Hewan bahan obat Integrasi Etnobiologi Masyarakat Kerinci Dalam Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya

scrofa yang sering mengganggu tanaman jagung, ubi kayu dan tanaman cabe sedangkan tikus sawah Rattus argentivente mengganggu tanaman padi. Upaya yang dilakukan masyarakat Kerinci untuk menanggulangi hewan pengganggu ini adalah dengan melakukan perburuan. Perburuan hewan ini biasanya dilakukan secara bersama-sama oleh kaum laki-laki pada waktu tertentu, terutama pada saat menjelang panen. Perburuan dilakukan adalah untuk mendapatkan hewan pengganggu dan biasanya dibunuh karena sesuai keyakinan masyarakat, hewan ini termasuk jenis yang haram untuk dimakan. Selain berburu masyarakat juga melakukan penjagaan yang intensif di ladang pertanian atau di sawahnya terutama menjelang panen bahkan sampai dengan menginap di ladang. Santosa 2015 menyatakan bahwa terhadap hewan liar yang ketika populasinya mengalami ledakan sehingga danatau telah dianggap sebagai hama pengganggu oleh masyarakat maka pemanenan adalah mutlak dilakukan. Upaya pemanenan ini dilakukan dengan tujuan untuk menyeimbangkan ukuran populasi pada konteks rantai makanan ekosistem alaminya. Santosa juga menyatakan ada 4 alasan utama mengapa pemanenan hewan liar perlu dilakukan yaitu a sebagai alat penting dalam managemen populasi, b pemenuhan kebutuhan protein hewani bagi masyarakat lokalsekitar, c sebagai sumber pendapatan tunai bagi masyarakat lokal dan d sebagai wahana rekreasi berburu.

d. Hewan Untuk Ritual

Pengetahuan masyarakat Kerinci terhadap penggunaan hewan untuk ritual sangat erat hubungannya dengan kepercayaan nenek moyang. Ritual masyarakat Kerinci terdiri dari ritual yang berhubungan dengan pertanian, siklus kehidupan manusia ritual kelahiran, ritual saat anak berusia 1 tahun, ritual perkawinan dan ritual kematian dan ritual adat. Salah satu ritual adat masyarakat asli Kerinci adalah keyakinan atau kepercayaan untuk menanammengubur kepala kerbau Bubalus bubalis ke dalam tanah jika ada pembangunan jembatan dan bangunan infrastruktur lainnya. Menurut mereka dengan menanam kepala kerbau tersebut nenek moyang akan memberi kebaikan terhadap bangunan tersebut, dapat dikatakan kepala kerbau ini sebagai ‘sesajen’ bagi nenek moyang mereka. Ayam hutan Gallus various juga dijadikan sebagai hewan ritual yaitu untuk ritual dukun dalam penyembuhan berbagai penyakit yang disebabkan oleh kekuatan gaib. Selain kerbau dan ayam hutan, kambing Capra aegagrus juga dapat dijadikan sebagai hewan ritual dalam hal ‘upacara persaudaraan’. Masyarakat Kerinci mempunyai keyakinan bahwa saudara itu dapat dicari melalui kebaikan- kebaikan dan keakraban sesama, seseorang yang sudah dianggap ‘saudara’ akan memiliki hubungan persaudaraan yang erat seperti saudara kandung. Persaudaraan yang dibuat ini harus diumumkan di dalam negeri melalui suatu upacara persaudaraan dengan mengundang warga masyarakat dan harus memotong seekor kambing sebagai syaratnya.

e. Hewan sebagai peliharaanhobby

Spesies hewan sebagai hewan peliharaan oleh masyarakat Kerinci adalah anjing Canis familiaris, kucing Felix domestica dan beberapa spesies burung. Anjing dipelihara karena dapat digunakan sebagai hewan penjaga dan hewan untuk berburu, sedangkan kucing dipelihara karena mereka menganggap kucing adalah hewan rumahan binatang kesayangan nabi sehingga mereka juga harus menyayanginya. Spesies burung yang menjadi peliharaan adalah spesies burung berkicau seperti burung tekukur Streptopelia chinensis dan burung murai Copsychus malabaricus. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan tidak banyak keluarga yang memelihara hewan untuk kesenangan atau sekedar hobby ini karena untuk pemeliharaan hewan itu membutuhkan biaya yang tidak sedikit dan harus ada waktu untuk mengurusnya. f. Hewan yang belum diketahui manfaat khususnya Dari hasil penelitian terdapat sebanyak 19 spesies hewan budidaya 21 sedangkan sisanya sebanyak 70 jenis 79 masih bersifat liar dan lebih separuh dari jenis hewan liar belum diketahui manfaat dan kegunaannya oleh masyarakat terutama hewan liar yang hidup di hutan. Hal ini menunjukan bahwa pengetahuan masyarakat Kerinci terhadap hewan baru sebatas pengenalan jenis, sedangkan untuk manfaat dan kegunaannya baru diketahui jenis-jenis yang erat hubungannya dengan kebutuhan sehari-hari dan berhubungan dengan usaha pertanian mereka. Namun pada prinsipnya masyarakat Kerinci mengetahui bahwa semua hewan yang ada di sekitar mereka baik yang sudah diketahui manfaatnya ataupun belum diketahui adalah makhluk ciptaan Tuhan yang memiliki tempatnya sendiri- sendiri. Masyarakat juga mengetahui hewan-hewan ini ada yang boleh dimakan dan ada yang tidak boleh dimakan, ada yang dapat diperjual belikan dan ada yang tidak boleh diperjualbelikan.

