Sub Model Budidaya Peternakan di Kawasan Agropolitan

Dengan asumsi pertambahan pemanfaatan lahan budidaya 2.0 per tahun, maka pada tahun 2025 pemanfaatan lahan budidaya belum terpakai secara keseluruhan dari alokasi penggunaan sebesar 70 atau seluas 33 766 ha. Hal ini memungkinkan untuk dilakukannya kegiatan ekstensifikasi dalam rangka meningkatkan produksi pertanian di wilayah ini. Dari Tabel 49 dapat disimpulkan bahwa perkembangan luas lahan budidaya, permukiman, dan fasilitas seperti pada tabel di atas disebabkan oleh peningkatan kebutuhan lahan sebagai akibat dari pertumbuhan penduduk. Pertumbuhan luas lahan ini membentuk kecenderungan kurva pertumbuhan positif. Namun demikian, peningkatan ini dapat menyebabkan terjadinya penurunan lahan hutankawasan lindung sebagai akibat dari pemafaatan kawasan hutan ini untuk tujuan pemanfaatan lainnya.

b. Sub Model Budidaya Peternakan di Kawasan Agropolitan

Stock flow diagram SFD sub model budidaya peternakan yang menggambarkan hubungan beberapa komponen seperti jumlah penduduk sebagai komponen utama dan selanjutnya diikuti oleh komponen jumlah ternak sapi potong, bahan baku daging segar, dan kulit disajikan pada Gambar 33. Gambar 33. Sub model budidaya sapi potong Jumlah penduduk dipengaruhi oleh pertambahan penduduk secara alami yaitu kelahiran dan kematian, serta jumlah penduduk yang migrasi imgrasi dan emigrasi. Tingkat emigrasi penduduk di wilayah ini 0.38 lebih besar diandingkan dengan tingkat imigrasi 0.29. Faktor pendorong terjadinya emigrasi di wilayah ini adalah rendahnya pendapatan masyarakat dari mata pencaharian yang digelutinya sehingga mendorong mereka untuk migrasi ke perkotaan untuk mencari sumber mata pencaharian baru. Selain itu sarana pendidikan tingkat lanjut yang tersedia masih sangat terbatas sehingga untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi, mereka harus pindah ke daerah lain seperti perkotaan yang menyediakan fasilitas pendidikan yang diinginkan. Tingkat emigrasi lebih besar dari pada tingkat imigrasi, namun kurva pertumbuhan penduduk memperlihatkan kecenderungan pertumbuhan positif positif growth naik mengikuti kurva eksponensial pada tahun simulasi 2004 sampai 2024 20 tahun yang akan datang. Hal ini disebabkan laju tingkat kelahiran 0.55 lebih besar dibandingkan dengan laju kematian 0.32. Namun demikian, laju pertambahan penduduk ini akan diimbangi oleh adanya kematian dan dapat menyebabkan terjadinya pertumbuhan negatif apabila tingkat kematian penduduk jauh lebih besar dari tingkat kelahiran. Pada tahun 2010, penduduk wilayah berbasis peternakan di Kabupaten Situbondo 196 023 orang dan meningkat menjadi 216 097 orang pada tahun 2025 dengan laju kelahiran penduduk sebesar 0.55 dan kematian 0.32 per tahun. Laju pertumbuhan penduduk ini sangat mempengaruhi kebutuhan lahan untuk penggunaan tertentu, seperti: lahan untuk permukiman, lahan budidaya pertanian, lahan fasilitas, dan peruntukan lahan untuk kawasan lindung. Melihat laju pertumbuhan penduduk dan tingkat kebutuhan penggunaan lahan yang semakin meningkat setiap tahun, mengindikasikan bahwa pada suatu saat, laju pertumbuhan tersebut akan menuju pada suatu titik keseimbangan tertentu dan selanjutnya mengalami penurunan. Pertambahan jumlah penduduk dan peternak menyebabkan pertambahan kebutuhan penggunaan lahan. Dalam hal ini terjadi hubungan timbal balik positif antara pertumbuhan penduduk dan kebutuhan lahan melalui proses reinforcing. Namun karena keterbatasan luas lahan menyebabkan pertambahan luas lahan pada suatu waktu tidak dapat mengimbangi laju pertumbuhan penduduk sehingga ketersediaan lahan untuk suatu penggunaan tertentu dapat ditingkatkan untuk memenuhi kebutuhan penduduk, namun ketersediaan lahan untuk penggunaan lainya mengalami penurunan sebagai akibat terjadinya konversi lahan. Hal ini terlihat pada hasil simulasi model dimana pertambahan luas lahan untuk kebutuhan lahan permukiman, lahan fasilitas dan lahan budidaya menyebabkan penurunan ketersediaan lahan untuk kawasan lindung. Fenomena ini memperlihatkan adanya hubungan timbal balik negatif melalui proses balancing dalam hal ini komponen daya dukung lingkungan akan menjadi faktor pembatas yang dapat menekan laju peningkatan kebutuhan lahan hasil simulasi pertumbuhan penduduk dapat dilihat pada Gambar 34. Jan 01, 2004 Jan 01, 2009 Jan 01, 2014 Jan 01, 2019 Jan 01, 2024 50,000 100,000 150,000 200,000 250,000 300,000 Gambar 34 Simulasi jumlah penduduk dan jumlah peternak di wilayah berbasis peternakan sapi potong terpadu di Kabupaten Situbondo tahun 2004 – 2024 Tabel 50 Simulasi jumlah penduduk dan jumlah peternak di wilayah berbasis peternakan sapi potong terpadu di Kabupaten Situbondo tahun 2010 – 2025 Tahun Jumlah Penduduk Jumlah Peternak 2010 196 023 26 953 2011 197 302 27 129 2012 198 589 27 306 2013 199 884 27 484 2014 201 188 27 663 2015 202 500 27 844 2016 203 821 28 025 2017 205 150 28 208 2018 206 488 28 392 2019 207 834 28 577 2020 209 189 28 764 2021 210 553 28 951 2022 211 926 29 140 2023 213 308 29 330 2024 214 698 29 521 2025 216 097 29 713 Peningkatan luas lahan khususnya lahan budidaya pertanian akan memberikan dampak positif terhadap peningkatan produksi pertanian dan peternakan dalam hal ini peningkatan luas lahan untuk budidaya pertanian akan berpengaruh terhadap peningkatan produksi pertanian dan peternakan. Produksi pertanian dan peternakan meningkat akan berpengaruh terhadap peningkatan pendapatan petani dan peternak. Hubungan antar komponen ini merupakan hubungan timbal balik positif positive feedback melalui proses reinforcing. Peningkatan populasi sapi potong di wilayah kabupaten Situbondo. Dengan rata-rata pertumbuhan ternak sapi sebesar 3.5 per tahun maka populasi ternak sapi menjadi 77 008 ekor pada tahun 2025 dari 70 245 ekor pada tahun 2010 Tabel 51. Tabel 51 Simulasi jumlah sapi potong ekor di wilayah berbasis peternakan di Kabupaten Situbondo tahun 2010 – 2025 Tahun Jumlah Sapi Potong ekor 2010 70 245 2011 70 537 2012 70 764 2013 71 029 2014 71 330 2015 71 669 2016 72 044 2017 72 457 2018 72 905 2019 73 389 2020 73 907 2021 74 461 2022 75 048 2023 75 669 2024 76 323 2025 77 008

