Konsep Sikap Masyarakat Kerinci terhadap Konservasi

6.1.5 Pendekatan Agama dan Budaya dalam Konservasi

Masyarakat Kerinci adalah pemeluk agama Islam, memiliki falsafah adat bersendi syarak dan syarak bersendi kitabullah. Pandangan masyarakat Kerinci adat adalah sesuatu yang sakral karena adat adalah impelementasi dan aktualisasi dari agama yang mereka anut. Oleh karena itu pendekatan secara agama dan budaya pada masyarakat Kerinci merupakan suatu keniscayaan. Adanya budaya pengkeramatan oleh masyarakat Kerinci terhadap sumber daya alam seperti sungai, danau dan hutan merupakan bentuk penjagaan sumber daya tersebut seperti lubuk larangan dan hutan keramat. Suryadarma 2009 menyebutkan bahwa pola pengkeramatan satu kawasan dapat dimantapkan sebagai upaya perlindungan keanekaragaman jenis dalam habitatnya dan melacak sistem norma yang melatarbelakangi serta dikuatkan oleh aturan formal. Menurut Islam, hubungan manusia terhadap alam adalah sebagai pemanfaat dan bukan sebagai saingan. Manusia bukan untuk mengeksploitasi alam sebagaimana dinyatakan dalam Al quran : “... Dialah Allah yang menciptakan segala apa yang ada di bumi bagimu, kemudian Dia menuju ke langit, lalu Dia menyempurnakannya menjadi 7 langit. Dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu.” QS 2 : 29 Hubungan ini dilandasi oleh konsep kemakhlukan yang sama-sama tunduk dan patuh kepada al Khaliq. Dalam konsep kemakhlukan ini manusia memperoleh konsesi dari Yang Maha Penciptanya untuk memperlakukan alam sekitarnya dengan dua macam tujuan yaitu al-Intifâ’ pendayagunaan, baik dalam arti mengkonsumsi langsung maupun dalam arti memproduksi, dan al I’tibâr yaitu mengambil pelajaran tehadap fenomena yang terjadi dari hubungan antara manusia dengan alam sekitarnya, maupun hubungan antara alam itu sendiri ekosistem, baik yang berakibat konstruktif maupun yan berakibat destruktif Buraey 1986. Penelitian yang dilakukan oleh Sheikh 2006 membuktikan bahwa salah satu keberhasilan konservasi adalah dengan melibatkan masyarakat berbasis agama dan budaya. Pendekatan berbasis agama seperti yang terjadi pada masyarakat di bagian barat Karakorum Pakistan. Hasil penelitian menunjukan bahwa tokoh agama sangat dihormati oleh masyarakat setempat, dan persepsi agama terhadap lingkungan pada hakikatnya diorientasikannya pada bidang konservasi, pendidikan dan komunikasi konservasi. Peran serta guru-guru agama dapat meningkatkan partisipasi masyarakat dalam upaya menggali pengetahuan dan melindungi keanekaragaman hayati. Dukungan yang kuat juga diberikan oleh tokoh-tokoh agama dalam mengembangkan strategi dan tindakan untuk disampaikan pada masyarakat. Para pemimpin agama menyampaikan bahwa manusia merupakan unsur utama yang paling penting di alam dan interaksi mereka baik pada level kecil dan besar pada penggunaan alam tidaklah dapat diabaikan. Para pemuka agama menggunakan ayat yang berbunyi : “ Ketahuilah bahwa sementara manusia sekarang ini dapat merasakan manfaat atas makhluk lainnya. makhluk-makhluk tersebut hidup seperti halnya manusia, dan butuh dihormati dan dilindungi. Tidak ada satupun makhluk yang mampu melakukan tugas melindungi alam. Oleh karena itu Allah telah mempercayai manusia dengan kewajiban yang tidak dimiliki oleh makhluk lainnya”. Byers et al. 2001 juga membuktikan bahwa kepercayaan agama tradisional yang dianut oleh masyarakat di lembah Zimbabwe Utara dapat menjaga sumber daya alam dan ekosistem mereka. Agama yang mereka sebut dengan shona mengajarkan bahwa sumber daya alam yang tersedia bukan untuk kehidupan hari ini saja tetapi merupakan titipan nenek moyang yang akan diwariskan pada generasi yang akan datang. Kepercayaan shona meyakini bahwa ketika manusia mati semangat mereka kembali pada keturunan mereka, semangat yang kuat disebut sebagai mhondoro sering nampak pada perwujudan binatang buas yang biasanya dalam perwujudan singa. Mereka juga percaya bahwa sebagian wilayah kering sepanjang sungai Musengzi dilindungi oleh nenek moyang yang tinggal disitu dan akan membalas apabila ada yang menebang pohon secara tidak sah. Soedjito et al. 2009 juga menyebutkan bahwa di Indonesia fungsi konservasi alam dapat dicapai melalui cara “mengkeramatkan” nya. Salah satu contoh adalah pulau kecil yang terdapat di tengah Situ Lengkong Kabupaten Ciamis Provinsi Jawa Barat. Pulau kecil yang dikeramatkan oleh penduduk setempat dan disebut Nusa Gede, Nusa Panjalu atau Nusalarang. Suryadarma 2009 juga memberikan contoh pengkramatan terhadap kerbau liar yang terdapat di kawasan sakral Desa Adat Tenganan Pegringsingan Provinsi Bali mampu menjaga keberlanjutan populasi kerbau tersebut hingga mencapai 4 generasi.

