Hasil dan Pembahasan Analisis Tingkat Perkembangan Wilayah

6.3. Hasil dan Pembahasan Analisis Tingkat Perkembangan Wilayah

Kabupaten Situbondo 6.3.1. Tipologi Wilayah Kabupaten Situbondo Berdasarkan hasil analisis tipologi wilayah, 5 lima kecamatan yang merupakan basis peternakan sapi potong di wilayah Kabupaten Situbondo termasuk dalam strata Pra KawasanAgropolitan II, seperti terlihat pada Lampiran 4. Status pra kawasan agropolitan II pada lima kecamatan di Kabupaten Situbondo memberikan gambaran bahwa secara umum masih banyak variabel-variabel sebagai indikator penilaian untuk meningkatkan strata kawasan menuju strata kawasan agropolitan belum terpenuhi secara lengkap. Khusus yang berkaitan variabel komoditas unggulan, jika dikaitkan dengan hasil analisis komoditas unggulan dan andalan, terlihat bahwa hanya tanaman tebu yang mengalami proses pengolahan di Pabrik Gula Asembagus menjadi gula, sedangkan tanaman padi, jagung, dan ternak tidak mengalami proses pengolahan di wilayah tersebut. Peternak langsung menjual ternaknya ke pasar hewan atau ke pedagang ternak, demikian juga petani langsung menjual padi dan jagung ke pasar dan toko. Kelembagaan serta sarana dan prasarana umum yang ada, seperti: pendidikan, kesehatan, sarana dan prasarana sosial lainnya, serta sarana agribisnis masih terlihat agak minim. Dilihat dari kelengkapan Lembaga Penyuluh PertanianPeternakan BPP, seluruh kecamatan telah memiliki BPP. Tipologi wilayah Kabupaten Situbondo termasuk Pra Kawasan Agropolitan II yang menggambarkan tingkat perkembangan wilayah untuk pengembangan kawasan agropolitan, masih didasarkan pada variabel-variabel yang bersifat umum sebagaimana yang ditetapkan oleh Departemen Pertanian pada Tahun 2002. Untuk mengetahui tingkat perkembangan wilayah dalam pengembangan kawasan agropolitan masih banyak faktor-faktor pendukung lain yang bersifat spesifik yang menggambarkan variabilitas kawasan yang dapat dijadikan sebagai indikator penilaian. Analisis tipologi kawasan yang didasarkan pada variabel-variabel yang lebih spesifik dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan principle component analysis PCA atau lebih dikenal dengan analisis komponen utama AKU. Dalam penelitian ini, varibel-variabel terpilih yang dianalisis dengan menggunakan teknik PCA antara lain: jumlah penduduk jiwa, jarak kecamatan ke kabupaten km, jumlah kepala keluarga KK, sarana dan prasarana umum unit, sarana dan prasarana agribisnis unit, jumlah komoditas peternakan jenis, keluarga pemakai PLN KK, desa terpencilpotensi rendah desa, jumlah keluarga pra sejahtera jiwa, jumlah keluarga sejahtera jiwa, produksi tanaman pangan kw, populasi sapi potong ekor, populasi domba ekor, populasi kambing ekor, populasi ayam buras ekor, populasi itik ekor. Keragaman setiap variabel dapat dilihat pada Tabel 37. Tabel 37 Keragaman variabel yang menggambarkan perkembangan wilayah Kabupaten Situbondo No Variabel Asembagus Jangkar Arjasa Kapongan Mangaran 1. Jumlah penduduk jiwa 48 960 36 082 40 032 36 583 30 556 2. Jarak kecamatan ke Kabupaten km 26 28 15 7 6 3. Jumlah kepala keluarga KK 16 038 13 234 13 236 14 040 11 481 4. Sarana dan prasarana umum unit 28 296 36 359 18 672 20 417 16 642 5. Sarana dan prasarana agribisnis unit 866 952 410 621 498 6. Jumlah komoditas peternakan jenis 6 5 6 7 5 7. Keluarga pemakai PLN 16 038 13 234 13 236 14 040 11 481 8. Desa terpencilpotensi rendah desa 2 7 7 5 9. Jumlah keluarga pra sejahtera jiwa 5 237 5 479 5 678 2 963 3 693 10. Jumlah keluarga sejahtera jiwa 11 143 7 179 7 225 9 923 7 680 11. Produksi tanaman pangan kw 278 577 412 054 538 623 290 408 263 305 12. Populasi sapi potong ekor 10 806 26 129 12 749 12 528 