C. Sub Model Pengembangan Industri Pengolahan Hasil Ternak

Sub model pengembagan industri pengolahan hasil ternak merupakan bagian permodelan untuk mengetahui pengaruh komponen-komponen dalam permodelan dalam pengembangan kawasan agropoloitan berbasis peternakan di Kabupaten Situbondo. Dalam simulasi model ini terdapat beberapa komponen yang saling berpengaruh seperti teknologi, tenaga kerja, kualitas produksi, dan PDRB. Pengaruh antar komponen di dalam model disajikan dalam gambar stock flow diagram SFD seperti pada Gambar 35. Pada gambar tersebut terlihat bahwa jumlah industri pengolahan hasil peternakan daging dan kulit sangat tergantung pada produksi yang diperoleh, dalam hal ini adalah kontuinitas hasil dari olahan daging dan kulit tersebut. Hrg _ DG H Fr O DG_ SGR POP_ SAPO Fr_ KAP T Fr_ T Fr_ TK PDRB_ TO_ I NC RI NCOM T BHN_ PO Gambar 35 Sub model pengembangan industri pengolahan hasil ternak Terjadi peningkatan jumlah daging olah dari 7 461.28 ton pada tahun 2010 menjadi 27 113.41 ton pada tahun 2025. Demikian juga peningkatan terjadi pada jumlah kulit olahan dari 16.54 ton pada tahun 2010 menjadi 70.63 ton pada tahun 2025. Hal yang sama juga terjadi pada jumlah pupuk organik, pada tahun 2010 dihasilkan 227 363 ton meningkat menjadi 238 470 ton 2025. Demikian juga produksi jagung sebagai bahan baku industri pakan ternak terjadi peningkatan mulai dari 35 399.95 ton pada tahun 2010 menjadi 36 050.68 ton pada tahun 2025. Tabel 52 Simulasi produk olahan hasil ternak dan jumlah agroindustri di kawasan agropolitan berbasis peternakan sapi potong terpadu di Kabupaten Situbondo tahun 2010-2025 Tahun Daging Olah Kulit Olah Pupuk Organik Produksi Jagung Industri Kulit Industri Daging Olah Industri Pakan 2010 7461.28 16.54 227363 35399.95 2 4 3 2011 8725.71 18.87 227842 35 457.88 2 5 3 2012 9995.39 20.69 228215 35513.92 2 5 4 2013 11269.15 22.80 228649 35568.04 2 5 4 2014 12547.67 25.21 229144 35620.17 3 5 4 2015 13831.63 27.92 229701 35670.30 3 6 4 2016 15121.68 30.93 230318 35718.36 3 6 4 2017 16418.49 34.22 230995 35764.31 4 6 4 2018 17722.71 37.81 231731 35808.12 4 7 4 2019 19035.01 41.68 232525 35849.74 4 7 4 2020 20356.01 45.83 233378 35889.11 5 7 4 2021 21686.35 50.26 234287 35926.19 5 8 4 2022 23026.66 54.96 235252 35960.94 6 8 4 2023 24377.54 59.93 236272 35993.31 6 8 4 2024 25739.60 65.15 237345 36023.24 7 8 4 2025 27113.41 70.63 238470 36050.68 7 9 4 Peningkatan juga terjadi pada jumlah industri sepatu dari 2 unit pada tahun 2010 menjadi 7 unit tahun 2025. Demikian juga terjadi peningkatan pada jumlah industri daging olah dari 4 unit pada tahun 2010 menjadi 9 unit pada tahun 2025. Hal yang sama juga terjadi pada industri pakan ternak dari 3 unit pada tahun 2010 meningkat menjadi 4 unit pada tahun 2025. Peningkatan setiap komponen industri tersebut di atas memperlihatkan kurva yang cukup tajam atau dengan kata lain mengikuti kurva sigmoid sampai batas tertentu. Akibatnya keterbatasan sumberdaya seperti: keterbatasan produksi dan lahan, maka pada suatu saat, kurva tersebut akan melambat dan sampai pada titik keseimbangan tertentu, produksi tersebut tidak bisa ditingkatkan lagi. Industri yang beroperasi dalam pengolahan hasil ternak ini akan menghasilkan limbah yang akan berpengaruh terhadap kondisi lingkungan, semakin tinggi limbah yang dihasilkan peluang terjadinya kerusakan juga akan semakin besar. Namun mengingat limbah yang dihasilkan limbah organik maka dalam pemanfaatannya pupuk organik diharapkan dapat meningkatkan memperbaiki kualitas lingkungan. Adapun simulasi limbah industri peternakan sapi potong terpadu dapat dilihat pada Tabel 53. Tabel 53 Simulasi limbah industri peternakan kg di kawasan agropolitan berbasis peternakan sapi potong terpadu di Kabupaten Situbondo tahun 2010-2025 Tahun Daging Olah Kulit Olah Pupuk Organik Produksi Jagung Industri Kulit Industri Daging Olah Industri Pakan 2010 7461.28 16.54 227363 35 399.95 2 4 3 2011 8725.71 18.87 227842 35 457.88 2 5 3 2012 9995.39 20.69 228215 35513.92 2 5 4 2013 11269.15 22.80 228649 35568.04 2 5 4 2014 12547.67 25.21 229144 35620.17 3 5 4 2015 13831.63 27.92 229701 35670.30 3 6 4 2016 15121.68 30.93 230318 35718.36 3 6 4 2017 16418.49 34.22 230995 35764.31 4 6 4 2018 17722.71 37.81 231731 35808.12 4 7 4 2019 19035.01 41.68 232525 35849.74 4 7 4 2020 20356.01 45.83 233378 35889.11 5 7 4 2021 21686.35 50.26 234287 35926.19 5 8 4 2022 23026.66 54.96 235252 35960.94 6 8 4 2023 24377.54 59.93 236272 35993.31 6 8 4 2024 25739.60 65.15 237345 36023.24 7 8 4 2025 27113.41 70.63 238470 36050.68 7 9 4

