Koperasi merupakan salah satu lembaga yang perlu mendapat perhatian dalam upaya pengembangan sistem agribisnis peternakan, mengingan peternak sebagai
pelaku mayoritas dan utama dalam sistem ini memiliki kemampuan yang lemah dalam hal permodalan, akses informasi, dan teknologi. Koperasi dapat menjadi
media bagi peternak untuk secara bersama-sama membangun usahanya secara terintegrasi dari subsistem hulu sampai subsistem hilir, agar peternak dapat
memperoleh nilai tambah yang lebih baik. Untuk saat ini, koperasi yang bergerak di kalangan peternak memang belum berkembang sebaik koperasi yang bergerak di
kalangan peternak sapi perah, misalnya Gabungan Koperasi Susu Indonesia GKSI. Menurut Karim 2002 dari aspek permodalan, pihak perbankan masih
menganggap bahwa usaha kegiatan agribisnis sapi potong sebagai usaha yang belum mendapat prioritas untuk mendapatkan bantuan kredit usaha. Hal ini dikarenakan,
pihak perbankan masih menganggap bahwa agribisnis sapi potong berisiko tinggi high risk dan rendah dalam hal pendapatan low return. Namun menurut Thohari
2003 ada beberapa sumber pembiayaan yang dapat dimanfaatkan untuk mendukung pengembangan agribisnis peternakan, antara lain: Kredit Taskin, Modal Ventura,
Pemanfaatan Laba BUMN, Pegadaian, Kredit BNI, Kredit Komersial Perbankan Kupedes dari BRI, Swamitra dari Bukopin, Kredit Usaha Kecil dari: BNI, Bank
Danamon, BII, Bank Mandiri, Kredit BCA, Kredit Pengusaha Kecil dan Mikro KPKM dari Bank Niaga, Kredit Modal Kerja dari Bank Agro Niaga, dan
pemanfaatan Lembaga Keuangan Mikro LKM di perdesaan.
2.6. Pembangunan Usaha Peternakan secara Berkelanjutan
Konsep pembangunan berkelanjutan akhir-akhir ini menjadi suatu konsep pembangunan yang diterima oleh semua negara di dunia untuk mengelola
sumberdaya alam agar tidak mengalami kehancuran dan kepunahan. Konsep ini berlaku untuk seluruh sektor pembangunan termasuk pembangunan sektor
peternakan. Konsep pembangunan berkelanjutan bersifat multi disiplin karena banyaknya aspek pembangunan yang harus dipertimbangkan, antara lain aspek
ekologi, ekonomi, sosial-budaya, hukum, dan kelembagaan. Walaupun banyak
pendapat akhli yang lain memberikan persyaratan pembangunan berkelanjutan dengan aspek-aspek yang hampir sama tetapi dengan cara dan pendekatan yang
berbeda. Konsep pembangunan berkelanjutan pertama kali diperkenalkan oleh the World
Commission on Environment and Development WCED pada tahun 1987 dengan laporannya berjudul ”Our Common Future” Kay dan Alder 1999. Laporan ini
dibuat oleh sekelompok ahli yang diketuai oleh Gro Harlem Brutland, sehingga laporan tersebut sering disebut sebagai laporan Brutland The Brutland Report.
Dalam laporan tersebut terkandung definisi pembangun berkelanjutan yaitu pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan saat ini tanpa membatasi peluang
generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya. dengan pengertian tersebut, Beller 1990 mengemukakan prinsip ”justice of fairness” yang bermakna manusia
dari berbagai generasi yang berbeda mempunyai tugas dan tanggung jawab satu terhadap yang lainnya seperti layaknya berada di dalam satu generasi.
Dalam konsep pembangunan berkelanjutan akan ada perpaduan antara dua kata yang kontradiktif yaitu pembangunan development yang menuntut perubahan dan
pemanfaatan sumberdaya alam, dan berkelanjutan sustainabilitas yang berkonotasi tidak boleh mengubah di dalam proses pembangunan yang berkelanjutan.
