Belanja Fungsi Perumahan dan Fasilitas Umum

201 DIREKTORAT P-APBN BELANJA PEMERINTAH PUSAT 15,8 17,4 35,9 35,2 50 100 150 200 250 300 350 400 2011 2012 T ri li u n Tahun Belanja Operasional dan Non Operasional Oper asional Non Oper asional Oper asional thd BPP Non Ops thd BPP Grafik 5.24 Belanja Operasional dan Non Operasional belanja yang mendukung pencapaian output layanan perkantoran. Semua kementerianlembaga menghasilkan output layanan perkantoran pada kegiatannya. Sedangkan belanja nonoperasional merupakan belanja yang mendukung penacapaian output teknis, sesuai dengan tugas-fungsi masing-masing kementerianlembaga. Belanja operasional terdiri dari keseluruhan belanja pegawai, sebagian belanja barang, dan sebagian kecil belanja modal. Belanja operasional yang berasal dari belanja barang terdiri dari: 1 belanja barang, 2 belanja jasa, 3 belanja pemeliharaan, 4 belanja perjalanan, serta 5 belanja BLU. Sementara itu, belanja operasional yang berasal dari belanja modal terdiri dari: 1 belanja modal peralatan dan mesin, 2 belanja penambahan nilai peralatan dan mesin, 3 belanja penambahan nilai gedung dan bangunan, 4 belanja modal fisik lainnya, serta 5 belanja modal peralatan dan mesin BLU. Dalam kurun waktu 2011-2012, rasio anggaran belanja operasional terhadap total belanja pemerintah pusat secara rata-rata mencapai 16,6 persen, dan sisanya sebesar 83,4 persen merupakan belanja nonoperasional. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah dan besaran persentase anggaran belanja operasional Pemerintah tersebut relatif normal apabila dibandingkan dengan organisasi privat sector dalam bidang jasa yang mencantumkan rata-rata fixed cost-nya sebesar 20. Perkembangan belanja operasional dan nonoperasional dalam kurun waktu 2011-2012 ditampilkan dalam grafik berikut: 202 DIREKTORAT P-APBN BELANJA PEMERINTAH PUSAT

5.10.2 Belanja mengikat wajib dan tidak mengikat tidak wajib

Pengklasifikasian belanja negara berdasarkan mengikat dan tidak mengikat dilakukan untuk melihat seberapa besar diskresi Pemerintah dalam pengalokasian anggaran. Semakin besar porsi belanja mengikat, maka diskresi ruang gerak Pemerintah untuk melakukan intervensi fiskal, dalam bentuk stimulasi dari anggaran belanja negara terhadap kegiatan ekonomi masyarakat, baik untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja produktif maupun pengentasan kemiskinan menjadi relatif terbatas. Belanja mengikat didefinisikan sebagai belanja yang wajib dianggarkan terkait dengan penyelenggaraan operasional pemerintahan, kewajiban yang harus dilakukan pemerintah, dan belanja yang bersumber dari penerimaan PNBP dan BLU yang dapat digunakan kembali oleh Kementerian NegaraLembaga. Dengan demikian, belanja mengikat, meliputi: 1 belanja pegawai, 2 belanja barang operasional, 3 belanja modal operasional, 4 subsidi, 5 pembayaran bunga utang, 6 belanja lain-lain yang bersifat wajib, 7 belanja kementerian negaralembaga yang bersumber dari penggunaan PNBPBLU, serta 8 transfer ke daerah sebagai konsekuensi pelaksanaan desentralisasi fiskal. Sementara itu, belanja tidak mengikat adalah belanja yang dapat dialokasikan sesuai yang kapasitas fiskal yang dimiliki Pemerintah, setelah pengalokasian belanja yang bersifat wajib, sebagai pendanaan program-program pembangunan yang ditetapkan dalam rencana kerja pemerintah. Dalam kurun waktu 2005-2012, rasio anggaran belanja wajib terhadap total belanja pemerintah pusat secara rata-rata mencapai 74,0 persen,dan sisanya sebesar 26,0 persen merupakan belanja tidak wajib. Hal ini menunjukkan relatif terbatasnya ruang gerak Pemerintah dalam pengalokasikan anggaran untuk melakukan intervensi fiskal. Perkembangan belanja mengikat dan tidak mengikat dalam kurun waktu 2005-2012 ditampilkan dalam grafik berikut: