Tingkat Pengetahuan Etnobotani Masyarakat Kerinci

Gambar 3.11 Perbandingan tingkat pengetahuan etnobotani menurut kelas umur pada ketiga lokasi penelitian Mg= tingkat pengetahuan etnobotani Gambar diatas menunjukkan bahwa pada kelas umur yang sama terdapat perbedaan tingkat pengetahuan etnobotani masyarakatnya. Dusun Baru Lempur dengan karakteristik masyarakat yang hampir 100 berasal dari suku Kerinci, memiliki tingkat pengetahuan etnobotani yang paling tinggi pada setiap kelas umur. Sedangkan masyarakat Dusun Ulu Jernih memiliki tingkat pengetahuan etnobotani paling rendah diantara ketiga lokasi. Hasil ini membuktikan bahwa perbedaan karakteristik sosial budaya masyarakat mempengaruhi tingkat pengetahuan etnobotani masyarakat Kerinci. Masyarakat di Dusun Baru Lempur merupakan masyarakat asli yang sudah ‘bertungkus lumut’ dengan alam lingkungannya sehingga memahami sumber daya alam yang berada di tempat mereka. Masyarakat Dusun Baru Lempur sudah berinteraksi dengan hutan dan sumber daya alam tumbuhan setempat dalam kehidupannya sehari-hari dan bahkan sudah turun temurun dan mempunyai pengetahuan lokal tentang sumber dayatumbuhan tersebut. Hasil yang sama ditunjukan oleh Parrota et al.2009, yang menyatakan bahwa berbagai faktor antara lain perluasan globalisasi, pengembangan infrastruktur, pertanian, pariwisata, intervensi pembangunan pasar serta kebijakan dan peraturan pemerintah yang telah menyebabkan menurunnya minat kearifan tradisional, pengetahuan lokal dan gaya hidup pada generasi muda Parrota et al. 2009. Selain itu perpindahan masyarakat lokal ke tempat lain telah menghilangkan pengetahuan pengobatan pada generasi mudanya Oliver 2013. Terjadinya perubahan budaya pada masyarakat juga berpengaruh nyata terhadap tingkat pengetahuan etnobotani masyarakatnya Alfredo et al. 2013 . Berdasarkan hasil analisis statistika dengan Kruskal Walis test, perbedaan KU menunjukkan perbedaan yang nyata dengan nilai Assymp.sig =0.000 yang lebih kecil dari taraf uji nyata 0.05. Kesimpulan dari pengujian ini adalah bahwa perbedaan usia berpengaruh nyata terhadap tingkat pengetahuan etnobotani artinya perbedaan kelas umur akan selalu menyebabkan perbedaan tingkat pengetahuan, dimana semakin bertambah umur maka tingkat pengetahuannya akan tinggi. Pei et al. 2009, tingkat pengetahuan etnobotani yang dimiliki oleh suatu masyarakat dapat menjadi indikator pengelolaan sumber dayahutan dan 0,2 0,4 0,6 0,8 1 1,2 V 70 IV 55 - 69 III 40 - 54 II 25 - 39 I 24 Kelas Umur KU N i l a i M g Kelas Umur tahun Dusun Baru Lempur Dusun Lama Tamiai Dusun Ulu Jernih pemanfaatan yang berkelanjutan. Tingkat pengetahuan yang tinggi menunjukkan pengelolaan sumber dayahutannya baik. Hal ini ditunjukan oleh pengelolaan sumber daya hutan masyarakat Dusun Baru Lempur lebih baik dibandingkan dua dusun lainnya. Penurunan tingkat pengetahuan etnobotani menunjukkan hubungan yang signifikan dengan tingkat kerusakan kawasan hutan pada ketiga lokasi penelitian. 