Persekutuan antara kedua kepentingan ini pada dasarnya mengembalikan developmentalis dan environmentalis back to basic yaitu oikos dimana kepentingan
ekonomi dan lingkungan hidup disetarakan Saragih dan Sipayung 2002. Kay dan Alder 1999 mengemukakan adanya tiga tema yang terkandung dalam
definisi pembangunan berkelanjutan tersebut, yaitu: integritas lingkungan, efisiensi ekonomi, dan keadilan kesejahteraan equity. Pendapat ini sejalan dengan yang
dikemukakan oleh Munasinghe 1993 bahwa pembangunan dikatakan berkelanjutan jika memenuhi tiga dimensi, yaitu: secara ekonomi dapat efisien serta layak, secara
sosial berkeadilan, dan secara ekologis lestari ramah lingkungan. Makna dari pembangunan berkelanjutan dari dimensi ekologi memberikan penekanan pada
pentingnya menjamin dan meneruskan kepada generasi mendatang sejumlah kuantitas modal alam natural capital yang dapat menyediakan suatu hasil
keberlanjutan secara ekonomis dan jasa lingkungan termasuk keindahan alam. Konsep lain yang masih berkaitan dengan hal tersebut adalah konsep pemanfaatan
sumberdaya yang berkelanjutan sustainable use of resources yang bermakna bahwa pemanenan, ekstraksi, ataupun pemanfaatan sumberdaya tidak boleh melebihi jumlah
yang dapat diproduksi atau dihasilkan dalam kurun waktu yang sama. Persyaratan agar pembangunan berkelanjutan dapat terwujud menurut Kay dan
Alder 1999 yaitu: 1. Integrasi antara konservasi dan pengembangan.
2. Kepuasan atas kebutuhan dasar manusia. 3. Peluang untuk memenuhi kebutuhan manusia yang bersifat non materi.
4. Berkembang ke arah keadilan sosial dan kesejahteraan. 5. Menghargai dan mendukung keragaman budaya.
6. Memberikan peluang penentuan identitas diri secara sosial dan menumbuhkan sikap ketidak-tergantungan diri, dan
7. Menjaga integritas ekologis. Menurut Munasinghe 1993 bahwa pembangunan berkelanjutan mencakup
tiga penekanan, yaitu: 1. Pembangunan ekonomi untuk meningkatkan kualitas kehidupan manusia.
2. Pembangunan yang sesuai dengan lingkungan. 3. Pembangunan yang sesuai dengan keadilan kesejahteraan, yaitu keadilan
penyebaran keuntungan dari pembangunan yang mencakup: a intersocietal equity misalnya antar kelompok dalam masyarakat,
menghargai hak khusus masyarakat lokal, dan lain-lain. b intergenerational equity yaitu tidak membatasi peluang atau pilihan
bagi generasi mendatang. c international equity yaitu memenuhi kewajiban obligasi terhadap
bangsa lain dan terhadap masyarakat internasional mengingat adanya kenyataan saling ketergantungan secara global.
Menurut Suryana et al. 1998 bahwa konsep berkelanjutan di bidang pertanian mengandung pengertian, bahwa pengembangan produk pertanian harus tetap
memelihara kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup guna menjaga keberlanjutan pertanian dalam jangka panjang lintas generasi inter-generational
sustainability, antara lain dengan mengembangkan sistem usaha tani konservasi, penerapan pengendalian hama terpadu PHT, dan kepatuhan pada prosedur analisis
mengenai dampak lingkungan AMDAL pertanian. Sedangkan Departemen Pertanian 2001 mengemukakan bahwa dalam pengembangan usaha-usaha agribisnis
termasuk usaha budidaya peternakan perlu menerapkan prinsip berkelanjutan. Prinsip ini mengandung ciri bahwa dalam pengembangan usaha budidaya peternakan
harus memiliki kemampuan merespon perubahan pasar, inovasi teknologi yang terus menerus, menggunakan teknologi yang ramah lingkungan, dan mengupayakan
pelestarian sumberdaya alam serta lingkungan hidup. Konsep ramah lingkungan dalam usaha budidaya peternakan dapat dilakukan
karena limbah utama peternakan berupa kotoran ternak telah diteliti banyak mengandung unsur N, P, dan K serta tidak mengandung logam berat dan antibiotik
Sarwono dan Arianto 2002 yang dapat mensuplai unsur hara yang dibutuhkan tanah dan memperbaiki struktur tanah agar menjadi lebih baik. Di samping itu
kotoran ternak mengandung gas methan yang dapat digunakan sebagai bahan energi. Pembuatan biogas merupakan proses biologis. Bahan dasar kotoran ternak yang
berupa bahan organik akan berfungsi sebagai sumber karbon yang merupakan sumber kegiatan dan pertumbuhan bakteri. Dalam keadaan tanpa oksigen, bahan organik
akan diubah oleh bakteri untuk menghasilkan campuran gas methan CH
4
, karbondioksida CO
2
Proses pembuatan pupuk organik dari kotoran ternak dibuat dengan komposisi sebagai berikut: kotoran ternak 87.5 , abu organiksekam 10 , serbuk gergaji 5 ,
kalsit 2 , dan stardek 0.1 . RPH Cakung di Jakarta sudah membuat pilot project pembuatan pupuk organik dari limbah yang dihasilkan oleh RPH. Dari 5 m
, dan sedikit gas lain. Campuran gas-gas tersebut disebut biogas Santosa 2001 Berikut ini pada Gambar 7, disajikan budidaya peternakan
ramah lingkungan yang memberikan kontribusi terhadap peningkatan pendapatan dan perbaikan mutu lingkungan serta menghasilkan produk pupuk organik, dan produk
peternakan, seperti: daging segar, susu segar, telur, produk susu dan daging olahan.
