Undang-undang No 23 Tahun 1997 Integrasi Etnobiologi Masyarakat Kerinci Dalam Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya

sendiri, serta tanggung jawab dan jaminan bahwa kegiatan-kegiatan yang dilakukan di dalam batas yurisdiksinya tidak menimbulkan kerusakan terhadap lingkungan negara lain atau kawasan di luar batas yurisdiksi nasionalnya. Konvensi PBB tersebut juga mengamanatkan kepada setiap negara untuk, 1 Mengembangkan strategi, rencana atau program nasional untuk konservasi dan pemanfaatan secara berkelanjutan keanekaragaman hayati atau program yang sudah ada, dan 2 memadukan konservasi dan pemanfaatan secara berkelanjutan keanekaragaman hayati ke dalam rencana, program, dan kebijakan sektoral atau lintas sektoral yang berkaitan, sejauh mungkin dan jika sesuai. Dua amanat konvensi tersebut, khususnya memadukan konservasi ke dalam pelaksanaan pembangunan Indonesia .

e. UU No 18 Tahun 2013

Undang-undang No 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan Pasal 11 3 berbunyi : “ Kelompok terstruktur sebagaimana dimaksud pada ayat 2 tidak termasuk kelompok masyarakat yang bertempat tinggal di dalam dan atau di sekitar kawasan hutan yang melakukan penebangan kayu di luar kawasan hutan konservasi dan hutan lindung untuk keperluan sendiri dan tidak untuk tujuan komersial”. Aturan ini secara implisit melarang pemanfaatan oleh masyarakat tradisional di dalam kawasan konservasi sehingga bertentangan dengan PP No 28 Tahun 2011 tentang Pemanfaatan KSA dan KPA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35 dan Pasal 37 hanya dapat dilakukan setelah memperoleh izin dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk. Berdasarkan telaahan terhadap beberapa peraturan tersebut menunjukan adanya beberapa persoalan mendasar yaitu antara lain 1 Terdapatnya ketidaksesuaian antara peraturan yang ada, sehingga terkesan peraturan pada tingkat yang lebih tinggi tidak diikuti oleh peraturan dibawahnya, 2 lemahnya penegakan hukum law enforcement terhadap pelaku perusakan kawasan konservasi. Berbagai aktivitas yang nyata-nyata mengancam dan merusak kawasan konservasi seringkali tidak dikenakan peringatan ataupun tindakan yang tegas. Berbagai peraturan yang memuat peran serta masyarakat, kecuali PP No 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup menunjukkan bahwa peran serta masyarakat itu tidak penting. Masyarakat bahkan dilihat sebagai orang yang tidak mengerti tentang pengelolaan sumber daya alam termasuk konservasi sehingga disebutkan bahwa peran serta tersebut akan ditumbuhkan dan ditingkatkan melalui pendidikan dan penyuluhan. Padahal tidak ada yang dapat membantah justru masyarakat adat Dayak, masyarakat adat Haruku dan berbagai masyarakat lainnya di berbagai wilayah di Indonesia dikenal secara turun temurun memiliki konsep konservasi yang luar biasa dan telah menerapkannya. Sebagaimana hasil kajian pada masyarakat Kerinci yang telah menunjukan bahwa mereka telah memiliki konsep konservasi yang terbukti mampu menjaga keberlanjutan sumber daya alam biodversitas dan lingkungannya. Berkaitan dengan aturan desentralisasi nampak pemerintah setengah hati untuk mengembangkannya. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber daya Alam Hayati dan Ekosistemnya menyebutkan bahwa dalam rangka pelaksanaan konservasi sumber daya alam dan ekosistemnya pemerintah dapat menyerahkan sebagian urusan kepada Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam UU No 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintah Daerah. Sementara itu PP Nomor 28 Tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan tidak membuka peluang desentralisasi sama sekali. Demikian juga halnya dengan Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, Pemerintah Daerah diberi kewenangan menetapkan suatu kawasan sebagai kawasan lindung di dalam daerahnya masing- masing tapi tidak untuk pengelolaannya. Kajian ini menunjukan bahwa terdapat inkonsistensi dalam berbagai peraturan yang sudah ada. Hal ini dapat memicu terjadinya perbedaan pendapat dari berbagai pihak yang memiliki berbagai kepentingan terhadap pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam biodiversitas dan ekosistemnya.

