Hewan Untuk Ritual Integrasi Etnobiologi Masyarakat Kerinci Dalam Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya

menjadi tanda dari keberhasilan berladangnya. Jika hasil buruan banyak maka usaha perladangan yang akan dimulai diyakini akan baik hasilnya, sedangkan jika hasil buruan sedikit menjadi tanda, kemungkinan hasil ladang tidak akan memuaskan. Biasanya yang menjadi hewan buruan adalah babi hutan Sus scrofa namun jika dijumpai hewan lain akan ikut diambil. b. Berburu secara umum yaitu perburuan yang dapat dilakukan kapan saja baik secara kolektif ataupun perseorangan. Hasil buruan biasanya untuk dikonsumsi sendiri dan apabila berlebih dibagikan kepada tetangga atau kerabat terdekat. Pada awalnya berburu babi hutan dilakukan dengan cara tradisional yaitu dengan menggunakan jerat dan tombak. Namun cara yang demikian nampaknya tidak mendatangkan hasil yang memuaskan, karena banyak menyita waktu dan tenaga untuk mencari habitat babi tersebut. Untuk memudahkan menemukan tempat dimana babi tersebut berada, dipakailah tenaga anjing. Anjing merupakan salah satu binatang yang mempunyai daya penciuman dan pendengaran yang tajam sekali bila dibandingkan dengan binatang-binatang yang sejenisnya. Dalam satu kali perburuan, anjing-anjing ini biasanya mampu menangkap dua sampai lima ekor babi. Namun mengingat masyarakat Kerinci beragama Islam, maka babi yang mati diserang anjing tidak pernah dibawa pulang oleh para pemburu . Biasanya babi hutan yang ditangkap, ditinggalkan di dalam hutan atau dimakan oleh anjing-anjing pemburu. Saat ini perburuan tradisional masyarakat Kerinci sudah mengalami penurunan, pewarisan ilmu berburu kurang diminati oleh generasi muda karena selain membutuhkan waktu yang lama, adanya pergeseran penggunaan alat buru merupakan salah satu faktor penyebabnya. Selain itu perubahan gaya hidup dan kondisi sosial ekonomi keluarga ikut mempengaruhi praktek-praktek tradisional yang biasanya dianut oleh masyarakat setempat Rajindra 1999. Stearman 2002 menyatakan bahwa menurunnya praktek perburuan tradisional dan diganti dengan perburuan modern mengakibatkan kepunahan atau kehilangan lokal jenis hewan tertentu. Oleh karena itu, penggunaan alat buru tradisional merupakan salah satu praktek kearifan tradisional yang dapat diaplikasikan guna menunjang kelestarian hewan. Rajindra 1999 menyatakan bahwa dalam melakukan perburuan, ada beberapa faktor yang biasanya menjadi bahan pertimbangan dalam memilih teknik berburu yaitu peralatan, pengalaman si pemburu, jumlah pemburu, jenis hewan buruan, perilaku hewan buruan, lokasi dan kuantitas makanan hewan buruan, waktu aktivitas hewan buruan, fase bulan dan keadaan cuaca setempat. Jenis peralatan yang digunakan dipengaruhi oleh jenis hewan buruan, seperti sumpitan dengan mata lembing diujungnya seperti sangkur untuk mengincar hewan pohon, unggas terbang dan hewan darat yang besar. Kegiatan perburuan ini telah mendapat legalitas berdasarkan Peraturan Pemerintah No 13 Tahun 1994. Pasal 2 dari peraturan tersebut menyebutkan bahwa perburuan hewan dapat diselenggarakan berdasarkan asas kelestarian manfaat dengan memperhatikan daya dukung habitat dan keseimbangan ekosistem. Lebih lanjut Pasal 8 menyebutkan bahwa dalam situasi terjadi peledakan populasi hewanliar yang tidak dilindungi sehingga menjadi hama dilakukan tindakan pengendalian melalui perburuan. Pasal 3 menyebutkan bahwa