5.3.4 Perburuan Tradisional Masyarakat Kerinci

Perburuan adalah aktivitas yang dilakukan untuk mendapatkan hewan buruan dengan tujuan tertentu baik dalam keadaan hidup ataupun mati. Hewan buruan dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan seperti sumber protein, bahan obat, bahan keperluan upacara adat atau ritual tertentu. Bagi masyarakat asli yang tinggal di tepi hutan, aktivitas berburu adalah kegiatan yang sudah dilakukan sejak lama dan bersifat turun temurun. Begitu juga dengan masyarakat Kerinci, kegiatan berburu adalah salah satu kegiatan yang populer dan sudah dilakukan sejak lama hingga sekarang bersifat subsisten. Mereka telah melakukan perburuan terhadap berbagai jenis hewan buruan terutama jenis hewan yang dianggap sebagai pengganggu dan hama karena telah mengganggu hasil pertanian mereka seperti babi hutan Sus scrofa dan monyet ekor panjang Macaca fascicularis. Selain untuk memburu hewan hama, kegiatan berburu pada sebagian kalangan adalah untuk menyalurkan hobi atau kesenangan saja. Berdasarkan hasil wawancara dengan narasumber menyebutkan bahwa kegiatan berburu bagi masyarakat Kerinci ini sudah dilakukan sejak lama dan turun temurun dari generasi sebelumnya. Berdasarkan kepentingannya, terdapat 2 macam perburuan yaitu : a. Berburu karena ketentuan adat yaitu perburuan yang dilakukan berhubungan dengan kegiatan pertanian menjelang pembukaan lahan ladang dan menjelang panen. Waktu dan tata cara berburu ditentukan secara adat dan terbatas, perburuan dilakukan secara kolektif, dalam rombongan berkisar 25 – 40 pemburu biasanya melibatkan kaum laki-laki dalam satu kampung. Perburuan pada umumnya dilakukan pada hutan sekunder bekas ladang di sekitar perkampungan mereka. Hasil buruan menjadi tanda dari keberhasilan berladangnya. Jika hasil buruan banyak maka usaha perladangan yang akan dimulai diyakini akan baik hasilnya, sedangkan jika hasil buruan sedikit menjadi tanda, kemungkinan hasil ladang tidak akan memuaskan. Biasanya yang menjadi hewan buruan adalah babi hutan Sus scrofa namun jika dijumpai hewan lain akan ikut diambil. b. Berburu secara umum yaitu perburuan yang dapat dilakukan kapan saja baik secara kolektif ataupun perseorangan. Hasil buruan biasanya untuk dikonsumsi sendiri dan apabila berlebih dibagikan kepada tetangga atau kerabat terdekat. Pada awalnya berburu babi hutan dilakukan dengan cara tradisional yaitu dengan menggunakan jerat dan tombak. Namun cara yang demikian nampaknya tidak mendatangkan hasil yang memuaskan, karena banyak menyita waktu dan tenaga untuk mencari habitat babi tersebut. Untuk memudahkan menemukan tempat dimana babi tersebut berada, dipakailah tenaga anjing. Anjing merupakan salah satu binatang yang mempunyai daya penciuman dan pendengaran yang tajam sekali bila dibandingkan dengan binatang-binatang yang sejenisnya. Dalam satu kali perburuan, anjing-anjing ini biasanya mampu menangkap dua sampai lima ekor babi. Namun mengingat masyarakat Kerinci beragama Islam, maka babi yang mati diserang anjing tidak pernah dibawa pulang oleh para pemburu . Biasanya babi hutan yang ditangkap, ditinggalkan di dalam hutan atau dimakan oleh anjing-anjing pemburu. Saat ini perburuan tradisional masyarakat Kerinci sudah mengalami penurunan, pewarisan ilmu berburu kurang diminati oleh generasi muda karena selain membutuhkan waktu yang lama, adanya pergeseran penggunaan alat buru merupakan salah satu faktor penyebabnya. Selain itu perubahan gaya hidup dan kondisi sosial ekonomi keluarga ikut mempengaruhi praktek-praktek tradisional yang biasanya dianut oleh masyarakat setempat Rajindra 1999. Stearman 2002 menyatakan bahwa menurunnya praktek perburuan tradisional dan diganti dengan perburuan modern mengakibatkan kepunahan atau kehilangan lokal jenis hewan tertentu. Oleh karena itu, penggunaan alat buru tradisional merupakan salah satu praktek kearifan tradisional yang dapat diaplikasikan guna menunjang kelestarian hewan. Rajindra 1999 menyatakan bahwa dalam melakukan perburuan, ada beberapa faktor yang biasanya menjadi bahan pertimbangan dalam memilih teknik berburu yaitu peralatan, pengalaman si pemburu, jumlah pemburu, jenis hewan buruan, perilaku hewan buruan, lokasi dan kuantitas makanan hewan buruan, waktu aktivitas hewan buruan, fase bulan dan keadaan cuaca setempat. Jenis peralatan yang digunakan dipengaruhi oleh jenis hewan buruan, seperti sumpitan dengan mata lembing diujungnya seperti sangkur untuk mengincar hewan pohon, unggas terbang dan hewan darat yang besar. Kegiatan perburuan ini telah mendapat legalitas berdasarkan Peraturan Pemerintah No 13 Tahun 1994. Pasal 2 dari peraturan tersebut menyebutkan bahwa perburuan hewan dapat diselenggarakan berdasarkan asas kelestarian manfaat dengan memperhatikan daya dukung habitat dan keseimbangan ekosistem. Lebih lanjut Pasal 8 menyebutkan bahwa dalam situasi terjadi peledakan populasi hewanliar yang tidak dilindungi sehingga menjadi hama dilakukan tindakan pengendalian melalui perburuan. Pasal 3 menyebutkan bahwa