya seni adalah sebagai kegiatan artistik, namun demikian seni rupa sebagai disiplin ilmu dalam pelaksanaannya tidak hanya memberikan kesempatan pada anak untuk mengekspresikan emosinya saja tetapi kegiatan mempelajari ilmu seni juga harus dilakukan. Dipandangnya seni rupa sebagai disipiln ilmu merupakan asumsi pokok yang mendasari pendekatan pendidikan seni rupa berbasis disiplin, karena sudah memenuhi tiga ciri disiplin ilmu yang dikemukakan oleh Dobbs (1992: 9) sebagai berikut: (1) a recognized body of

knowledge or content, (2) a community of scholars who study the discipline, (3) a set of characteristic procedures and ways of working that facilitate exploration and inquiry. Dengan demikian seni rupa dapat dikatakan sebagai sebuah disiplin

ilmu, karena memiliki isi pengetahuan (body of knowledge), adanya komunitas pakar yang mempelajari ilmu tersebut, adanya metode kerja yang memfasilitasi kegiatan eksplorasi dan penelitian.

c. Pendekatan Berbasis Konteks

Pendekatan berbasis konteks berpijak pada filosofis bahwa dalam mendidik anak melalui seni, konteks sosial masyarakat harus menjadi perhatian yang utama. Pada saat ini, pendekatan Berbasis Konteks yang menonjol adalah pendidikan seni multikultural.

Pendekatan seni rupa berbasis multikutural merupakan salah satu bagian dari pendidikan multikultural yang bertujuan mengenalkan keragaman budaya melalui kegiatan penikmatan, penciptaan dan pembahasan keindahan rupa (visual). Pengenalan keragaman budaya tersebut dengan cara membuka diri terhadap berbagai budaya lain yang lahir atas dasar ras, suku, agama, kelas sosial,


(1)

BSNP. (2006). Standar nasional pendidikan. Jakarta: BSNP.

Campbell, Linda, dkk. (2002). Multiple intelligences: Metode terbaru melesatkan kecerdasan. (Terjemahan Tim Inisiasi). Depok: Inisisasi Press.

Charles D. Gaitskell. (1975). Children and their art methods for the elementry Atlanta school. Harcourt Brace Jovanovich, Inc.

Clive Bell. (1968). The aesthetic hypothesis. California: Chandler Publishing Company.

Coney, Isobel J. (1999). Assessment criteria for art and design teaching. assessment criteria. Diambil pada tanggal 8 Nopember 2005, dari, file: // J: Assessment Criteria. htm.

Conrad, George. (1964). The process of art education in the elementary school. Amerika: Prentice Hall Inc.

Cut Kamaril. (2005). Pendidikan seni rupa/ kerajinan tangan. Jakarta: Universitas Terbuka.

Dali Gulo. (1982). Kamus psikologi. Bandung: Tonis.

De Francesco-Italio. (1958). Art education its means and ends. New York: Harper & Brother Publisher.

Depdiknas, Dirjen Dikdasmen. (2003). Sistem penilaian kelas SD, SMP, SMA, dan SMK.

Djelantik, A. A.M. (1999). Estetika sebuah pengantar. Bandung: MSPI.

Djemari Mardapi, dkk. (1998). Survei kegiatan guru dalam melakukan penilaian di kelas. Penelitian kerja sama antara Lemlit IKIP Yogyakarta dan Balitbang Depdikas. Jakarta.

Dobbs, Steven Marks. (1992). The DBAE handbook: An overview of discipline-based art education. Santa Monica CA: The Gety Center.

Donald, M. Uhlin. (1975). Art for exceptional children. Iowa: W.M. Brown Company, Dubuque.

Donovan, R. Wailling. (2000). Rethinking how art is taught: A critical convergence. Corwin Press, Inc., Thousand Oaks, CA.

Duane & Prebel. (1967). Art form: An introduction to the visual arts. California: Dickenson Publishing Inc.


(2)

Edmund, Burke Feldman. (1967). Art as image and idea. New Jersey: Prentice-Hall, Inc.

Efland, Arthur D. A. (1990). History of art education. New York and London: Teachers College.

Eisner, Elliot W. (1997). Educating artistic vision. Reston, VA:NAEA.

Eymeren, Megawati. (2005). Estetika sebagai kritik dan apresiasi seni. Dalam Teks-teks kunci estetika flsafat seni. Yogyakarta: Galangpress

Fernandes, H.J.X. (1984). Testing and measurement. Jakarta: National Education Planning, Evaluation, and Curiculum Development.

Freeman, N. H. (1997). Identifying resources from which children advance into pictorial innovation. The Board of Trutes: The Journal Aestetic Education. Winter Vol. 31 No.4 . P 23-34

Gaitskell, D. Charles. (1975). Children and their art. Atlanta: Harcourt Brage Jovanovich, Inc.

George W. Hardiman , Theodore Zernich. (Eds.). (1974). “Human behavior: Its implications for curriculum development in art.” curricular considerations for visual arts education: rationale, development and evaluation. Champion, IL: Stipes.

George, Conrad. (1964). The process of art education in the elementary school. Englewood Cliffs,N. J: Prentice- Hall, Inc.

Greer, W. Dwarne. (1987). “A structure of dicipline concepts for DBAE”. Studies in Art Education.28 :227-233

Griffin, P., & Nix, Peter. (1991). Educational assessment and reporting. London: Harcout Brace Javanovich, Publisher.

Gronlund, N. E. (1985). Measurement and evaluation in teaching. New York: Macmillan Publishing Company.

Herawati, Iriaji. (1999). Pendidikan seni rupa. Departemen Pendidikan dan kebudayaan. Proyek Pendidikan Guru Sekolah Dasar.

Hoepfner, Ralph. (1983). Studies in art education, the journal of issues and research: 25 (4), 251-258. National Art Education Association.

Holt, Claire. (1967). Art in Indonesia. I thaca, NY: Cornell UP.


(3)

Hurlock, Elizabeth B. (1991). Perkembangan anak. (Terjemahan dr. Meitasari Tjandrasa dan Dra. Muchlichah Zarkasih). Jilid 1 Edisi Ke enam. Jakarta: Erlangga

Ismiyanto, P. C. S. (2002). Analisis lukisan karya anak-anak usia sekolah dasar : studi dokumenter hasil karya anak-anak sanggar lukis di kota Jakarta dan Semarang. Jurnal Bahasa dan Seni., 3, 86-97.

Jakob, Sumardjo. (2000). Filsafat seni. Bandung: Penerbit ITB.

Jamaris, Martini. (2001). Model pembelajaran terpadu berbasis kecerdasan jamak. Jakarta: UNJ.

James, Popham. (1995). Classroom assessment what teacher need to know. MA: A Simon & Schuster Company.

Kane, Michael T. (Eds.). (2006). Validation. American Council on Education and Praeger Publishers.

Kellogg, Rhoda and Scott O’Dell. (1967). The psychology of chidren’s art. California: CRM INC.

Kerlinger F. N. and Lee H. B. (2000). Foundations of behavioral research. Toronto: Nelson Thomson Learning.

Krueger, R. A. & Casey, M. A. (2000). Focus groups: A practical guide for applied research. Sage Publications

Kusnadi. (1991). Kritik seni dan penciptaan seni rupa. Jurnal Seni, I/03, 18. Lansing, K.M. (1976). Art, artists and art education. New York: McGraw-Hill. Laura, H. Chapman (1978). Approach to art in education. New York: Harcour

Brace Jovanovich.

Lim Chin Choy. ( 2005). Keindahan yang digemari dan pengejawantahannya. Dalam teks-teks kunci estetika flsafat seni. Yogyakarta: Galangpress.

Linderman, Earl. (1977). Art & crafts for the classroom. USA: Macmillan Publishing Company.

Linn, Robert L. (1990). Measurement and evaluation in teaching. New York: Macmillan Publising Company.

Logan, Frederick M. (1955). Growth of art in American schools. New York: Harper & Brother.


(4)

Lowenfeld, Viktor, & Britain, W. Lambert. (1982). Creative and mental growth. New York: Macmillan Publishing Co., Inc.

Macdonald, Stuart. (1970). The history and philosophy of art education. New York: American Elsevier.

Malcom Ross. (1986). Assessment in art education a necessary discipline or a loss of happiness?. New York: Pergamon Press.

Mamannoor. ( 2002). Wacana kritik seni rupa di Indonesia. Bandung: Nuansa. Martono & Retnowati, Tri Hartiti. (2007). Strategi pembelajaran seni lukis anak

usia dini di Sanggar Pratista Yogyakarta. Yogyakarta: FBS UNY.

Maurice, Barrett. “Guidelines for evaluation and assessment in art and design education 5-18 Years”. Journal of Art and Design Education, Volume 9, No.3, 1990.

Messick, S. (1995). Validity of psychological assessment. New York: Analytic. Mikke Susanto. (2003). Membongkar seni rupa. Yogyakata: Jendela.

Myers, David. “Excellence in arts teaching and learning: A collaborative responsibility of maturing partnership.”. University of Maryland Libraries, Online.21 Maret 2005.

Newton, Connie. (1989). The board of trustees of the university of illinois.Visual Arts Research, Spring 1989,Vol 15.No.1, P.76-85.

