Menurut pengetahuan masyarakat Kerinci, bentuk satuan lingkungan dapat dikelompokan berdasarkan fungsinya yang terdiri dari kawasan perkampungan
dusun, umah, laman, kawasan persawahan sawah, kawasan perladangan ladang pnanam mudo, ladang pnanan tuo, kawasan hutan sekunder bluko
mudo, bluko tuo dan kawasan hutan primer imbo lengang dan imbo adat sebagaimana Gambar 4.3 di atas. Penjelasan dari masing-masing pembagian
satuan lingkungan berdasarkan fungsi kawasan ini dapat dijelaskan sebagai berikut :
1
Kawasan perkampungan
Secara tradisional, kawasan perkampungan adalah tempat masyarakat melakukan aktivitas dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. seperti
tempat bermukim atau membangun tempat tinggal, beraktivitas melakukan proses produksi, adaptasi, distribusi dan jasa. Secara umum perkampungan masyarakat
Kerinci terletak pada dataran paling rendah dan datar dari suatu kawasan. Selain dataran rendah dan datar, kedekatan dengan sungai adalah menjadi pertimbangan
dalam pembuatan kawasan perkampungan. Tipe pemukiman masyarakat Kerinci dalam kampung adalah mengelompok dihuni oleh beberapa keluarga dalam satu
garis keturunan yang sama tumbi atau kalbu. Satu kesatuan pemukiman dalam kehidupan masyarakat Kerinci disebut dengan dusun atau neghoi dan secara
tradisional dipenuhi oleh rumah panjang yang disebut umah laheik. Di dalam kawasan perkampungan terdapat dusun,laman dan pelak.
a.
Dusun
Dusun adalah areal pemukiman dalam kehidupan masyarakat Kerinci. Berdasarkan pola berkampung masyarakat, dusun merupakan pengembangan dari
koto. Dusun masyarakat Kerinci didirikan di lingkung parit bersudut empat, di katup lawang yang deco. Artinya bangunan rumah yang ada di dusun didirikan
diatas tanah datar dengan tipe rumah satu sama lain berhubungan sehingga membentuk sebuah bangunan rumah panjang. Pemukiman seperti ini disebut juga
dengan istilah laheik nan bajago-lamang nan basepea artinya larik yang berjajar halaman yang disapu terdiri dari beberapa rumah yang biasanya masih dalam satu
kalbu memiliki kekerabatan darah yang dekat.
Perkembangan bentuk dusun masyarakat Kerinci diawali dari talang. Talang yang biasanya terdiri dari 5 hingga 10 rumah, dibangun oleh nenek
moyang orang Kerinci sebagai pusat pemukiman. Pada sebuah talang jarak antara satu rumah dengan rumah lainnya masih berjauhan letaknya. Interaksi dan
komunikasi antara mereka masih terbatas sifatnya, antara tumbi yang satu dengan lainnya belum menyatu dalam suatu kesatuan masyarakat yang utuh.
Perkembangan penduduk dari sebuah talang melahirkan tumbi-tumbi dan lahan perladangan baru. Bertambahnya tumbi, baik yang berasal dari
perkembangan penduduk talang itu sendiri maupun yang datang bergabung kemudian dari komunitas lain, sudah barang tentu membutuhkan tempat
pemukiman baru. Pada kondisi yang demikian timbul permufakatan diantara mereka untuk menetapkan suatu lokasi di sekitar kawasan perladangan yang
dianggap layak untuk dijadikan sebagai pusat pemukiman. Lokasi ini bisa dikembangkan dari talang yang telah ada atau dengan memilih lokasi baru yang
strategis dan dinilai layak untuk dijadikan pusat pemukiman. Secara bertahap
mereka membangun rumah-rumah tempat tinggal, sehingga terbentuk kelompok masyarakat yang lebih besar. Pusat pemukiman yang terbentuk dari talang dan
tumbi yang lebih besar disebut dengan koto. Berkembangnya koto secara bertahap akan meningkatkan status koto menjadi kampung dan selanjutnya berkembang
menjadi sebuah dusun Gambar 4.4.