7 052 13. Populasi domba ekor 4 836 6 845 5 785 8 940 6 302 14. Populasi kambing ekor 1 737 1 613 2 752 4 450 3 856 15. Populasi ayam buras ekor 38 343 37 332 22 429 58 010 48 438 16. Populasi i t i k ekor 1 722 2 184 2 753 5 253 2 529 Sumber: Bappekab dan BPS Situbondo, 2008 Hasil analisis komponen utama Lampiran 5 dan Tabel 37, menunjukkan bahwa setiap variabel memberikan pengaruh yang berbeda-beda antara satu variabel dengan variabel lainnya yang menggambarkan keragaman tipologi wilayah di Kabupaten Situbondo. Namun demikian, keragaman tipologi wilayah yang disebabkan oleh keseluruhan variabel yang dianalisis dapat disederhanakan menjadi kelompok variabel yang lebih kecil yang dapat menggambarkan keseluruhan informasi yang terkandung dalam semua variabel. Dengan berpedoman pada total persentase kumulatif sebagaimana ditetapkan oleh Iriawan dan Astuti 2006, yaitu sebesar 80 – 90 , maka dari 16 variabel yang dianalisis, dapat disederhanakan menjadi 7 variabel yang menyebar dalam 3 komponen utama PC, yaitu komponen utama 1 PC 1, komponen utama 2 PC 2, dan komponen utama 3 PC 3 dengan nilai proporsi eigenvalue masing-masing: 43.6 , 31.3 , dan 14.8 atau persentase kumulatifnya menjadi 89,7 . Hasil analisis komponen utama dapat dilihat pada Lampiran 5. Adapun variabel-variabel dari ketiga komponen utama PC 1, PC 2, dan PC 3 hasil penyederhanaan variabel meliputi: populasi kambing, jarak kecamatan ke kabupaten, jumlah keluarga pra sejahtera, jumlah keluarga sejahtera, jumlah kepala keluarga, populasi sapi potong, sarana dan prasarana agribisnis, sarana dan prasarana umum. Hal ini berarti ketujuh variabel tersebut di atas dapat menjelaskan variabilitas keenambelas variabel yang berpengaruh terhadap tipologi wilayah di Kabupaten Situbondo atau dengan kata lain ketujuh variabel baru hasil analisis komponen utama dapat menjelaskan sekitar 89.7 dari total variabilitas variabel. Adanya perbedaan tipologi wilayah terhadap kecamatan di Kabupaten Situbondo sangat dipengaruhi oleh keragaman variabel-variabel spesifik yang dimiliki setiap desa pada setiap kecamatan. Namun demikian, keragaman setiap variabel pada setiap desa dapat dikelompokkan menjadi kelompok variabel yang lebih kecil dan homogen berdasarkan kemiripan setiap variabel yang dimiliki oleh setiap desa. Untuk mengelompokkan desa-desa yang memiliki kemiripan berdasarkan keragaman variabel, dapat dilakukan dengan analisis cluster. Tujuan dilakukan analisis cluster terhadap desa-desa di kecamatan wilayah Kabupaten Situbondo adalah untuk memaksimumkan keragaman antar kelompok desa dan meminimumkan dalam kelompok desa. Dalam analisis cluster ini, ada 42 desa di lima 5 kecamatan wilayah studi masing-masing, yaitu: Kecamatan Asembagus 10 desa, Kecamatan Jangkar 8 desa, Kecamatan Arjasa 8 desa, Kecamatan Kapongan 10 desa, dan Kecamatan Mangaran 6 desa. Karakteristik variabel setiap desa di lima kecamatan di Kabupaten Situbondo seperti pada Lampiran 6 dan hasil analisis cluster dapat dilihat pada Gambar 11. Hasil analisis cluster terhadap 42 desakelurahan di lima kecamatan dalam wilayah kabupaten Situbondo memperlihatkan bahwa secara keseluruhan desakelurahan dapat dilekompokkan dalam empat 4 cluster empat tipologi berdasarkan kemiripan karakteristik wilayah yang dimiliki yaitu tipologi I, II, III, dan IV. Adapun keempat cluster tersebut seperti terlihat pada Gambar 11. Gambar 11. Dendrogram koefisien korelasi beberapa variabel penciri tipologi desa di lima kecamatan di Kabupaten Situbondo Pada Gambar 11, terlihat bahwa kelompok desa yang termasuk dalam tipologi I meliputi 19 desa yaitu Desa Mojosari, Ketowan, Arjasa, Kedung Dowo, Perante, Semiring, Kertosari, Awar-Awar, Kesambi