Integrasi Etnobiologi Masyarakat Kerinci Dalam Konservasi
membangun nagari merupakan modal dasar pembangunan menuju masyarakat Kerinci yang berdaulat, mandiri dan maju. Falsafah adat masyarakat Kerinci
dalam membangun nagari memiliki unsur keterpaduan, keakraban, kesadaran, kebersamaan dan keterbukaan Yakin 1986.
Kerjasama yang terpadu antara pemimpin dengan rakyat yang berlambangkan musyawarah-mufakat, satu hal yang sangat diperlukan dalam
usaha pembangunan nagari, besar maupun kecil. Sebagaimana tertuang dalam pantun adat ‘memasak nasi dalam periuk, menggoreng dalam kuali. Tegak
berunding duduk bainok, alamat usaha akan menjadi’. Keakraban dan keterbukaan sangat diperlukan dalam hubungan masyarakat, karena dapat
melahirkan persatuan dan kesatuan sehingga ‘bulat nan seguling, picak nan selayang, tak ada berat yang tak dapat dipikul, tak ada ringan yang tak dapat
dijujung’. Ijuk dijadikan sapu, ambil buluh jadi pelupuh. Bersatu kita padu, bercerai kita rubuh. Muko pasar babelok, tanam mengkari dalam padi. Gotong
royong membawa elok, negeri aman padi menjadi. Sedangkan dalam hal kebersamaan, kerjasama dari tigo tungku nan sajarangan alim ulama, cerdik
pandai dan pemerintah, ulama wal umaro adalah faktor yang dapat melahirkan dampak positif dalam segala bidang, seperti kata pepatah ‘ ulama sekitab, umaro
seundang, rakyat patuh negeri aman, padi menjadi , teluk renang rantau selesai, air jernih ikannya jinak.
Chozin et al. 2010 menyatakan bahwa pembangunan pada hakikatnya adalah perubahan progresif yang berkelanjutan sustainable progressive change
untuk mempertahankan kepentingan individu maupun komunitas melalui pengembangan, intensifikasi dan penyesuaian terhadap pemanfaatan sumber daya.
Pembangunan berarti peningkatan kapasitas untuk bertindak capacity to act, berinovasi dan menghadapi keadaan yang berbeda serta lebih fokus pada equity
daripada equality. Dengan demikian dalam konteks pembangunan tidak semua orang harus menerima barang dan jasa atau “kue pembangunan” dengan ukuran
yang sama namun lebih bagaimana kue pembangunan tersebut, sekecil apapun sesuai dengan kapasitas orang dan masyarakat tersebut.
Rachman 2012 menyatakan bahwa pembangunan bangsa Indonesia yang dilakukan secara utuh dan menyeluruh sepatutnya berakar kepada pengetahuan
lokal indigenous knowledge yang berkembang di dalam masyarakat kecil sebagai inti core dan modern knowledge yang berkembang di perguruan tinggi.
Oleh karena itu kajian-kajian tentang masyarakat lokal menjadi penting tidak hanya dalam memahami bagaimana masyarakat lokal memperlakukan sumber
daya alam di sekitarnya, namun juga bagaimana memanfaatkan berbagai hal positif darinya untuk kepentingan generasi mendatang. Di samping itu,
diketahuinya pola-pola interaksi antara masyarakat tradisional dengan sumber daya hutan akan teridentifikasi sejumlah kebutuhan yang dapat dijadikan acuan
dalam memformulasi rencana pengelolaan sumber daya hutan. Pengelolaan hutan harus mempertimbangkan aspek ekologi, sosial dan budaya masyarakat setempat.
Mengakomodasi aspirasi dan partisipasi masyarakat lokal dapat meningkatkan efektivitas pengelolaan kawasan konservasi. Pengelolaan kawasan konservasi
memerlukan kolaborasi dari berbagai pihak dan integrasi pengetahuan lokal masyarakat agar hutan lestari Berdasarkan hal tersebut diatas, etnobiologi
masyarakat Kerinci menjadi sangat relevan dalam pengelolaan kawasan konservasi masa kini dan masa mendatang. Keberadaan kawasan konservasi
Taman Nasional Kerinci Seblat yang mengelilingi wilayah masyarakat Kerinci merupakan faktor penting untuk menjadikan masyarakat Kerinci sebagai subjek
pengelolaan agar tercapai tujuan pembangunan bangsa yaitu sebagaimana tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Pengelolaan kawasan konservasi bersama masyarakat lokal dicirikan oleh keikutsertaan masyarakat dalam proses perencanaan, pengelolaan dan
pengawasannya. Perencanaan yang berasal dari masyarakat berdasarkan pengetahuan lokal yang mereka miliki dan telah terbukti dapat melakukan proses
adaptasi terhadap perubahan lingkungan. Masyarakat lokal adalah masyarakat yang telah ‘bertungkus lumus’ dengan alam lingkungannya. Zuhud 2007
menyatakan bahwa konservasi hutan yang dikenal hari ini adalah merupakan suatu estafet local and traditional knowledge dari sustainability domestication of
plant resources yang merupakan suatu proses evolusi tumbuhan dan hewan dengan masyarakat dalam ekosistemnya.
Sheil et al. 2006 menyebutkan bahwa masyarakat di lingkungan hutan sering menderita karena adanya proses yang mengancam keanekaragaman hayati
sehingga memerlukan proses perenungan untuk mengetahui bagaimana cara untuk mencapai konservasi pada daerah tersebut melalui pengembangan konservasi
yang terintegrasi serta konservasi yang berbasis masyarakat. Liambi et al. 2005 juga menyatakan bahwa partisipasi aktif dari masyarakat lokal merupakan strategi
penentu keberhasilan konservasi keanekaragaman hayati sehingga harus menjadi perhatian bagaimana pengetahuan lokal mereka terhadap ekosistem, sistem nilai
dan hubungan mereka dengan alam. Oleh karena itu pengelolaan kawasan konservasi yang berbasis pengetahuan masyarakat Kerinci sudah seharusnya
menjadi suatu solusi pemanfaatan dan pengelolaaan kawasan menuju tercapainya kelestarian kawasan sekaligus peningkatan kesejahteraan masyarakat.