Implikasi Dan Kebijakan Integrasi Etnobiologi Masyarakat Kerinci Dalam Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya

ini dapat dikatakan sebagai peraturan pelaksanaan dari Pasal 38, UU No. 5 Tahun 1990. Apabila melihat isi dari PP No. 62 Tahun 1998, maka jelas bahwa pengaturan atau penyerahan sebahagian urusan yang dimaksudkan di sini adalah dalam rangka pelaksanaan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, dan tidak termasuk di dalamnya mengenai pengusahaan hutan. Oleh karena itu semestinya disebutkan bahwa PP 62 Tahun 1998 adalah peraturan pelaksanaan dari UU No.5 Tahun 1990, anehnya hal ini tidak dicantumkan secara eksplisit. Hal ini penting untuk menunjukkan benang merah antara suatu peraturan pelaksana – sebagai peraturan yang lebih teknis, dengan undang-undang yang mengamanatkannya. Berbicara mengenai Pengesahan sebagian Urusan Pemerintahan di bidang kehutanan kepada Daerah penting untuk diletakan prinsip-prinsip dasar sehingga tujuan dari penyerahan urusan terrsebut yang tidak semata menyangkut mekanisme penyerahan, akan tetapi menyangkut substansi. Substansi yang dimaksud di sini, dalam konteks sumber daya alam hutan adalah adanya manfaat yang nyata dari pemanfaatan sumber daya alam hutan itu sendiri terhadap daerah dan masyarakatnya. Dalam hal mekanisme penyerahan urusan pemerintahan di bidang kehutanan kepada daerah prosesnya haruslah melibatkan daerah itu sendiri. Sehingga tugas yang diberikan tersebut tidak bersifat top-down, tetapi bottom-up yang betul-betul mencerminkan kepentingan daerah. d. Undang-undang No. 5 Tahun 1994 UU No 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi PBB tentang Keanekaragaman Hayati. Tujuan dari peraturan ini adalah untuk konservasi keanekaragaman hayati, pemanfaatan komponen-kopmonennya secara berkelanjutan dan membagi keuntungan yang dihasilkan dari pendayagunaan sumber daya genetika secara adil dan merata, termasuk melalui akses yang memadai terhadap sumber daya genetik, dengan alih tekonologi yang tepat guna, dan dengan memperhatikan semua hak atas sumber-sumber daya maupun dengan pendanaan yang memadai. Undang-undang ini terdiri dari 42 pasal, selain memuat tentang tujuan, pengertian, dan prinsip, juga memuat hal tentang lingkup kedaulatan, kerjasama internasional, tindakan umum bagi konservasi dan pemanfaatan secara berkelanjutan, identifikasi dan pemantauan, konservasi in-situ dan eks-situ, pemanfaatan secara berkelanjutan komponen-komponen keanekaragaman hayati, tindakan insentif, penelitian dan pelatihan, pendidikan dan kesadaran masyarakat, pengkajian dampak dan pengurangan dampak yang merugikan. Disamping itu juga diatur tentang akses pada sumber daya genetik, akses pada teknologi dan alih teknologi, pertukaran informasi, kerjasama teknisi dan ilmiah, penanganan bioteknologi dan pembagian keuntungan, sumber dana, dan beberapa hal mengenai aspek-aspek teknis dan kesekretariatan. lingkup kedaulatan suatu negara berkaitan dengan komponen keanekaragaman hayati, adalah yang terdapat di dalam batas-batas yurisdiksinya. sementara itu untuk proses dan kegiatannya yaitu yang dilaksanakan di bawah yurisdiksi atau pengendalian suatu negara, di dalam atau di luar batas nasionalnya, tanpa memperhatikan tempat terjadinya proses atau kegiatan tersebut. Prinsip yang dijadikan landasan adalah hak berdaulat untuk memanfaatkan sumber-sumber daya yang ada sesuai dengan kebijakan pembangunan lingkungan sendiri, serta tanggung jawab dan jaminan bahwa kegiatan-kegiatan yang dilakukan di dalam batas yurisdiksinya tidak menimbulkan kerusakan terhadap lingkungan negara lain atau kawasan di luar batas yurisdiksi nasionalnya. Konvensi PBB tersebut juga mengamanatkan kepada setiap negara untuk, 1 Mengembangkan strategi, rencana atau program nasional untuk konservasi dan pemanfaatan secara berkelanjutan keanekaragaman hayati atau program yang sudah ada, dan 2 memadukan konservasi dan pemanfaatan secara berkelanjutan keanekaragaman hayati ke dalam rencana, program, dan kebijakan sektoral atau lintas sektoral yang berkaitan, sejauh mungkin dan jika sesuai. Dua amanat konvensi tersebut, khususnya memadukan konservasi ke dalam pelaksanaan pembangunan Indonesia .

e. UU No 18 Tahun 2013

Undang-undang No 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan Pasal 11 3 berbunyi : “ Kelompok terstruktur sebagaimana dimaksud pada ayat 2 tidak termasuk kelompok masyarakat yang bertempat tinggal di dalam dan atau di sekitar kawasan hutan yang melakukan penebangan kayu di luar kawasan hutan konservasi dan hutan lindung untuk keperluan sendiri dan tidak untuk tujuan komersial”. Aturan ini secara implisit melarang pemanfaatan oleh masyarakat tradisional di dalam kawasan konservasi sehingga bertentangan dengan PP No 28 Tahun 2011 tentang Pemanfaatan KSA dan KPA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35 dan Pasal 37 hanya dapat dilakukan setelah memperoleh izin dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk. Berdasarkan telaahan terhadap beberapa peraturan tersebut menunjukan adanya beberapa persoalan mendasar yaitu antara lain 1 Terdapatnya ketidaksesuaian antara peraturan yang ada, sehingga terkesan peraturan pada tingkat yang lebih tinggi tidak diikuti oleh peraturan dibawahnya, 2 lemahnya penegakan hukum law enforcement terhadap pelaku perusakan kawasan konservasi. Berbagai aktivitas yang nyata-nyata mengancam dan merusak kawasan konservasi seringkali tidak dikenakan peringatan ataupun tindakan yang tegas. Berbagai peraturan yang memuat peran serta masyarakat, kecuali PP No 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup menunjukkan bahwa peran serta masyarakat itu tidak penting. Masyarakat bahkan dilihat sebagai orang yang tidak mengerti tentang pengelolaan sumber daya alam termasuk konservasi sehingga disebutkan bahwa peran serta tersebut akan ditumbuhkan dan ditingkatkan melalui pendidikan dan penyuluhan. Padahal tidak ada yang dapat membantah justru masyarakat adat Dayak, masyarakat adat Haruku dan berbagai masyarakat lainnya di berbagai wilayah di Indonesia dikenal secara turun temurun memiliki konsep konservasi yang luar biasa dan telah menerapkannya. Sebagaimana hasil kajian pada masyarakat Kerinci yang telah menunjukan bahwa mereka telah memiliki konsep konservasi yang terbukti mampu menjaga keberlanjutan sumber daya alam biodversitas dan lingkungannya. Berkaitan dengan aturan desentralisasi nampak pemerintah setengah hati untuk mengembangkannya. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber daya Alam Hayati dan Ekosistemnya menyebutkan bahwa