Notoatmojo, Soekidjo. (2003). Pengembangan sumber daya manusia. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Novianto. (2005). Kamus lengkap Bahasa Indonesia. Surakarta: Bringin 55. Oho, Garha. (1980). Seni rupa. Jakarta: Rora Karya.

Pappas, George. (1970). Concepts in art and education. London: The Macmillan Company.

Peraturan Pemerintah RI. (2005). Peraturan pemerintah , Nomor 19, tahun 2005, tentang standar nasional pendidikan.

Permendiknas RI. (2006). Peraturan menteri, nomor 22, tahun 2006, tentang standar isi untuk satuan pendidikan dasar dan menengah.

Piaget, J. (1950). The psychology of intelligence. New York: Harcourt, Brace & World.


(5)

Plomp, T. (1997). Development research on/in educational development. Netherlands: Twente University.

Pratiknyo Prawironegoero. (1983). Penilaian dengan non tes dalam proses belajar mengajar. Jakarta: Depdikbud, Dirjen Dikti, PL2LPTK.

R. Syahrul. (2001). Survai terhadap kondisi guru-guru pendidikan kesenian di SLTP/SMU sumatera barat. “Komposisi” Jurnal Pendidikan Bahasa Sastra dan Seni, vol 2 No 2, 183-192.

Read, Herbert.(1970). Education through art. London: The Shenval Press.

Ricci, Corrado. (1960). L’art de bambini. Leipzig. Pedagogical Sem.3 (1906);302-307.

Rohidi, Tjetjep Rohendi. (2000). Kesenian dalam pendekatan budaya. Bandung: STISI Press.

Rohidi, Tjetjep Rohandi & Retnowati, Tri Hartiti. (2002). Pendidikan seni. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah.

Ruta, I Made. (2005). Implikasi garis dalam seni rupa. Jurnal Rupa volume 4 no 1 September 2005.

Salam, Sofyan. (2001). Pendekatan ekspresi diri, disiplin dan multikultural dalam pendidikan seni rupa. Makalah disajikan dalam Seminar & Lokakarya Nasional Pendidikan Seni, di Jakarta.

Sawyer, R. John. (1971). Elementary school art for classroom teachers. London: Harper & Row Publishers.

Soedarso. (2006). Trilogi seni penciptaan eksistensi dan kegunaan seni. Yogyakarta: Badan Penerbit ISI Yogyakarta.

Soeharjo,A. J. (2005). Pendidikan seni dari konsep sampai program. Malang: Balai Kajian Seni dan Desain.

Soesatyo. (1994a). Apresiasi seni lukis anak-anak. Yogyakarta: Sanggar Melati Suci.

Soesatyo. (1994b). Sanggar melati suci (1979-1994).Yogyakarta:Aquarius Offset. Stark, J. S., & Thomas, A. (1994). Assessment program evaluation. Needham

Heights, M.A: Simon & Schuster Custom Publishing.

Stephen, C. Pepper. (1973). Contextualistic criticism. New York: Reinhart and Winston Inc.


(6)

Stufflebeam, D. L., Foley, W. J., Gepard, W. J., Guba, E. G., Hammond, R. L., Marriman, H. O., & Provus, M. M. (1971). Educational evaluation amd decision making. Itasca, Il: F. E. Peacock.

Sudarmaji. (1979). Dasar-dasar kritik seni rupa. Jakarta: Balai Seni Rupa Jakarta. Suryahadi, Agung, A. (1991). Bunga rampai pendidikan seni. Yogyakarta: Unit

Litbang P3G

Thiagarajan, S., Semmel, D. S & Semmel, M. I. (1974). Instructional development for training teachers of exceptional children: A sourcebook. Minneapolis Indiana University.

Thorndike, Robert, L., & Hagen, Elizabeth. P. (2005). Measurement and evaluation in psychology and education . New York : John Wiley & Sons. Torrance, Paul. (1981). Paul Torrance test of creative thinking. Lexington:

Personal Press.

Utami Munandar. (1999). Kreativitas dan keberbakatan strategi mewujudkan potensi kreatif dan bakat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Victor, Heyfron . (1986). “Objectivity and assessment in art” in assessment in arts education. Toronto: Pergamon Press.

Wall, W.D. (1975). Constructive education for children. Paris: Harrap London. Waterman, Edward.C. (1959). Evalution of the art product, art education.

pp.5-7,10.

Wedwick, Linda. (2006). Early adolescent literacy learning fall 2006, Section 01 and 02. Diakses dari http://www.coe.ilstu.edu/ivc pada tanggal 1 Juli 2007. Yahya, Amri. (2001). Evaluasi dalam perspektif pendidikan seni (Pidato Ilmiah,