Bluko tuo Integrasi Etnobiologi Masyarakat Kerinci Dalam Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya
Hasil perhitungan indeks kesamaan spesies tumbuhan di satuan lingkungan bluko tuo keempat lokasi menunjukkan spesies di Dusun Baru Lempur dan Dusun
Lama Tamiai memiliki indeks kesamaan paling tinggi yaitu 95.23. Sedangkan perbedaan indeks kesamaan spesies paling rendah adalah Dusun Lama Tamiai
dengan Dusun Ulu Jernih yakni 79.01. Hal ini diduga karena sebab perbedaan karakteristik geomorfologi kawasan. Indeks kesamaan spesies di bluko tuo
masing-masing lokasi penelitian disajikan pada Tabel 4.13.
Tabel 4.13 Indeks kesamaan spesies tumbuhan di bluko tuo
Lokasi Penelitian DBL
DLT DUJ
DKL DBL
- 95.23
89.15 86.75
DLT -
79.01 86.41
DUJ -
80.00 DKL
- Keterangan : DBL = Dusun Baru Lempur, DLT = Dusun Lama Tamiai, DUJ = Dusun Ulu Jernih,
DKL = Dusun Keluru
Bluko tuo dianggap sebagai cadangan lahan ladang untuk kepentingan perladangan pada tahun-tahun berikutnya. Kepemilikan lahan bluko mudo
diberikan pada masyarakat yang pertama kali membuka imbo lengang untuk dijadikan ladang private property di tempat tersebut. Pada masa pemulihan
bluko tuo kepemilikannya bersifat common property yaitu keanekaragaman sumber daya alam hayati yang ada di dalamnya dapat dimanfaatkan oleh seluruh
warga. Namun setelah ditentukan untuk dibuka dan digarap untuk kegiatan perladangan, kepemilikan kembali menjadi hak orang yang pertama kali
membuka kawasan tersebut.
Mulyoutami 2010 menyebutkan bahwa berbagai kajian mengenai perladangan difokuskan hanya pada fase tanam dan kesuburan tanah. Fase tanam
diartikan sebagai fase penurunan kesuburan tanah, sebaliknya fase bera merupakan fase pemulihan kesuburan tanah. Mulyoutami 2010 menyebutkan
bahwa lama masa pemberaan tergantung pada tingkat kerusakan yang dialami oleh suatu lahan. Bekas ladang atau lahan yang diberakan akan berkembang dari
vegetasi yang sederhana menuju vegetasi yang lebih kompleks seiring dengan kembalinya kesuburan tanah secara perlahan-lahan. Kecepatan proses suksesi ini
tergantung pada berbagai faktor seperti sifat tanah, topografi, curah hujan, luas lahan dan faktor sosial ekonomi
Penurunan dan peningkatan kesuburan tanah berlangsung seiring dengan produktivitas tanaman. Penurunan dan peningkatan produksi tanaman terjadi
karena adanya interaksi fisik, kimia dan biologi tanah, dimana gulma, hama dan penyakit tidak mudah diuraikan oleh konfigurasi tanah setempat. Perbedaan jenis
tanah, ruang tumbuh vegetasi dan kondisi iklim membuat hubungan saling mempengaruhi antara faktor menjadi lebih kompleks. Namun demikian model
penurunan dan pemulihan kesuburan tanah secara sederhana sangat bermanfaat sebagai langkah awal untuk memahami dinamika tersebut.
Skema evolusi sistem perladangan masyarakat Kerinci sebagai bagian dari sejarah sistem pertanian menetap mereka yang telah hidup sejak lama hingga
sekarang di tepi hutan dapat digambarkan sebagaimana Gambar 4.11.
Gambar 4.11 Skema evolusi sistem perladangan sebagai bagian dari sejarah sistem pertanian permanen Modifikasi dari Mulyoutami 2010
.
5 Kawasan hutan primer
Kawasan hutan primer adalah bentuk satuan hutan rimba yang belum dikonversi atau diubah peruntukkannya. Masyarakat Kerinci menyebut kawasan
hutan primer dengan sebutan imbo lengang. Imbo lengang menurut mereka adalah kawasan hutan yang belum pernah dilakukan penebangan dan dibiarkan tumbuh
dan berkembang secara alami, dipandang sebagai tempat yang berguna untuk tempat tinggal satwa-satwa buas seperti harimau, beruang dan babi hutan. Imbo
lengang juga dipandang sebagai kawasan yang memiliki fungsi penting sebagai sumber mata air yang dapat menjamin keberlangsungan kehidupan dan pertanian
masyarakat Kerinci. Imbo lengang yang ada di Kabupaten Kerinci saat ini adalah merupakan areal yang termasuk dalam kawasan TNKS Gambar 4.12.