Rampak, Gebangan, Pokaan, Variables S im ila ri ty Ku m ba ng sa ri A ge l So pe t M an ga ra n Ja ng ka r Pa sa n g ra ha n Pa la ng an C u r ah K al ak ka p on ga n La nd an g a n C u ra h C o to k Ba ye m an G ud an g G ad in g a n La m on g a n A se m b a gu s Tr ig o n co Tr em b un ga n Ta nj u n g K am al Ba n t al C u ra h T at al Ja tis ar i Ke d u n gl o Ta nj u ng G lu g u r P el ey an Ka n d an g Ka y u m as W rin gi n A no m S el et re n g W o n o ko y o Ta n j un g P ec in aa n Po k a an G eb an ga n Ke sa m bi R am pa k A w ar -A w ar Ke rt o sa ri Se m iri ng Pe ra n t e Ke du n g do w o A rj as a Ke to w an M oj o sa ri 97,42 98,28 99,14 100,00 Dendrogram with Average Linkage and Correlation Coefficient Distance Tanjung Pecinan, Wonokoyo, Seletreng, Wringin Anom, Kayumas, Kandang, Peleyan, dan Tanjung Glugur dengan nilai koefisien korelasi 99,77 . Kelompok desa yang termasuk dalam tipologi II meliputi 6 desa yaitu Desa Kedunglo, Kedungsari, Curah Tatal, Bantal, Tanjung Kamal, dan Trebungan, dengan nilai koefisien korelasi sebesar 98,68 – 99,57 . Kelompok desa yang termasuk ke dalam tipologi III meliputi 14 desa yaitu Desa Trigonco, Asembagus, Lamongan, Gadingan, Gudang, Bayeman, Curah Cotok, Landangan, Kapongan, Curah Kalak, Palangan, Pasangrahan, Jangkar, dan Mangaran, dengan koefisien korelasi 99.57 – 99.77 . Sementara kelompok desa yang termasuk dalam tipologi IV meliputi 3 desa yaitu Desa Sopet, Agel, dan Desa Kumbangsari dengan koefisien korelasi sebesar 98,68 . Adapun keseragaman karakteristik setiap desa pada setiap kelompok tipologi secara rinci disajikan pada Tabel 38. Tabel 38 Tipologi wilayah desa pada lima kecamatan di wilayah Kabupaten Situbondo berdasarkan kemiripan karakteristiknya Tipologi Kelompok Desa Karakteristik Tipologi I Desa Mojosari, Ketowan, Arjasa, Kedung Dowo, Perante, Semiring, Kertosari, Awar-Awar, Kesambi Rampak, Gebangan, Pokaan, Tanjung Pecinan, Wonokoyo, Seletreng, Wringin Anom, Kayumas, Kandang, Peleyan, dan Tanjung Glugur Luas desa relatif agak luas, jumlah penduduk relatif banyak, jumlah KK pemakai PLN relatif banyak, sapras umum dan agribisnis relatif agak lengkap, persentase KK peternakan relatif tinggi, jarak ke ibu kekota kecamatan relatif agak jauh, dan jarak ke ibu kota kabupaten relatif sangat jauh. Tipologi II Desa Kedunglo, Kedungsari, Curah Tatal, Bantal, Tanjung Luas desa relatif luas, jumlah penduduk relatif banyak, jumlah KK pemakai PLN relatif banyak, sapras umum dan agribisnis relatif agak lengkap, persentase KK peternakan relatif tinggi, jarak ke ibu ke Kamal, dan Trebungan kota kecamatan relatif agak jauh, dan jarak ke ibu kota kabupaten relatif jauh. Tipologi III Desa Trigonco, Asembagus, Lamongan, Gadingan, Gudang, Bayeman, Curah Cotok, Landangan, Kapongan, Curah Kalak, Palangan, Pasangrahan, Jangkar, dan Mangaran Luas desa relatif kecil, jumlah penduduk relatif agak banyak, jumlah KK pemakai PLN relatif banyak, jumlah sapras umum relative agak banyak, jumlah sapras agribisnis relatif lengkap, persentase KK peternakan relatif tinggi, jarak ke ibu kekota kecamatan relatif dekat, dan jarak ke ibu kota kabupaten relatif sangat jauh. Tipologi IV Desa Sopet, Agel, dan Kumbangsari Luas desa relatif agak luas, jumlah penduduk relatif agak banyak, jumlah KK pemakai PLN relatif banyak, sapras umum relatif agak lengkap dan sapras agribisnis relatif lengkap, persentase KK peternakan relatif tinggi, jarak ke ibu kekota kecamatan relatif agak jauh, dan jarak ke ibu kota kabupaten relatif jauh. Sumber: Data diolah dari Data Sekunder Profil Kabupaten Situbondo, 2008; Profil Kecamatan Asembagus, Jangkar, Arjasa, Kapongan, dan Mangaran, 2008.