8.3.2. Simulasi Skenario Model Pengembangan Kawasan Agropolitan Berbasis

Peternakan Sapi Potong Terpadu Kinerja model yang digambarkan dalam struktur sistem menggambarkan kondisi saat ini. Seiring dengan perjalanan waktu, maka akan terjadi perubahan kinerja sistem sesuai dengan dinamika waktu yang akan terjadi pada masa yang akan datang. Berdasarkan hal tersebut disusun, berbagai skenario pada model yang telah dibangun sebagai strategi yang dapat dilakukan ke depan dalam rangka pengembangan kawasan agropolitan di Kabupaten Situbondo. Skenario yang dibangun terdiri atas 3 skenario, antara lain: 1 skenario pesimis, 2 skenario moderat, dan 3 skenario optimis. Skenario persimis dapat diartikan bahwa variabel-variabel yang berpengaruh pada kinerja sistem mengalami kemunduran atau terjadi perubahan dari keadaaan eksisting yang mengarah pada tercapainya pada kemajuan tetapi perubahan tersebut cukup kecil untuk mempengaruhi kinerja sistem atau terjadi perubahan yang sangat cepat dari keadaan yang perlu dihambat perkembangannya. Skenario moderat diartikan sebagai perubahan beberapa variabel yang berpengaruh pada kinerja sistem dimana perubahan tersebut lebih baik dari pada skenario pesimis. Skenario optimis diartikan bahwa terjadi perubahan yang lebih besar dari variabel- variabel yang berpengaruh pada kinerja sistem dimana perubahan ini lebih baik dari skenario pertama dan kedua. Adapun variabel-variabel tersebut sebagai variabel kunci yang sangat berpengaruh pada kinerja sistem, meliputi peningkatan populasi ternak sapi potong, input produksi, dan sistem pemeliharaan ternak. Variabel-variabel ini akan berpengaruh terhadap perubahan penggunaan lahan di kawasaan agropolitan, peningkatan produksi, tingkat keuntungan usahatani, dan sumbangan terhadap produk domestik regional bruto PDRB. Dalam menyusun model pengembangan peternakan sapi potong terpadu dengan tanaman pangan dan perkebunan di Kabupaten Situbondo ada beberapa pola usahatani yang ditawarkan, yaitu: 1 Pola usahatani ternak sapi potong kondisi eksisting terpadu dengan tanaman pangan, yaitu padi dan jagung skenario pesimis. 2 Pola usahatani ternak sapi potong kondisi eksisting terpadu dengan tanaman pangan, yaitu padi dan jagung serta tanaman perkebunan tebu skenario moderat. 3 Pola usahatani ternak sapi potong kondisi eksisting terpadu dengan tanaman pangan dan perkebunan serta industri pengolahan hasil ternak skenario optimis. Skenario 1: Pola usahatani ternak sapi potong kondisi eksisting semi intensif terpadu dengan tanaman pangan padi dan jagung Model pengembangan usahatani ternak sapi potong kondisi eksisting terpadu dengan tanaman pangan padi dan jagung digunakan untuk mengkaji kelayakan secara usahatani apakah berdampak pada peningkatan produk domestik regional bruto PDRB daerah Kabupaten Situbondo. Dalam pola pengembangan usahatani ternak sapi potong terpadu dengan tanaman pangan padi dan jagung skenario 1 = skenario pesimis didasarkan pada asumsi-asumsi sebagai berikut: Sistem pemeliharaan ternak Pemeliharaan ternak sapi potong di lokasi ini dilakukan secara semi intensif terpadu dengan usaha tanaman pangan padi dan jagung sesuai kondisi eksisting Dalam usahatani ternak sapi potong dilakukan 2 macam, yaitu: pembibitan sapi potong dan penggemukan sapi potong. Penggemukan sapi potong pada umumnya dilakukan selama 12 bulanperiode. Pembibitan sapi potong diharapkan dalam 3 tiga tahun dapat menghasilkan pedet anak sapi sebanyak 2 dua ekor. Sistem perkawinan sapi potong di kawasan ini pada umumnya sudah menggunakan inseminasi buatan IB. Kandang Lokasi kandang berkumpul dengan tempat tinggalrumah peternak atau berada di pekarangan rumah. Ternak sapi potong yang dipelihara pada umumnya sudah dikandangkan. Namun demikian, kebersihan kandang belum sepenuhnya diperhatikan, sehingga kondisi kandang kurang bersih dan sedikit becek serta agak berbau. Pakan ternak Pakan hijauan yang diberikan oleh peternak dengan cara mengarit rumput di sekitar lokasi peternak. Demikian juga pemberian pakan yang berasal dari limbah pertanian, berupa jerami padi, dan daun jagung, diambil peternak dengan cara mengambil limbah pertanian dari usahatani. Peternak pada pola usahatani ini tidak menanam rumput unggul di lahan usahataninya, sehingga ketersediaan pakan sangat bergantung kepada pakan hijauan yang tersedia di sekitarnya dan limbah pertanian. Pakan hijauan pada umumnya diberikan pada pembibitan ternak sapi potong, sedangkan pada penggemukan ternak sapi potong, selain diberikan pakan hijauan juga ditambah pakan konsentrat berupa dedak padi, ampas tahu, dan molasestetes tebu yang cukup tersedia di sekitar lokasi peternak. Pupuk kandang Pada pola pemeliharaan ternak secara semi intensif kondisi eksisting, feses ternak belum dikelola secara baik dan belum dimafaatkan untuk tanaman padi, jagung, dan tebu. Hal ini disebabkan antara lain kurangnya pengetahuan peternak dalam mengelola feses menjadi kompospupuk kandang, selain itu jumlah ternak yang dipelihara sedikit, sekitar 1-2 ekorpeternak dan letak kandang yang berkumpul dengan rumah agak menyulitkan dalam pengelolaan feses menjadi pupuk kandangkompos. Usahatani padi Budidaya tanaman padi dilakukan secara intensif dan limbah pertanian jerami padi yang dihasilkan diberikan seluruhnya untuk pakan ternak sapi potong. Jerami padi yang dihasilkan sekitar 4 ton jerami keringmusim dan apabila diberikan kepada ternak sapi potong dapat mencukupi kebutuhan pakan ternak sapi potong sebanyak 4 ekormusim. Usahatani tanaman padi memerlukan waktu sekitar 4 bulanmusim. Penanaman padi pada umumnya dilakukan 1 kali dalam setahun, yaitu pada saat puncak musim hujan, dimulai sekitar bulan Desember, Januari, dan Februari. Setelah ditanami tanaman padi, lahan sawah ditanami palawija, seperti: jagung, kedelai, dan kacang tanah. Analisis usahatani tanaman padi dapat dilihat pada Lampiran 14. Usahatani jagung Petani dalam membudidayakan tanaman jagung sudah melakukan secara intensif dan limbah pertanian jerami jagung yang dihasilkan diberikan seluruhnya untuk pakan ternak sapi potong. Jerami jagung yang dihasilkan apabila diberikan kepada ternak sapi potong dapat mencukupi kebutuhan pakan ternak sapi potong sebanyak 4 ekormusim. Usahatani tanaman jagung memerlukan waktu sekitar 4 bulanmusim. Penanaman jagung pada umumnya dilakukan 2 kali dalam setahun, yaitu pada saat memasuki bulan kemarau, dimulai sekitar bulan Mei dan Juni setiap tahunnya. Analisis usahatani tanaman jagung dapat dilihat pada Lampiran 15. Skenario 2: Pola usahatani ternak sapi potong kondisi eksisting semi intensif terpadu dengan tanaman pangan padi dan jagung, serta tanaman perkenunan tebu Pola pengembangan usahatani ternak sapi potong terpadu dengan tanaman padi, jagung, dan tebu skenario 2 = skenario moderat dicirikan dengan terbentuknya kandang kelompok atau kandang kolektif. Para peternak membentuk kelompok tani dan setiap kelompok tani mendirikan kandang kelompok yang letaknya terpisah dari komplek perumahan penduduk. Sistem pemeliharaan ternak sapi potong masih dilakukan secara semi intensif, demikian juga pemberian pakan memanfaatkan limbah tanaman pangan dan perkebunan, yaitu: jerami padi, daun jagung, dan pucuk tebu. Skenario 2 didasarkan pada asumsi-asumsi sebagai berikut: Kandang kolektif Para peternak bergabung membentuk beberapa kelompok tani dan dalam satu kelompok membentuk kandang kelompok atau kandang kolektif. Lokasi kandang kelompok terletak