6.2 Integrasi Etnobiologi Masyarakat Kerinci Dalam Konservasi

Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya Integrasi adalah sebuah sistem dalam hubungan sosial yang mengalami pembauran hingga menjadi satu kesatuan yang utuh. Integrasi berasal dari Bahasa Inggris integration yang berarti kesempurnaan atau keseluruhan. Integrasi etnobiologi dimaknai sebagai suatu proses penyesuaian diantara konsep-konsep pengetahuan masyarakat etnobotani, etnoekologi, etnozoologi dan etnografi dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya dengan ilmu pengetahuan etnobiologi dan berbagai aturan-aturan kebijakan pemerintah yang mendukungnya sehingga dapat dicapai suatu pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan. Integrasi etnobiologi masyarakat Kerinci dengan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya tercermin dari konsep-konsep pengetahuan sebagaimana yang disampaikan pada bagian sebelumnya konsep pengelolaan tumbuhan, hewan, lingkungan. Integrasi ini akan dapat dicapai jika ada konsensus atau kesepakatan diantara sebagian besar anggota tentang konsep- konsep pengetahuan yang bersifat fundamental dengan kebijakan pemerintah yang mengaturnya. Gambaran integrasi etnobiologi masyarakat Kerinci untuk mendukung konservasi disajikan pada Gambar 6.5 berikut. Gambar 6.5 Model integrasi etnobiologi masyarakat Kerinci untuk mendukung konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistem di Kerinci Seblat

6.3 Relevansi Etnobiologi Masyarakat Kerinci Untuk Konservasi

Relevansi etnobiologi masyarakat Kerinci masih tampak pada etnografi budaya, dan sistem pengetahuan etnobotani, etnozologi, dan etnoekologi. Etnografi masyarakat Kerinci menunjukan bahwa dalam berbagai aspek budaya, terdapat integrasi dengan konservasi seperti keberadaan hutan adat, hutan larangan keramat, lubuk larangan; sistem sosial yang menunjukan kepatuhan komunitas adat dan ketegasan pimpinan adat dalam menjalankan pucuk larangan, pantang larang dalam nagari dan anjuran dalam nagari. Falsafah adat dalam Konsep pengetahuan etnoekologi Konsep pengetahuan etnozoologi Konsep pengetahuan etnobotani Pemanfaatan tradisional keanekaragaman sumber daya alam hayati dan ekosistem Pemanfaatan keanekaragaman sumber daya alam hayati dan ekosistem Pengelolaan sumber daya alam hayati dan ekosistem oleh masyarakat adat Integrasi untuk keberlanjutan pemanfaatan sumber daya alam hayati dan ekosistem di Kerinci Seblat Keberlanjutan ekonomi Keberlanjutan ekologi Keberlanjutan sosial budaya Prasyarat : Adanya aturan kebijakan yang mendukung Masyarakat Kerinci Strategi Konservasi