2 Tingkat Pengetahuan Etnobotani Berdasarkan Jenis Kelamin Berdasarkan hasil analisis rata-rata tingkat pengetahuan etnobotani Mg masyarakat Kerinci berdasarkan jenis kelamin, laki-laki memiliki tingkat pengetahuan Mg=0.669 lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan Mg=0.591 Gambar 3.12. Gambar 3.12 Perbandingan tingkat pengetahuan etnobotani berdasarkan jenis kelamin pada ketiga lokasi Mg= tingkat pengetahuan etnobotani Gambar 3.12 menunjukkan bahwa secara umum tingkat pengetahuan etnobotani laki-laki lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan. Hal ini diduga karena laki-laki sebagai kepala keluarga yang bertugas mencari nafkah keluarga sehingga secara umum lebih sering pergi ke hutan untuk bekerja dibandingkan kaum perempuan. Selain intensitas yang tinggi dalam berinteraksi dengan hutan, laki-laki juga menduduki jabatan penting dan aktif dalam organisasi adat dan pemerintahan. Namun berdasarkan hasil penghitungan tingkat pengetahuan etnobotani laki-laki dan perempuan masyarakat Dusun Baru Lempur menunjukkan tingkat yang sama. Hal ini diduga karena faktor peran kaum perempuan yang cukup tinggi mengingat sistem kekerabatan yang dianut matrilinial menurut garis keturunan ibu. Berdasarkan uji Man-Whitney test menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata antara tingkat pengetahuan laki-laki dan tingkat pengetahuan perempuan yang ditunjukan oleh nilai Z= -1.394. Kesimpulan dari pengujian ini adalah bahwa perbedaan jenis kelamin tidak selalu menyebabkan perbedaan tingkat pengetahuan. 3.3.6 Retensi Pengetahuan Etnobotani Masyarakat Kerinci Retensi pengetahuan etnobotani adalah kemampuan masyarakat untuk menyimpan pengetahuan etnobotani yang dimilikinya Zent 2009. Penurunan retensi lambat laun dapat menyebabkan pengetahuan etnobotani masyarakat 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 Dusun Baru Lempur Dusun Lama Tamiai Dusun Ulu Jernih Lokasi penelitian N i l a i M g Laki-laki Perempuan Kerinci berkurang. Jika hal tersebut terjadi secara cepat dan dalam intensitas yang besar maka pengetahuan etnobotani masyarakat Kerinci akan punah. Hasil analisis data menunjukkan bahwa berdasarkan nilai indeks rata-rata perubahan pengetahuan etnobotani CA pada ketiga lokasi penelitian, responden yang paling baik dalam menyimpan pengetahuan adalah responden yang berada pada KU IV sedangkan KU V berada dibawahnya. Hal ini dapat dilihat dari nilai Mg pada KU IV yang lebih tinggi daripada KU lainnya yaitu sebesar 0.806 Tabel 3.27. Tabel 3.27 Perubahan pengetahuan etnobotani rata-rata masyarakat Kerinci KU MG RG log RG RC CA V 0.794 1.000 0.000 1.000 0.000 IV 0.806 1.015 0.007 1.015 0.001 III 0.667 0.828 -0.082 0.828 -0.011 II 0.578 0.867 -0.062 0.867 -0.009 I 0.283 0.490 -0.310 0.490 -0.034 Keterangan : Mg indeks pengetahuan etnobotani, RG tingkat retensi, RC tingkat retensi komulatif, CA perubahan pengetahuan setiap tahun, KU I 24 tahun, KU II 25 – 39 tahun, KU III 40 – 54 tahun, KU IV 55 – 69 tahun, KU V 70 tahun Tabel 3.27 menunjukkan bahwa rata-rata perubahan pengetahuan tahunan CA pada KU IV sebesar 0,001. Nilai positif menunjukkan terjadinya peningkatan pengetahuan dari KU V ke KU IV. Hasil ini menunjukkan bahwa KU IV memiliki kemampuan menyimpan yang paling tinggi dibandingkan dengan KU lainnya. Sedangkan perubahan pengetahuan tahunan CA untuk KU III, KU II dan KU I menunjukkan nilai negatif yang artinya terjadi penurunan rata-rata perubahan tahunan terhadap pengetahuan etnobotani Gambar 3.13. Gambar 3.13 Perubahan pengetahuan etnobotani rata-rata tahunan masyarakat Kerinci berdasarkan KU Reponden KU IV juga memiliki nilai RG yang paling tinggi yaitu 1.015. Hal ini terbukti dari kemampuan responden untuk menyebutkan tumbuhan dalam jumlah yang lebih banyak daripada responden KU lainnya. Tingkat retensi paling rendah ditunjukan oleh KU I yaitu dengan nilai RG sebesar 0.490 Tabel 3.28. Pada umumnya responden