6.3.2. Perkembangan Wilayah Berdasarkan Kelengkapan Fasilitas

Tingkat perkembangan wilayah Kabupaten Situbondo sangat berhubungan dengan potensi yang dimiliki baik potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia, maupun kelengkapan fasilitas yang dimiliki. Dilihat dari potensi sumberdaya manusia, wilayah ini memiliki jumlah penduduk yang besar. Dari lima kecamatan yang ditetapkan sebagai pengembangan kawasan agropolitan berbasis peternakan di Kabupaten Situbondo telah memiliki jumlah penduduk sekitar 192 213 jiwa Bappekab dan BPS Kab. Situbondo 2008. Jumlah penduduk yang besar ini telah memenuhi syarat untuk ditetapkan sebagai satu kawasan pengembangan kawasan agropolitan Friedmann dan Douglass 1976. Namun permasalahan yang dihadapi adalah bahwa kualitas sumberdaya manusia di wilayah ini masih tergolong agak rendah, mereka peternak pada umumnya lulusan Sekolah Dasar SD dan hanya sebagian kecil yang dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi baik pada tingkat Sekolah Lanjutan Pertama SLP, Sekolah Lanjutan Atas SLA maupun melanjutkan pendidikan di Perguruan Tinggi. Agak rendahnya kualitas sumberdaya manusia di wilayah ini, disebabkan lebih tiga puluh tahun yang lalu wilayah ini sarana pendidikan terutama sarana pendidikan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi setelah sekolah dasar masih minim. Hal ini mengakibatkan masyarakat untuk mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi menjadi sulit. Potensi sumberdaya alam di wilayah Kabupaten Situbondo, sektor pertanian dan sub sektor peternakan merupakan tulang punggung penggerak perekonomian di wilayah ini. Kedua sektor ini sebagai sumber konsumsi masyarakat dan penghasilan, penyedia lapangan kerja sebagian besar masyarakat, serta sebagai penghasil nilai tambah dan devisa daerah. Dari keseluruhan penduduk wilayah Kabupaten Situbondo, sekitar 70 – 80 masyarakatnya adalah keluarga petani dan peternak. Masyarakat pada umumnya menggantungkan hidup dan keluarganya dari kegiatan ini. Beternak mereka lakukan sebagai usaha tambahan dan tabungan serta mengisi waktu kekosongan di sela-sela usahatani. Usaha ternak pada umumnya dilakukan secara semi intensif, sehingga tidak terlalu banyak memerlukan waktu dalam pemeliharaannya dan usahaternak bisa dilakukan di sela waktu-waktu kosong dalam kegiatan usahatani. Kelengkapan fasilitas yang dimiliki oleh wilayah Kabupaten Situbondo cukup beragam, dari fasilitas yang minim sampai fasilitas yang lebih lengkap yang menyebar pada setiap desa. Untuk mengetahui tingkat perkembangan kawasan pengembangan agropolitan berbasis peternakan di Kabupaten Situbondo dapat dilakukan dengan menggunakan analisis skalogram. Dalam analisis skalogram, akan dihasilkan hierarki wilayah berdasarkan kelengkapan fasilitas yang dimiliki, dimana hierarki wilayah yang paling tinggi ditentukan oleh semakin banyaknya jenis dan jumlah fasilitas yang dimiliki dan demikian sebaliknya, semakin sedikit fasilitas yang dimiliki terutama dari segi jenis fasilitas, menggambarkan semakin rendahnya hierarkhi wilayah. Untuk mengetahui tingkat perkembangan wilayah Kabupaten Situbondo dalam rangka pengembangan kawasan agropolitan berbasis peternakan berdasarkan kelengkapan fasilitas dilakukan analisis skalogram dan analisis sentralitas. Dalam analisis skalogram, seluruh fasilitas yang telah didata disusun dalam satu tabel dimana unit fasilitas yang lebih lengkap tinggi disusun pada bagian tabel teratas dan selanjutnya disusul oleh fasilitas yang jumlah unitnya lebih rendah sedikit. Hierarkhi wilayah yang paling tinggi adalah wilayah yang memiliki jenis dan jumlah fasilitas yang lebih banyak, sebaliknya semakin sedikit fasilitas yang dimiliki menggambarkan semakin rendahnya hierarkhi wilayah tersebut. Sementara analisis sentralitas dilakukan untuk mengelompokkan tingkat perkembangan wilayah berdasarkan kelengkapan fasilitas dilihat dari nilai indeks fasilitas. Kelompok I adalah wilayah dengan tingkat perkembangan lebih tinggi maju dengan nilai indeks sentralitas lebih besar atau