Bangsa yang mandiri adalah bangsa yang mampu mewujudkan kehidupan sejajar dan sederajat dengan bangsa lain yang telah maju dengan mengandalkan
kemampuan dan kekuatannya sendiri. Karenanya mutlak diperlukan upaya membangun kemajuan ekonomi. Kemampuan untuk berlomba-lomba menjadi
kunci untuk mencapai kemajuan sekaligus kemandirian. Kemandirian suatu bangsa tercermin antara lain kepada ketersediaan sumber daya manusia SDM
yang berkualitas dan memenuhi tuntutan kebutuhan dan kemajuan pembangunannya, kemandirian aparatur penegak hukum dalam menjalankan
tugasnya, ketergantungan pembiayaan pembangunan dari sumber dalam negeri yang semakin kokoh dan kemampuan memenuhi kebutuhan pokok.
6.5 Implikasi Dan Kebijakan
6.5.1 Kebijakan Perundangan Untuk mewujudkan masyarakat Kerinci sebagai subyek dalam pengelolaan
sumber daya alam hayati dan ekosistem mereka diperlukan suatu legalitas hukum yang menguatkannya. Fay dan Sirait 2003 menyatakan bahwa dari berbagai
kebijakan yang telah disusun mempunyai arus utama bahwa masyarakat lokal adat belum menjadi bagian penting dalam proses pembangunan pemerintah yang
berkelanjutan.
Lembaga Pengembangan Hukum Indonesia dalam technical report-nya menyebutkan bahwa berdasarkan studi literatur terhadap peraturan perundang-
undangan terdapat sekitar 157 peraturan baik yang secara langsung mengatur tentang pengelolaan kawasan konservasi maupun yang tidak secara langsung
mengatur namun berkaitan, menunjukkan terdapatnya kelemahan-kelemahan yang menjadikan masyarakat lokal seolah-olah tidak memiliki pengetahuan
terhadap pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
Sedangkan berdasarkan analisis konten terhadap 13 peraturan kebijakan pengelolaan taman nasional dan peran serta masyarakat dengan menggunakan
Konsep Tri –Stimulus AMAR Konservasi menunjukkan kelemahan-kelemahan dalam menjadikan masyarakat tradisional sebagai subyek dalam pengelolaan
kawasan taman nasional Zuhud 2007.
Diantara peraturan perundang-undangan yang secara langsung mengatur tentang pengelolaan kawasan konservasi dan peran serta masyarakat adalah
sebagai berikut : a. Undang-undang No 5 Tahun 1990
UU No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya KSDHE merupakan turunan dari UU No 4 tahun 1982. UU ini
berasaskan pelestarian kemampuan dan pemanfaatan SDAHE secara serasi dan seimbang sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan dan
mutu kehidupan manusia. Undang-undang ini mengatur tentang perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan
satwa beserta ekosistemnya, kawasan suaka alam, pengawetan jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya.
UU No. 5 Tahun 1990 juga mengatur bahwa pemanfaatan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya yang lestari, dilakukan melalui kegiatan
pemanfaatan kondisi lingkungan kawasan pelestarian alam dan pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar. Pemanfaatan tersebut dilakukan dengan tetap menjaga
kelestarian fungsi kawasan. Undang-undang ini juga menyatakan kegiatan yang dapat dilakukan di kawasan konservasi taman nasional adalah kegiatan untuk
kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya dan wisata alam Pasal 31. Sedangkan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan
terhadap keutuhan zona inti taman nasional, kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan dan zona lainnya dilarang untuk dilakukan.
Aturan ini telah membatasi akses masyarakat Kerinci dalam pemanfaatan sumber daya alam biodiversitas dan ekosistem di sekitar mereka. Sehingga perlu
penyempurnaan dengan menambahkan pemanfaatan secara tradisional oleh masyarakat lokal yang diketahui secara pasti sudah hidup sejak lama dan
berinteraksi positif dengan sumberdaya hutan. Hal ini perlu dipertimbangkan mengingat hasil penelitian pada masyarakat Kerinci menunjukkan bahwa
pemanfaatan secara tradisional hasil hutan oleh masyarakat Kerinci dapat menjadikan berbagai spesies tumbuhan lestari.
b. Undang-undang No 23 Tahun 1997
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 adalah menggantikan Undang- undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup UULH
1982. Pasal 18 dari UULH 1982 lah yang menjadi cikal UU No 5 tahun 1990 tentang KSDHE. Undang-undang lingkungan hidup ini menegaskan bahwa negara
menguasai sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat, dan pengaturannya ditentukan oleh
Pemerintah.
Untuk melaksanakan hal tersebut pemerintah akan melakukan: 1 Mengatur dan mengembangkan kebijaksanaan dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup;
2 Mengatur penyediaan, peruntukan, penggunaan, pengelolaan lingkungan hidup dan pemanfaatan kembali sumber daya alam, termasuk sumber daya genetika, 3.
