DIREKTORAT P-APBN
17
PENDAHULUAN
dalam mencapai dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Belanja Negara terdiri dari Belanja Pemerintah Pusat dan Transfer ke Daerah. Belanja Pemerintah Pusat memiliki fungsi sebagai
stabilisator bagi perekonomian; saat perekonomian dalam kondisi resesi, maka dengan kebijakan Belanja Pemerintah Pusat yang ekspansif dapat memberikan stimulasi pada
pertumbuhan ekonomi dan menjaga stabilitas serta memperkuat fundamental ekonomi makro. Sebaliknya, saat perekonomian dalam kondisi terlalu ekspansif over heating, kebijakan
Belanja Pemerintah Pusat dapat berperan untuk menstabilkan roda perekonomian menuju kondisi yang lebih kondusif.
3. Pembiayaan
Pembiayaan merupakan semua penerimaan negara yang harus dibayar kembali pengeluaran negara yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran bersangkutan maupun pada
tahun anggaran berikutnya serta penjualan asset dan penggunaan Saldo Anggaran Lebih SAL. Pembiayaan ini muncul apabila besaran alokasi belanja melebihi besaran target
pendapatan dan hibah atau terjadi defisit, agar besaran belanja yang sudah ditetapkan dalam APBN dapat dilaksanakan dengan baik. Kebijakan pemerintah untuk pembiayaan ini
diutamakan berasal dari non utang dan utang dalam negeri dan juga menjaga net outflow jumlah penarikan pinjaman lebih kecil dibandingkan dengan pembayaran cicilan pokok
pinjaman luar negeri dan penerusan pinjaman, dikarenakan memiliki resiko yang lebih rendah lebih fleksibel dalam mengelola portofolio utang dan resiko utang dibandingkan pembiayaan
lainnya serta memiliki multiplier effect yang positif pada perekonomian nasional.
I. PEMBIAYAAN DALAM NEGERI
1.
Perbankan dalam negeri
a.l SAL
2. Non-perbankan dalam negeri
a.l a. Penerimaan Privatisasi b. Hasil Pengelolaan Aset
c. Surat Berharga Negara neto d. Pinjaman Dalam Negeri
e. Dana Investasi Pemerintah dan PMN a.l. Dana Bergulir
- Dana Bergulir Infrastruktur Geothermal
Dana Pengembangan Pendidikan Nasional
II. PEMBIAYAAN LUAR NEGERI neto 1. Penarikan Pinjaman LN bruto
a. Pinjaman Program b. Pinjaman Proyek Bruto
2. Penerusan Pinjaman SLA 3. Pembyr. Cicilan Pokok Utang LN
PEMBIAYAAN
DIREKTORAT P-APBN
18
PENDAHULUAN
1.5.3 Surplus Defisit APBN, SAL Saldo Anggaran Lebih, Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran SILPA dan Sisa Kurang Pembiayaan Anggaran SIKPA
Jika dalam APBN, besaran Pendapatan Negara dan Hibah lebih besar dari besaran Belanja Negara, maka APBN dikatakan mengalami surplus, namun jika sebaliknya maka APBN dikatakan
mengalami defisit. APBN Indonesia dalam beberapa tahun terakhir selalu mengalami defisit. Salah satu penyebabnya
adalah Indonesia ingin menetapkan tingkat pertumbuhan ekonomi tertentu, sehingga sisi belanja perlu dalam level yang cukup tinggi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi tersebut. Namun, di
sisi lain, penerimaan negara belum mampu mengimbangi besaran kebutuhan belanja tersebut. Dengan rencana pemerintah untuk melaksanakan balance budget mulai tahun 2014, maka
pemerintah dituntut harus mampu untuk mengoptimalkan potensi penerimaan yang ada dan mencari sumber penerimaan baru agar dapat seimbang dengan alokasi belanja negara.
Salah satu alat untuk melihat keberlanjutan fiskal adalah keseimbangan primer, yang merupakan total penerimaan dikurangi belanja di luar pembayaran bunga utang. Agar posisi utang dapat
terjaga dalam keseimbangan jangka panjang, maka nilai keseimbangan primer ini harus dijaga setidaknya mendekati nol. Jika nilai keseimbangan primer ini positif, maka posisi utang akan
berkurang seiring waktu, namun sebaliknya, jika nilainya negatif maka dalam jangka panjang dapat menyebabkan peningkatan nilai utang secara signifikan, sehingga dapat membahayakan
perekonomian negara. Dalam pelaksanaan APBN, setelah tahun anggaran berakhir, mungkin realisasi Pendapatan
Negara dan Hibah serta Pembiayaan lebih besar dari realisasi Belanja Negara. Hal ini dikenal dengan Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran SILPA. Contohnya, pada saat tahun anggaran
berakhir, realisasi Pendapatan Negara dan Hibah melebihi target yang ditetapkan, sedangkan di sisi lain realisasi Belanja Negara lebih rendah dari alokasi dalam APBN. Namun hal ini tidak serta
merta menyebabkan surplus APBN, karena pemerintah dalam beberapa tahun terakhir memiliki kebijakan belanja yang ekspansif lebih besar dari Pendapatan Negara. Namun jika realisasi
Pembiayaan menyebabkan terjadinya surplus APBN, maka dalam kondisi ini terjadi SILPA. Jika terjadi sebaliknya, kondisi di mana realisasi Pendapatan Negara dan Hibah serta Pembiayaan
lebih kecil dari realisasi Belanja Negara maka terdapat Sisa Kurang Pembiayaan Anggaran SIKPA. Contohnya pada saat tahun anggaran berakhir, di mana realisasi Pendapatan Negara