sama dengan rata-rata ditambah dua 2 kali standar deviasi. Kelompok II adalah wilayah dengan tingkat perkembangan sedang dengan nilai indeks sentralitas berada diantara nilai rata-rata fasilitas sampai rata-rata ditambah dua 2 kali standar deviasi. Kelompok III adalah wilayah dengan tingkat perkembangan rendah dengan nilai indeks sentralitas lebih kecil dari nilai rata-rata fasilitas. Analisis skalogram dan sentralitas dilakukan dalam wilayah Kabupaten Situbondo yang terdiri atas lima 5 kecamatan yaitu Kecamatan Asembagus, Kecamatan Jangkar, Kecamatan Arjasa, Kecamatan Kapongan, dan Kecamatan Mangaran. Lima kecamatan tersebut ditentukan secara purposive sampling dengan pertimbangan kecamatan tersebut merupakan basis pengambangan peternakan terutama peternakan sapi potong. Kecamatan Asembagus terdiri atas 9 desakelurahan, Kecamatan Jangkar 8 desakelurahan, Kecamatan Arjasa 8 desakelurahan, Kecamatan Kapongan 10 desakelurahan, dan Kecamatan Mangaran 6 desakelurahan. Adapun desa-desa di lima kecamatan tersebut secara rinci disajikan seperti pada Tabel 39. Fasilitas-fasilitas yang dapat dikaji untuk mengetahui tingkat perkembangan wilayah meliputi fasilitas pendidikan, fasilitas kesehatan, dan fasilitas sosial, serta fasilitas penunjang lainnya seperti fasilitas pendukung agribisnis. Hierarkhi wilayah desa tertinggi di Kecamatan Asembagus adalah Desa Asembagus dan paling rendah adalah Desa Kedunglo, Kecamatan Jangkar, hierarkhi desa tertinggi adalah Desa Jangkar dan terendah adalah Desa Gadingan, Kecamatan Arjasa hierarkhi desa tertinggi adalah Desa Lamongan dan terendah Bayeman, Kecamatan Kapongan hierarkhi desa tertinggi adalah Desa Kesambirampak dan terendah Desa Kandang, dan Kecamatan Mangaran hierarkhi desa tertinggi adalah Desa Mangaran dan terendah Desa Tanjung Kamal. Tingkat perkembangan wilayah desa secara keseluruhan di 5 lima kecamatan basis peternakan di Kabupaten Situbondo adalah, Desa Asembagus di kecamatan Asembagus menduduki hierarkhi tertinggi dan terendah adalah Desa Bayeman di Kecamatan Arjasa. Adapun Hierarkhi wilayah desa berdasarkan hasil analisis skalogram pada lima kecamatan basis peternakan di Kabupaten Situbondo seperti terlihat pada Tabel 33. Hasil analisis skalogram pada Tabel 39 menunjukkan bahwa desa yang menduduki hierarkhi wilayah tertinggi berdasarkan kelengkapan jenis fasilitas yang dimiliki adalah Desa Asembagus dengan jumlah jenis fasilitas sebanyak 107 jenis dan jumlah unit sebanyak 3 678 unit. Desa Asembagus terletak di ibukota kecamatan Asembagus, merupakan desa yang paling berkembang dibandingkan dengan desa- desa lainnya. Hal ini dicirikan dari kelengkapan fasilitas yang dimiliki baik fasilitas umum maupun fasilitas pendukung, seperti fasilitas pendidikan, kesehatan, transportasi, telekomunikasi, lembaga keuangan, lembaga pertanian, dan fasilitas sosial serta fasilitas pendukung agribisnis. Fasilitas pendidikan tersedia cukup lengkap mulai dari dari Sekolah Taman Kanak-Kanak TK sampai Sekolah Menengah Atas SMA baik negeri maupun swasta termasuk pondok pesantren. Fasilitas kesehatan juga tersedia cukup lengkap, di desa ini telah mempunyai fasilitas kesehatan seperti Puskesmas, tempat praktek dokter, mantri dan bidan, posyandu, poliklinik desa, apotik dan toko obat. Fasilitas sosial dan kelembagaan juga sudah tersedia seperti sarana ibadah, baik agama Islam, Kristen, dan Katolik, majelis taklim dan yayasan kematian, lembaga perbankan, kantor pos, dan lembaga penyuluh pertanian. Desa Asembagus lebih berkembang dibandingkan dengan desa-desa lainnya, hal ini disebabkan oleh adanya keberadaan agroindustri yang cukup besar dan menonjol yaitu Pabrik Gula Asembagus yang mulai beroperasi sejak zaman penjajahan Belanda sampai dengan sekarang. Keberadaan Pabrik Gula Asembagus ini telah mempercepat pertumbuhan kawasan ini dan perkembangan fasilitas umum serta fasilitas pendukung lainnya, seperti: pendidikan, kesehatan, transportasi, telekomunikasi, lembaga keuangan, lembaga pertanian, dan fasilitas sosial serta fasilitas pendukung