hanya mampu menyebutkan nama-nama spesies tumbuhanyang diketahui dan kurang mengetahui ciri-ciri, manfaat dan ekologi dari masing-masing tumbuhan yang mereka ketahui. Selain itu mereka juga mengetahui jenis-jenis yang kebanyakan tumbuh di pekarangan dan sedikit yang -0,040 -0,035 -0,030 -0,025 -0,020 -0,015 -0,010 -0,005 0,000 0,005 V 70 IV 55 - 69 III 40 - 54 II 25 - 39 I 24 pe ruba ha n t ahuna n kelas umur berasal dari hutan. Responden KU ini juga kurang mampu menjelaskan sosiokultural terkait pengelolaan hutan. Kondisi ini disebabkan karena mereka belum banyak terlibat dalam kegiatan pengelolaan serta pada umumnya mereka belum menikah sehingga berdampak pada rendahnya tanggung jawab untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarganya. Tabel 3.28 Perubahan pengetahuan etnobotani di ketiga lokasi penelitian Dusun Baru Lempur Kelas umur MG RG log RG RC CA V 0.983 1.000 0.000 1.000 0.000 IV 0.900 0.915 -0.038 0.915 -0.006 III 0.767 0.852 -0.069 0.780 -0.015 II 0.650 0.847 -0.072 0.661 -0.023 I 0.333 0.513 -0.290 0.339 -0.044 Dusun Lama Tamiai Kelas umur MG RG log RG RC CA V 0.850 1.000 0.000 1.000 0.000 IV 0.830 0.976 -0.010 0.976 -0.002 III 0.750 0.904 -0.044 0.882 -0.008 II 0.600 0.800 -0.097 0.706 -0.020 I 0.300 0.500 -0.301 0.353 -0.043 Desa Ulu Jernih Kelas umur MG RG log RG RC CA V 0.550 1.000 0.000 1.000 0.000 IV 0.650 1.182 0.073 1.182 0.012 III 0.550 0.846 -0.073 1.000 0.000 II 0.483 0.878 -0.056 0.878 -0.008 I 0.217 0.449 -0.347 0.395 -0.040 Keterangan : Mg indeks pengetahuan etnobotani, RG tingkat retensi, RC tingkat retensi komulatif, CA perubahan pengetahuan setiap tahun, KU I 24 tahun, KU II 25 – 39 tahun, KU III 40 – 54 tahun, KU IV 55 – 69 tahun, KU V 70 tahun Tabel 3.28 memperlihatkan bahwa responden dari KU V pada Dusun Baru Tamiai dan Dusun Lama Tamiai memiliki nilai RG tingkat retensi atau kemampuan menyimpan pengetahuan etnobotani yang tertinggi dan dianggap sebagai KU yang menguasai etnobotani masyarakat Kerinci. Pengalaman yang dimiliki oleh KU V lebih banyak dibandingkan dengan KU lainnya, selain juga responden KU V hidup pada periode yang lebih lama dimana masih tersedia lebih banyak tumbuhan dibandingkan saat melakukan penelitian. Sehingga banyak dari jenis-spesies tumbuhanyang oleh KU V dapat dimakan sedangkan KU lainnya menganggap bahwa tumbuhan tersebut tidak bisa dimakan. Nilai RG pada Dusun Ulu Jernih Kecamatan Gunung Tujuh tertinggi pada KU IV RG = 1.182. Hal ini disebabkan responden KU V Dusun Ulu Jernih sudah berusia lanjut dan mulai lupa, selain itu juga disebabkan karena mereka adalah pendatang. Sehingga akumulasi pengetahuan dan pengalaman hidup mereka di daerah baru belum banyak dan mereka terlanjur tua. Berdasarkan RG rata-rata dari ketiga lokasi menunjukkan bahwa KU II memiliki tingkat retensi yang paling tinggi dibanding KU lainnya Tabel 3.28. Hal ini disebabkan karena KU II merupakan usia muda yang sedang mengalami proses pengembangan pengetahuan. Hal ini sebagaimana dinyatakan Berk 2006 bahwa perkembangan dan pengetahuan itu bersifat dinamis dan akan bertambah seiring dengan pengalaman yang dijalani. Gambar 3.14 Perubahan pengetahuan etnobotani tahunan masyarakat Kerinci berdasarkan kelas umur Gambar 3.14 menunjukkan bahwa terjadi penurunan dalam proses menyimpan pengetahuan etnobotani masyarakat Kerinci. Kecendrungan negatif yang ditunjukan oleh perubahan pengetahuan etnobotani antar KU yang terjadi pada masyarakat