di suatu lokasi tertentu yang tidak terlalu jauh dari lokasi perumahan, namun tidak mengganggu secara lingkungan dan kesehatan penduduk. Adanya kandang kelompok mempermudah dalam pengelolaan limbah peternakan menjadi kompos. Kondisi ini membuat kondisi kandang terawat dan bersih, karena feses setiap saat dikumpulkan untuk dijadikan bahan kompos atau pupuk kandang. Pupuk kandang Pada pola pemeliharaan ternak sekenario 2, feses ternak sudah dikelola secara baik dan dimafaatkan oleh petani untuk tanaman dan sebagian dijual. Bersatunya peternak dalam mengelola sapi potong di suatu tempat mempermudah dalam mengelola feses menjadi pupuk kandang. Jumlah ternak 69 264 ekor akan menghasilkan feses sebanyak: 69 264 ekor x 15 kghari: 1 038 960 kghari. Jumlah 1 038 960 kg feses diperkirakan akan menghasilkan pupuk kandang sebanyak: 60 x 1 038 960 kg = 623 376 kg komposhari atau setara 227 532.24 tontahun. Usahatani tebu Budidaya tanaman tebu secara kepras dilakukan secara intensif dan limbah tanaman tebu berupa daun pucuk tebu yang dihasilkan diberikan seluruhnya untuk pakan ternak sapi potong. Daun pucuk tebu yang dihasilkan diberikan kepada ternak sapi potong dapat mencukupi kebutuhan pakan ternak sapi potong sebanyak 4 ekormusim. Usahatani tebu kepras memerlukan waktu sekitar 12 bulananmusim. Pemanenan tebu tekpras dilakukan 1 kali dalam setahun. Analisis usahatani tanaman tebu dapat dilihat pada Lampiran 16. Skenario 3: Pola usahatani ternak sapi potong kondisi eksisting terpadu dengan tanaman pangan dan perkebunan serta industri pengolahan hasil ternak Skenario 3 optimis dicirikan dengan adanya industri pengolahan hasil ternak berupa industri pengolahan daging segar, industri pengolahan kulit, industri pengolahan pupuk organik, dan industri pakan ternak. Pemeliharaan ternak sapi potong dilakukan secara semi intensif yang dipadukan dengan tanaman pangan dan perkebunan tebu. Kandang dibuat kandang kelompokkandang kolektif yang terletak di suatu areal tertentu yang agak jauh dari lokasi perumahan penduduk. Pada pola ini peternak mengelola limbah peternakan feses menjadi pupuk kandang kompos. Petani dalam usahataninya menyisihkan sebagian lahannya 10 untuk menanam rumput unggul rumput raja. Pola pemeliharaan ternak sapi potong sama dengan skenario 2, yaitu dilakukan secara semi intensif terpadu dengan tanaman pangan dan perkebunan tebu. Namun pada skenario 3 optimis, petani sudah menyisihkan sebagian lahannya untuk budidaya rumput unggul rumput raja dan adanya pembangunan industri pengolahan hasil ternak. Untuk lebih jelasnya skenario 3 adalah sebagai berikut: Kandang kelompok Para peternak membentuk kelompok tani dan membuat kandang kelompok atau kandang kolektif. Lokasi kandang kelompok terletak di suatu lokasi tertentu yang tidak terlalu jauh dari lokasi perumahan, namun tidak mengganggu secara lingkungan dan kesehatan penduduk. Adanya kandang kelompok mempermudah dalam pengelolaan limbah peternakan menjadi kompos. Kondisi ini membuat kondisi kandang terawat dan bersih, karena feses setiap saat dikumpulkan untuk bahan kompos. Kebun rumput unggul Rumput unggul rumput raja atau king grass sengaja ditanam secara intensif untuk menjamin ketersediaan pakan hijauan dan meningkatkan kualitas pakan yang diberikan kepada ternak. Rumput raja mempunyai produktivitas tinggi, yaitu: 1 076 tonhatahun produksi segar dan kandungan protein kasar: 13.50, lemak kasar: 3.50, serat kasar: 31,40, abu: 18,60, Ca: 0,37, dan P: 0,35 sangat baik diberikan kepada ternak dalam rangka meningkatkan pertambahan bobot badan yang cepat. Kebutuhan ternak sapi potong akan hijauan sekitar 10 dari bobot badanhariekor. Jika berat badan sapi potong 500 kgekor, maka kebutuhan akan hijauan per hari adalah 50 kg. Jadi kebutuhan akan hijauan per ekor per tahun adalah 18.25 ton. Berdasarkan perhitungan tersebut berarti kapasitas tampung kebun rumput raja yang dikelola secara intensif: 1 07618.25 x ekortahun = 58 ekor sapi potonghatahun secara potong angkut Balai Penelitian Ternak 2008. Pembuatan kebun rumput unggul rumput raja seluas 535 ha 10 dari luas lahan perkebunan tebu sangat diperlukan pada skenario 3 ini dalam rangka menjamin ketersediaan pakan dan meningkatkan kualitas dan kandungan gizi pakan yang diberikan kepada ternak sapi potong. Kebun rumput seluas 535 ha jika dikelola secara intensif dapat menampung ternak sebanyak: 535 x 58 ekor = 31 030 ekortahun. Analisis usahatani tanaman rumput raja dapat dilihat pada Lampiran 19. Industri pengolahan hasil ternak Dalam rangka meningkatkan pendapatan petani dan PDRB daerah ini, Pemerintah Daerah Kabupaten Situbondo bekerjasama dengan pihak swasta dan instansi terkait membangun beberapa industri pengolahan hasil ternak, seperti: industri pengolahan daging segar, industri pengolahan kulit, industri pengolahan pupuk organik, dan industri pakan ternak. Industri pengolahan hasil ternak ini minimal dibangun 1 satu unit di daerah pusat pertumbuhan I DPP I di kawasan ini. Dengan adanya industri pengolahan hasil ternak, diharapkan pendapatan peternak dan PDRB daerah ini akan meningkat dan dapat meningkatkan ketersediaan tenaga kerja. Sumbangan PDRB ternak sapi potong terpadu dengan tanaman pangan dan perkebunan pada beberapa skenario dapat dilihat pada Tabel 54 dan Gambar 36. Tabel 54 Simulasi skenario sumbangan PDRB Rp di kawasan agropolitan berbasis peternakan sapi potong terpadu Tahun Skenario PDRB 1 Skenario PDRB 2 Skenario PDRB 3 2010 870.569.698.382 1.091 e12 1696 e12 2011 874.747.007.014 1.097 e12 1.790 e12 2012 878.787.997.554 1.103 e12 1.885 e12 2013 882.188.630.988 1.107 e12 1.979 e12 2014 885.971.011.655 1.113 e12 2.073 e12 2015 890.133.702.138 1.118 e12 2.169 e12 2016 894.674.667.328 1.124 e12 2.265 e12 2017 899.591.272.902 1.131 e12 2.362 e12 2018 904.880.285.401 1.138 e12 2.461 e12 2019 910.537.873.905 1.145 e12 2.560 e12 2020 916.559.613.362 1.152 e12 2.660 e12 2021 922.940.489.549 1.160 e12 2.761 e12 2022 929.674.905.698 1.169 e12 2.863 e12 2023 936.756.690.782 1.177 e12 2.966 e12 2024 944.179.109.452 1.186 e12 3.071 e12 2025 951.934.873.625 1.195 e12 3.176 e12 0 4 0 5 0 6 0 7 0 8 0 9 1 0 1 1 1 2 1 3 1 4 1 5 1 6 1 7 1 8 1 9 2 0 2 1 2 2 2 3 1 e 1 2 2 e 1 2 3 e 1 2 4 e 1 2 5 e 1 2 Gambar 36 Sumbangan PDRB Rp pada beberapa skenario di kawasan agropolitan berbasis peternakan sapi potong terpadu Pada Tabel 54 dan Gambar 36 menunjukkan sumbangan PDRB pada skenario optimis lebih tinggi dibandingkan skenario moderat dan pesimis. Perbedaan ini disebabkan oleh adanya industri pengolahan hasil ternak, seperti: industri pengolahan daging segar, industri pengolahan kulit, industri pengolahan pupuk organik, dan industri pakan ternak. Dengan adanya industri pengolahan hasil ternak, pendapatan peternak dan PDRB daerah ini akan meningkat sangat tajam sampai 3 kali lebih dari skenario pesimis. Hasil simulasi skenario pesimis menunjukkan bahwa pada tahun 2010 diperoleh PDRB sebesar Rp 870 569 698 382,- atau Rp 0.870 triliun meningkat menjadi Rp 951 934 873 625,- atau Rp 0.951 triliun pada tahun 2025. Pada skenario moderat diperoleh sumbangan PDRB lebih tinggi dibandingkan skenario pesimis yaitu sebesar Rp 1.091 triliun pada tahun 2010 meningkat menjadi Rp 1.195 triliun pada tahun 2025. Demikian juga pada skenario optimis terjadi peningkatan yang lebih besar dibandingkan skenario pesimis dan optimis yaitu sebesar Rp 1.696 triliun pada tahun 2010 dan naik menjadi Rp 3.176 triliun pada tahun 2025.

8.3.3. Konsep Pengembangan Agribisnis Peternakan Sapi Potong Terpadu yang Diharapkan

Konsep pengembangan agribisnis peternakan sapi potong yang diharapkan adalah konsep peternakan sapi potong terpadu. Konsep peternakan sapi potong terpadu yang melibatkan ternak dan tanaman tanaman pangan dan tanaman perkebunan telah dikembangkan di beberapa negara Asia, seperti: Thailand, Filipina, Vietnam, RRC, dan Indonesia. Di Indonesia integrasi antara ternak dan tanaman sudah diterapkan oleh petani di perdesaan, namun sistem pengelolaannya masih bersifat tradisional tanpa memperhitungkan nilai ekonomi. Sistem usahatani terpadu yang didasarkan penelitian dan pengkajian mulai diperkenalkan sekitar tahun 1970-an oleh Lembaga Pusat Penelitian Pertanian LP3 di Bogor. Penelitian ini diberi nama ”on station multiple cropping” mengacu pada pola International Rice Research Institute = IRRI. Sejak saat itu kajian dan inovasi penerapan pertanian terpadu terus dikembangkan seperti: pola tanam cropping pattern, pola usahatani cropping system, sistem usahatani farming system, dan terakhir adalah sistem tanaman ternak terjemahan dari crop livestock system CLS. Selain CLS masih ada beberapa pola sejenis antara lain pertanian dengan perikanan dan lainnya. Pola CLS merupakan salah satu kegiatan pertanian organik organic farming berbasis teknologi, dengan memanfaatkan sumberdaya lokal yang didaur ulang secara efektif. Upaya peningkatan produktivitas lahan dan efisiensi usahatani dilakukan melalui penerapan teknologi inovatif, optimalisasi sumberdaya lahan dan tenaga kerja, serta membangun kelembagaan usaha bersama. Ruang lingkup budidaya ternak mencakup pengandangan ternak, sistem pemberian pakan, pengolahan hasil ternak dan limbah, serta pemanfaatan kompos untuk tanaman pertanian. Budidaya tanaman merupakan teknologi pengolahan produk, penyimpanan dan peningkatan kualitas limbah tanaman sebagai pakan ternak. Pengomposan adalah proses mengubah limbah organik menjadi pupuk dengan tujuan mengurangi bahan organik yang dikandung bahan limbah, menekan timbulnya bau, membunuh gulma dan orginisme yang bersifat patogen, produknya berupa pupuk organik yang sesuai untuk diaplikasikan pada lahan pertanian. Dalam sistem usahatani ternak, interaksi terjadi akan mendorong terjadinya efisiensi produksi, pencapaian produksi yang optimal, peningkatan diversifikasi usaha dan peningkatan dayasaing produk pertanian yang dihasilkan, sekaligus mempertahankan dan melestarikan sumberdaya lahan. Pengembangan integrasi tanaman padi dan sapi potong bertujuan: 1 mendukung upaya peningkatan kandungan bahan organik lahan melalui penyediaan pupuk organik; 2 meningkatkan produktivitas padi sawah dan penyediaan daging; 3 peningkatan populasi ternak sapi dan pendapatan petani. Ada 8 delapan keuntungan penerapan integrasi usaha tanaman dan ternak, yaitu: 1 diversifikasi penggunaan sumberdaya produksi; 2 mengurangi terjadinya resiko; 3 efisiensi penggunaan tenaga kerja; 4 efisiensi penggunaan komponen produksi; 5 mengurangi ketergantungan sumberdaya lain dari luar usaha; 6 sistem ekologi lebih lestari, tidak menimbulkan polusi; 7 meningkatkan output; dan 8 megembangkan rumah tangga petani yang lebih stabil. Berdasarkan kondisi kawasan saat ini, maka konsep pengembangan kawasan agribisnis peternakan sapi potong terpadu yang diharapkan adalah sebagai berikut:

8.3.3.1. Subsistem Agribisnis Hulu upstream off-farm agribusiness

Konsep pengembangan subsistem agribisnis hulu antara lain berupa: a Bibit ternak Sumber bibit ternak sapi potong yang akan dijadikan indukan diusahakan berasal dari anggota dan dari luar kelompok tani yang dibeli dikoordinasikan antara pengurus, pendampinginstansi terkait. Jenis ternak yang dijadikan bibit atau indukan adalah peranakan Simental, Limousin, Brahman, Onggole, Brangus, dan Hereford yang merupakan hasil inseminasi buatan IB. Melalui penyediaan bibit ternak unggul sapi potong diharapkan pedet yang dihasilkan, apabila dipelihara secara intensif akan menghasilkan pertumbuhan yang cepat sehingga keuntungan yang diperoleh peternak akan optimal. b Sarana produksi peternakan dan obat-obatan Pembangunan kios sapronak dilakukan pada setiap ibukota kecamatan agar jangkauan para peternak untuk budidaya peternakan tidak harus ke ibukota kabupaten atau ibukota provinsi dalam mendapatkan sapronak, sehingga biaya produksi dapat dikurangi. Selain itu, untuk menunjang penyediaan sarana produksi peternakan diupayakan dapat disediakan oleh kelompok tani dengan membentuk lembaga koperasi tani atau sejenisnya serta membuka peluang bagi swastapengusaha sapronak untuk dapat membuka usaha di bidang ini berupa pembukaan supermarket sapronak dengan pelayanan yang lebih lengkap. Sumber penyediaan obat-obatan sebaiknya berkoordinasi dengan petugas keswan dan koperasi kelompok. c Industri pakan Ketersediaan industri pakan ternak di kawasan ini masih belum tersedia, walaupun bahan baku pakan ternak cukup tersedia di kawasan ini, seperti: jerami padi, daun kacang tanah, daun jagung, daun pucuk tebu, ampas tebu, ampas tahu, ampas kecap, dedak padi, jagung, molases, dan lain sebagainya. Upaya pembangunan industri pakan skala menengah pada setiap kecamatan perlu dikembangkan untuk menyediakan kebutuhan pakan ternak di kawasan ini maupun di luar kawasan. Dalam penyediaan industri pakan sebaiknya kelompok tani dengan membentuk koperasi dapat membangun industri pakan, selain itu membuka peluang bagi swastapengusaha industri pakan untuk dapat membuka usaha di bidang ini.