3
limbah
yang dihasilkan per hari dapat diolah menjadi pupuk organik sebanyak 1.25 m
3
atau 0.75 ton 750 kg per hari yang terjual dengan harga Rp 150,- per kilogram SEMAI
1998.
Gambar 7 Usaha agribisnis peternakan yang ramah lingkungan
Usaha Peternakan
Sapi, Domba, Kambing, Ayam, dsb
Daging, Susu, Telur, dan Produk Peternakan
Olahan Sosis, Dendeng, Abon, Yoghurt, Skeam,
Keju, Telur Asin, dsb Feses Kotoran Ternak
Pengomposan
Pupuk Organik
Pertanian Organik Bio Gas
Peningkatan Pendapatan PetaniPeternak
Limbah Budidaya Ternak
Penggunaan pupuk organik pada lahan pertanian mampu memperbaiki struktur tanah sehingga aerasi di dalamnya menjadi lancar dan dapat mengikat unsur Al, Mg,
dan Fe, sehingga unsur pospornya menjadi bebas dan dapat dimanfaatkan oleh tanaman. Di samping itu, penggunaan pupuk organik dapat meningkatkan cita rasa
dari produk pertanian menjadi lebih enak, biaya produksi menjadi lebih rendah, lebih tahan terhadap serangan hama, dan aman untuk dikonsumsi. Dengan demikian,
produk pertanian organik memiliki harga jual lebih yang lebih tinggi dari pada produk pertanian yang menggunakan pupuk anorganik. Hal ini berarti, limbah yang
dihasilkan oleh kegiatan peternakan jika diolah menjadi pupuk organik tidak akan mencemari lingkungan, akan tetapi justru memberikan manfaat terhadap perbaikan
mutu lingkungan dan peningkatan pendapatan peternak Hardjowigeno 1992. Untuk menjamin keberlanjutan pengembangan sistem budidaya peternakan
jangka panjang dan lintas generasi, maka penerapan konsep pembangunan berkelanjutan perlu dilakukan sebagai bentuk tanggung jawab dari generasi sekarang
terhadap hak-hak generasi yang akan datang. Penerapan konsep pembangunan berkelanjutan dalam suatu kegiatan pembangunan menjadi lebih komprehensif untuk
menjelaskan pengertian dari suatu kegiatan dikatakan berkelanjutan. Dengan demikian sistem budidaya peternakan dikatakan berkelanjutan jika memenuhi kriteria
dari masing-masing dimensi dari konsep pembangunan berkelanjutan, yaitu: dimensi ekologi, ekonomi, sosial-budaya, teknologi, hukum, dan kelembagaan.
Suatu sistem budidaya peternakan dikatakan memenuhi dimensi ekologis dalam konsep pembangunan berkelanjutan jika sistem tersebut tidak melakukan eksploitasi
berlebih terhadap sumberdaya peternakan, tidak terjadi pembuangan limbah yang melampaui kapasitas asimilasi lingkungan yang menimbulkan pencemaran, serta
penerapan sistem manajemen lingkungan dalam melakukan kegiatan usaha. Dengan demikian, atribut yang dapat digunakan untuk mencerminkan keberlanjutan dimensi
ini adalah tingkat pemanfaatan limbah peternakan untuk pupuk organik dan limbah pertanian untuk pakan ternak, ketersediaan tempat pembuangan akhir TPA, instalasi
pengelolaan limbah di rumah potong hewan RPH, rencana tata ruang wilayah RTRW yang sesuai dan dipatuhi, dan lain-lain.
Suatu sistem budidaya peternakan dikatakan memenuhi dimensi ekonomi dalam konsep pembangunan berkelanjutan jika sistem tersebut mampu menghasilkan
ternak dan produk peternakan secara berkesinambungan, sehingga terjadi peningkatan dinamika ekonomi daerah yang ditandai dengan peningkatan pendapatan peternak,
penyerapan tenaga kerja, dan tumbuhnya berbagai kegiatan usaha pendukung. Dengan demikian, atribut ekonomi yang dapat mencerminkan keberlanjutan dari
dimensi ini adalah kelayakan usaha dari aspek finansial, tingkat pendapatan peternak, kontribusi terhadap pendapatan asli daerah PAD, besarnya keuntungan dari usaha
peternakan, dan lain-lain. Suatu sistem budidaya peternakan dikatakan memenuhi dimensi sosial-budaya
dalam konsep pembangunan berkelanjutan jika sistem tersebut dapat mendukung pemenuhan kebutuhan dasar pangan, sandang, perumahan, kesehatan, dan
pendidikan, terjadi pemerataan, terbukanya kesempatan berusaha secara adil, serta terdapat akuntabilitas serta partisipasi masyarakat. Dengan demikian atribut sosial-
budaya yang dapat mencerminkan keberlanjutan dari dimensi ini antara lain adalah pemahaman masyarakat yang tinggi terhadap lingkungan, bekerja dalam kelompok,
tingkat pendidikan yang tinggi, alternatif usaha selain beternak, frekuensi pertemuan warga yang tinggi dan lain-lain. Karena kondisi yang demikian akan mampu
mendorong ke arah keadilan sosial dan mencegah terjadinya konflik kepentingan. Di samping itu partisipasi, komitmen, spirit, dan tingkah laku masyarakat sangat
menetukan keberhasilan dari setiap program pembangunan. Oleh karena itu pengelolaan sumberdaya yang berbasis pada masyarakat lokal harus dapat
dipertahankan. Keberlanjutan dari dimensi teknologi dicerminkan oleh seberapa jauh
pengembangan dan penggunaan teknologi dapat meningkatkan produktivitas dan nilai tambah usaha dan meminumkan kemungkinan dampak yang dapat merugikan
sumberdaya alam dan lingkungan. Penerapan teknologi inseminasi buatan IB dan kesehatan hewan, teknologi pengolahan limbah, teknologi pakan, teknologi
pengolahan hasil, teknologi informasi, dan transportasi dapat digunakan untuk menilai keberlanjutan dimensi ini.
Untuk menilai keberlanjutan dari dimensi hukum dan kelembagaan ditentukan dengan cara melihat seberapa jauh perangkat hukum dan kelembagaan beserta
penegakan dan kepatuhannya yang dapat mendorong keberlanjutan sistem budidaya peternakan. Tersedianya peraturan perundangan yang memadai, aturan adat dan
agamakepercayaan yang masih diakui oleh masyarakat, penyuluhan hukum, adanya aparat penegak hukum dan tokoh adat yang disegani adalah merupakan contoh atribut
yang dapat mendorong keberlanjutan sistem budidaya peternakan. Selain itu penting juga untuk dilihat atribut transparansi, keadilan, dan demokrasi dalam pembuatan dan
pelaksanaan kebijakan yang juga akan berpengaruh terhadap keberlanjutan dari sistem ini. Namun kunci dari semua atribut ini tentunya adalah kepatuhan masyarakat
terhadap peraturan perundangan dan aturan adat yang berlaku. Dari uraian sebelumnya, semakin jelas bahwa tujuan pembangunan sistem
budidaya peternakan dengan menerapkan konsep pembangunan berkelanjutan barsifat multidimensi multi objective yaitu mewujudkan kelestarian sustainability sistem
budidaya peternakan baik secara ekologis, ekonomi, sosial budidaya, teknologi maupun hukum, dan kelembagaan. Implikasinya memang lebih menantang dan
kompleks jika dibandingkan dengan sistem konvensional yang hanya mengejar satu tujuan yakni pertumbuhan ekonomi. Akan tetapi jika berhasil membangun sistem ini
dan terwujud kelima dimensi tujuan pembangunan berkelanjutan secara seimbang sesuai dengan kondisi biofisik dan sosio kultural suatu daerahkawasan, maka kita
dapat menyaksikan kehidupan manusia yang lebih sejahtera dan damai dalam lingkungan hidup yang lebih ramah, sehat, bersih, dan indah Mersyah 2005.
2.7. Usaha Peternakan Sapi Potong Terpadu