Gambar 4.4 Pola perubahan pemukiman masyarakat Kerinci Sejak diberlakukannya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang
Pemerintahan Desa yang menyebabkan terjadinya penyeragaman bentuk desa di seluruh Indonesia secara berangsur-angsur bentuk dusun atau kampung
masyarakat Kerinci menjadi hilang. Bentuk satuan kampung atau dusun yang dipimpin oleh seorang tokoh adat yang disebut permenti menjadi Pemerintahan
Desa yang dipimpin oleh seorang Kepala Desa. Desa adalah bentuk administratif pemerintahan terkecil di bawah Kecamatan yang dipimpin oleh seorang camat.
Peraturan tentang desa kemudian diperbaharui dengan hadirnya Undang-undang RI Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa Pasal 1 ayat 1 yang menyebutkan bahwa:
“Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut nama lain selanjutnya disebut Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang
berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal-usul danatau hak
tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia”
b. Umah
Bentuk rumah tradisional masyarakat Kerinci adalah bentuk rumah panggung yang disebut umah laheik atau umah larik yaitu rumah yang dibangun
berlarik secara sambung menyambung menyerupai panggung terdiri dari tangga, palasa dan ruang luar. Ruang palasa memiliki fungsi untuk berunding tengganai
dunsanak ibu atau disebut unding umah dalea dan ruang dalam yang berfungsi untuk tempat istirahat keluarga. Ruang bagian luar terdapat anjung yang lantainya
agak ditinggikan lebih kurang sejengkal jari. Bangunan saling berhubungan saling bersambung seperti rangkaian gerbong yang memanjang dari arah timur dan barat,
menurut garis edar matahari, konstruksi bangunan cukup unik dan rumit karena sistim sambungannya tidak menggunakan besi-paku, menggunakan pasak dan
sistim sambung silang berkait.
Sebagaimana pada masyarakat tradisional lainnya yang memiliki rumah panggung, umah laheik masyarakat Kerinci juga memiliki fungsi untuk menjaga
dan menghindarkan keluarga dari bahaya serangan binatang liar seperti babi hutan, harimau, ular berbisa dan banjir. Bangunan umah laheik menerapkan
konsep sumbu vertikal nilai ketuhanan dan sumbu horisontal nilai kemanusiaan. Konsep sumbu vertikal terlihat dari pembagian ruang menjadi tiga
bagian, yaitu bagian bawah sebagai kandang ternak, bagian tengah untuk tempat Talang
Tumbi Koto
Dusun Desa
manusia tinggal dan bagian atas untuk menyimpan benda-benda pusaka. Sedangkan sumbu horizontal dapat dilihat dari pembagian ruang dalam rumah
yang tidak berjarak dan saling menyatu antara satu rumah dengan rumah yang saling bersebelahan Gambar 4.5.
Gambar 4.5 Rumah tradisional masyarakat Kerinci Ali et al. 2005 menyatakan bahwa satu rumah dari umah laheik ini
memiliki 7 jendela dengan fungsi berbeda yaitu 1 pintu don jendela untuk memandang ke halaman rumah dibuat memanjang ke samping dengan tutup
jendela dari sehelai papan besar yang dibuka ke atas, 2 pintu sari yang menghadap ke halaman dibuat memanjang ke atas dengan dua lipat penutup
jendela, 3 pintu singap dibuat kecil di dekat pintu tangga depan rumah dan di belakang rmah dekat dapur berfungsi untuk siapa tamu yang datang dan
membuang air ke belakang rumah, 4 pintu bukon dibuat sekedar untuk penerang dalam rumah bagian belakang, diletakan di atap dan terdiri dari kaca persegi
empat, 5 pintu tanggo sebagai jalan masuk ke rumah, dibuat diujung rumah atau ruang pertama, 6 pintu dumoh merupakan pintu dari ruang keluarga untuk
masuk ke ruang tidur, 7 pintu mentahap pintu antara merupakan pintu untuk bertamu ke rumah tetangga sebelah.