8.3.3.2. Subsistem Agribisnis Budidaya Peternakan on-farm agribusiness

Konsep pengembangan subsistem agribisnis budidaya peternakan atau usaha budidaya peternakan sapi potong dapat berupa: a Sistem pemeliharaan ternak Pada umumnya pemeliharaan ternak sapi potong dilakukan secara semi intensif, sehingga pendapatan yang diperoleh peternak kurang optimal. Dalam rangka meningkatkan pendapatan peternak, maka sistem pemeliharaan tersebut di atas harus ditingkatkan dan diarahkan menjadi pemeliharaan ternak secara intensif. Pada pemeliharaan ternak secara internsif yang dikenal dengan Sapta Usaha Peternakan meliputi antara lain: pemilihan bibit unggul yang tepat, penggunaan kandang yang memenuhi syarat, pemberian pakan yang rasional, pencegahan dan pemberantasan penyakit, pengelolaan reproduksi, penanganan pasca panen dan pemasaran, serta manajemen usaha yang baik. Model pengembangan ternak sapi di kawasan ini terbagi dua, 1 ternak sapi yang dipelihara adalah kepunyaan sendiri dan 2 sistem gaduhan atau bagi hasil bahasa setempat “epaoan”. Epaoan adalah suatu istilah di Kabupaten Situbondo yang digunakan berkenaan dengan pemeliharaan ternak termasuk sapi potong. Dalam hal ini pemilik modal masyarakat yang punya kemampuan ekonomi membelikan ternak sapi untuk dipelihara peternak dalam bahasa setempat “tokang oan”. Anak sapi yang dihasilkan dibagi secara bergiliran antara peternak dengan pemilik atau kalau dijual dibagi dua hasilnya, sedangkan kalau induknya dijual, maka nilai tambah dari induk ini juga dibagi sesuai dengan kesepakatan. Kegiatan ini murni hubungan antar masyarakat perdesaan tanpa adanya campur tangan pemerintah atau pihak lain dan merupakan perwujudan rasa kepedulian masyarakat yang memiliki kemampuan ekonomi terhadap masyarakat ekonomi lemah. Model pengembangan ternak sistem gaduhbagi hasil agak merugikan peternak yang memelihara tokang oan, karena setiap hari peternak harus menyediakan pakan, merawat, dan membersihkan kandang. Jika peternak tidak tekun dalam merawat ternaknya, banyak peternak yang merugi dan keuntungan banyak dinikmati oleh pemilik modal. Berkenaan dengan pemberdayaan masyarakat di kawasan agropolitan Kabupaten Situbondo, maka model yang paling sesuai untuk dikembangkan dalam pemberdayaan masyarakat di kawasan agropolitan Kabupaten Situbondo adalah “SISTEM PENGGADUHAN SAPI POTONG SITUBONDO SIDU SAPOSIT” dengan ketentuan sebagai berikut: 1 Setiap masyarakatpeternak sasaran harus tergabung dalam koperasi ternak sapi potong. 2 Setiap masyarakatpeternak sasaran mendapatkan bantuan berupa 2 dua ekor sapi, satu ekor sapi bibit betina dan satu ekor sapi pejantan. Sapi bibit betina dikelola dengan pola 1-2-5. Artinya, peternak diberikan bantuan 1 satu ekor sapi bibit betina dan mengembalikan 2 dua ekor betina ukuran yang sama seperti bantuan yang diberikan dengan masa pelihara 5 lima tahun, sedangkan induk dan anaknya dimiliki oleh peternak. Sapi pejantan disamping sebagai pejantanpemacek juga dikelola sebagai pola bagi hasil bantuan penggemukan sapi dengan pembagian keuntungan 60 peternak dan 40 koperasi. Pola ini lebih menguntungkan dari pola bagi hasilsistem gaduhan. Pola 1-2-5 dapat dijadikan tabungan oleh peternak, sedangkan pola penggemukan sapi potong diharapkan mampu untuk memenuhi kebutuhan keuangan jangka pendek atau kebutuhan sehari-hari peternak dan keluarganya. Keuntungan bagi hasil 40 untuk koperasi sangat berguna untuk penguatan modal koperasi dan insentif buat pengurus koperasi. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Lampiran 10. b Peningkatan pengetahuan dan sumberdaya manusia SDM peternak Sebagian besar peternak di kawasan ini berpendidikan Sekolah Dasar SD dan Sekolah Lanjutan Pertama SLP dan sudah mempunyai pengetahuan dan keterampilan yang cukup dalam membudidayakan ternak. Hal ini terlihat dari cara mengelola dan merawat ternak yang dipeliharanya, sebagian besar sudah semi intensif. Namun demikian, peningkatan pengetahuan peternak harus tetap dilakukan, terutama dalam menentukan lokasi dan kebersihan kandang. Selain itu, pengetahuan pemberian pakan juga perlu ditingkatkan, agar pakan yang diberikan tidak hanya rumput saja untuk ternak sapi potong tetapi harus ditambah dangan pakan tambahan lain, seperti pakan konsentrat. Pengetahuan dan teknologi pengolahan serta pemanfaatan pakan dari limbah pertanian, seperti jerami padi dan pucuk tebu perlu disosialisasikan kepada peternak, misalnya: penggunaan urea, silase, amoniasi, dan fermentasi jerami padi. c Penggunaan bibit ternak unggul Penggunaan bibit ternak unggul di kawasan ini sudah berjalan cukup baik yaitu dengan memanfaatkan teknologi IB untuk ternak sapi, sehingga pedet yang dihasilkan adalah jenis-jenis ternak sapi potong unggul yang berkualitas baik. Seleksi selalu dilakukan untuk replacement stock dan melakukan culling terhadap induk yang tidak produktif, serta melakukan recording secara teratur terhadap ternak-ternak yang dipelihara. Poskeswan yang terdapat pada setiap kecamatan sangat membantu berhasilnya penanganan dan pencegahan penyakit serta keberhasilan IB di kawasan ini. Penggunaan bibit sapi potong unggul untuk IB, seperti: Simental, Limousin, Angus, Brahman, Brangus, Hereford, dan Peranakan Onggole telah memotivasi peternak untuk mengelola ternaknya lebih baik lagi agar keuntungan yang diperoleh dari usahatani ini semakin maksimal. d Pemberian pakan Pemberian pakan yang selama ini mengandalkan pakan hijauan saja harus ditambah pengan pemberian pakan konsentrat, seperti: dedak padi, ampas tahu, ampas kecap, bungkil kelapa, dan tetes tebumolases, yang cukup banyak tersedia di kawasan ini. Peternak juga harus dibiasakan agar menggunakan rumput unggul dalam pemberian pakan hijauan, selain rumput alam dan pemanfaatan jerami tanaman pangan maupun perkebunan. Untuk itu sosialisasi penanaman rumput unggul seperti: rumput raja king grass yang mempunyai produksi segar 1 076 tonhatahun serta kandungan gizi tinggi harus segera dilaksanakan melalui Gerakan Menanam Rumput Raja MakananPakan Ternak Secara Serentak GEMAR RAMPAK di kawasan ini, agar pakan yang diberikan mempunyai kandungan gizi yang lebih baik, sehingga pertumbuhan ternak yang dipelihara lebih optimal dan pendapatan yang diperoleh peternak seuai dengan yang diharapkan. Penanaman rumput unggul dapat menggunakan lahan-lahan kosong seperti: tepi jalan, kebun, pekarangan, tegal, sempadan sungai, dan tanggul irigasi. Pemanfaatan limbah tanaman pertanian, seperti: jerami padi, daun ketela pohon, daun jagung, daun kacang tanah, daun kedelai, dan pucuk tebu perlu ditingkatkan. Untuk meningkatkan gizi dan kecernaan dari pakan tersebut, perlakuan fermentasi jerami, amoniasi, silase dan penambahan urea perlu disosialisikan kepada peternak. Demikian juga pemberian pakan tambahan berupa konsentrat dan limbah agroindustri yang terdapat di kawasan ini. e Penggunaan kandang kelompok Lokasi kandang ternak yang pada umumnya berkumpul atau berdekatan dengan rumah penduduk atau jadi satu dengan tempat tinggal, harus dipisahkan dengan jalan membentuk kandang ternak kelompok. Lokasi kandang kelompok harus terpisah dan tidak terlalu jauh dari lokasi perumahan penduduk, sehingga tidak mengganggu kesehatan masyarakat serta estetika dan tidak menimbulkan gangguan lingkungan. Pembuatan kandang kelompok lebih memudahkan dalam pengelolaan ternak, misalnya: dalam pelaksanaan IB, pengawasan penyakit, pengumpulan limbah ternak feses, pembuatan pupuk organik, keamanan ternak, dan pemasaran ternak. Jumlah anggota peternak yang tergabung dalam pembuatan kandang kolektif bisa disesuaikan, misalnya satu unit kandang kolektif untuk satu kelompok tani ternak yang beranggotakan 50-75 peternak atau satu dusun dibuatkan satu unit kandang kelompok. Dalam kandang kelompok juga disediakan pengelelolaan limbah feses dan urin menjadi pupuk organik atau kompos, yang selanjutnya dimanfaatkan untuk pemupukan tanaman. Kompos berperanan penting dalam menunjang kegiatan mix farming atau integrated farming yang merupakan kegiatan pertanian organik terpadu berbasis peternakan. Dalam kegiatan ini pemakaian bahan kimia dibatasi seminimal mungkin, bahkan bila perlu tidak menggunakan bahan kimia sama sekali. Dari kegiatan peternakan sapi dapat dihasilkan bahan organik berupa pupuk kandang kompos dan pupuk cair urine sapi. Menurut Sarwono dan Arianto 2003 dari 3 ekor sapi dapat dihasilkan feses yang dapat dipakai untuk memupuk 5 ha sawah per tahun. f Pencegahan dan pengobatan penyakit serta inseminasi buatan IB Penanganan dan pencegahan penyakit serta vaksinasi harus dikoordinasikan dengan petugas kesehatan hewan. Pos Keswan yang terdapat pada setiap kecamatan di kawasan ini sangat membantu dalam penanganan dan pencegahan penyakit selama ini. Demikian juga pelaksanaan IB sebaiknya dikoordinasikan dengan petugas IB di Pos Keswan, petugas IB swastamandiri atau anggota kelompok yang sudah dilatih.