agribisnis. Hierarkhi wilayah desa yang kedua adalah Desa Trigonco yang terletak di Kecamatan Asembagus dan bersebelahanberdampingan dengan Desa Asembagus. Dilihat dari kelengkapan fasilitas yang dimiliki, perkembangan wilayah desa ini tidak terlalu jauh dibandingkan dengan Desa Asembagus, yaitu jumlah fasilitas sebanyak 105 jenis dan jumlah unit fasilitas adalah sebanyak 4 311 unit. Keberadaan Pabrik Gula Asembagus yang terletak di Desa Asembagus dan tidak terlalu jauh letaknya dengan Desa Trigonco telah membantu perkembangan wilayah Desa Trigonco lebih pesat. Banyak penduduk yang bermukim di desa ini adalah karyawan dari perusahaaan ini, sehingga efek keberadaan Pabrik Gula Asembagus sangat dirasakan oleh penduduk sekitar. Fasilitas yang dimiliki baik fasilitas umum maupun fasilitas pendukung, seperti fasilitas pendidikan, kesehatan, transportasi, telekomunikasi, lembaga keuangan, lembaga pertanian, dan fasilitas sosial serta fasilitas pendukung agribisnis juga terdapat di Desa Trigonco. Fasilitas pendidikan tersedia cukup lengkap mulai dari Sekolah Taman Kanak-Kanak TK sampai Sekolah Menengah Atas SMA baik negeri maupun swasta termasuk pondok pesantren. Fasilitas kesehatan juga tersedia cukup lengkap, di desa ini telah mempunyai fasilitas kesehatan seperti Puskesmas, tempat praktek dokter, mantri dan bidan, posyandu, poliklinik desa, apotik dan toko obat. Fasilitas sosial dan kelembagaan juga sudah tersedia seperti sarana ibadah, baik agama Islam, Kristen, dan Katolik, majelis taklim dan yayasan kematian, lembaga perbankan, kantor pos, dan lembaga penyuluh pertanian. Hierarkhi wilayah desa paling rendah adalah Desa Bayeman di Kecamatan Arjasa. Jumlah penduduk yang bermukin di Desa Bayeman adalah 1 755 jiwa dengan kepadatan penduduk sekitar 111 jiwakm 2 No. , jumlah jenis fasilitas yang dimiliki sekitar 70 jenis dan jumlah unit fasilitas sebanyak 1 272 unit merupakan jumlah yang rendah jika dibandingkan dengan desa-desa lainnya. Di Desa Bayeman hanya memiliki fasilitas pendidikan berupa Sekolah Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, dan Sekolah Menengah Pertama, masing-masing 1 satu sekolah, sedangkan fasilitas pendidikan lainnya belum tersedia. Demikian pula fasilitas kesehatan, yang ada hanya Puskesmas Pembantu dengan tempat praktek paramedis yang dipunyai hanya 1 satu mantri kesehatan, sehingga jika ada masyarakat yang sakit keras sangat sulit untuk mendapat pelayanan kesehatan yang memadai. Fasilitas sosial, keagamaan, dan kelembagaan juga masih minim, lembaga perbankan juga belum tersedia. Tabel 39 Hierarkhi wilayah desa di lima kecamatan basis peternakan di Kabupaten Situbondo berdasarkan kelengkapan fasilitas Kecamatan Desa Jumlah Penduduk Jumlah Jenis Jumlah Unit Hierarkhi Kecamatan Hierarkhi Keseluruhan 1. Asembagus Asembagus 6 878 107 3678 1 1 2. Asembagus Trigonco 5 909 105 4 311 2 2 3. Asembagus Gudang 4 641 96 3 292 3 5 4. Asembagus Perante 4 139 89 2 539 4 13 5. Asembagus Awar-Awar 3 898 89 2 091 5 15 6. Asembagus Bantal 5 067 86 1 914 6 20 7. Asembagus WringinAnom 5 604 84 2 589 7 23 8. Asembagus Mojosari 3 798 83 2 245 8 26 9. Asembagus Kertosari 4 726 80 2 534 9 30 10. Asembagus Kedung Lo 4 300 72 1 543 10 41 11. Jangkar Jangkar 8 160 104 6 925 1 3 12. Jangkar Curah Kalak 2 756 90 2 779 2 10 13. Jangkar Agel 4 180 88 4 725 3 16 14. Jangkar Palangan 4 912 85 4 617 4 21 15. Jangkar Sopet 8 549 83 9 913 5 25 16. Jangkar Pesanggrahan 2 550 80 2 309 6 31 17. Jangkar Kumbangsari 2 947 77 3 520 7 33 18. Jangkar Gadingan 2 028 72 1 571 8 40 19. Arjasa Lamongan 3 580 85 2 553 1 22 20. Arjasa Arjasa 4 157 84 2 425 2 24 21. Arjasa Ketowan 4 951 80 2 918 3 29 22. Arjasa Kedungdowo 3 248 79 1 929 4 32 23. Arjasa Curah Tatal 7 631 76 1 845 5 35 24. Arjasa Kayumas 6 026 74 2 974 6 37 25. Arjasa Jatisari 8 684 73 2 756 7 38 26. Arjasa Bayeman 1 755 70 1 272 8 42 27. Kapongan K. Rampak 4 793 95 2 518 1 6 28. Kapongan Seletreng 7 483 93 4 420 2 7 29. Kapongan Peleyan 3 125 92 1 611 3 9 30. Kapongan Kapongan 1 898 90 1 474 4 12 31. Kapongan