Gambar 4.12 Imbo lengang masyarakat Kerinci Keanekaragaman spesies tumbuhan yang terdapat di dalam kawasan TNKS
diperkirakan 4000 spesies tumbuhan BBTNKS 2014. Spesies-spesies tersebut termasuk ke dalam famili Dipterocarpaceae, Lauraceae, Meliaceae, Verbenaceae,
Myrtaceae dan famili lainnya. Disamping itu terdapat beberapa spesies endemik lainnya seperti kayu taksus Taxus sumatrana, kayu pacat Harpullia arborea,
kantong semar Nepenthes sp, kayu sugi Pinus merkusii straim Kerinci, bungo rafflesia Rafflesia arnoldii, bungo bangkai Amorphophallus sp dan sebagainya.
6
Imbo adat
Selain kawasan hutan sekunder dan hutan primer, masyarakat Kerinci mengenal adanya imbo adat =hutan adat. Imbo adat merupakan kawasan hutan
yang dikelola dan diatur pemanfaatannya oleh adat. Masyarakat sudah mengatur pemanfaatan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya berdasarkan kepada adat
yang mereka yakini sebagai suatu sistem nilai dalam mengelola dan memanfaatkannya untuk menjaga keberlanjutan pemanfaatan sumber daya alam
tersebut. Imbo adat dimanfaatkan sebagai kawasan konservasi adat yang berfungsi sebagai kawasan pelestarian sumber daya air dan keanekaragaman hayati
tumbuhan dan hewan yang terdapat didalamnya. Berbagai spesies tumbuhan yang terdapat di dalam imbo adat dimanfaatkan secara subsisten oleh masyarakat
Kerinci terutama masyarakat di sekitar kawasan imbo adat.
Salah satu imbo adat yang sampai sekarang masih tetap terjaga adalah imbo adat temedak di Dusun Keluru. Imbo adat Temedak saat ini memiliki luas 23 Ha,
walaupun memiliki luasan yang relatif kecil, namun keberadaannya mampu menjaga sumber daya alam hayati dan ekosistem di dalamnya Gambar 4.13.
Gambar 4.13 Kawasan imbo adat Temedak di Dusun Keluru Dalam pengelolaan imbo adat, para depati selaku tokoh tertinggi adat
memiliki tugas ‘mengajum arah’ yaitu menunjukan arah, dan ninik mamak bertugas mengukur dan membagikan sama rata. Hal ini terungkap dalam pepatah
mati kuman sama dicacah, mati gajah sama sama dipapah. Depati juga memiliki tanggung jawab terhadap kesejahteraan masyarakatnya yang tertuang dalam
filosofi adat hanyut dipintas, hanyut dibawa air, kita pintas ke muaranya’. Filosofi ini bermakna ketika masyarakat hanyut dibawa arus kemiskinan maka
tugas depati dan ninik mamak untuk melakukan ajum-arah ke suatu lokasi pertanian lahan yang berupa sawah dan ladang, gunanya untuk dibagikan sama
banyak kepada masyarakat.
Hasil inventarisasi spesies tumbuhan yang terdapat di imbo adat Temedak terdapat 63 spesies tumbuhan dari 39 famili. Secara umum keanekaragaman
spesies tumbuhan yang terdapat di imbo adat mirip dengan yang terdapat pada imbo lengang, dimanfaatkan sebagai kawasan konservasi yang diatur dan dikelola
oleh adat. Dari keragaman spesies tersebut terdapat beberapa spesies bernilai ekonomi tinggi seperti kayu suhin Toona sureni, kayu kelat putaih Syzygium
pycanthium, pulai pipang Alstonia anguistiloba. Pemanfaatan keanekaragaman spesies tumbuhan ini adalah untuk kebutuhan subsisten. Sebagian besar speseies
tumbuhan yang dijumpai di imbo adat ini diketahui oleh masyarakat, bermanfaat sebagai tumbuhan obat. Tabel 4.14 berikut merupakan hasil inventarisasi
keanekaragaman spesies tumbuhan yang dapat dijumpai di imbo adat Temedak menurut pengetahuan masyarakat.