8.3.3.3. Subsistem Agribisnis Hilir downstream off-farm agribusiness

Subsistem agribisnis hilir downstream off-farm agribusiness, yaitu kegiatan ekonomi yang mengolah dan memperdagangkan hasil usahaternak. Dalam subsistem ini termasuk industri pemotongan ternak, industri pengalengan dan pengolahan daging, industri pengolahan kulit, dan pengolahan pupuk kandang. Konsep pengembangan subsistem agribisnis ini adalah dengan menyediakan fasilitas-fasilitas berikut ini dalam kawasan: a Pembangunan pasar ternak atau sub terminal agribisnis STA Pasar ternak di kawasan ini baru tersedia satu unit berskala pasar kecamatan yaitu terletak di Desa Kertosari Kecamatan Asembagus. Pembangunan pasar ternak atau sub terminal agribisnis STA pada setiap kecamatan perlu dilakukan agar para peternak tidak terlalu jauh dalam menjual ternaknya. Hal ini salah satu upaya untuk memperkecil biaya produksi yang ditanggung peternak dan juga memudahkan peternak dalam menjual ternaknya. Keberadaan pasar ternak akan mengurangi aktivitas pedagang perantara atau belantik kandang, sehingga peternak dapat menjual langsung kepada pembeli dan keuntungan yang diperoleh bisa lebih optimal. Selain itu, penjualan ternak sebaiknya berdasarkan berat badan ternak agar tidak ada yang dirugikan baik peternak maupun pembeli. b Rumah potong hewan RPH Rumah potong hewan RPH yang terdapat di kawasan ini hanya berjumlah satu unit yang terletak di Desa Asembagus Kecamatan Asembagus. Konsep pembangunan RPH ke depan perlu ditambah dengan cara membangun RPH di setiap kecamatan agar mempermudah pemotongan ternak dan mengurangi beban biaya tranportasi. c Industri pengolahan hasil ternak Ketersediaan industri pengolahan hasil ternak di kawasan ini sangat kurang, kalaupun ada hanya sebatas home industri industri rumah tangga kecil, seperti pembuatan bakso daging sapi, dendeng, abon, dan kerupuk kulit yang jumlahnya sangat terbatas. Jenis produk yang dihasilkan dalam usaha peternakan pada umumnya masih dalam bentuk produk primer peternakan yaitu: pedet anak sapi, daging segar, dan kulit ternak, sedangkan produk olahan hasil ternak produk sekunder peternakan sangat sedikit. Pembangunan agroindustri hasil peternakan harus segera dilakukan pada kawasan ini, agar kontribusi subsektor peternakan lebih meningkat dalam memberikan sumbangan PDRB terhadap daerah Kabupaten Situbondo. Selain itu, dengan adanya agroindustri di kawasan ini akan memberikan nilai tambah dan multiplier effect terhadap kesejahteraan masyarakat. Pembangunan agroindustri pengolahan hasil peternakan seperti: industri pengolahan daging segarcorned beef, sosis, dendeng, penyamakan kulit, dan pupuk organik di beberapa tempat sangat membantu pembangunan dan perkembangan kawasan ini dengan subsektor peternakan sebagai motor penggerak pertumbuhan ekonomi. Konsep pembangunan industri pengolahan daging adalah dengan membangun industri pengolahan daging skala kecil kapasitas satu ton daging per hari di setiap kecamatan, demikian juga untuk industri pengolahan kulit ternak. Kulit ternak yang dihasilkan dari pemotongan ternak diharapkan dapat diolah di kawasan ini untuk selanjutnya dijadikan bahan baku sepatu, jaket, tas, dan lain sebagainya. Pembangunan industri pengolahan pupuk organik skala kecil dilakukan pada setiap kelompok tani, sehingga feses dan urin yang dihasilkan dari budidaya ternak sapi potong tidak mencemari lingkungan. Pengolahan feses dan urin menjadi pupuk organik selain memberikan nilai tambah bagi peternak juga meningkatkan kesuburan tanah dan melestarikan lingkungan. Diharapkan pupuk organik yang dihasilkan di kawasan ini dapat dimanfaatkan petani tanaman pangan dan perkebunan, sehingga kebutuhan akan pupuk anorganik atau pupuk buatan dapat dikurangi dan kesuburan tanah serta kelestarian lingkungan tetap terjaga. Dengan memanfaatkan kotoran sapi sebagai pupuk organik untuk tanaman pangan dan perkebunan berarti telah mengaplikasikan peternakan sapi potong terpadu dan mengoptimalisasi penggunaan sumberdaya dengan metode ternak-tanaman. Biaya pakan untuk usaha ternak sapi potong dapat ditekan dengan memanfaatkan limbah hasil samping usahatani tanaman padi, jagung, dan tebu. Pola ini menerapkan pendekatan low external input sustainable agriculture LEISA. Biaya pakan bahkan mendekati zero cost. Dengan pengembangan peternakan terpadu dengan tanaman pangan dan perkebunan akan diperoleh beberapa keuntungan antara lain: 1 mendukung upaya peningkatan kandungan bahan organik lahan melalui penyediaan pupuk organik; 2 meningkatkan produktivitas tanaman dan penyediaan daging; 3 peningkatan populasi ternak sapi dan pendapatan petani; 5 diversifikasi penggunaan sumberdaya produksi; 6 mengurangi terjadinya resiko; 7 efisiensi penggunaan tenaga kerja; 8 efisiensi penggunaan komponen produksi; 9 mengurangi ketergantungan sumberdaya lain dari luar usaha; 10 sistem ekologi lebih lestari, tidak menimbulkan polusi; 11 meningkatkan output; dan 12 megembangkan rumah tangga petani yang lebih stabil.