Landangan 2 767 89 2 280 5 14 32. Kapongan Pokaan 4 593 82 2 654 6 27 33. Kapongan Gebangan 4 071 82 2291 7 28 34. Kapongan Curah Cotok 1 558 77 1 140 8 34 35. Kapongan Wonokoyo 2 722 75 1 757 9 36 36. Kapongan Kandang 3 573 73 1 722 10 39 37. Mangaran Mangaran 4 384 104 3 821 1 4 38. Mangaran Trebungan 6 463 92 2 819 2 8 39. Mangaran Semiring 3 376 90 2 095 3 11 40. Mangaran Tjg. Pecinan 6 412 87 3 477 4 17 41. Mangaran Tjg. Glugur 3 788 87 1 959 5 18 42. Mangaran Tjg. Kamal 6 133 86 2 471 6 19 Selanjutnya untuk mengelompokkan hierarkhi wilayah desa dapat dilakukan dengan analisis sentralitas. Dalam analisis sentralitas, parameter yang diukur adalah kelengkapan fasilitas yang dimiliki setiap desa. Hasil analisis ini akan menggambarkan tingkat perkembangan desa yang dapat dibagi atas tiga kelompok yaitu : a. Kelompok I adalah adalah desa dengan tingkat perkembangan tinggi maju yaitu apabila memiliki nilai indeks sentralitas jenis fasilitas sebesar nilai rata-rata + 2 kali standar deviasi. b. Kelompok II adalah desa dengan tingkat perkembangan sedang yaitu apabila memiliki nilai indeks sentralitas jenis fasilitas sebesar nilai rata-rata sampai rata- rata + 2 kali standar deviasi c. Kelompok III adalah desa dengan tingkat perkembangan rendah relatif tertinggal yaitu apabila mamiliki nilai indeks sentralitas jenis fasilitas kurang dari nilai rata-rata. Berdasarkan hasil analisis sentralitas terhadap kelengkapan fasilitas yang dimiliki seluruh desa di lima kecamatan di Kabupaten Situbondo Lampiran 7, diperoleh 3 tiga kelompok perkembangan desa seperti pada Tabel 40. Tabel 40 Tingkat perkembangan desa di lima kecamatan basis peternakan di Kabupaten Situbondo berdasarkan analisis sentralitas No Perkembangan Desa Indeks Sentralitas Kecamatan Kelompok Desa 1. Tingkat perkembangan tinggi maju 102,523 Asembagus Asembagus dan Trigonco Jangkar Jangkar Mangaran Mangaran 2. Tingkat perkembangan sedang 85,119 – 102,523 Asembagus Bantal, Awar-Awar, Perante, Gudang, dan Wrigin Anom Jangkar Curah Kalak dan Agel Kapongan Peleyan, Seletreng, Landangan, Kapongan, dan Kesambi Rampak Mangaran Tanjung Kamal, Tanjung Glugur, Tanjung Pecinan, Semiring, dan Trebungan 3. Tingkat perkembangan rendah relatif tertinggal 85,119 Asembagus Mojosari, Kertosari, dan Kedunglo Jangkar Sopet, Palangan, Gadingan, Kumbangsari, dan Pesanggrahan Arjasa Curah Tatal, Jatisari, Kayumas, Bayeman, Ketowan, Kedungdowo, Lamongan, dan Arjasa Kapongan Kandang, Curah Totok, Wonokoyo, Gebangan, dan Pokaan Tabel 40 menunjukkan Desa Asembagus dan Trigonco di Kecamatan Asembagus, Desa Jangkar di Kecamatan Jangkar, dan Desa Mangaran di Kecamatan Mangaran merupakan kelompok desa yang sudah mengalami tingkat perkembangan wilayah tinggi atau lebih maju dengan nilai indeks sentralitas 102,523. Dilihat dari posisi geografisnya, keempat desa tersebut berada di ibukota kecamatan dan mempunyai akses yang cukup baik dengan ibukota kabupaten Situbondo. Keempat desa ini memiliki fasilitas yang lebih lengkap dibandingkan dengan desa-desa lain di sekitarnya terutama fasilitas pendidikan, kesehatan, sosial, dan fasilitas pendukung lainnya. Sedangkan desa-desa yang termasuk dalam kategori desa dengan tingkat perkembangan relative sedang terdiri atas 17 desa dari 4 kecamatan yang meliputi Desa Bantal, Awar-Awar, Perante, Trigonco, Asembagus, Gudang, dan Wriginanom Kecamatan Asembagus; Desa Curah Kalak dan Agel Kecamatan Jangkar; Desa Peleyan, Seletreng, Landangan, dan Kapongan, Kesambirampak Kecamatan Kapongan; dan Desa Tanjung Kamal, Tanjung Glugur, Tanjung Pecinan, Semiring, dan Trebungan Kecamatan Mangaran. Adapun desa-desa dengan tingkat perkembangan relative lambat terdiri atas 21 desa dari 4 kecamatan yaitu Desa Mojosari, Kertosari, dan Kedunglo Kecamatan Asembagus; Desa Sopet, Palangan, Gadingan, Kumbangsari, dan Pesanggrahan Kecamatan Jangkar; Desa Curah Tatal, Jatisari, Kayumas, Bayeman, Ketowan, Kedungdowo, Lamongan, dan Arjasa Kecamatan Arjasa; dan Desa Kandang, Curah Cotok, Wonokoyo, Gebangan, dan Pokaan Kecamatan Kapongan.