Tabel 4.14 Spesies tumbuhan di imbo adat Temedak Dusun Keluru
Nama Ilmiah Nama Lokal
Kegunaan Acorus calamus
Jrangau TO
Aglaia odorata Inai kayu
TO Alstonia angustiloba
Pulai pipang BK, TO
Alstonia scholaris Kayu sangkak
BK, TO Amorphophallus variabilis
Semubut TO
Ananas comosus Nanas rimba
TO Artocarpus interger
Sukun BMT
Artocarpus elasticus Terap
BMT Artocarpus heterophyllus
Tmedaik BMT
Bambusa vulgaris var vulgaris Au minyak
BMT Breynia macrophylla
Kayu tenga TO
Bryonopsis lacinosa Gambih
TO Calamus caesius
Rotan BK, BPR
Chrysopogon aciculatus Umput samek-samek
TO Cinnamomum burmanii
Kayu manis BP, TO, BM
Cinnamomum culilawan Kayu lawang
BB Coscinium fenestratum
Akar kuning TO
Dacrycarpus imbricatus Kayu embun, jamuju
BK Derris eliptica
Tubo TO
Desmodium cayanifolium Umput siringan-ringan
TO Dianella nemorosa
Stanggi TO
Disporum pullum Umput sebangun
TO Drymaria sp.
Umput bento TO
Drymaria villosa Gilang-gilang
TO Durio zibethinus
Durian BB
Erythrina lithosperma Dedap
TO Eupatorium inulifolium
Krinyuh TO
Eurycoma longifolia Pasak bumi
TO Ficus padana
Semantung TO
Ficus sp Umput buah
TO Flacaurtia rukam
Kayu kam TO
Gossypium acuminatum Kapeh gedang
BK Harpullia arborea
Kayu pacat BK
Tabel 4.14 Spesies tumbuhan di imbo adat Temedak Dusun Keluru lanjutan
Nama Ilmiah Nama Lokal
Kegunaan Homalomena alba
Umput mulau abang TO
Hordeum vulgare Nyelai
TO Horstedtia lycostoma
Umput seluluh ayam TO
Isotama longifolia Rumput katarak
TO Jatropha curcas
Jarak TO
Justicia gendarusa Stajim
TO Leea indica
Wali-wali TO
Limnocharis flava Sudu-sudu
TO Loranthus globosus
Inggap TO
Lygustrum obtisifolium Kayu tulang
TO Macaranga rhizinoides
Daun tutut TO
Mentha piperita Daun permin
TO Mikania scandens
Umput nahu tunggun TO
Nicolaia speciosa Sabung
TO Paederia scandens
Daun skutunskentun BS
Paspalum cocugatum Umput belando
TO Persea americana
Pokat BB,TO
Physalis angulata Stun
TO Pogostemon cablin
Nilam TO
Pycnanthemum virginianum Umput permin
TO Ruta angustifolia
Inggu TO
Syzygium clavymirtus Kayu luluh
TO Szygyium pycanthium
Kayu kelat putaih BB
Talinum paniculatum Ginseng
TO Taxus sumatrana
Kayu taksus TO
Tinomiscium venestratum Akar kunyit
TO Toona sureni
Suhin, surian BK,TO
Uncaria gambir Gambir
TO Urena lobata
Daun pulut-pulut TO
Keterangan : BK = bahan konstruksi, TO = Tumbuhan obat, BB = Buah-buahan, BS = Bahan sayuran
Pengenalan masyarakat Kerinci terhadap satuan lingkungan di kawasan mereka adalah merupakan hasil kegiatan perubahan dari hutan primer dalam
jangka waktu panjang. Kegiatan ini telah menghasilkan heterogenitas satuan lingkungan yang membentuk mozaik keanekaragaman ekosistem yang ditandai
oleh keragaman vegetasi. Kondisi geomorfologi wilayah Kerinci yang berupa daerah perbukitan dan lembah memberi pengaruh terhadap manipulasi dan
penataan satuan lingkungan yang terkait dengan pemanfaatan lahan. Ketinggian tempat dan kelerengan menjadi pertimbangan penting bagi masyarakat dalam
melakukan antropisasi hutan primer sehingga terbentuk lanskap berdasarkan ketinggian dan kelerengan. Devi 2012 juga menyatakan hal yang sama tentang
hal-hal yang menjadi pertimbangan bagi masyarakat Kerinci di Dusun Pauh
Tinggi, Dusun Sungai Deras dan Dusun Selampaung dalam melakukan perubahan satuan lingkungan tersebut.