Mengatur perbuatan hukum dan hubungan hukum antara orang danatau subyek hukum lainnya serta perbuatan hukum terhadap sumber daya alam dan sumber
dayabuatan, termasuk sumber daya genetika, 4 Mengendalikan kegiatan yang mempunyai dampak sosial, dan 5 Mengembangkan pendanaan bagi usaha
pelestarian fungsi lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Undang-undang ini juga menggariskan bahwa pengelolaan lingkungan hidup dan penataan ruang tetap memperhatikan nilai-nilai agama, adat istiadat,
dan nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat. Pengelolaan lingkungan dilakukan secara terpadu, dengan penataan ruang, perlindungan sumber daya alam
non hayati, perlindungan sumber daya buatan, konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, cagar budaya, keanekaragaman hayati dan perubahan
iklim. c.
Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 1998
Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 1998 tentang Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintahan Di Bidang Kehutanan kepada Pemerintah Daerah. Peraturan
ini dapat dikatakan sebagai peraturan pelaksanaan dari Pasal 38, UU No. 5 Tahun 1990. Apabila melihat isi dari PP No. 62 Tahun 1998, maka jelas bahwa
pengaturan atau penyerahan sebahagian urusan yang dimaksudkan di sini adalah dalam rangka pelaksanaan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya,
dan tidak termasuk di dalamnya mengenai pengusahaan hutan. Oleh karena itu semestinya disebutkan bahwa PP 62 Tahun 1998 adalah peraturan pelaksanaan
dari UU No.5 Tahun 1990, anehnya hal ini tidak dicantumkan secara eksplisit. Hal ini penting untuk menunjukkan benang merah antara suatu peraturan
pelaksana – sebagai peraturan yang lebih teknis, dengan undang-undang yang mengamanatkannya.
Berbicara mengenai Pengesahan sebagian Urusan Pemerintahan di bidang kehutanan kepada Daerah penting untuk diletakan prinsip-prinsip dasar
sehingga tujuan dari penyerahan urusan terrsebut yang tidak semata menyangkut mekanisme penyerahan, akan tetapi menyangkut substansi. Substansi yang
dimaksud di sini, dalam konteks sumber daya alam hutan adalah adanya manfaat yang nyata dari pemanfaatan sumber daya alam hutan itu sendiri terhadap daerah
dan masyarakatnya. Dalam hal mekanisme penyerahan urusan pemerintahan di bidang kehutanan kepada daerah prosesnya haruslah melibatkan daerah itu
sendiri. Sehingga tugas yang diberikan tersebut tidak bersifat top-down, tetapi bottom-up yang betul-betul mencerminkan kepentingan daerah.
d.
Undang-undang No. 5 Tahun 1994
UU No 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi PBB tentang Keanekaragaman Hayati. Tujuan dari peraturan ini adalah untuk konservasi
keanekaragaman hayati, pemanfaatan komponen-kopmonennya secara berkelanjutan dan membagi keuntungan yang dihasilkan dari pendayagunaan
sumber daya genetika secara adil dan merata, termasuk melalui akses yang memadai terhadap sumber daya genetik, dengan alih tekonologi yang tepat guna,
dan dengan memperhatikan semua hak atas sumber-sumber daya maupun dengan pendanaan yang memadai. Undang-undang ini terdiri dari 42 pasal, selain memuat
tentang tujuan, pengertian, dan prinsip, juga memuat hal tentang lingkup kedaulatan, kerjasama internasional, tindakan umum bagi konservasi dan
pemanfaatan secara berkelanjutan, identifikasi dan pemantauan, konservasi in-situ dan eks-situ, pemanfaatan secara berkelanjutan komponen-komponen
keanekaragaman hayati, tindakan insentif, penelitian dan pelatihan, pendidikan dan kesadaran masyarakat, pengkajian dampak dan pengurangan dampak yang
merugikan.
Disamping itu juga diatur tentang akses pada sumber daya genetik, akses pada teknologi dan alih teknologi, pertukaran informasi, kerjasama teknisi dan
ilmiah, penanganan bioteknologi dan pembagian keuntungan, sumber dana, dan beberapa hal mengenai aspek-aspek teknis dan kesekretariatan. lingkup
kedaulatan suatu negara berkaitan dengan komponen keanekaragaman hayati, adalah yang terdapat di dalam batas-batas yurisdiksinya. sementara itu untuk
proses dan kegiatannya yaitu yang dilaksanakan di bawah yurisdiksi atau pengendalian suatu negara, di dalam atau di luar batas nasionalnya, tanpa
memperhatikan tempat terjadinya proses atau kegiatan tersebut.
Prinsip yang dijadikan landasan adalah hak berdaulat untuk memanfaatkan sumber-sumber daya yang ada sesuai dengan kebijakan pembangunan lingkungan