6.3.3. Persepsi Masyarakat Berkaitan Pengembangan Kawasan Agropolitan

Berbasis Peternakan di Kabupaten Situbondo Berkaitan dengan pengetahuan masyarakat tentang agropolitan, pada Gambar 12 terlihat bahwa hanya sekitar 13 masyarakat Kabupaten Situbondo yang sudah mengenal agropolitan, sedangkan sebagian besar masyarakat yaitu 87 belum pernah mendengarmengenal tentang kata agropolitan. Hal ini menunjukkan bahwa penyuluhan dan penjelasan mengenai agropolitan di wilayah Kabupaten Situbondo sangat kurang. Kondisi ini disebabkan pemerintah daerah Kabupaten Situbondo masih belum ada rencana untuk pencanangan pengembangan agropolitan di wilayahnya. Pada tahun 2009 ini Pemerintah Daerah melalui Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Bappeda Kabupaten Situbondo baru mulai mengadakan kajian awal mengenai kemungkinan pengembangan kawasan agropolitan. Gambar 12 Pengetahuan masyarakat tentang agropolitan Sumber informasi mengenai agropolitan, pada umumnya masyarakat di Kabupaten Situbondo memperoleh informasi dari media massa sekitar 75 serta dari penyuluhan dan sosialisasi pemerintah sekitar 25. Masyarakat yang memperoleh informasi dari media massa, pada umumnya melalui koran, majalah pertanian, dan radio. Sumber informasi responden mengenai agropolitan dapat dlihat pada Gambar 13. Gambar 13 Sumber informasi responden mengenai agropolitan Mengenal Agropolitan 13 87 Ya Tidak Sumber Informasi Agropolitan 25 75 Teman Sosialisasi Pemerintah Media Massa Masyarakat yang mengetahui tentang agropolitan tidaklah banyak sedikit. Namun demikian, ketika ditanyakan mengenai pengembangan kawasan agropolitan akan dapat menciptakan lapangan kerja bagi mereka, maka sebagian besar responden, yaitu sekitar 97 mengaku yakin bahwa pengembangan kawasan agropolitan dapat membuka lapangan kerja baru apabila dilaksanakan dengan penuh keseriusan dan tanggungjawab yang tinggi dari para pengambil kebijakan. Responden yang ragu- ragu terhadap pembukaan lapangan kerja baru hanya sekitar 3 saja. Persepsi responden bahwa pengembangan kawasan agropolitan dapat menciptakan lapangan kerja baru di Kabupaten Situbondo dapat dilihat pada Gambar 14. Gambar 14 Pengembangan kawasan agropolitan akan dapat menciptakan lapangan kerja Responden di wilayah Kabupaten Situbondo sangat sedikit yang mengetahui perihal agropolitan, walaupun demikian mereka pada umumnya 97 sangat yakin bahwa pengembangan kawasan agropolitan dapat memberikan keuntungan ekonomi. Responden yang ragu-ragu terhadap pengembangan kawasan agropolitan dapat memberikan keuntungan ekonomi hanya sekitar 3 saja. Persepsi responden bahwa pengembangan kawasan agropolitan dapat memberikan keuntungan ekonomi di Kabupaten Situbondo dapat dilihat pada Gambar 15 97 3 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 P er sen tasi Ya Ragu-Ragu Tidak Kriteria Agropolitan Menciptakan Lapangan Kerja Gambar 15 Pengembangan kawasan agropolitan dapat memberikan keuntungan ekonomi Salah satu yang cukup menentukan keberhasilan pengembangan kawasan agropolitan diantaranya adalah keadaan kondisi jalan di kecamatan. Responden sekitar 80,6 menyatakan bahwa kondisi jalan di kecamatan bagus dan sisanya sekitar 19,4 menyatakan sedang. Hal ini sangat membantu menghubungkan desa yang satu dengan desa lainnya apabila nanti dibuka kawasan agropolitan dan juga lebih memudahkan dan memperlancar arus transportasi barang dan jasa antar wilayah. Kondisi jalan di kecamatan disajikan pada Gambar 16. Gambar 15 Kondisi jalan di kecamatan Gambar 16 Kondisi jalan di kecamatan 97 3 20 40 60 80 100 P er sen tase Ya Ragu-Ragu Tidak Kriteria Agropolitan Memberikan Keuntungan Ekonomi 80,6 19,4 20 40 60 80 100 P er sen tase Sangat Bagus Bagus Sedang Jelek Sangat Jelek Kriteria Keadaan Jalan Kecamatan Responden yang menyatakan bahwa pemberdayaan masyarakat dalam agropolitan hanya melibatkan masyarakat lokal saja sekitar 16 , masyarakat lokal dan daerah lain sekitar 10 , sedangkan sebagian besar melibatkan masyarakat lokal, daerah lain, dan lintas negara sekitar 74 . Pemberdayaan masyarakat dalam agropolitan dapat dilihat pada Gambar 17. Gambar 17 Pemberdayaan masyarakat dalam agropolitan

6.4. Kesimpulan