Secara umum kawasan perkampungan dibangun pada bagian paling rendah dan datar dari suatu kawasan sebagaimana pada Gambar 4.14. Selain kawasan
perkampungan, pada bagian terendah juga terdapat kawasan persawahan dan batang ayiek. Kawasan perladangan berupa ladang pnanam mudo dan ladang
pnanam tuo terletak pada ketinggian yang lebih tinggi. Ladang pnanam tuo dengan sistem agro-forestry terletak pada ketinggian yang lebih tinggi untuk lahan
budidaya. Letak yang lebih tinggi tersebut didukung oleh tanaman budidaya berupa pohon berumur panjang yang dapat mencegah erosi dan pengikisan lapisan
humus tanah. Sedangkan ladang pnanam mudo dengan sistem monokultur terletak pada ketinggian yang lebih rendah dari ladang pnanam tuo. Sedangkan kawasan
hutan primer imbo lengang dapat dijumpai pada kelerengan curam dan tempat yang lebih tinggi lagi. Satuan lingkungan yang dikenali oleh masyarakat Kerinci
merupakan bentuk unit-unit lahan yang dimanfaatkan dalam melakukan proses produksi masyarakat. Pengelolaan yang berbeda di setiap satuan lingkungan
memberi gambaran tingkat pengetahuan masyarakat dalam mengenali dan memanfaatkan satuan lingkungannya.
Gambar 4.14 Satuan lingkungan yang membentuk heterogenitas ekosistem menurut pengetahuan masyarakat Kerinci A = kawasan
perkampungan, B = kawasan perladangan, C = kawasan hutan sekunder, D = kawasan hutan primer imbo lengang dan imbo adat
Kegiatan manusia dalam mengubah satuan lingkungan alamiah menjadi satuan lingkungan antropik telah memberikan dampak terhadap pembentukan
heterogenitas ekosistem. Satuan lingkungan antropik dapat kembali membentuk satuan lingkungan alamiah meskipun dalam waktu yang sangat lama. Sistem
pemberaan dalam perladangan masyarakat Kerinci dapat mengembalikan lahan menjadi bluko mudo, kemudian menjadi bluko tuo dan jika tidak dijadikan
sebagai lahan kembali maka akan membentuk hutan. Aktivitas tersebut
A B
C D
menyebabkan akan terbentuknya heterogenitas ekosistem yang akan mempengaruhi tingkat keanekaragaman spesies tumbuhan.
Berdasarkan hasil inventarisasi spesies tumbuhan pada setiap satuan lingkungan diketahui bahwa terjadi penurunan jumlah spesies tumbuhan dari
hutan primer dengan satuan lingkungan antropik. Kawasan hutan primer memiliki spesies tumbuhan lebih banyak dibandingkan dengan satuan lingkungan antropik.
Meskipun demikian pada kondisi aktual jumlah spesies yang dimanfaatkan oleh masyarakat Kerinci lebih banyak di satuan lingkungan antropik daripada di hutan
primer Gambar 4.15.
Gambar 4.15 Jumlah spesies tumbuhan di setiap satuan lingkungan dan jumlah spesies dimanfaatkan menurut pengetahuan masyarakat Kerinci
Gambar 4.15 menunjukkan bahwa keragaman spesies tumbuhan yang diketahui pada umumnya juga dimanfaatkan untuk berbagai kategori pemanfaatan
oleh masyarakat Kerinci seperti pada satuan lingkungan laman, batang ayiek, ladang pnanam mudo, ladang pnanam tuo dan bluko mudo, sedangkan pada bluko
tuo, imbo lengang dan imbo adat menunjukkan bahwa spesies tumbuhan yang diketahui lebih banyak dibandingkan dari spesies yang dimanfaatkan. Artinya
terdapat spesies tumbuhan yang diketahui oleh masyarakat namun belum dimanfaatkan seperti inggu Ruta angustifolia dan inai kayu Aglaia odorata.
Masyarakat Kerinci sudah tidak memiliki hutan primer karena kawasan hutan primer yang ada di sekitar mereka telah berubah status menjadi kawasan
konservasi Taman Nasional Kerinci Seblat, sehingga akses untuk memanfaatkan hasil dari hutan tersebut menjadi sangat terbatas.
7
Satuan Lingkungan yang lain
Satuan lingkungan lainnya adalah bentuk satuan lingkungan yang telah ada dari awal, sebagai bagian dari alam yang diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa.
Masyarakat Kerinci mengenal bentuk satuan lingkungan berupa sungai batang ayiek, danau, bukit dan gunung.
20 40
60 80
100 120
140
Laman Batang ayiek
Pelak Ladang pnanam
mudo Ladang
pnanam tuo
Bluko mudo
Bluko tuo
Imbo lengang
Imbo adat
Ju m
la h
sp esi
es
Bentuk satuan lingkungan Jumlah diketahui
Jumlah dimanfaatkan