Gambar 6.5 Model integrasi etnobiologi masyarakat Kerinci untuk mendukung konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistem di Kerinci Seblat
6.3 Relevansi Etnobiologi Masyarakat Kerinci Untuk Konservasi
Relevansi etnobiologi masyarakat Kerinci masih tampak pada etnografi budaya, dan sistem pengetahuan etnobotani, etnozologi, dan etnoekologi.
Etnografi masyarakat Kerinci menunjukan bahwa dalam berbagai aspek budaya, terdapat integrasi dengan konservasi seperti keberadaan hutan adat, hutan
larangan keramat, lubuk larangan; sistem sosial yang menunjukan kepatuhan komunitas adat dan ketegasan pimpinan adat dalam menjalankan pucuk larangan,
pantang larang dalam nagari dan anjuran dalam nagari. Falsafah adat dalam
Konsep pengetahuan etnoekologi
Konsep pengetahuan etnozoologi
Konsep pengetahuan etnobotani
Pemanfaatan tradisional keanekaragaman sumber daya
alam hayati dan ekosistem Pemanfaatan keanekaragaman
sumber daya alam hayati dan ekosistem
Pengelolaan sumber daya alam hayati dan ekosistem oleh
masyarakat adat
Integrasi untuk keberlanjutan pemanfaatan sumber daya alam hayati dan ekosistem di Kerinci Seblat
Keberlanjutan ekonomi
Keberlanjutan ekologi
Keberlanjutan sosial budaya
Prasyarat : Adanya aturan kebijakan
yang mendukung Masyarakat Kerinci
Strategi Konservasi
membangun nagari merupakan modal dasar pembangunan menuju masyarakat Kerinci yang berdaulat, mandiri dan maju. Falsafah adat masyarakat Kerinci
dalam membangun nagari memiliki unsur keterpaduan, keakraban, kesadaran, kebersamaan dan keterbukaan Yakin 1986.
Kerjasama yang terpadu antara pemimpin dengan rakyat yang berlambangkan musyawarah-mufakat, satu hal yang sangat diperlukan dalam
usaha pembangunan nagari, besar maupun kecil. Sebagaimana tertuang dalam pantun adat ‘memasak nasi dalam periuk, menggoreng dalam kuali. Tegak
berunding duduk bainok, alamat usaha akan menjadi’. Keakraban dan keterbukaan sangat diperlukan dalam hubungan masyarakat, karena dapat
melahirkan persatuan dan kesatuan sehingga ‘bulat nan seguling, picak nan selayang, tak ada berat yang tak dapat dipikul, tak ada ringan yang tak dapat
dijujung’. Ijuk dijadikan sapu, ambil buluh jadi pelupuh. Bersatu kita padu, bercerai kita rubuh. Muko pasar babelok, tanam mengkari dalam padi. Gotong
royong membawa elok, negeri aman padi menjadi. Sedangkan dalam hal kebersamaan, kerjasama dari tigo tungku nan sajarangan alim ulama, cerdik
pandai dan pemerintah, ulama wal umaro adalah faktor yang dapat melahirkan dampak positif dalam segala bidang, seperti kata pepatah ‘ ulama sekitab, umaro
seundang, rakyat patuh negeri aman, padi menjadi , teluk renang rantau selesai, air jernih ikannya jinak.
Chozin et al. 2010 menyatakan bahwa pembangunan pada hakikatnya adalah perubahan progresif yang berkelanjutan sustainable progressive change
untuk mempertahankan kepentingan individu maupun komunitas melalui pengembangan, intensifikasi dan penyesuaian terhadap pemanfaatan sumber daya.
Pembangunan berarti peningkatan kapasitas untuk bertindak capacity to act, berinovasi dan menghadapi keadaan yang berbeda serta lebih fokus pada equity
daripada equality. Dengan demikian dalam konteks pembangunan tidak semua orang harus menerima barang dan jasa atau “kue pembangunan” dengan ukuran
yang sama namun lebih bagaimana kue pembangunan tersebut, sekecil apapun sesuai dengan kapasitas orang dan masyarakat tersebut.
Rachman 2012 menyatakan bahwa pembangunan bangsa Indonesia yang dilakukan secara utuh dan menyeluruh sepatutnya berakar kepada pengetahuan
lokal indigenous knowledge yang berkembang di dalam masyarakat kecil sebagai inti core dan modern knowledge yang berkembang di perguruan tinggi.
Oleh karena itu kajian-kajian tentang masyarakat lokal menjadi penting tidak hanya dalam memahami bagaimana masyarakat lokal memperlakukan sumber
daya alam di sekitarnya, namun juga bagaimana memanfaatkan berbagai hal positif darinya untuk kepentingan generasi mendatang. Di samping itu,
diketahuinya pola-pola interaksi antara masyarakat tradisional dengan sumber daya hutan akan teridentifikasi sejumlah kebutuhan yang dapat dijadikan acuan
dalam memformulasi rencana pengelolaan sumber daya hutan. Pengelolaan hutan harus mempertimbangkan aspek ekologi, sosial dan budaya masyarakat setempat.
Mengakomodasi aspirasi dan partisipasi masyarakat lokal dapat meningkatkan efektivitas pengelolaan kawasan konservasi. Pengelolaan kawasan konservasi
memerlukan kolaborasi dari berbagai pihak dan integrasi pengetahuan lokal masyarakat agar hutan lestari Berdasarkan hal tersebut diatas, etnobiologi
masyarakat Kerinci menjadi sangat relevan dalam pengelolaan kawasan konservasi masa kini dan masa mendatang. Keberadaan kawasan konservasi