Kerinci mengindikasikan bahwa proses pewarisan pengetahuan masih terjadi secara baik. Adanya pengaruh dari dalam diri individu dan dari luar dapat menyebabkan penurunan retensi pengetahuan etnobotani yang pada akhirnya akan mengakibatkan perubahan tingkat pengetahuan Zent 2009. Pengaruh dari luar seperti perluasan globalisasi, pengembangan infrastruktur, pertanian, pariwisata, intervensi pembangunan pasar serta kebijakan dan peraturan pemerintah sehingga mempengaruhi minat kearifan tradisional, pengetahuan lokal dan gaya hidup pada generasi muda Parrota et al. 2009; berkurangnya luas kawasan hutan Liu 2007, penjajahan dan perpindahan masyarakat lokal ke tempat lain Oliver 2013. Secara umum perubahan pengetahuan yang terjadi masih berada pada tingkat yang rendah CA 0,1 kecuali di Dusun Ulu Jernih dimana nilai CA 0.1 yaitu 0.12. Tingginya perubahan pengetahuan mengindikasikan bahwa sistem pewarisan pengetahuan tradisional tidak berlangsung baik dan dikhawatirkan akan hilang. Sedangkan perubahan pengetahuan tahunan di Dusun Baru Lempur dan Dusun Lama Tamiai memiliki CA 0.1. Rendahnya nilai perubahan pengetahuan pada masing-masing KU mengindikasikan bahwa sistem pewarisan pengetahuan tradisional masih berlangsung. Sistem pewarisan pengetahuan tradisional dinilai baik karena dilakukan oleh orang tua kepada anaknya sejak dini. Sistem pewarisan dapat berupa penjelasan lisan terkait pemanfaatan tumbuhan, pengetahuan berladang dan pengelolaan hutan. bentuk kegiatan yang -0,050 -0,040 -0,030 -0,020 -0,010 0,000 0,010 0,020 V IV III II I P er uba ha n t ahuna n C A Kelas umur Dusun Baru Lempur Dusun Lama Tamiai Dusun Ulu Jernih dilakukan misalnya dengan mengajak anak secara langsung untuk pergi ke ladang, orang tua menjelaskan berbagai hal yang ditemukan di tempat tersebut. Juga dengan mengajak anak ke ladang, anak bisa melihat dan mengamati secara langsung proses berladang orang tuanya dan mereka mengingatnya untuk kemudian waktu. Proses pewarisan pengetahuan demikian, sama halnya dengan proses pewarisan pengetahuan pada masyarakat adat di tempat lain. Kurnia dan Sihabudin 2010 menyebutkan bahwa proses pewarisan pengetahuan terhadap generasi muda suku Baduy di Provinsi Banten berlanjut melalui tradisi lisan yang disampaikan oleh orang tua dan tokoh adat. Reyes- Garcia 2006 juga menyatakan bahwa proses pewarisan pengetahuan pada masyarakat adat Tsimane di Bolivia memiliki tiga cara pewarisan yaitu dari keluarga orang tua kepada anak, dari beberapa individu kepada individu lainnya yang ada pada satu generasi dan dari generasi tua bukan keluarga kepada generasi yang ada di bawahnya. Hasil penelitian Reyes – Garcia juga menyatakan terjadi transmisi atau pewarisan budaya itu dibedakan atas transmisi vertikal dan transmisi horizontl. Transmisi vertikal adalah proses pewarisan dari orang tua kepada anak, atau dari orang tua lainnya kepada generasi yang lebih muda. Sedangkan transmisi horizontal adalah proses pewarisan yang dilakukan pada kumpulan teman sebaya satu cohort. Hasil penelitian pada masyarakat adat Tsimane ini menunjukkan bahwa proses pewarisan horizontal memiliki nilai yang lebih baik dibandingkan proses vertikal. Namun berdasarkan hasil analisis data terhadap perubahan pengetahuan masyarakat Kerinci pada kelas umur yang sama di ketiga lokasi menunjukkan bahwa pada setiap kelas umur, Dusun Baru Lempur memiliki tingkat retensi CA yang paling tinggi dan Dusun Ulu Jernih yang terendah Gambar 3.15. Gambar 3.15 Perubahan pengetahuan etnobotani pada kelas umur yang sama di ketiga lokasi penelitian Hasil menunjukkan bahwa tingkat retensi atau kemampuan menyimpan pengetahuan etnobotani berbeda pada setiap kelas umur. Tingkat retensi rata-rata tertinggi berada pada kelas umur IV, kemudian menurun terhadap kelas umur yang lebih muda. Tingkat retensi juga berbeda pada kelas umur yang sama di ketiga lokasi penelitian. Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan karakteristik sosial budaya akan berpengaruh terhadap kemampuan untuk menyimpan pengetahuan etnobotani . Hasil yang sama juga dinyatakan oleh Reyes-Garcia 2013 pada masyarakat Zimbabwe dan Hidayati 2013 pada masyarakat Baduy, Banten. -0,050 -0,040 -0,030 -0,020 -0,010 0,000 0,010 0,020 V IV III II I P er uba ha n t ahuna n C A Kelas Umur Dusun Baru Lempur Dusun Lama Tamiai Dusun Ulu Jernih

3.4 Simpulan

Simpulan dari kajian etnobotani masyarakat Kerinci ini adalah : 1. Pengetahuan etnobotani yang dimiliki oleh masyarakat Kerinci ditunjukkan oleh kemampuan mereka untuk mengenal dan memanfaatkan berbagai jenis sumber daya alam hayati tumbuhan yang terdapat di sekitar mereka tinggal. Tercatat 234 spesies tumbuhan berguna dari 71 famili yang terdiri dari bahan makanan pokok dan sumber karbohidrat 9; buah-buahan 24, sayuran 29, bahan perasa 5, bahan stimulan 6, bahan bangunan dan konstruksi 15, bahan peralatan 12 dan bahan obatan 200. 2. Pemanfaaatan untuk keperluan bahan pangan makanan pokok, buah- buahan, sayuran, perasa, bahan stimulan, bahan minuman menunjukkan bahwa masyarakat Kerinci telah memiliki kemandirian dalam pemenuhan kebutuhan bahan pangan, sedangkan pemanfaatan 200 spesies tumbuhan sebagai bahan obat-obatan menunjukkan bahwa mereka juga telah mampu memenuhi kebutuhan pengobatan secara tradisional. 3. Nilai Penting Budaya Tumbuhan menunjukkan bahwa masyarakat Kerinci telah memanfaatkan sumber daya tumbuhan dengan baik. Pemanfaatan yang dilakukan bersifat subsisten dan dapat menekan lajunya kepunahan spesies tertentu dengan pemanfaatan yang beragam terhadap satu spesies. Rotan Calamus caesius adalah spesies tumbuhan hutan yang dimanfaatkan oleh masyarakat Kerinci dengan Nilai Penting Budaya tertinggi ICS=36, sedangkan padi Oryza sativa dan kayumanis Cinnamomun burmanii merupakan jenis tanaman budidaya dengan Nilai Penting Budaya paling tinggi ICS = 59 dan 57. 4. Perhitungan nilai total ekonomi tumbuhan adalah sebesar Rp302 086 800 per tahun. Hal ini menunjukkan bahwa keanekaragaman jenis tumbuhan menjadi penting perannya, sehingga pilihan pengembangannya haruslah untuk jangka panjang, bukan jangka pendek short terms benefits. 5. Tingkat pengetahuan etnobotani masyarakat Kerinci saat ini berada pada level sedang Mg = 0.625 dengan tingkat retensi tertinggi berada pada kelas umur empat RG = 1.015 dan terjadi perubahan tahunan rata-rata yang cendrung menurun. Hal ini dapat menyebabkan hilangnya pengetahuan etnobotani masyarakat Kerinci, sehingga perlu dilakukan upaya peningkatan pendidikan bagi generasi mudanya. 4 ETNOEKOLOGI MASYARAKAT KERINCI

4.1 Pendahuluan