Secara tradisi untuk mendirikan sebuah rumah baru harus melalui suatu ketentuan dan upacara adat. Pertama adalah penentuan tanah bangunan
menggunakan ajum arah yang izinnya dilakukan melalui musyawarah ninik mamak dan depati. Musyawarah penentuan lokasi rumah berupa tanah sugih,
tanah kayo, tanah kembang tanah biak, tanah usai tanah selesai yang artinya tanah yang akan dijadikan tempat bangunan rumah adalah tanah yang sesuai
dengan teliti adat dan tidak bermasalah, biasanya dekat dengan sungai, danau dan hidup berkelompok mengumpul. Kemudian baru dilakukan pembangunan rumah
yang didahului dengan upacara tegak rumah. Dalam upacara tegak rumah, warga kampung diundang dan mereka yang hadir mempunyai kewajiban untuk
membantu sesuai dengan kesanggupannya, dapat berupa bantuan material maupun bantuan berupa tenaga.
Saat ini keberadaan umah laheik semakin sulit ditemukan, karena masyarakat sudah beralih ke bentuk rumah-rumah individual bergaya modern.
Tata ruang dalam rumah sudah mengacu pada tata ruang rumah modern seperti ruang tamu, ruang makan, kamar tidur, ruang keluarga dan dapur. Antara satu
ruang dengan ruang lainnya dibatasi dengan dinding yang terbuat dari semen dinding tembok. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor antara lain faktor
bencana alam seperti gempa bumi dan kebakaran; faktor kesulitan mendapatkan kayu untuk bahan bangunan serta faktor privacy kenyamanan, kebersihan dan
biaya yang harus dikeluarkan.
c. Laman
Masyarakat Kerinci tidak memiliki istilah khusus untuk menyebut pekarangan. Pekarangan merupakan tanah yang berada di sekitar rumah disebut
laman. Laman masyarakat Kerinci pada umumnya sempit karena tipe pemukiman yang mengelompok, jarak satu rumah ke rumah lainnya sangat dekat. Walaupun
demikian setiap lahan laman memiliki batas yang jelas antara rumah yang satu dengan rumah lainnya. Batas tersebut biasa ditandai dengan tanaman, pohon, batu
atau tanda lainnya.
Secara umum masyarakat Kerinci di keempat lokasi memiliki luas laman yang tidak begitu luas, berkisar 10 x 10m
2
hingga 15x15m
2
. Laman biasanya ditanam dengan berbagai jenis tanaman hias, tumbuhan obat dan bahan pangan.
Keanekaragaman jenis tanaman laman masyarakat Kerinci di setiap lokasi penelitian sangat bervariasi tergantung kesukaan penghuninya. Masyarakat di
keempat lokasi pada umumnya mengusahakan pekarangannya dengan berbagai jenis tanaman hias dan tanaman obat-obatan. Berbagai jenis tanaman hias antara
lain seperti bungo kreteh Bougainvillea glabra, mawar Rosa sp, bungo aster Chrysantetemum indicum, bungo kladi Caladium bicolor dan sebagainya.
Secara umum keanekaragaman spesies tumbuhan yang dijumpai di laman pada keempat lokasi, hampir sama. Hal ini dinyatakan oleh hasil perhitungan
Indeks Kesamaan Komunitas sebagaimana disajikan pada Tabel 4.2.
Tabel 4.2 Indeks Kesamaan spesies pada masing-masing laman
Lokasi Penelitian DBL
DLT DUJ
DKL DBL
- 100
96.77 95.65
DLT -
96.77 95.65
DUJ -
92.13 DKL
- Keterangan : DBL = Dusun Baru Lempur, DLT = Dusun Lama Tamiai, DUJ = Dusun Ulu Jernih,
DKL = Dusun Keluru
Hasil inventarisasi keanekaragaman tumbuhan pada keempat lokasi, di laman dapat dijumpai sebanyak 48 spesies yang termasuk ke dalam 30 famili
sebagaimana pada Tabel 4.3.