6.5.2 Implikasi Teori

Hasil kajian ini membuktikan bahwa etnobiologi dapat dijadikan sebagai dasar pengembangan pembangunan untuk menjaga keberlanjutan sumber daya alam hayati dan ekosistem yang terdapat di kawasan konservasi. Karena etnobiologi merupakan pendekatan multidisplin ilmu pengetahuan yang menggabungkan ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu biologi. Etnobiologi masyarakat tradisional menunjukkan bahwa mereka telah memiliki sistem nilai dan sitem pengetahuan tradisional yang telah mereka anut sejak lama hingga sekarang secara turun temurun. 7 SIMPULAN DAN SARAN

7.1 Simpulan

Berdasarkan hasil kajian etnobiologi masyarakat Kerinci untuk mendukung integrasi konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistem di Kerinci Seblat ini dapat diperoleh beberapa simpulan yaitu : 1. Masyarakat Kerinci adalah salah satu kelompok masyarakat tradisional yang memiliki keunikan, lokal spesifik yang sejak lama telah menjadi satu kesatuan dengan sumberdaya alam hayati dan lingkungan yang ada di sekitar mereka. Mereka telah memiliki sistem sosial yang membuktikan bahwa mereka memiliki sistem nilai yang unik, spesifik dan telah diwariskan sejak dulu hingga sekarang. Sistem nilai ini dianggap sebagai suatu kebenaran atau sesuatu yang dianggap benar oleh mereka sehingga dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya secara bijak dan arif. 2. Masyarakat Kerinci memiliki pengetahuan yang baik terhadap sumber daya tumbuhan yang diindikasikan dari kemampuan mengidentifikasi sebanyak 234 spesies tumbuhan serta pengetahuan dalam pemanfaatannya. Mereka telah mengelompokkan kategori kegunaan sebagai bahan makanan utama, makanan tambahan, bahan bangunan dan konstruksi, bahan obat-obatan dan bahan ritual. Tingkat pengetahuan etnobotani masyarakat berada pada level sedang dan terjadi perubahan tahunan yang bersifat negatif. Artinya telah terjadi penurunan tingkat pengetahuan pada generasi muda sehingga perlu diupayakan peningkatan yang signifikan. Hasil valuasi ekonomi tumbuhan menunjukkan bahwa keanekaragaman jenis tumbuhan memiliki peran yang penting, sehingga pilihan pengembangannya haruslah untuk jangka panjang, bukan jangka pendek short terms benefits. 3. Masyarakat Kerinci memiliki pengetahuan yang baik terhadap sumberdaya alam lingkungannya. Hal ini dimanifestasikan oleh pengetahuan etnoekologi mereka. Etnoekologi mereka tergambar dari pengenalan dan pemanfaatan satuan lingkungan dan proses adaptasi dan strategi dalam pengelolaan sumberdaya lahan dengan memperhatikan aspek ketinggian tempat dan topografi kawasan yang mereka kelola. Dalam pengelolaan sistem satuan lingkungan pelak terbukti mereka telah menerapkan konsep Tri Stimulus Amar Konservasi yaitu stimulus alami, stimulus manfaat dan stimulus rela 4. Masyarakat Kerinci juga memiliki pengetahuan yang cukup baik terhadap sumber daya hewan yang diindikasikan dari pengenalan dan pemanfaatan sebanyak 89 spesies hewan untuk keperluan bahan pangan protein hewani, bahan obat dan bahan ritual. 5. Pengetahuan etnobiologi yang dimiliki masyarakat Kerinci telah menjadikan mereka mandiri dalam hal pemenuhan kebutuhan sehari-hari terutama bahan pangan dan bahan obat-obatan. Hal ini harus dapat dipertahankan dengan jalan pengetahuan etnobiologi ini menjadi sesuatu yang diintegrasikan ke dalam suatu kebijakan sehingga dapat menjamin kelestarian sumberdaya alam hayati dan ekosistem di Taman Nasional Kerinci Seblat dan sekaligus dapat meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat yang berada di sekitarnya.

7.2. Saran

Saran dari penelitian ini adalah : 1. Kepada pemerintah : Agar etnobiologi masyarakat Kerinci dalam mendukung integrasi konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistem Kerinci Seblat dapat tercapai diperlukan prasyarat yang dapat mendukungnya. Salah satu prasyarat tersebut adalah revisi peraturan Undang-undang No 5 Tahun 1990 dan UU No 18 Tahun 2013 Pasal 11 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.