Etnoekologi merupakan bagian dari etnobiologi yang berawal dari pemahaman bahwa alam, kebudayaan dan aspek produksi merupakan satu kesatuan yang saling berhubungan dan saling mempengaruhi. Etnoekologi mempelajari semua aspek pengetahuan ekologi suatu kelompok masyarakat lokal meliputi persepsi dan konsepsi masyarakat mengenai sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, bagaimana masyarakat setempat mengenal dan memahami ekosistem di sekitar tempat tinggalnya, bagaimana interaksi yang terjadi antara masyarakat dengan lingkungan tempat tinggalnya serta bagaimana mereka melakukan pemanfaatan, pengelolaan dan pelestarian lingkungannya. Menurut Toledo 1987 etnoekologi adalah studi tentang strategi, kemampuan dan skill yang ada dalam budaya masyarakat lokal untuk memproduksi dan mereproduksi kondisi material eksistensi sosial mereka melalui pengelolaan sumber daya alam dan ekosistemnya. Pengetahuan ini bersifat turun temurun dari nenek moyang yang telah mengalami proses adaptasi terhadap perubahan agar mereka tetap bisa bertahan hidup. Pengertian lain dinyatakan oleh Cotton 1996; Martin 1997 dan Anderson et al.2011 bahwa etnoekologi adalah pengetahuan ekologi masyarakat lokal, yang menganalisis semua aspek pengetahuan lokal lingkungannya meliputi persepsi dan konsepsi masyarakat mengenai lingkungan dan sumber daya alam yang terdapat di dalamnya. Etnoekologi mengkaji cara kelompok masyarakat dalam memahami ekosistem di sekitar tempat tinggalnya, bagaimana interaksi yang terjadi antara masyarakat terhadap lingkungan tempat tinggalnya; pemanfaatan, pengelolaan dan pelestarian lingkungan. Anderson et al. 2011 menyatakan bahwa etnoekologi suatu masyarakat itu bersifat kecil, kompak, unik dan diwariskan secara turun temurun. Sedangkan menurut Purwanto 2003 etnoekologi tidak hanya mempelajari interaksi antara suatu bentuk kehidupan dengan bentuk kehidupan lainnya berikut kondisi lingkungannya, melainkan suatu kajian yang bersifat holistik hingga suatu analisis tentang sistem pengetahuan suatu kelompok masyarakat atau etnik dalam pengelolaan sumber daya alam beserta ekosistemnya. Etnoekologi berasal dari 4 ilmu sebagai sumber utama yaitu antropologi etnosains, etnobiologi, agro- ekologi dan geografi. Pengelolaan lingkungan suatu kawasan tidak mungkin berhasil tanpa melibatkan keberadaan masyarakat di kawasan tersebut. Keberadaan masyarakat lokal sangat penting terutama perannya sebagai salah satu komponen dari kawasan tersebut. Masyarakat lokal merupakan aktor yang mempengaruhi kondisi lingkungan, walaupun pada kawasan tertentu, pendatang dari luar juga mempunyai pengaruh yang besar terhadap kerusakan lingkungan. Studi tentang etnoekologi dan hubungannya dengan upaya konservasi keanekaragaman hayati telah mulai banyak dilakukan Quansah 2004. Hasil- hasil tersebut menunjukan bahwa pengetahuan lokal masyarakat ternyata memiliki hubungan yang positif dengan upaya konservasi. Masyarakat lokal diketahui memiliki pengetahuan yang berhubungan dengan model-model pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam secara lestari. Pengetahuan ini mengandung nilai-nilai ekologis yang bila dikaji lebih lanjut ternyata sesuai atau sejalan dengan tujuan konservasi Wiratno et al. 2004; Liambi et al. 2005; Soedjito et al. 2009. Studi-studi etnoekologi di Indonesia belum berkembang secara pesat, bila dibandingkan dengan banyaknya jumlah suku atau etnis yang mendiami bumi nusantara. Beberapa penelitian etnoekologi yang telah dilakukan antara lain pada masyarakat Baduy Iskandar 1992, masyarakat Dayak Benuaq Hendra 2009 dan masyarakat suku Mentawai di Kepulauan Mentawai Darmanto 2006. Iskandar 1992 masyarakat Baduy mengenal pembagian tata ruang secara tradisional berdasarkan tingkat kesakralannya. Kawasan Baduy dapat