Keadaan iklim Integrasi Etnobiologi Masyarakat Kerinci Dalam Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya

Berdasarkan proses pembentukan tanah dan faktor-faktor yang mempengaruhi jenis tanah, maka jenis tanah yang mendominasi wilayah Kerinci adalah latosol, podsolik dan andosol. Tanah latosol umumnya terdapat pada dataran rendah memiliki ciri teksturnya halus, gambur dan tingkat kesuburan sedang, jenis podsolik merupakan jenis tanah yang masam, bergumpal dengan tingkat kesuburannya rendah sampai sangat rendah. Sedangkan jenis tanah andosol adalah jenis tanah yang gembur, remah, kandungan bahan organiknya tinggi sehingga tingkat kesuburannya tinggi. Jenis tanah ini memiliki sifat remah, mendominasi kawasan Kerinci yang berada pada dataran tinggi. Aumeeruddy dan Bakels 1994 menyebutkan bahwa Kerinci memiliki jenis tanah yang bervariasi antara lain tanah vulkanis yang sangat subur, tanah-tanah gunung pada lereng yang landai, banyak mengandung inseptisol dan ultisol yang relatif tidak subur, dengan lapisan tipis tanah yang subur namun mudah tererosi, serta tanah dengan batuan vulkanik asam di sekitar lembah Merangin dan tanah endapan di dasar lembah. Tabel 2.5 berikut merupakan penyebaran jenis tanah dan luas wilayahnya di Kabupaten Kerinci. Tabel 2.5 Luas wilayah menurut jenis tanah wilayah Kerinci Jenis tanah Luas Ha Persentase Andosol 267 683 70.29 Latosol 65 229 17.13 Podsolik 27 296 7.17 Alluvial 5 062 1.33 Komplek podsolik, latosol , litosol 12 975 3.41 Komplek latosol-litosol 2 605 0.68 Jumlah 380 850 100.00 Sumber Badan Pertanahan Nasional Kerinci, 2012

2.3.3 Lingkungan Biologi

1 Tumbuhan Lingkungan biologi yang terdapat pada lokasi penelitian terdiri dari vegetasi dan satwa. Tipe vegetasi dapat dilihat dari tipe hutan pada masing-masing lokasi. Secara umum tipe vegetasi hutan adalah sama dengan tipe hutan pada Taman Nasional Kerinci Seblat yaitu tipe hutan pegunungan dan tipe hutan dataran rendah. Pada tipe hutan pegunungan bawah 1 400 - 1 900 m dpl ruang terbuka lebih banyak dibandingkan hutan dataran tinggi, sebaliknya lumut dan jenis -jenis epifit meningkat berkorelasi dengan naiknya kelembaban udara. Dalam kawasan TNKS terdapat lebih dari 4 000 spesies tumbuhan baik yang berbentuk pohon, perdu maupun terna, termasuk 300 spesies anggrek. Di beberapa lokasi tumbuh spesies-spesies pohon khas yang hanya terdapat di daerah Kerinci antara lain; kayu sigi atau pinus Kerinci Pinus merkusii strain Kerinci dan kayu pacat Harpulia arborea. Spesies tumbuhan khas lain di antaranya pembuluh Histiopteris incisca, bunga bangkai Amorphophalus titanum, dan bunga raflesia Rafflesia arnoldi. Hasil p enelitian Biological Science Club BScC tahun 1993 menyebutkan d i perbatasan TNKS tumbuh setidaknya 115 jenis tumbuhan obat yang digunakan untuk obat tradisional, kosmetik, bumbu dan obat anti nyamuk WARSI 2001. Spesies-spesiesnya antara lain Lithocarphus pallidis, Euginea sp., Quercus sp., menempati tajuk bagian atas. Sedangkan semak-semaknya didominasi famili Myrsinaceae, Rubiaceae, dan Euphorbiaceae. Pada tipe hutan pegunungan 900 - 2 400 m dpl, proporsi tumbuhan microphylous meningkat dan kerapatan hutan berkurang. Pada ketinggian ini masih dijumpai Podocarpus dengan tinggi 25 m, sedangkan lumut-lumut tampak semakin tebal dan epifit semakin banyak. Pada tipe hutan pegunungan atas 2 400 m dpl, umumnya sangat lembab dan berkabut, sehingga lumut semakin melimpah BBTNKS 2014. 2 Fauna Fauna yang terdapat di lokasi penelitian antara lain mamalia besar seperti harimau sumatera Panthera tigris sumatrae, beruang Helarctos malayanus, macan dahan Neofelis nebulosa, tapir Tapirus indicus, kambing hutan sumatera Capricornis sumatraensis, babi hutan Sus scrofa, landak Hystrix brachyura, kancil Tragulus javanicus. Sedangkan jenis-jenis primata seperti simpai Presbytis malalophos, monyet ekor panjang Macaca fascicularis, dan siamang Hylobates syndactylus. Di samping itu sudah tercatat 352 jenis burung 49 famili diantaranya 12 jenis endemik seperti tiung sumatera Cochoa becari, puyuh gonggong Arborophila rubirostris, burung celepuk Otus stresemanni, burung abang pipi Lapohra inornata, bentet kelabu Lanius schach, meninting kecil Enicurus velatus, berkecet biru tua Cinclidium diana, cingcoang biru Brachypteryx leucophrys, kerak kerbau Acridotheres javanicus, cabai merah Dicaeum cruentatum, cekakak belukar Halcyon coromanda dan cica daun sayap biru Chloropsis chocinchinensis WARSI 2001.

2.3.4 Kondisi Sosio-budaya Masyarakat Kerinci

1 Sejarah dan Asal-Usul Masyarakat Kerinci Menurut Yakin 1986 ada 4 pendapat tentang asal-usul nama Kerinci. Pendapat pertama menyebutkan bahwa seorang tokoh bernama Datuk Paduko Berhalo yang tinggal di tepi danau Kerinci sekarang menjadi Desa Sanggaran Agung kehilangan sebuah kunci yang jatuh ke dalam sungai dan bersusah payah akhirnya mendapatkan kembali kuncinya sehingga beliau menamakan sungai tersebut dengan batang kunci yang kemudian populer menjadi batang kerinci batang = sungai. Pendapat kedua menyebutkan bahwa kerinci berasal dari bahasa Sunda “kering” dan “ci” yang berarti sungai kering, dari “keringci” kemudian berubah menjadi “kerinci”. Pendapat ketiga menyebutkan karena daerah Kerinci terletak pada dataran tinggi yang dilingkungi Bukit Barisan , di musim panas “kering” dan di musim hujan “cair” sehingga menjadi “kering cair” yang kemudian berubah menjadi “kerinci”. Pendapat keempat menyatakan bahwa sesuai dengan keadaan alamnya yang dipagari oleh bukit-bukit yang berderet dari utara ke selatan dengan puncak yang menjulang tinggi disertai dengan hutan yang lebat menyebabkan daerah ini sukar dilalui manusia sehingga menyebabkan daerah ini terkurung, keluar tidak bisa, masuk amat sulit seperti “terkunci”, yang akhirnya menjadi kata “kerinci”. Zakaria et al. 2012 menyatakan bahwa asal-usul masyarakat suku asli Kerinci ada beberapa pendapat. Pendapat pertama menyatakan bahwa masyarakat suku asli Kerinci berasal dari Hindia Belakang Asia Tenggara dan Mongolia, yang datang bersamaan dengan bangsa-bangsa yang menyebar ke seluruh pelosok