202
DIREKTORAT P-APBN BELANJA PEMERINTAH PUSAT
5.10.2 Belanja mengikat wajib dan tidak mengikat tidak wajib
Pengklasifikasian belanja negara berdasarkan mengikat dan tidak mengikat dilakukan untuk melihat seberapa besar diskresi Pemerintah dalam pengalokasian anggaran. Semakin besar porsi belanja
mengikat, maka diskresi ruang gerak Pemerintah untuk melakukan intervensi fiskal, dalam bentuk stimulasi dari anggaran belanja negara terhadap kegiatan ekonomi masyarakat, baik untuk
mendorong pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja produktif maupun pengentasan kemiskinan menjadi relatif terbatas.
Belanja mengikat didefinisikan sebagai belanja yang wajib dianggarkan terkait dengan penyelenggaraan operasional pemerintahan, kewajiban yang harus dilakukan pemerintah, dan
belanja yang bersumber dari penerimaan PNBP dan BLU yang dapat digunakan kembali oleh Kementerian NegaraLembaga. Dengan demikian, belanja mengikat, meliputi: 1 belanja pegawai,
2 belanja barang operasional, 3 belanja modal operasional, 4 subsidi, 5 pembayaran bunga utang, 6 belanja lain-lain yang bersifat wajib, 7 belanja kementerian negaralembaga yang
bersumber dari penggunaan PNBPBLU, serta 8 transfer ke daerah sebagai konsekuensi pelaksanaan desentralisasi fiskal.
Sementara itu, belanja tidak mengikat adalah belanja yang dapat dialokasikan sesuai yang kapasitas fiskal yang dimiliki Pemerintah, setelah pengalokasian belanja yang bersifat wajib, sebagai
pendanaan program-program pembangunan yang ditetapkan dalam rencana kerja pemerintah. Dalam kurun waktu 2005-2012, rasio anggaran belanja wajib terhadap total belanja pemerintah pusat
secara rata-rata mencapai 74,0 persen,dan sisanya sebesar 26,0 persen merupakan belanja tidak wajib. Hal ini menunjukkan relatif terbatasnya ruang gerak Pemerintah dalam pengalokasikan
anggaran untuk melakukan intervensi fiskal. Perkembangan belanja mengikat dan tidak mengikat dalam kurun waktu 2005-2012 ditampilkan dalam grafik berikut:
203
DIREKTORAT P-APBN BELANJA PEMERINTAH PUSAT
5.10.3 Anggaran Pendidikan
Pasal 31 ayat 4 UUD 1945 Amandemen ke 4 mengamanatkan bahwa negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN serta dari APBD untuk memenuhi
kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Dalam UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, diamanatkan bahwa Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan
layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi. Sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 013PUU-
VI2008, Pemerintah harus menyediakan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN dan APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
Anggaran pendidikan adalah alokasi anggaran pada fungsi pendidikan yang dianggarkan melalui kementerian negaralembaga, alokasi anggaran pendidikan melalui transfer ke daerah, dan alokasi
anggaran pendidikan melalui pengeluaran pembiayaan, termasuk gaji pendidik, namun tidak termasuk anggaran pendidikan kedinasan, untuk membiayai penyelenggaraan pendidikan yang
menjadi tanggung jawab Pemerintah. Untuk menjalankan amanat tersebut, dalam UU Nomor 41 Tahun 2008 tentang APBN Tahun Anggaran 2009, Pemerintah mengalokasikan 20 persen dari
APBN untuk anggaran pendidikan. Persentase anggaran pendidikan tersebut adalah perbandingan alokasi anggaran pendidikan terhadap total alokasi anggaran belanja negara.
Pemerintah berupaya untuk menjaga anggaran pendidikan agar tetap memenuhi amanat konstitusi yaitu sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN. Dari sisi nominal, dalam periode tersebut anggaran
pendidikan mengalami peningkatan yang sangat signifikan yaitu dari Rp208,3 triliun pada tahun 2009
20 40
60 80
100
2005 2006
2007 2008
2009 2010
2011 2012
Tidak M engikat 19
23 20
18 23
20 24
24 M engikat
81 77
80 82
77 80
76 76
P er
se n
Komposisi Belanja Mengik at Tidak Mengik at, terhadap Belanja Negara, 2 0 05 -2 01 2
Grafik 5.25
Komposisi Belanja M engikat Tidak mengikat, Terhadap Belanja Negara, 2005-2012