dibedakan atas tiga kategori yaitu daerah kabuyutan area domas dan sasaka domas, merupakan kawasan konservasi untuk melestarikan sumber daya alam hayati; Daerah Baduy Dalam Tangtu atau tanah larangan merupakan tempat bermukimnya masyarakat Baduy Dalam yang memiliki adat masih kuat; dan Daerah Baduy Luar atau panamping dihuni oleh masyarakat Baduy yang kurang kuat adatnya dan merupakan wilayah terluar yang fleksibel. Sistem tata ruang ini bisa dianalogikan dengan konsep modern taman nasional maka Daerah Kabuyutan dapat disebut sebagai zona inti, Daerah Baduy Dalam sebagai zona penyangga dan Daerah Baduy Luar sebagai zona pemanfaatan. Hendra 2009 mengungkapkan konsep pembagian tata ruang masyarakat Dayak Benuaq di Kabupaten Kutai Barat yang disebut lati tana, Purwanto 2009 juga telah mengeksplorasi kearifan masyarakat Dani Lembah Baliem di Papua dalam menetapkan kawasan yang dilindungi berdasarkan bahan baku kayunya. Wikioma adalah satuan lingkungan yang didominasi oleh Paraserianthes falcataria, dilindungi karena keberadaan kayunya dimanfaatkan sebagai kayu bakar dan kayu bahan pagar; satuan lingkungan wilehoma didominasi oleh Casuarina oligodon, dilindungi karena keberadaan kayunya sebagai sumber bahan bangunan dan sebagai penahan angin; dan satuan lingkungan sinoma didominasi oleh Araucaria cunninghamii, dilindungi karena keberadaan kayunya sebagai bahan kayu bakar dan bahan bangunan. Tradisi pemeliharaan ketiga jenis pohon tersebut merupakan teknologi adaptasi yang dikembangkan masyarakat Dani dalam rangka memecahkan masalah kekurangan kayu bahan bangunan dan bahan bakar. Sementara itu Darmanto 2006 meneliti sistem perladangan tradisional suku Mentawai di Kepulauan Mentawai disebut pumonean. Masyarakat Mentawai ternyata mampu mengidentifikasi kesuburan tanah berdasarkan warna dan tekstur tanah serta beberapa spesies tumbuhan indikator kesuburan tanah. Dalam mengelola perladangannya masyarakat Mentawai sedikit sekali melakukan manipulasi hutan, penebangan pohon dilakukan secara selektif, dengan luasan yang kecil dan tanpa pembakaran, pengolahan tanah hanya dengan parang untuk menanam bibit tanpa input energi pupuk. Hal ini menyebabkan proses recovery hutan dan kembalinya kesuburan tanah menjadi lebih cepat. Berbagai hasil kajian tersebut menunjukan bahwa terdapat keterkaitan yang erat antara lingkungan dan kebudayaan masyarakat suatu tempat yang dapat menyebabkan kelestarian atau kerusakan lingkungan mengubah kebudayaan tersebut termasuk pengetahuan tradisional mengenai satuan lingkungan dan pengelolaannya. Pengetahuan mengenai keanekaragaman berbagai spesies tumbuhan oleh suatu kelompok masyarakat tergantung pada ketersediaan sumber daya alam pada kawasan tersebut . Dengan demikian kelestarian lingkungan dan sumber daya alam hayati merupakan hal penting dalam membentuk pengetahuan lokal masyarakat. Perubahan kondisi lingkungan yang berbeda-beda di suatu tempat menyebabkan pengetahuan dan praktek pengelolaan sumber daya hayati pada setiap daerah dan suku mempunyai karakteristik yang khas dan spesifik. Pengetahuan lokal dalam pengelolaan lingkungan oleh suatu kelompok masyarakat tidak selalu memiliki nilai ekologis bagi pengelolaan sumber daya alam hayati, begitu juga dengan masyarakat Kerinci. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian yang dapat mengungkap sistem pengetahuan masyarakat Kerinci. Melalui studi etnoekologi ini dapat diketahui keberhasilan maupun