8.3.3.4. Subsistem Jasa Penunjang Agribisnis supporting institution

Subsistem jasa penunjang agribisnis supporting institution, yaitu kegiatan yang menyediakan jasa agribisnis ternak, seperti: perbankan, asuransi, koperasi, transportasi, penyuluhan, poskeswan, kebijakan pemerintah, lembaga pendidikan serta penelitian, dan lain-lain. Konsep pengembangan subsistem jasa penunjang agribisnis supporting institution ini dapat berupa: a Kelompok tani Pembentukan kelompok tani akan memudahkan pembinaan dan penyaluran bantuan modal. Setiap kelompok tani ternak sebaiknya beranggotakan sekitar 50–75 orang. Dengan kepemilikan ternak yang rata-rata 3-4 ekorpeternak maka jumlah ternak dalam satu kelompok sekitar 150-300 ekor. Ternak sapi dipelihara dalam satu kandang kelompok corporate farming dalam satu kawasan agar memudahkan pengawasan, pembinaan, dan pelayanan inseminasi buatan IB maupun kesehatan hewan Keswan. Kelompok didampingi seorang pendamping yang sudah dilatih untuk mengelola usaha peternakan dan bekerja secara profesional pemberian gaji berdasarkan persentase keuntungan. Diharapkan dengan membentuk kelompok tani, maka sistem pemeliharaan ternak tidak lagi berkumpul atau berdekatan dengan rumah penduduk atau jadi satu dengan tempat tinggal, tetapi harus terpisah dengan cara membentuk kandang kelompok. Lokasi kandang kelompok harus terpisah dan tidak terlalu jauh dari lokasi perumahan penduduk, sehingga efek bau dan pencemaran lingkungan yang akan ditimbulkan dapat dikurangi dan peternak dalam mengelola ternaknya tidak terlalu jauh dari tempat tinggalnya. Pembuatan kandang kelompok lebih memudahkan dalam pengelolaan ternak, misalnya: dalam pelaksanaan IB, pengawasan penyakit, pengumpulan limbah ternak feses, pembuatan pupuk organik, keamanan ternak, dan pemasaran ternak. Pada kawasan kandang kelompok sebaiknya dibangun industri pengolahan pupuk organik, sehingga feses dan urin yang dihasilkan dari budidaya ternak sapi potong dapat dimanfaatkan untuk pupuk organik tanaman dan peternak dapat tambahan penghasilan dari pengolahan limbah feses dan urin ini. b Koperasi Wadah yang dianggap paling tepat dewasa ini dan sedang dalam pembinaan pemerintah adalah koperasi. Bahkan sarana produksi akan lebih mudah di didapatkan dan pemasaran sapi dapat diatur secara bersama-sama apabila peternak bergabung dalam koperasi. Bilamana perlu diadakan kerjasama antara koperasi dengan rumah potong hewan setempat agar harga penjualan sapi dapat lebih tinggi dan kualitasnya dapat terkontrol. Pengalaman menunjukkan bahwa koperasi yang bergerak di bidang peternakan dan ditata secara baik dan profesional berkembang dengan pesat dan tidak terjadi kesulitan dalam mendapatkan modal usaha. Koperasi merupakan salah satu lembaga yang perlu mendapat perhatian dalam upaya pengembangan sistem agribisnis peternakan, mengingat peternak sebagai pelaku mayoritas dan utama dalam sistem ini memiliki kemampuan yang lemah dalam hal permodalan, akses informasi, dan teknologi. Koperasi dapat menjadi media bagi peternak untuk secara bersama-sama membangun usahanya secara terintegrasi dari subsistem hulu sampai subsistem hilir, agar peternak dapat memperoleh nilai tambah yang lebih baik. Pembentukan koperasi dapat dibentuk satu desa untuk satu unit koperasi tani ternak yang beranggotakan gabungan beberapa kelompok tani yang berada di kawasan tersebut. c Lembaga Keuangan Mikro LKM Lembaga keuangan mikro LKM di kawasan ini sangat sedikit yang khusus untuk menyediakan dana kegiatan usaha peternakan. Dalam rangka meningkatkan pengembangan usaha peternakan, keberadaan LKM sangat dibutuhkan untuk lebih mempermudah dalam pelayanan kegiatan ekonomi masyarakat. Dari aspek permodalan, pihak perbankan masih menganggap bahwa usaha kegiatan agribisnis sapi potong sebagai usaha yang belum mendapat prioritas untuk mendapatkan bantuan kredit usaha. Hal ini dikarenakan, pihak perbankan masih menganggap bahwa agribisnis sapi potong berisiko tinggi high risk dan rendah dalam hal pendapatan low return. Dalam rangka mengatasi permodalan bagi masyarakat peternak, pemerintah telah mengimplementasikan program Bantuan Pinjaman Langsung Masyarakat BPLM. Ditjen Peternakan 2004 menjelaskan bahwa tujuan dari BPLM adalah untuk: 1 memperkuat modal usaha kelompok dalam mengembangkan usaha; 2 meiningkatkan produksi dan produkvitas usaha; 3 mengembangkan usaha agribisnis dan agroindustri di kawasan pengembangan; 4 meningkatkan kemandirian dan kerjasama kelompok; serta 5 mendorong berkembangnya lembaga keuangan mikro LKM agribisnis dan kelembagaan ekonomi lainnya. Adapun sasaran yang ingin dicapai yakni: 1 pengembangan kawasan peternakan yang diintroduksi dapat berjalan dengan baik; 2 usaha peternakan dapat berkembang dengan baik; 3 proses pembelajaran peternak menjadi lebih mantap untuk dapat melepas ketergantungannya pada bantuan pemerintah. d Balai Penyuluhan Pertanian BPP Lembaga Penyuluhan PertanianBalai Penyuluhan Pertanian BPP, sudah terdapat pada setiap kecamatan di kawasan ini, namun demikian perlu ditingkatkan lagi aktifitasnya terutama dalam frekuensi penyuluhan dan pelatihan terhadap pengelolaan usaha peternakan agar dapat secara bertahap mengubah perilaku peternak dalam mengelola usaha peternakan ke arah yang lebih majuintensif dan berkelanjutan. Penyuluhan kepada peternak tentang kebersihan kandang dan pengolahan limbah peternakan menjadi pupuk organik sangat mendesak untuk segera ditindaklanjuti. Masyarakat perlu diberi pemahaman mengenai beberapa keunggulan pemanfaatan dan penggunaan pupuk organik atau pupuk kandang. Demikian juga mengenai pemanfaatan limbah pertanian, seperti fermentasi jerami padi, amoniasi jerami, perlakuan urea terhadap jerami, dan penggunaan urea molases blok. e Balai Penelitian Ternak dan Hijauan Makanan Ternak BPT-HMT Sebagai salah satu kawasan produksi ternak sapi potong di Jawa Timur maka perlu disediakan pusat informasi tentang peternakan. Pada balai ini segala informasi tentang peternakan dan usaha agribisnis peternakan serta kelembagaan dan aktifitasnya bisa diperoleh di balai ini. Konsep pengembangan akan dilengkapi dengan balai pendidikan dan latihan skala kabupaten sehingga terjadi peningkatan sumberdaya manusia khususnya inovasi pengembangan produk peternakan. Keberadaan BPT-HMT di kawasan ini juga merupakan tempat penyediaan bibit ternak unggul dan hijauan makanan ternak unggul, yang dapat meningkatkan motivasi dan pengetahuan peternak dalam membudidayakan ternak. Kesimpulan dari konsep pengembangan peternakan sapi potong terpadu antara peternakan sapi potong dangan tanaman dapat dilihat pada Tabel 55. Tabel 55 Konsep pengembangan peternakan sapi potong terpadu di Kabupaten Situbondo No Agribisnis Program yang Dibutuhkan Lokasi Lingkup Layanan 1 Subsistem Agribisnis Hulu a. Pembangunan kebun bibit hijauan makanan ternak HMT unggul 42 desa dalam kawasan agropolitan 1 kebun bibit untuk 1 desa b. Kios sapronak dan peralatan 42 desa dalam kawasan agropolitan 1 kios sapronak di setiap desa c. Industri pakan ternak DPP I 1 industri untuk 1 DPP 2 Subsistem Agribisnis Budidaya Peternakan a. Kandang kelompok 42 desa dalam kawasan agropolitan 1 bangunan untuk 1 kelompok tani b. Komposting 1 bangunan untuk 1 kelompok tani c. Poskeswan dan inseminasi buatan IB Ibu kota Kecamatan 1 bangunan untuk 1 kecamatan 3 Subsistem Agribisnis Hilir a. Industri pengolahan daging segar DPP I 1 industri untuk 1 DPP b. Industri pengolahan kulit DPP I 1 industri untuk 1 DPP c. Industri pengolahan pupuk organik DPP I 1 industri untuk 1 DPP c. Rumah potong hewan RPH Ibu kota Kecamatan 1 unit RPH untuk 1 kecamatan a. Sub terminal agribisnis STA Ibu kota Kecamatan 1 STA untuk 1 kecamatan 4 Subsistem Jasa Penunjang Agribisnis a. Kelompok tani 42 desa dalam kawasan agropolitan 1 kelompok untuk 50-75 peternak b. Koperasi tani Setiap desa c. Lembaga Keuangan Mikro LKM Ibu kota Kecamatan 1 unit untuk 1 kecamatan d. Balai Penyuluhan Pertanian BPP e. Balai Penelitian Ternak - Hijauan Makanan Ternak BPT-HMT DPP I 1 unit untuk 1 kawasan agropolitan

8.3.4. Uji Validasi Model

Secara garis besar uji validasi model dapat dilakukan dalam dua bentuk yaitu uji validasi struktur dan uji validasi kinerja.

b.1. Uji Validasi Struktur